Tag Archives: Digital Economy

Direktur Eksekutif Teknologi Tim Pemenangan Nasional Ganjar-Mahfud MD / Dok. MLDSPOT

Sofian Hadiwijaya Sampaikan Pandangan Ekonomi Digital Ganjar-Mahfud MD

Co-Founder Warung Pintar Sofian Hadiwijaya kini memilih terjun langsung dalam politik menjadi bagian dari Tim Pemenangan Nasional Ganjar Pranowo dan Mahfud MD. Di tim tersebut, posisinya sebagai Direktur Eksekutif Teknologi. DailySocial.id berkesempatan untuk melakukan wawancara dengan Sofian untuk mendapatkan gambaran mendalam tentang visi-misi ekonomi digital yang akan diupayakan oleh pasangan Capres-Cawapres yang ia dukung.

Memulai perbincangan, Sofian menuturkan bahwa ketertarikannya di dunia politik sebenarnya bukan hal yang mendadak. Sejak sekitar 9 tahun lalu, ia sudah aktif dalam perpolitikan, baik dengan mengawal di luar seperti menjadi bagian dari inisiatif #KawalPemilu dan #KawalPilkada; hingga terlibat di dalam saat mendirikan sebuah partai politik baru di Indonesia. Di sisi lain Sofian juga bercerita bahwa keluarganya yang banyak bekerja sebagai pejabat publik dan ASN juga telah menghubungkannya dengan dunia politik.

Lantas, keputusannya untuk mendukung pasangan Ganjar-Mahfud memiliki alasan yang cukup kuat. Pertama, dari pengalaman Sofian aktif di ekosistem startup ia melihat langsung sepak-terjang Ganjar Pranowo dalam mendukung para inovator di Jawa Tengah saat menjadi gubernur.

Sofian memberi contoh inisiatif Hetero Space yang merupakan creative hub sekaligus coworking space yang diusung Pemprov Jawa Tengah bersama Impala Network. Dukungan pemerintah daerah dalam aktivitas inovasi di sana dirasakan betul, sehingga koneksi antara komunitas dan regulator dapat terjalin baik. Hal ini dinilai juga menjadikan sosok Ganjar lebih berwawasan terkait industri digital, karena sering berjibaku langsung dengan para pemain di lapangan.

Dan pemahaman digital tersebut menurut Sofian diaplikasikan betul oleh Ganjar dalam sepak terjangnya ketika menjadi gubernur. Ditunjukkan dengan sejumlah inisiatif transformasi digital di tumbuh internal pemerintahan, termasuk pemanfaatan media sosial secara aktif guna berkomunikasi langsung dengan masyarakat.

“Kita butuh pemimpin yang melek digital. Selama ini ekonomi digital Indonesia tumbuh, namun kadang ada kebijakan yang kurang mendukung beberapa aspek dari industri digital itu sendiri di Indonesia,” ujar Sofian.

Gambaran industri digital Indonesia

Sejak tahun 2012, Sofian sudah aktif dalam industri digital di Indonesia sebagai talenta di bidang teknologi. Perjalanannya dalam ekosistem digital, termasuk pengalamannya mendirikan startup digital yang bernilai jutaan dolar, memberikan ia gambaran yang cukup jelas bagaimana perkembangan digitalisasi di Indonesia.

Sofian merasakan bahwa ekonomi digital telah mendemokratisasi berbagai sektor, sehingga membuat banyak orang mendapatkan keuntungan darinya. Ia mencontohkan tentang berbagai peluang usaha baru tercipta dalam ekonomi digital ini – termasuk bagi dirinya, yang ketika kecil mungkin tidak terpikirkan akan berkarier di bidang teknologi. Seiring makin masifnya penerapan teknologi, pekerja digital juga tidak lagi dipandang sebelah mata – justru kini banyak gaya yang disesuaikan dengan kebutuhan pekerja digital (misalnya remote working).

“Ekonomi digital membantu banyak orang untuk bisa produktif menghasilkan uang dengan cara-cara baru. Ekonomi digital masih memiliki peluang yang besar, pun tantangannya pun juga masih besar di Indonesia,” tegasnya.

Terkait tantangan dalam menumbuhkan ekonomi digital Indonesia, Sofian menyoroti ada tiga aspek utama. Pertama terkait pemerataan akses internet yang berkualitas ke seluruh penjuru nusantara. Isu koneksi internet ini bukan hanya ia dengar dari orang lain, karena ketika pulang kampung di suatu desa di Palembang, Sofian juga merasakan langsung keterbatasan konektivitas tersebut.

“Ketika saya pulang kampung ke Palembang, koneksinya cuma EDGE […] padahal tanpa koneksi internet yang baik, akses ke ilmu pengetahuan dan peluang pasar digital menjadi terbatas,” ujar Sofian.

Kedua terkait akses ke ilmu digital –walaupun sudah banyak yang memulai inisiatif mengajarkan kompetensi digital, namun menurut Sofian perlu upaya untuk membuatnya lebih masif. Ini termasuk, misalnya, upaya mengajak pedagang di desa-desa kecil untuk mulai belajar berjualan di marketplace dan aktivitas lainnya untuk mendorong lebih banyak orang melek serta mendapatkan manfaat dari digitalisasi itu sendiri.

Berikutnya adalah pemerataan persebaran talenta digital. Ini juga bermula dari pengalamannya membangun komunitas startup di Palembang. Ketika ia berhasil mendatangkan pemodal ventura (VC), mereka masih enggan untuk berinvestasi dengan startup lokal di sana –padahal founder-nya bagus, solusi yang ditawarkan juga memiliki pasar. Ternyata salah satu alasannya VC meragukan startup tersebut bisa berkembang pesat lantaran tidak tersedianya talenta kompeten yang bisa mendukung.

“Di daerah talentanya tidak ada. Dan ini seperti chicken and egg, kalau kita mau melatih talentanya dulu, nanti belum ada startup yang menyerap. Begitu pula kalau mau bangun ekosistem startupnya dulu, talentanya belum banyak […] tapi agar ekonomi digital terakselerasi, tiga tantangan di atas harus mendapatkan solusi, terlebih agar mendistribusi talenta digital supaya tidak terpusat di Jawa saja,” ujar Sofian.

Visi ekonomi digital Ganjar-Mahfud MD

Sederhananya Ganjar-Mahfud MD akan membawa keberhasilan Hetero Space di Jawa Tengah ke tingkat nasional. Ini akan membentuk ekosistem yang terdistribusi di daerah-daerah, dan setiap  kepala daerah juga memberikan dukungan kontinu. Bagi Ganjar-Mahfud MD, penting untuk memberikan ruang dan dukungan bagi generasi muda, khususnya yang berkecimpung mengembangkan bisnis startup.

Selain itu dijelaskan Sofian, dalam visi-misi paslon nomor tiga ini, sejumlah program telah diterangkan. Untuk menjawab tantangan pertama, Ganjar-Mahfud MD jika terpilih akan menyediakan layanan internet gratis ke seluruh penjuru negeri. Mereka akan memastikan misi zero blank spot terealisasi dengan baik.

Kemudian, berkaitan dengan talenta Ganjar-Mahfud MD meyakini bahwa kedaulatan digital akan menjadi satu landasan dalam mengembangkan SDM lokal — sehingga selain bisa menyuplai kebutuhan di Indonesia, harapannya talenta ini bisa diserap juga oleh pasar internasional. Ini akan dimulai dengan memetakan persebaran talenta, kemudian melakukan program terpadu untuk melakukan pelatihan dan pembinaan.

“Digitalisasi juga tentang birokrasi. Pak Ganjar berkomitmen untuk membawa digitalisasi tersebut agar bisa lebih transparan dan merangkul lebih banyak kalangan. Karena diyakini kalau semua bisa didigitalkan, hidup akan menjadi lebih mudah, misal saat antre di RS tidak perlu lagi membuang waktu sia-sia karena pemesanan bisa dilakukan lewat aplikasi,” jelas Sofian.

Kedaulatan digital yang akan turut diupayakan adalah kemandirian digital. Dicontohkan jika suatu saat pemenuhan cloud server di Indonesia akan sepenuhnya disediakan provider lokal. Cara yang ditempuh adalah dengan melakukan transfer knowledge dengan pemain internasional yang saat ini ada di Indonesia – pemerintah akan memastikan proses tersebut terfasilitasi dengan baik.

Selain itu perlindungan hak digital juga menjadi sorotan di dalam visi-misi Ganjar-Mahfud MD, ini diejawantahkan dengan regulasi perlindungan data dan keamanan siber. Termasuk dengan merangkul para ahli di bidang keamanan dan forensik digital untuk bekerja sama lebih rekat dengan pemerintah untuk mengamankan ruang siber nasional.

“Banyak unicorn yang uangnya justru mengendap di Singapura, ini yang mau diubah, agar Indonesia lebih berdaulat secara digital. Hal ini hanya bisa didukung oleh regulasi yang apik dan iklim politik yang stabil, dan Ganjar-Mahfud MD sudah menyiapkan hal ini, salah satunya dengan rencana memberikan insentif fiskal dan mendorong lebih banyak perusahaan lokal [BUMN dan korporasi besar] agar aktif berinvestasi ke startup dan melibatkan startup ke banyak proyek strategis pemerintah,” jelas Sofian.

Selain itu dari sisi penerapan di masyarakat, salah satu yang ingin dikejar adalah lebih banyak mendorong pembayaran cashless. Ketika sistem ini teramplifikasi secara luas, maka akan terjadi percepatan transaksi dan ekonomi, mendorong orang untuk lebih kreatif menghasilkan produk, memperluas pangsa pasar, dan menjadi stepping stone yang menarik untuk Indonesia Emas 2045.

Membantu membuka pasar internasional

Ganjar-Mahfud MD melihat ekonomi digital lokal berpotensi lebih besar lagi, hal ini dinilai dari banyaknya potensi bisnis lokal yang bisa diekspansikan ke ranah regional dan global. Pemerintahan Ganjar-Mahfud MD nantinya ingin mendorong lebih banyak kerja sama internasional untuk membuka lebih luas peluang tersebut — misalnya mempererat kerja sama bilateral antarlembaga [keuangan, pertanian dll] agar inovasi dari Indonesia dapat dipasarkan di sana.

Sofian mencontohkan, kerja sama yang dibentuk bisa seperti kemitraan Indonesia-Singapura melalui Block71, di sana ada sharing pengetahuan, membuka pasar bersama, dan kolaborasi inovasi. Termasuk mengajak lebih banyak pengembang untuk unjuk gigi di berbagai ajang bergengsi internasional di bidang teknologi.

“Jadi membuka dan terhubung dengan ekosistem global, dengan tetap melindungi ekosistem yang ada di Indonesia. Kebijakan tidak akan terlalu mempersulit yang dari luar untuk masuk, namun memastikan yang di lokal bisa memiliki daya saing. Investasi pun juga akan terus diperdalam, dengan memberikan opsi pendanaan yang lebih beragam untuk pemain industri,” kata Sofian.

Sofian melanjutkan, “Pak Ganjar paham betul bahwa ekonomi digital tidak hanya yang berbentuk fisik, tapi juga nonfisik. Sehingga kita ingin menanamkan mindset bahwa solusi digital sejak awal didirikan harus bisa memiliki target untuk melayani pasar global.”

Disclosure: Artikel ini adalah bagian serial liputan Pilpres RI 2024 yang mencakup visi ekonomi digital setiap kandidat

Co-Captain Timnas AMIN, Leontinus Alpha Edison / Dok. Pribadi Leontinus

Leontinus Alpha Edison Jabarkan Visi Ekonomi Digital Pasangan “AMIN”

DailySocial.id berkesempatan secara eksklusif mewawancara Co-Founder Tokopedia Leontinus Alpha Edison yang saat ini juga menjadi Co-Captain dalam Tim Nasional Pemenangan Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar (Timnas AMIN).  Bahasan utama pada sesi ini membedah visi-misi tim AMIN dalam ekonomi digital Indonesia.

Mengawali perbincangan, Leon menjelaskan dua alasan mengapa ia akhirnya memutuskan gabung ke Timnas AMIN. Pertama, ia merasa sejalan dengan Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar dalam kaitannya dengan prinsip pemerataan, tentang menciptakan tatanan masyarakat Indonesia yang adil dan makmur bagi semua kalangan.

“Ini sejalan dengan prinsip dan filosofi yang saya percayai saat membangun Tokopedia bareng William (Tanuwijaya). Kami ingin mengusahakan pemerataan di Tokopedia, hingga saat ini sudah berhasil meng-cover 99% kecamatan di seluruh Indonesia […] Bayangkan jika effort pemerataan ini tidak hanya dilakukan di perusahaan, tapi skalanya lebih besar di tingkat negara, saya yakin dampaknya akan menjadi lebih masif dan luas,” ujar Leon.

Kedua, prinsip kolaboratif yang selalu dijunjung tinggi. Kendati sangat filosofis, hal ini dinilai sejalan dengan apa yang dituangkan dalam Tokopedia, di mana semuanya bisa sebesar sekarang karena adanya kolaborasi. Ia mencontohkan, saat mendirikan Tokopedia ia berkolaborasi bersama William selaku co-founder, setelah Tokopedia jadi harus bermitra dengan merchant, lalu biar transaksi lancar harus bermitra dengan bank atau lembaga finansial lainnya, sampai berkolaborasi dengan regulator untuk mendorong lebih banyak UMKM go-digital.

Semangat kolaborasi ini dirasakan Leon saat bekerja sama dengan Pemprov DKI Jakarta, yang dipimpin Anies Baswedan. Melalui inisiatif Plus Jakarta yang diikuti, ia melihat betul bagaimana proses kolaborasi antarstakeholder dalam memajukan UMKM hingga berhasil terdigitalisasi dan melihat langsung dampak perkembangannya.

Pandangan tentang ekosistem digital

Leon melihat bahwa saat ini digitalisasi sudah mulai mengubah mindset, dari ekonomi yang tersentralisasi menjadi terdistribusi. Ia mencontohkan, saat ini banyak startup yang mengakomodasi berbagai keperluan di berbagai tingkatan masyarakat — bahkan tidak sedikit yang mendapatkan perkembangan signifikan dari situ, Tokopedia salah satunya.

“Kunci dari ekonomi digital itu semangat kolaborasi. Yang terjadi, banyak sekali masyarakat (pelaku UMKM) di kota kecil yang tidak memiliki waktu dan sumber daya sebesar korporasi, karena adanya digitalisasi dan kolaborasi kini bisnis mereka bisa menjangkau konsumen potensial yang sama tapi dengan sumber daya yang ada,” kata Leon.

Ekonomi digital juga menjadi semakin penting ketika sekarang Indonesia telah menjadi pasar utama dan tujuan investasi utama di Asia Tenggara. Terbukti dengan banyaknya use case digitalisasi yang dapat didukung dan mendapatkan antusias dari pasar, mulai dari bidang pemberdayaan UMKM, pertanian, perikanan, keuangan, dan sebagainya. Leon juga menilai kepercayaan investor makin besar, dilihat dari banyaknya yang mengeksplorasi dan memberikan pendanaan bagi para founders di Indonesia.

“Saya percaya, ekonomi digital di Indonesia akan membuka pemerataan ekonomi, terutama bagi masyarakat kecil. Cukup banyak teman-teman startup yang bertahan dan bersinar saat pandemi Covid-19 sekaligus mendukung banyak pelaku ekonomi untuk tetap bisa berjalan. Ketika Covid-19 mereda, startup ini juga tidak mundur, mereka mampu beradaptasi dan akhirnya tetap bisa jalan sampai sekarang […] Dengan segala up and down-nya, ekosistem digital Indonesia is still going strong,” ujar Leon.

Tantangan terbesar di ekonomi digital

Infrastruktur dinilai masih menjadi tantangan mendasar ketika Indonesia hendak meningkatkan ekonomi digitalnya. Permasalahan ini sekali lagi terletak pada pemerataan. Di kota besar, kualitas internet sudah sangat layak, sementara di area 3T konektivitas sulit dan mahal.

Tantangan kedua menurut Leon adalah ketersediaan talenta digital yang mumpuni. Upaya yang perlu dilakukan dengan mengarahkan dan mendukung minat di sisi STEM (Science, Technology, Engineering, and Mathematics) untuk melahirkan lebih banyak pakar di bidang teknologi digital. Dan ketersediaan talenta ini juga harus dipastikan tidak hanya terpusat di kota besar saja.

Terkait dengan pendidikan STEM, menurut tim AMIN upaya yang perlu diperbaiki dari hulu ke hilir. Maka peningkatan kualitas sistem pendidikan wajib menjadi perhatian, salah satu yang paling utama dilakukan saat ini adalah peningkatan kualitas dan kesejahteraan guru. Pemerintah perlu mengakomodasi program upskilling bagi para pengajar, agar bisa menghasilkan lulusan terbaik di bidangnya.

“Berbicara tentang pendidikan, kita tahu Indonesia itu akademis banget. Maka yang harus dilakukan adalah meningkatkan pendidikan karakter, salah satunya untuk mempersiapkan agar orang bisa lebih mandiri — seperti dengan menanamkan karakter long life learner, critical thinking, problem solving […] Dari sini selanjutnya mereka secara pribadi akan memiliki kemauan mengeksplorasi, karena karakternya sudah terbangun,” jelas Leon.

Soal talenta ini Leon juga mengatakan bahwa penguatan pendidikan vokasi yang mengarah ke STEM juga perlu ditingkatkan. Hasilnya dinilai akan banyak mengakselerasi digitalisasi di berbagai level.

Masalah ketiga yang disebutkan terkait keamanan siber (cybersecurity). Ini adalah tentang kebijakan dan kemampuan pemerintah dalam merumuskan beleid pengamanan data, perlindungan privasi, juga memastikan ekosistem digital menjadi tempat yang aman bagi semua kalangan masyarakat.

Dan permasalahan terakhir yang turut disinggung adalah dukungan dari pemerintah. Pemerintah dinilai harus lebih cepat dan sigap dengan tren terbaru, sehingga proses regulasi juga bisa secepat dan agile seperti para inovator. Dipahami bahwa pemerintah kadang tidak bisa langsung tahu semua isu yang ada di lapangan, sehingga tantangan ini hanya bisa dipecahkan dengan menggalang kolaborasi yang intens dengan berbagai pihak.

Ekonomi digital yang lebih inklusif

Selain penguatan infrastruktur, memastikan internet bisa diakses oleh semua kalangan dan dimanfaatkan dengan benar, yang ingin digalakkan oleh tim AMIN adalah transformasi digital. Transformasi ini akan dimulai dengan meningkatkan kesadaran akan pentingnya digitalisasi dari sisi internal pemerintah. Dimulai dari pelayanan publik yang bisa lebih di-monitor agar bisa selalu diawasi dan dapat ditingkatkan. Mindset transformasi digital ini akan ditanamkan di seluruh tubuh jajaran pemerintahan.

Kemudian pemerintah AMIN nantinya juga ingin mendorong transformasi digital secara menyeluruh di seluruh lapisan bisnis. Termasuk mendorong berbagai korporasi besar lokal agar tidak terlena dengan “business as usual”, melainkan harus peka terhadap dinamika yang ada di pasar. Termasuk untuk mendorong digitalisasi ke usaha mikro, seperti mengajarkan petani untuk memanfaatkan aplikasi cuaca agar bisa mendapatkan gambaran yang lebih komprehensif.

“Supaya lebih inklusif, mantra pentingnya adalah kolaboratif. Saya belajar banyak dari tim AMIN, salah satu wejangan yang pernah saya dengar bahwa pemerintah juga berubah, ini terkait prinsip pemerintah dalam mengelola Indonesia. Dulu pemerintah kesannya seperti menjadi yang mendayung dan pemeran utama dalam sebuah perahu. Tapi seiring berjalan waktu pemerintah menjadi pengemudi, yang di belakang (stakeholder lain) yang mendayung. Pada dasarnya pasti ada effort dari pemerintah, tapi terbuka seluasnya untuk semua kalangan untuk turut andil berkolaborasi,” kata Leon.

Strategi taktis

Leon menyatakan bahwa jika AMIN dipercayakan sebagai Presiden dan Wakil Presiden, mereka sadar kepemimpinan tidak berarti memiliki pengetahuan mutlak. Oleh karena itu, dalam merancang regulasi ke depan, mereka akan mengadopsi kebijakan berbasis prinsip (principle based policy) yang melibatkan para pemangku kepentingan, menghindari keputusan impulsif, dan mengurangi peraturan yang terlalu rinci sehingga tidak menghambat eksekusi. Meskipun terdengar sederhana, penerapannya membutuhkan komitmen untuk merubah mindset kita bersama.

Agar iklim investasi ke ekonomi digital juga terus mengalir, yang akan diupayakan AMIN adalah memastikan regulasinya mudah dan memberikan kepastian hukum. Ini pun harus ditunjang dengan ketersediaan sumber daya lokal yang memadai (termasuk talenta salah satunya), sehingga Indonesia dapat memberi nilai jual lebih kepada para investor tersebut.

“Kita harus terus mendorong founder startup yang lebih berkualitas. Bukan hanya sekadar menyontek dari luar, tapi juga benar-benar bisa memecahkan masalah […] Angan-angan saya lima tahun ke depan banyak founder yang berkembang dan makin banyak startup yang IPO. Bagi saya ini realistis untuk diwujudkan,” ujar Leon.

Disclosure: Artikel ini adalah bagian serial liputan Pilpres RI 2024 yang mencakup visi ekonomi digital setiap kandidat

Visi Ekonomi Digital Capres 2024

Framework Masa Depan Ekonomi Digital Indonesia Menurut Capres-Cawapres RI 2024

Bagaimana pasangan calon presiden dan calon wakil presiden Republik Indonesia melihat pentingnya sektor ekonomi digital? Dalam acara “Indonesia Digital Summit 2023” yang diselenggarakan oleh APINDO (Asosiasi Pengusaha Indonesia) pada Selasa, 28 November 2023, tim sukses memaparkan visi-misi ekonomi digital masing-masing calon.

DailySocial.id mencoba merangkum hal-hal yang disampaikan secara lisan dan dalam presentasi secara verbatim untuk menjadi bahan pertimbangan bagi pembaca sekalian.

Timses Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar (AMIN)

Timses AMIN diwakili Wijayanto Samirin. Dalam pembukaannya, ia menjelaskan paradoks yang ada di Indonesia saat ini. Ia membawa sejumlah contoh, misalnya beda nasib antara siswa di Jakarta yang bisa mendapatkan konektivitas internet sampai 50Mbps dan siswa di Flores yang hanya bisa terlayani dengan koneksi 5Mbps.

Kemudian juga tentang seorang pedagang di Jakarta yang mampu meraup untung besar dengan memanfaatkan platform e-commerce, sementara ada pedagang lain di Jawa Tengah yang susahnya justru terpuruk akibat konsumennya beralih ke layanan e-commerce.

“Yang ketiga, saya ingin bercerita tentang Deri, seorang investor muda dan sukses karena berinvestasi itu gampang, memantaunya bisa kapan pun menggunakan fintech legal. Sementara di Jawa Barat belum lama ini banyak guru honorer terjerat pinjol ilegal yang membuat hidupnya justru makin merana,” ujar Wijayanto.

Disparitas ini, menurut Wijayanto, membuat ekonomi digital tidak bisa dirasakan menyeluruh oleh semua lapisan masyarakat. Berangkat dari semangat tersebut, AMIN meyakini bahwa Indonesia Emas 2045 tidak hanya tentang pencapaian GDP per kapita US$30 ribu, tapi tentang Indonesia yang satu kemakmuran.

“Bayangkan ketika kita mendarat di ujung Papua, di Kalimantan, Aceh, Jawa bisa merasakan bahwa kita sedang tinggal di Indonesia, karena infrastruktur sama, fasilitas kesehatan yang dirasakan juga sama,” imbuhnya.

Melihat ekonomi digital yang tidak bisa dihentikan perkembangannya, AMIN meyakini bahwa ekonomi digital perlu menjadi sebuah mindset yang harus hadir di semua kebijakan. Mereka tidak ingin menganggap ekonomi digital sebagai sektor belaka, namun sebagai sebuah mindset pembangunan, dan menjadikan kolaborasi sebagai landasan untuk menyiasatinya.

Strategi AMIN

Timses AMIN membagi agenda strategi menjadi dua jenis kebijakan, yakni kebijakan umum dan kebijakan per fokus sektor.

Terkait kebijakan umum, berikut 5 poin yang akan menjadi agenda utama AMIN dalam menyongsong kemajuan ekonomi digital:

  • Menghadirkan kepastian regulasi yang memfasilitasi inovasi. Salah satu upaya yang akan dilakukan ialah menindak dan memberikan sanksi tegas kepada pinjol Di sisi lain, regulasi juga akan didesain agar memberikan fasilitas atau koridor untuk para inovator. Kuncinya dengan mendengar mereka yang terlibat langsung di lapangan.
  • Memperbaiki suplai talenta digital dan literasi digital masyarakat. Literasi digital dianggap menjadi fondasi penting, agar masyarakat bisa melindungi dirinya terhadap risiko yang timbul akibat perkembangan ekonomi digital.
  • Mendorong korporasi/UKM Indonesia berdaya di dalam dan luar negeri. Ini arahnya pada kebijakan perlindungan yang memfasilitasi, pemerintah harus mampu mendukung pertumbuhan pemain lokal tanpa menyetop kompetisi yang hadir dari pemain global.
  • Memastikan pemerataan akses dan kualitas layanan digital di Indonesia. Memastikan layanan internet dan infrastruktur digitalisasi dapat diakses secara merata dengan harga yang sama.
  • Mendongkrak mindset digital di kalangan pemerintah, baik pusat dan daerah.

Berikut ini poin-poin agenda strategis yang akan dilakukan AMIN untuk meningkatkan ekonomi digital dari 5 sub-sektor utama, yakni on-demand, e-commerce, infrastruktur digital, fintech, dan media & entertainment.

Agenda Strategis Ekonomi Digital AMIN / APINDO

“Kita weekend asyik belanja di e-commerce, tapi yang di Papua mikir ongkos kirimnya mahal. Jadi kita harus mendorong equity dengan akses yang setara […] Banyak orang bertransaksi e-commerce tapi tidak punya catatan keuangan. Sebenarnya catatan dari e-commerce bisa digunakan sebagai tools untuk mengajukan kredit di perbankan,” ujar Wijayanto menjelaskan salah satu aspek di sektor e-commerce yang akan diupayakan AMIN.

Agenda Strategis Ekonomi Digital AMIN / APINDO

Timses Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka

Timses Prabowo-Gibran diwakili Budiman Sudjatmiko. Dalam presentasinya, ia memulai dengan bercerita tentang sebuah realitas yang belum lama ini terjadi dan menjadi cerminan umum masyarakat Indonesia terhadap digitalisasi.

“Seorang anak 10 tahun di Pekalongan bunuh diri karena ditegur orang tuanya, handphone-nya diminta […] Sebuah keluarga religius dan bukan keluarga miskin. Ini memperlihatkan bahwa kita masih banyak PR panjang untuk membangun mental manusia Indonesia hidup di era digital. Dan kita tahu perkembangan era digital eksponensial,” ujarnya.

Kemudian Budiman bercerita tentang dua negara yang saat ini superpower dalam ekonomi digital, yakni Amerika Serikat dan Tiongkok. Peran teknologi dan digital penting dalam membawa kedua negara tersebut untuk maju. Di AS, jika tidak ada Silicon Valley di era manufaktur, kemungkinan besar AS kalah saing dengan Jerman atau Jepang yang manufakturnya lebih maju saat itu. Sementara di Tiongkok minat besarnya dalam mengembangkan teknologi nano, quantum, hingga biotech juga membawanya menjadi negara maju seperti saat ini.

Strategi Prabowo-Gibran

Budiman menjelaskan, salah satu kunci arsitektur ekonomi digital, yakni mengubah pola pikir dari sekadar mengutamakan “layanan” menjadi “pengalaman”. Menurutnya, jika hanya berfokus pada penciptaan layanan saja, adopsinya hanya terbatas ke 2-3 indra manusia. Sementara jika bisa menyentuh aspek pengalaman, maka bisa digitalisasi itu bisa berpengaruh langsung ke dalam otak pengguna ketika mereka berinteraksi dengan layanan digital itu sendiri.

“Dan kemenangan dalam race industri digital bergantung pada kecepatan kita memasukkan pengalaman tersebut ke dalam setiap aspek digitalisasi,” ujar Budiman.

Selain mencoba mengalihkan fokus ke pengalaman, ada hal yang juga ingin digeser pemahamannya. Disampaikan Budiman, selama ini kebanyakan dari kita menganggap dunia digital sebatas aplikasi — padahal untuk bisa benar-benar menguasai dunia tersebut, dibutuhkan penguasaan ke lapisan lainnya, termasuk perangkat keras dan jaringan. Optimalisasi antara aplikasi, jaringan, dan perangkat keras ini harus menjadi pertimbangan penting untuk strategi digitalisasi ke depan.

Adapun konkretnya, metodologi yang akan diaplikasikan adalah “community driven innovation”, yakni dengan mendorong semua stakeholder dalam ekosistem digital untuk bekerja sama dalam menciptakan iklim inovasi yang sehat. Jika nantinya menang, pemerintahan Prabowo-Gibran ingin mendorong inovasi bisnis sekaligus mengurasi kesenjangan pengetahuan. Kesenjangan pengetahuan ini ditekankan, mengingat menurut Budiman saat ini kita berada di dalam knowledge-based economy.

Stakeholder dalam ekonomi digital yang harus dioptimalkan / APINDO

“Ini juga menyangkut supply and demand. Di sisi supply kita bisa mencetak talenta digital (developer, AI engineer dll) ini semua masalah teknis. Tapi di sisi demand, kita harus bisa menciptakan pasar, dan ini soal politik,  bahkan geopolitik. Ini juga soal ekonomi, bahkan geoekonomi,” imbuh Budiman.

Secara khusus ada 5 tujuan dan sasaran utama timses Prabowo-Gibran dalam kaitannya dengan pengembangan ekonomi digital, yakni:

  • Penciptaan nilai tambah ekonomi.
  • Keamanan data.
  • Keadilan akses.
  • Peningkatan kecerdasan kolektif.
  • Peningkatan penguasaan teknologi.

Untuk mewujudkan misi tersebut, Prabowo-Gibran meyakini bahwa inisiatif pertama harus dimulai dengan membuat “wadah analog”. Hal ini akan didesain dengan penuh kehati-hatian, karena tanpa penanganan yang tepat dapat memberikan dampak sosial, ekonomi, politik yang kurang relevan bagi Indonesia sebagai bangsa. Oleh karenanya, pembentukan IKN (Ibu Kota Negara) menjadi penting sebagai wadah analog yang nantinya menjadi pusat dari ekosistem digital tersebut.

Nantinya akan dibangun 10 kota inovasi yang tersebar di berbagai pulau di Indonesia – dengan masing-masing kota akan memiliki fokus mendalam pada penelitian dan pengembangan di bidang tertentu. Tidak hanya itu, 10 kota virtual (metaverse) juga direncanakan untuk mendukung masa depan ekonomi digital. Kota-kota tersebut dibaratkan menjadi planet yang akan berkeliling di tata surya, dengan IKN sebagai mataharinya.

Optimasi IKN sebagai wadah analog inovasi berbasis teknologi di Indonesia / APINDO

Budiman cukup yakin bahwa inisiatif ini bisa berjalan, karena ia melihat sumber daya manusianya pun sebenarnya sudah siap. Banyak lulusan luar negeri yang kurang terutilisasi ketika pulang ke Indonesia – nantinya mereka akan diarahkan untuk menjadi bagian dalam pengembangan ekosistem digital ini.

Untuk membuat kota-kota ini berkelanjutan, sejumlah model bisnis juga sudah dirancang. Beberapa di antaranya dalam bentuk bisnis berbasis lahan, aktivitas, inovasi, dan penyaluran. Total investasi untuk membangun ekosistem ini diproyeksikan mencapai Rp125 triliun atau setara $8,6 miliar dengan proyeksi ROI mencapai Rp230 triliun atau $15,9 miliar dalam 10 tahun. Dan inisiatif ini ditaksirkan akan menyerap lebih dari 2,8 juta tenaga kerja lokal.

Setiap kota diestimasi akan membutuhkan investasi hampir $1 miliar, dengan perincian $557 juta untuk pengembangan infrastruktur dan $460 juta untuk fasilitas pendukung. Nantinya ada 5 goals utama yang akan dicapai, guna memastikan Indonesia terdepan dalam bidang: semiconductor, energy storage, quantum AI, biotech, dan nanotech.

Untuk penyerapan pasarnya, optimasi pasar di kalangan desa (dengan dukungan dana desa), koperasi, dan 128 juta masyarakat di Indonesia diharapkan bisa menjadi eraly-adopter dari produk/layanan inovasi digital tersebut.

Soal pengembangan sumber daya manusia, beberapa isu yang ingin diselesaikan. Mulai dari kecakapan berbahasa Inggris, kepercayaan diri dan mentalitas, kemampuan komunikasi, dukungan perangkat, peran serta pemerintah, kultur, hingga kemampuan teknologi terbaru. Penanganan tantangan ini akan direalisasikan dalam 87 program, di antaranya program joint-degree kampus lokal dan internasional, program nutrisi ibu hamil, sekolah unggulan di setiap kabupaten, dan sebagainya.

Timses Ganjar Pranowo dan Mahfud MD

Mengawali presentasi berjudul “Ekonomi Digital sebagai Generator Pertumbuhan Menuju Indonesia Maju”, Renard Widarto yang mewakili timses Ganjar-Mahfud membahas potensi nilai ekonomi digital Indonesia yang begitu besar.

Mengutip data KemenkopUKM, nilai ekonomi digital negara kita pada tahun 2023 diproyeksikan mencapai Rp4.531 triliun. Divalidasi data Google, Temasek, Bain&Company, nilai ekonomi tersebut setara 40% dari total transaksi digital di Asia Tenggara. Sehingga potensi ini tidak bisa dipandang sebelah mata dan harus dioptimalkan sebagai kekuatan ekonomi baru yang mendorong perekonomian Indonesia secara keseluruhan.

Strategi Ganjar-Mahfud

Dibantu kalangan muda yang telah terjun ke dalam industri digital, tim pemenangan nasional Ganjar-Mahfud merumuskan terdapat 4 aspek yang akan menjadi landasan strategi dalam visi-misi mereka menggarap kekuatan ekonomi baru ini, sebagai berikut:

  1. Aspek Sumber Daya Manusia.

Renard menyampaikan, terkait SDM ada dua filosofi penting yang harus dicermati. Pertama terkait upaya mendorong literasi digital masyarakat. Menurutnya caranya hanya satu, yakni dengan meningkatkan kualitas pendidikan masyarakat. Tindakan afirmatif yang dilakukan harus bisa meningkatkan indeks capaian (misalnya skor PISA) – dan timses Ganjar-Mahfud telah merancang program untuk menggratiskan pendidikan dari PAUD s/d SMA, plus satu keluarga miskin satu sarjana.

Filosofi kedua fokus untuk mendorong dan memfasilitasi agar anak bangsa bisa memiliki penguasaan terhadap ilmu di bidang digital dan teknologi informasi. Tujuannya mencetak lebih banyak ahli di bidang kecerdasan buatan, keamanan digital, dll dengan kaliber global. Dalam mendorong inisiatif ini, Ganjar-Mahfud akan mengoptimalkan fungsi riset, dengan mengalokasikan anggaran untuk riset minimal 1% dari PDB.

“Hari ini kita boleh prihatin karena jumlah periset kita, dalam rasio satu juta penduduk, kurang lebih hanya 1/6 dari pada Malaysia. SDM cerdas dan ahli digital tidak bisa ditawar lagi, karena ini harus menjadi satu rangkaian dalam menyiapkan pertumbuhan ekonomi digital Indonesia agar optimal,” ujar Renard.

  1. Infrastruktur Digital

Dalam aspek ini Renard juga menerangkan ada dua hal penting yang menjadi perhatian. Pertama terkait dengan internet yang harus mudah, murah, dan cepat – ia mengatakan dengan tagline “SEMBAKO” (Semua Bisa Konek). Ditinjau dari kecepatan rata-rata, internet di Indonesia masih kalah jauh dibanding dengan sejumlah negara tetangga. Sehingga ini penting untuk menjadi perhatikan khusus pemerintah mendatang, tentang bagaimana mengoptimalkan layanan internet – yang mana menjadi kebutuhan mendasar dalam ekonomi digital.

Gambaran kondisi dan kebutuhan infrastruktur digital Indonesia / APINDO

Kedua adalah soal data center. Saat ini kapasitas yang dimiliki Indonesia baru bisa mengakomodasi 1/3 dari total kebutuhan di tahun 2029 nanti. Selain sebagai upaya mendorong industri teknologi agar lebih mandiri, sebenarnya pengembangan data center juga bisa menjadi solusi akan surplus listrik 44% di area Jawa-Bali yang saat ini dimiliki PLN. Tentunya Renard juga menggarisbawahi bahwa pengembangan infrastruktur pusat data seperti ini harus bisa didesain dengan prinsip energi hijau dengan energi terbarukan.

  1. Industrialisasi Digital

Industrialisasi digital dinilai penting karena ekonomi digital ini benar-benar harus bisa menciptakan kekuatan ekonomi baru bagi Indonesia. Jangan sampai digitalisasi hanya menjadi wujud dari transformasi atau perpindahan dari ekonomi konvensional ke digital. Untuk itu, pemerintah perlu turut andil memastikan bahwa dalam ekonomi digital ini harus ada peran anak bangsa, tidak hanya sebagai konsumen, tapi juga terlibat dalam setiap pertambahan nilai di dalam semua mata rantainya.

“Dengan industrialisasi digital ini boleh kita bermimpi, suatu saat kita punya hp atau laptop merek dalam negeri yang mampu disandingkan secara global. Dari yang low tech sampai high tech, industri hardware-nya dikerjakan di dalam negeri,” ujar Renard.

Guna mendorong industrialisasi ini, generasi muda kita harus didukung agar bisa menghasilkan kecerdasan buatan, aplikasi, dan produk digital lainnya yang berdaya saing dunia. Pemerintah harus hadir, salah satunya melalui kurikulum siap kerja dan permodalan.

Industrialisasi digital perlu menjadi agenda penting dalam ekonomi digital / APINDO
  1. Kedaulatan digital

Setelah ketiga aspek di atas terpenuhi, kemudian yang harus diupayakan adalah kedaulatan digital. Ini menjadi sebuah indikasi ekosistem yang berdikari dan mandiri. Pemerintah harus hadir untuk menjamin bahwa kedaulatan digital terus terjadi, dengan mengeluarkan regulasi yang tepat. Dan Ganjar-Mahfud akan menelurkan sejumlah kebijakan. Pertama, perlindungan terhadap intellectual property (IP) dan data pribadi. Kedua, mendorong semua transaksi digital yang berlangsung dalam bentuk Rupiah.

“Dari mulai proses investasi sampai transaksi mikro jual-beli terkecil, semua harus dalam bentuk Rupiah dan ditempatkan di bank dalam negeri. Kita harus bergeser paradigmanya, jangan sampai ada startup yang mendapatkan investasi besar tidak dalam nilai Rupiah dan dananya pun tidak disimpan di dalam negeri. Jadi ekonomi digital kita harus mampu mendorong penguatan nilai mata uang kita sendiri,” jelas Renard.

Dan yang ketiga, pemerintah akan membuat regulasi ekonomi digital yang adil, seperti melindungi masyarakat dari predatory pricing seperti yang dewasa ini sering terjadi.

Melalui 4 agenda strategis di atas, tim pemenangan nasional Ganjar-Mahfud percaya bahwa pertumbuhan ekonomi 7% tidak menjadi angan-angan belaka, tetapi menjadi sebuah keharusan yang bisa optimis tercapai dengan ekonomi digital sebagai salah satu generatornya.

e-Conomy SEA 2023 prediksi nilai ekonomi digital Indonesia diperkirakan hanya naik 8% menjadi senilai $82 miliar pada 2023 / Pexels

Startup Kurangi Bakar Duit, GMV Ekonomi Digital Indonesia Ditaksir Hanya Naik 8%

Nilai ekonomi digital Indonesia diperkirakan hanya naik 8% menjadi senilai $82 miliar (sekitar Rp1.307 triliun) pada tahun ini dari sebelumnya yang tumbuh 20%. Pertumbuhan transaksi GMV dari sektor perjalanan online tumbuh paling tinggi, disusul e-commerce dan online media, sementara ride-hailing dan makanan diestimasi minus.

Menurut laporan tahunan “e-Conomy SEA 2023” yang disusun Google, Bain & Company, dan Temasek, disampaikan setelah pembatasan mobilitas akibat pandemi dicabut pada akhir 2022, terjadi peningkatan kembali aktivitas offline. Terlihat dari layanan perjalanan online juga mengalami kenaikan yang menjanjikan, baik dari perspektif permintaan domestik maupun perjalanan bisnis.

Sektor ekonomi digital yang sebelumnya mengalami pertumbuhan, seperti pengantaran makanan dan e-commerce akan tumbuh melambat, walau transportasi online diprediksi tumbuh pesat. Di satu sisi, ketiganya telah mengurangi jumlah promosi dan insentif yang mereka tawarkan demi menyeimbangkan pertumbuhan dan profitabilitas.

Dampaknya terlihat dari pertumbuhannya yang melambat setelah konsumen yang sensitif terhadap harga memilih opsi lain. “Namun, jumlah pengguna yang setia masih cukup banyak, sehingga mengimbangi penurunan pertumbuhan pasar dengan kenaikan pertumbuhan pendapatan bersih,” tulis laporan tersebut.

Berikut perkiraan GMV masing-masing sektor menurut laporan tersebut:

e-Conomy SEA 2023

Laporan ini juga menyoroti arah kebijakan pemerintah, salah satunya Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 31 Tahun 2023 yang terbit pada 27 September 2023. Regulasi ini melarang fitur e-commerce dan media sosial dalam satu aplikasi. TikTok pun menghapus TikTok Shop di Indonesia pada 4 Oktober. Juga, melarang impor e-commerce di bawah $100 per unit.

“Regulator sangat memengaruhi arah pertumbuhan sektor utama ekonomi digital. [..] impor e-commerce di bawah $100 untuk mendukung pedagang lokal dapat berdampak negatif pada keseluruhan pasar.”

Hal lain yang turut disoroti adalah pertumbuhan PDB dan inflasi di Indonesia yang diperkirakan akan berangsur normal. Dengan normalisasi, pertumbuhan PDB akan cenderung kembali ke level yang sedang setelah tingginya inflasi pada 2022. Untungnya inflasi mereda lebih cepat daripada perkiraan dengan turunnya harga input dan terasanya dampak intervensi pemerintah.

“Pertumbuhan ekonomi Indonesia masih diprediksi akan naik lebih tinggi disbanding rata-rata regional dan akan menjadi pendorong utama pertumbuhan ekonomi digital.”

Secara keseluruhan, ekonomi digital di Asia Tenggara diperkirakan mencapai $218 miliar pada tahun ini. Nilai ekonomi digital Indonesia merupakan tertinggi, namun dilihat berdasarkan pertumbuhannya adalah terendah setelah Malaysia. Berikut rinciannya:

  • Filipina tumbuh 13% menjadi $24 miliar
  • Thailand tumbuh 16% menjadi $36 miliar
  • Malaysia tumbuh 7% menjadi $23 miliar
  • Singapura tumbuh 12% menjadi $22 miliar
  • Vietnam tumbuh 19% menjadi $30 miliar

Soroti monetisasi

Lebih jauh dipaparkan mengenai strategi monetisasi yang kini dilakukan startup di Asia Tenggara yang makin kencang dalam upaya mencapai target profitabilitas, dan mulai menunjukkan keberhasilan. Mereka mengambil langkah-langkah untuk meningkatkan efisiensinya, mengeksplorasi pendorong produktivitas baru (seperti AI) untuk mencapai pertumbuhan jangka panjang yang berkelanjutan dan menguntungkan.

Ada dua model bisnis yang umum dipakai di bisnis digital: direct revenue model dan third party platform model. Berikut rinciannya:

e-Conomy SEA 2023

“Pendapatan telah tumbuh lebih cepat dibandingkan GMV karena para pemain meningkatkan take rate dan memperluas ke aliran pendapatan yang berdekatan (misalnya logistik, periklanan, dll.). Diperkirakan tren ini akan terus berlanjut dalam jangka menengah.”

Dilanjutkan lagi, “Meskipun fokus pada monetisasi, GMV akan terus tumbuh bahkan ketika para pelaku pasar mengurangi diskon dan promosi untuk meningkatkan tingkat pengambilan bersih. Para pemimpin pasar telah menyatakan kesediaannya untuk mulai menginvestasikan kembali keuntungannya guna mempertahankan pangsa pasar mereka.”

Satu per satu dirinci bagaimana strategi monetisasi dari keempat sektor ini:

  • Pendapatan platform marketplace meningkat karena komisi yang lebih tinggi, penjualan iklan, dan biaya logistik, dalam upaya sebagai mesin pertumbuhan jangka panjang. Penjualan layanan tambahan (misalnya periklanan, layanan pengiriman, asuransi, dll.) telah menjadi cara yang semakin umum untuk meningkatkan pendapatan per pesanan dan pertumbuhan pendapatan secara keseluruhan.
  • Pendapatan OTA terbesar didorong oleh komisi hotel karena komisi dari tiket perjalanan itu kecil (2%-5%), dilatarbelakangi oleh pasar maskapai penerbangan yang terkonsolidasi, persaingan antar OTA, saluran penjualan langsung dari maskapai. Komisi hotel bisa tinggi karena sekarang OTA beralih dari model gaya broker (menyerahkan reservasi) ke model pedagang (mengelola transaksi) untuk meningkatkan komisi.
  • Sektor transportasi dan makanan mulai stabil model monetisasinya. Setelah bertahun-tahun berfokus pada akuisisi pengguna, para pemain telah beralih ke peningkatan ekonomi unit, dan kini menghasilkan pendapatan bersih yang positif dengan mengoptimalkan komisi dan belanja promosi – sebuah langkah pertama menuju profitabilitas jangka panjang yang berkelanjutan. Konsolidasi juga sedang berlangsung, menguntungkan pemain-pemain terbesar yang memiliki jalur paling jelas menuju profitabilitas.
  • Pendapatan media masih didominasi dari kontribusi iklan, sementara layanan streaming mendorong pertumbuhan pasar dalam jangka panjang. Iklan terus tumbuh, bahkan ketika merek lebih hati-hati belanja iklan karena sembari melakukan optimalisasi profitabilitas. Sedangkan, video berdurasi pendek dan marketplace pasar adalah pendorong pertumbuhan utama. AI terus membantu meningkatkan penargetan dan personalisasi.
Associate Partner Bain & Company Singapura Willy Chang dalam acara Switch 2022

Ulasan Pertumbuhan Ekonomi Digital Asia Tenggara 2022

Dalam laporan bertajuk e-Conomy Southeast Asia 2022: Through the Waves, Towards a Sea of Opportunity yang dirilis oleh Google, Temasek, dan Bain & Company terungkap, dalam waktu 24 bulan terakhir pandemi telah mengganggu bisnis di berbagai sektor. Namun telah mengakselerasi adopsi digital di berbagai sektor.

Hal menarik lain yang juga diungkap oleh Associate Partner Bain & Company Singapura Willy Chang dalam acara Switch 2022 adalah, saat ini kondisi sudah kembali berjalan normal, meskipun pandemi belum bisa dikatakan usai. Ke depannya juga akan mulai terlihat moderasi consumer consumption.

Sementara untuk kegiatan investasi, pemodal akan lebih ketat memberikan pendanaan dan penentuan valuasi. Imbasnya adalah bagaimana perusahaan harus segera memikirkan lajur yang tepat menuju profitabilitas.

Peningkatan layanan digital

Dalam laporan tersebut juga terungkap dalam waktu tiga tahun terakhir di Asia Tenggara pengguna internet berjumlah 460 juta orang, bertambah 100 juta dibandingkan tahun 2019 lalu. Kemudian terkait bisnis digital, beberapa sektor mengalami pertumbuhan selama pandemi, di antaranya adalah e-commerce, food delivery, transportasi, online grocery, online travel, dan video on-demand.

Untuk layanan e-commerce, tercatat menjadi yang mendapat keuntungan lebih selama pandemi bahkan hingga saat ini. Ke depannya di prediksi akan terus mengalami peningkatan. Untuk transportasi (ride hailing) justru sebaliknya, saat ini agak sedikit sulit bagi untuk kembali pulih. Salah satu alasannya adalah konsep bekerja hybrid di perusahaan masih terus diterapkan. Sehingga hanya sedikit yang melakukan pemesanan.

Persoalan naiknya harga bahan bakar juga menyulitkan sebagian besar mitra pengemudi untuk kemudian beroperasi, menjadikan sebagian dari mereka beralih profesi. Namun demikian untuk layanan food delivery tercatat terus mengalami peningkatan. Dilihat dari masifnya jumlah permintaan saat awal pandemi bahkan hingga saat ini.

Sektor lain yang akan mengalami perubahan bisnis selama pandemi adalah online media, dalam hal ini video on-demand dan online gaming. Untuk streaming musik berlangganan tercatat sempat mengalami penurunan pelanggan saat pandemi karena kurangnya kegiatan commute oleh sebagian besar pekerja kantoran.

Khusus untuk online travel sudah mulai banyak permintaan pembelian tiket pesawat terbang dengan makin banyaknya negara yang membuka kembali kegiatan wisata. Namun di sisi lain masih belum banyaknya penyediaan penerbangan di beberapa perusahaan penerbangan. Di tambah lagi dengan masih tingginya harga tiket pesawat saat ini.

Layanan finansial dan peluang investasi

Gopay, ShopeePay, hingga GrabPay juga mengalami pertumbuhan yang masif, bahkan masing-masing juga telah merilis layanan paylater. Karena di sisi lain produk finansial digital seperti fintech lending hingga paylater terus mengalami pertumbuhan yang positif dan diprediksi bakal terus meningkat.

Dalam laporan tersebut juga terungkap, dalam waktu tiga tahun terakhir ada beberapa model bisnis yang masuk dalam kategori memiliki peluang untuk sukses di sektor fintech. Di antaranya adalah pure-play fintech, consumer tech platform, establish financial services playerestablish consumer player, dan digital bank.

Di Indonesia sendiri untuk layanan bank digital sudah mulai marak bermunculan. Layanan ini memiliki peluang untuk sukses dilihat dari masih banyaknya masyarakat Indonesia yang masuk dalam kategori unbanked/underbanked sekitar 81%. Negara lain di Asia Tenggara yang juga memiliki potensi untuk layanan bank digital adalah Filipina dan Vietnam.

Untuk investasi, meskipun mengalami momen yang cukup kuat pada H1 2022, namun kebanyakan investor lebih berhati-hati dalam hal pemberian investasi. Fokus mereka saat ini lebih kepada bagaimana startup atau perusahaan yang mereka investasikan bisa mencapai profitabilitas.

Dalam laporan tersebut juga terungkap bahwa investasi untuk perusahaan tahap awal mengalami peningkatan.

Sementara untuk perusahaan yang masuk dalam kategori pendanaan tahapan lanjutan, cukup terkena imbas. Salah satu alasannya karena perusahaan pra-IPO berjuang untuk membangun rekam jejak pertumbuhan yang menguntungkan. Di sisi lain untuk growth stage mulai dari H12021-H12022 mengalami peningkatan investasi yang cukup tinggi.

Pendanaan dengan nominal yang besar banyak dikucurkan di regional, bahkan beberapa investor bersedia untuk terlibat dalam pendanaan berikutnya terutama untuk perusahaan yang terakselerasi selama pandemi. Terkait dengan valuasi, kebanyakan pemodal ventura berharap valuasi akan terus berkurang; hanya sebagian kecil yang melihat pemulihan dalam waktu dekat.

Dalam laporan tersebut juga dirilis beberapa perusahaan yang akan mencapai target kepada financial sustainability. Di antaranya adalah Grab pada H12023, GoTo pada Q12024, Bukalapak pada H22024, dan Shopee pada tahun 2023.

Willson Cuaca Unicorn

Willson Cuaca: Startup di Asia Tenggara Tidak Akan Bisa Menjadi Unicorn Tanpa Indonesia

Pada sesi BUMN Startup Day 2022 Senin (26/9) kemarin, Co-founder dan Managing Partner East Ventures Willson Cuaca membagikan banyak pandangan dengan gaya khasnya, yakni melalui analogi-analogi unik.

Pandangan-pandangan ini masih berkaitan dengan potensi ekonomi digital di Indonesia dan perubahan industri startup Indonesia di era pra dan pasca-pandemi Covid-19.

Tren yang muncul dari pandemi

Willson menilai terjadinya inflection point cukup berdampak terhadap perkembangan industri startup di Indonesia. Jika dulu startup bisa membutuhkan waktu hingga enam bulan untuk mendapat sekitar 30.000 unduhan aplikasi, kini startup bisa mencapai satu juta unduhan hanya dalam satu bulan.

Implikasi lainnya, pandemi Covid-19 mengubah perilaku pengguna dan mempercepat bagaimana proses edukasi pasar. Alhasil, adopsi digital tak hanya terjadi pada early adopter saja, tetapi justru lebih dari itu. Kalangan orang tua yang cenderung bukan digital native, bahkan bisa menggunakan aplikasi Zoom.

Kemudian, ia juga mengidentifikasi dua jenis model bisnis startup selama masa pandemi ini. Pertama, startup yang dapat solving problem pada pra dan pasca-pandemi. Kedua, startup yang seolah-olah model bisnisnya hanya cocok di masa lockdown pandemi saja.

Kendati demikian, ia menekankan ada atau tidaknya pandemi Covid-19, ekonomi digital Indonesia akan tetap bertumbuh. Era pra dan pasca-pandemi justru akan menentukan bagaimana suatu startup dapat bertahan dan tetap relevan. Maka itu, penting untuk melihat apakah problem statement yang dikembangkan oleh dapat bertahan selama pandemi atau pasca-pandemi.

Membangun bisnis teregulasi dan beretika

Di masa awal fenomena investasi startup, Willson menyebut VC memulai dengan blank paper mengingat bisnisnya masih tergolong baru. VC terbilang tidak didukung dengan data, hanya sebatas ide. Lalu, sebagai venture capitalist, bagaimana Willson menuntut pertumbuhan dari portofolio startup yang bisnisnya belum teregulasi? Bagaimana membuat keputusan bahwa mungkin sebuah startup dapat mencapai kesuksesan suatu hari?

Ia menilai, setiap pelaku startup tetap harus mengejar pertumbuhan, tetapi dalam lingkungan yang teregulasi. Bagaimana pun juga VC mengacu pada metrik pertumbuhan tinggi. Maka itu, untuk mencapai hal tersebut, VC perlu membuat semacam playbook sendiri dengan menggunakan sejumlah komponen, seperti Environmental, Social, dan Corporate Governance (ESG).

Komponen tersebut dapat menjadi lensa pengambilan keputusan sehingga investor tidak mengulang kesalahan di masa lalu. Menurutnya, VC perlu meregulasi diri di internal sehingga dapat mendorong startup yang inklusif, win-win solution, dan mampu men-encourage hal-hal positif.

Di samping itu, pelaku startup juga perlu mengambil risiko, tetapi tetap membangun bisnis beretika. Penting untuk digarisbawahi, bagi Willson startup harus bisa menguasai bisnisnya sendiri sebelum mendisrupsi.

“Mantra startup ‘lebih baik minta maaf, daripada minta izin’ masih berlaku. Analoginya begini, apa perbedaan U-turn di Singapura dan Indonesia? Di Singapura, orang melihat tanda dulu, baru belok. Artinya, mereka berinovasi dalam kerangka tertentu. Di Indonesia, mereka mencari yang tidak ada tanda, lalu belok. Mereka berinovasi dulu dan tidak dalam suatu kerangka karena kerangkanya belum tentu ada–tetapi tetap sesuai etika,” paparnya.

Learn how to learn

Willson mengungkap bahwa Indonesia sedang menuju masa keemasan digital dengan potensi sangat besar. Ia membandingkan PDB per kapita di India hanya sekitar $1.000, padahal populasinya menembus 1,4 miliar jiwa. Namun, PDB per kapita Indonesia justru mencapai $4.000 dengan populasi 250 juta. Artinya, spending di Indonesia lebih banyak sehingga potensi startup untuk menjadi profitable juga lebih besar.

“Kita tidak boleh low self-esteem dari negara lain. Investor di India dan Korea Selatan berbondong-bondong ke Indonesia karena kita ekosistem terbesar di Asia Tenggara. Nilai ekonomi digital di Asia Tenggara sekitar Rp2 triliun, Indonesia sumbang Rp1 triliun. Startup di Asia Tenggara tidak akan bisa jadi unicorn tanpa Indonesia. Setidaknya harus punya sedikit [kontribusi pasar] dari Indonesia. Kita harus percaya diri,” ujarnya.

Pertumbuhan ekonomi digital tersebut bukan terjadi dalam semalam saja. Menurutnya, tanpa sadar Indonesia telah membangun infrastruktur digital selama satu dekade, mulai dari e-commerce, payment gateway, warehouse, hingga last mile delivery.

Dengan perkembangan infrastruktur yang semakin matang, startup justru lebih mudah memonetisasi bisnisnya karena memanfaatkan berbagai API yang sudah ada. Willson juga menekankan agar founder tidak terlena dan tetap terus belajar seiring berkembangnya bisnis mereka.

“Dalam skala 0 sampai 1.000, 1.000 sampai 10.000, hal yang terpenting buat founder adalah kemampuan belajar. Ketika founder membuat produk, mereka harus belajar leadership, governance, atau management. Ketika startup mencapai skala 1.000, founder harus belajar corporate structure sampai people culture. Ketika mencapai skala 10.000, founder tidak lagi terlibat di operasional, mereka harus menjadi visioner,” tuturnya.

East Ventures Digital Competitiveness Index 2021

East Ventures Paparkan Pemetaan Daya Saing Digital Indonesia di 2021

East Ventures (EV) kembali merilis edisi kedua laporan Digital Competitiveness Index (DCI) yang memetakan daya saing digital pada 34 provinsi dan 25 kota di Indonesia. Laporan ini banyak menyoroti bagaimana pandemi Covid-19 mengakselerasi digitalisasi di Indonesia secara signifikan.

Salah satunya adalah kenaikan penetrasi internet yang luar biasa. Dalam laporannya, EV-DCI menyebutkan bahwa pengguna internet Indonesia bertambah 25 juta hanya dalam kurun waktu delapan bulan (Mei-Desember 2020). Sementara, Indonesia membutuhkan 10 tahun sejak 2009 hingga 2019 untuk mendapatkan 30 juta pengguna internet menjadi 167 juta.

Menurut Co-Founder & Managing Partner East Ventures Willson Cuaca, pertumbuhan ekonomi digital Indonesia akan sulit dikebut apabila infrastrukturnya tidak merata. Jika infrastruktur dan layanan digital tersebar di setiap provinsi, Indonesia dapat ‘menyetir’ ekonomi digital dengan baik.

“Ibarat dalam ketapel, ekonomi digital kita adalah bola. Gara-gara Covid-19, bola ketapel kita tertahan ke belakang. Di sini terjadi akumulasi power di mana pelaku startup disiplin dan merespons situasi dengan baik. Dengan infrastruktur yang dibangun bertahun-tahun dan populasi internet bertumbuh, potensi ekonomi digital kita terkumpul dalam peregangan ketapel. Artinya, bola ini akan melesat begitu situasi Covid-19 mereda,” ujarnya dalam paparan virtual EV-DCI.

Gambaran analogi ketapel yang disampaikan Willson dalam pemaparannya / East Ventures

Untuk memetakan daya saing digital tersebut, EV-DCI menggunakan pengukuran yang mengacu pada sembilan metode pada tiga pilar, antara lain input (sumber daya manusia, penggunaan TIK, pengeluaran TIK), output (perekonomian, kewirausahaan & produktivitas, ketenagakerjaan), dan penunjang (infrastruktur, keuangan, regulasi & kapasitas pemerintah daerah).

Skor daya saing digital Indonesia

Secara keseluruhan, indeks daya saing digital Indonesia di 2021 berada di angka tengah 32,05 atau meningkat dari skor sebelumnya 27,92 di 2020. Ada beberapa temuan yang disoroti dari capaian indeks ini.

Pertama, skor pada pilar SDM semakin melandai dari 77,3 poin di 2020 menjadi 58,4 poin di 2021. Artinya, daya saing ke-34 provinsi dalam menyiapkan SDM semakin merata. Pada pilar infrastruktur digital, laporan ini mencatat kenaikan signifikan hingga 7,5 poin dari semula 46,8 poin di 2020 menjadi 54,3 di 2021.

Secara keseluruhan, DKI Jakarta masih mengungguli provinsi dengan daya saing digital terbesar. Namun, kali ini Bali dan Riau sama-sama naik tiga peringkat dengan masing-masing ke posisi empat dan tujuh di tahun ini. Kenaikan ini dipicu oleh peningkatan infrastruktur internet yang semakin menjangkau pedesaan sehingga mendorong pertumbuhan usaha.

“Alasan kenaikan skor di Riau adalah karena konsentrasi di SDM semakin membaik. Kerja sama Indonesia dan Singapura untuk membangun Nongsa Digital Park di Batam otomatis memberikan spillover effect sehingga mendorong pertumbuhan talenta digital. Demikian juga di Bali yang kini menjadi destinasi digital nomad yang bekerja remote, baik di Thailand, Malaysia, atau negara lain. Makanya ada pergerakan ekonomi yang signifikan di sana,” jelasnya.

Kendati demikian, ketimpangan digital masih sangat terasa di luar Jawa. EV-DCI melaporkan bahwa hampir semua wilayah Indonesia, kecuali Jawa, terwakili dalam sepuluh provinsi dengan daya saing terendah. Ada tujuh provinsi non-Jawa di posisi ini antara lain Kepulauan Bangka Belitung, Lampung, Aceh, Kalimantan Tengah, Nusa Tenggara Timur, Papua Barat, Kalimantan Barat, Maluku Utara, Sulawesi Barat, dan Papua

Pentingnya akses dan SDM

Dari sejumlah laporan yang disoroti di atas, Willson menekankan bahwa akses dan SDM menjadi salah satu elemen penting dalam meningkatkan daya saing digital. Misalnya, daerah membuka akses investasi dari luar.

Di luar itu, ada juga variabel lain yang dapat mendorong daya saing digital per daerah, seperti pengembangan edukasi dan kapabilitas. Willson menilai bahwa penyerapan digital terhadap UMKM bisa lebih cepat apabila setiap wilayah di Indonesia memiliki SDM yang baik. Artinya, ada akselerasi yang membuat output menjadi lebih besar.

“Pemerataan digital itu tidak berkaitan dengan keharusan memiliki startup di setiap wilayah. Startup itu pasti terkonsentrasi di kota besar seperti Jakarta, tetapi mereka bisa membuka cabang tanpa harus menunggu di daerah itu ada startup baru. Apa yang dibangun di Jakarta dapat dipakai tempat lain, makanya jalannya harus dibangun supaya bisa kencang dan dinikmati,” jelas Willson.

Dampak pandemi

Transportasi dan travel online menjadi dua sektor yang terdampak signifikan akibat Covid-19. Dampak ini terlihat dari jumlah kunjungan per Januari 2020 yang mencapai 1,29 juta kunjungan, anjlok 89% menjadi 141.269 per Januari 2021.

Kendati demikian, perubahan pola masyarakat Indonesia ke perjalanan domestik diprediksi mendongkrak bisnis OTA hingga lima kali lipat di 2025. Terutama dengan distribusi vaksin lebih luas, confidence level terhadap bisnis OTA akan perlahan-lahan pulih.

Di sisi lain, dampak positif juga dialami pada sektor lain, seperti infrastruktur digital, e-commerce, dan edtech. Pada kasus Tokopedia, unicorn ini mengantongi sebanyak 2,5 juta merchant di sepanjang 2020. Padahal, Tokopedia membutuhkan waktu 10 tahun untuk mendapatkan 7 juta merchant.

“Semua bisnis dipaksa online karena tidak bisa jualan offline saat pandemi. Makanya pengeluaran pulsa juga turut naik. Di Indonesia, ada 30 juta pengguna internet baru yang pertama kali bertransaksi di e-commerce selama masa pandemi. Tetapi, apakah setelah go online, ekonomi digital bisa langsung melesat? Di sini mengapa O2O penting. Behavior akan tetap stay, begitu vaksin didistribusikan, offline dan online jalan, akselerasi akan lebih cepat,” katanya.

Tren digital selanjutnya

Willson juga mengungkap beberapa tren digital selanjutnya yang bakal semakin terakselerasi karena Covid-19. Pertama, sektor yang berkaitan dengan media (game, media sosial, video, etc) akan semakin meningkat dan mendorong terciptanya kategori baru, yakni creator economy.

“Semua orang bisa menciptakan konten sendiri ke depannya sejalan dengan tren perilaku konsumen yang beralih dari [konsumsi] TV. Eyeball semua tadinya di TV, kini konsumen bisa [menciptakan] konten mengikuti tren pasar,” tutur Willson.

Selanjutnya adalah tren investasi di dompet digital. Menurutnya, bisnis dompet digital sudah mendominasi pasar Indonesia. Jika bicara investasi ke dompet digital, tren ini dinilai tak lagi menarik. “Justru yang menarik adalah bagaimana isi dompetnya. Makanya, semua [pelaku startup] masuk ke bank digital,” ucapnya.

Terakhir, konsep remote working dan Work From Home (WFH) yang sudah mulai terbiasa diadaptasi perusahaan selama masa pandemi, akan semakin meningkatkan adopsi Software-as-a-Service (SaaS), misalnya cloud based computing.

Indonesia’s Digital Economy Growth in 2020

Google, Temasek, and Bain & Company released their annual report “e-Conomy SEA 2020” to review the development of digital or internet business in Southeast Asia. The headline for this is “At full velocity: Resilient and racing ahead” – indicating how the ambitions of digital players survive and try to maintain growth amid the global economic downturn.

There are 7 highlighted digital sectors. Apart from the existing ones, e-commerce, transport & food, online travel, online media, and financial services; This year the research added two new business landscapes, healthtech and edtech – because both are experiencing significant growth amid the Covid-19 pandemic.

The pandemic has drove internet penetration in the region, with an estimated 40 million new users in 2020. Therefore, there are around 400 million internet users in total in Southeast Asia – equivalent to 70% of the total population. The existence of social restrictions forms a new culture, such as work/school activities from home, resulting in a drastic increase in consumption of digital services.

One quite interesting issue is that in Indonesia has 56% of total digital service consumers this year come from outside the metro area, while the remaining 44% are still from around the urban area. It is said, digital development is currently still Jabodetabek-centric; and this cannot be denied because there is a significant gap between metro and non-metro areas in terms of accessibility to infrastructure.

Gross Merchandise Value (GMV) is the matrix used to measure economic units in this report; that is, indicating the value of transactions/sales that occur within a certain period of time by the user. The GMV for the internet economy in Southeast Asia (accumulating value from the 7 highlighted sectors) is projected to exceed $100 billion. Indonesia will contribute $44 billion or the equivalent of 621 trillion Rupiah.

In Indonesia, most of  our GMV comes from e-commerce services, amounting to $32 billion, followed by transportation & food platforms worth $5 billion, online media $4.4 billion, and online travel $3 billion.

Validation for digital economy direction

Recently, APJII has released the latest report regarding internet user statistics in Indonesia. Specifically in 2020, there are approximately 25 million new internet users in the country (increasing by 8.9% compared to last year). Indonesia’s domination in many of the Google-Temasek-Bain & Company reports has also validated that Indonesia is on the right track in building its digital economy.

Although quite a few also say that Indonesia’s digital economy phase is still in “early stage”, at least the foundations are well formed. Looking back over the past decade, e-commerce and ride-hailing businesses have been able to become good industrial engines, they have expanded the scope of digital savvy in Indonesia – both from consumers and SMEs. The implication is that new (digital) business models are getting quickly accepted.

Covid-19 has also had a very visible impact. Some business sectors have been hit hard, for example online travel, but from there we can see how digital service providers are able to adapt quickly. Take, for example, the fast action of OTA to save businesses by aggressively promoting domestic transportation services or the “staycation” vacation model. So it is not surprising that in the statistics of the e-Conomy, the OTA platform still has a significant position.

On the other hand, the pandemic is actually ripening the level of digital adoption in society. The benefits for digital players may be seen at a later time. When the community lockdown starts to get used to shopping, studying, consulting health online, this will become new permanent habits. Especially when the platform is able to accommodate these needs, therefore, it brings a more pleasant impression.

In our internal records, funding to digital startups have also continued to pour during this pandemic. This indicates a good trend regarding investor trust in Indonesia’s  business players – amidst a recession and increased risk of failure due to economic dynamics. This momentum certainly needs to be maintained to ensure that the Indonesian startup ecosystem continues to grow, and realize the nation’s vision to lead the Asian digital economy.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian
Gambar Header: Depositphotos.com

Ekonomi Digital Indonesia 2020

Perkembangan Ekonomi Digital Indonesia Tahun 2020

Google, Temasek, dan Bain & Company kembali merilis laporan tahunan mereka “e-Conomy SEA 2020” yang mengulas tentang perkembangan bisnis digital atau internet di Asia Tenggara. Kali ini, judul yang diambil adalah “At full velocity: Resilient and racing ahead” — mengindikasikan bagaimana ambisi pemain digital bertahan dan mencoba menjaga pertumbuhan di tengah keterpurukan ekonomi global.

Ada 7 sektor digital yang disorot. Selain yang sudah ada sebelumnya, yakni e-commerce, transport & food, online travel, online media, dan financial services; tahun ini riset menambahkan dua lanskap bisnis baru yakni healthtech dan edtech — karena keduanya mengalami pertumbuhan signifikan di tengah pandemi Covid-19.

Pandemi juga mendorong penetrasi pengguna internet di regional, tercatat ada sekitar 40 juta pengguna baru di tahun 2020. Sehingga secara total di Asia Tenggara ada sekitar 400 juta pengguna internet — setara dengan 70% dari total populasi. Adanya pembatasan sosial membentuk kultur baru seperti kegiatan bekerja/sekolah dari rumah, memberikan dampak pada konsumsi layanan digital meningkat derastis.

Satu hal yang cukup menarik, di Indonesia 56% dari total konsumen layanan digital tahun ini datang dari luar area metro, sementara sisanya yakni 44% masih dari seputaran area metro. Sehingga bisa dikatakan, sampai saat ini perkembangan digital memang masih Jabodetabek-sentris; dan itu tidak dimungkiri karena ditinjau dari aksesibilitas sampai infrastruktur memang ada jenjang yang cukup signifikan antara area metro dan non-metro.

Gross Merchandise Value (GMV) jadi matriks yang digunakan untuk mengukur unit ekonomi dalam laporan ini; yakni mengisyaratkan pada nilai transaksi/penjualan yang terjadi dalam kurun waktu tertentu oleh pengguna. GMV untuk ekonomi internet di Asia Tenggara (mengakumulasi dari nilai yang didapat dari 7 sektor yang disorot) diproyeksikan akan melebihi $100 miliar. Indonesia akan memberikan sumbangsih $44 miliar atau setara 621 triliun Rupiah.

Di Indonesia, mayoritas GMV masih disokong oleh layanan e-commerce, yakni sebesar $32 miliar, disusul platform trasport & food senilai $5 miliar, online media $4,4 miliar, dan online travel $3 miliar.

Validasi baik untuk arah pertumbuhan ekonomi digital

Belum lama ini, APJII juga baru merilis laporan terbarunya terkait statistik pengguna internet di Indonesia. Spesifik di tahun 2020, kurang lebih ada 25 juta pengguna internet baru di tanah air (naik 8,9% dibanding tahun lalu). Berbagai dominasi Indonesia di banyak bahasan laporan Google-Temasek-Bain & Company turut memvalidasi Indonesia sudah berada di jalur yang benar dalam membangun ekonomi digitalnya.

Kendati tidak sedikit juga yang mengatakan bahwa fase ekonomi digital Indonesia masih “early stage”, setidaknya fondasinya sudah terbentuk dengan baik. Mengamati kembali pada satu dekade ke belakang, bisnis e-commerce dan ride-hailing mampu menjadi lokomotif industri yang baik, mereka memperluas cakupan digital savvy di Indonesia – baik dari kalangan konsumer maupun UKM. Implikasinya berbagai model bisnis (digital) baru lebih cepat diterima.

Covid-19 juga memberikan dampak yang sangat kasat mata. Beberapa sektor bisnis memang sangat terpukul, misalnya online travel, namun dari sana pula kita bisa melihat bagaimana penyelenggara layanan digital mampu beradaptasi cepat. Ambil contoh, gerak cepat OTA menyelamatkan bisnis dengan gencar mempromosikan layanan transportasi domestik atau model liburan “staycation”. Sehingga tidak mengherankan dalam statistik e-Conomy platform OTA masih punya posisi signifikan.

Di sisi lain, pandemi sebenarnya tengah mematangkan tingkat adopsi digital masyarakat. Keuntungannya bagi pemain digital mungkin bisa terlihat di kemudian hari. Saat lockdown masyarakat mulai membiasakan berbelanja, belajar, berkonsultasi kesehatan secara online, bisa jadi ini akan menjadi kebiasaan-kebiasaan baru yang bersifat seterusnya. Apalagi jika platform mampu mengakomodasi kebutuhan tersebut dengan baik, sehingga membawakan kesan yang lebih menyenangkan.

Dalam catatan internal kami, sepanjang pandemi ini transaksi pendanaan ke startup digital juga masih terus mengalir tanpa adanya perlambatan. Mengindikasikan tren baik terkait kepercayaan investor terhadap pelaku bisnis di Indonesia – di tengah resesi dan risiko kegagalan yang meningkat akibat dinamika ekonomi. Momentum ini tentu perlu dijaga untuk memastikan ekosistem startup Indonesia terus bertumbuh, dan merealisasikan visi bangsa untuk memimpin ekonomi digital Asia.

Gambar Header: Depositphotos.com

Daya saing digital Indonesia masih terbilang rendah menurut laporan East Ventures - Digital Competitiveness Index (EV-DCI)

Laporan East Ventures: Daya Saing Digital Masih Rendah, Startup Didorong Masuk ke Pelosok

Daya saing digital Indonesia masih terbilang rendah menurut laporan East Ventures – Digital Competitiveness Index (EV-DCI) dengan indeks rata-rata 27,9 untuk 34 provinsi. Jakarta menjadi provinsi dengan indeks tertinggi (79,7), sementara Papua menempati urutan terakhir (17,7).

Laporan ini merupakan alat untuk mengukur kondisi ekonomi digital di wilayah Indonesia berdasarkan tiga aspek. Masing-masing aspek ini memiliki tiga pilar yang menjadi alat ukur EV-DCI, dengan turunan data pendukung yang diambil dari lembaga resmi.

Aspek input yang mencakup sejumlah pilar utama yang mendukung terciptanya ekonomi digital. Tiga pilarnya adalah SDM, penggunaan ICT, pengeluaran untuk ICT. Aspek output untuk menggambarkan sejumlah pilar terkait ekonomi digital yang dihasilkan. Tiga pilarnya adalah perekonomian, kewirausahaan dan produktivitas, dan ketenagakerjaan.

Terakhir, aspek penunjang yang mendukung secara tidak langsung pengembangan ekonomi digital. Tiga pilarnya adalah infrastruktur, keuangan, regulasi dan kapasitas pemda.

Persebaran Skor EV-DCI / East Ventures
Persebaran Skor EV-DCI / East Ventures

Dari sembilan pilar ini, kesiapan Indonesia dalam ekonomi digital terlihat dari pilar penggunaaan ICT dengan skor tertinggi. Penggunaan ICT yang dimaksud terdiri dari kepemilikan smartphone, komputer, dan besarnya akses internet dari masing-masing daerah.

Kondisi ini sejalan dengan pilar infrastruktur yang merupakan bagian dari aspek penunjang, berada di posisi kedua. Sementara, dua pilar terendah adalah SDM dan kewirausahaan. Bila diterjemahkan, Indonesia masih menghadapi persoalan keterbatasan SDM yang terampil dalam ekonomi digital.

Wilayah Jawa memiliki daya saing digital terbaik, semua provinsinya menempati posisi 10 besar. Dilihat dari sub-indeks input dan output, hampir semua provinsi di Indonesia memiliki skor output yang lebih rendah daripada input.

Hal ini mengindikasikan daerah-daerah di Indonesia belum dapat mengoptimalkan input dalam hal SDM, penggunaan dan pengeluaran ICT, menjadi output dalam hal perekonomian, kewirausahaan, dan tenaga kerja. Kondisi ini tercermin dari NTB dan Papua yang punya output lebih besar daripada input.

Urutan provinsi dengan indeks EV-DCI terbaik hingga terendah / East Ventures
Urutan provinsi dengan indeks EV-DCI terbaik hingga terendah / East Ventures

Yogyakarta menjadi provinsi dengan jarak cukup jauh antara input dan output. Artinya, provinsi ini punya sumber daya besar, tapi belum dimanfaatkan secara optimal untuk mendorong ekonomi digital. Hal yang sama juga terjadi untuk Kalimantan Timur, Bali, Kepulauan Riau, dan Bangka Belitung.

Selain membahas penggunaan digital dan literasinya, laporan ini juga membahas pekerjaan-pekerjaan apa saja yang akan hilang karena ekonomi digital. Juga memperkirakan pekerjaan baru apa saja yang akan muncul untuk meningkatkan kapabilitas suatu orang.

Langkah selanjutnya untuk stakeholder

Managing Director East Ventures Willson Cuaca menjelaskan EV-DCI bisa menjadi peta berikutnya untuk para penggiat startup dalam melebarkan bisnisnya secara tepat guna. Untuk startup yang skalanya sudah besar bisa didorong untuk masuk ke daerah yang potensi digitalnya masih gersang agar literasi digitalnya tinggi.

Akan tetapi, untuk startup baru, menerjemahkan laporan ini bukan dengan masuk ke lokasi yang gersang. Menurutnya startup itu butuh ekosistem sendiri, beberapa di antaranya butuh jumlah penduduk yang tepat, akses ke investor, infrastruktur ICT, hingga bandara udara.

“Ibaratnya sama seperti menanam pohon. Tidak semua jenis pohon bisa ditanam di tanah yang sama karena harus ada ekosistemnya,” terangnya.

Dia menerangkan, East Ventures punya teori yang menyebutkan bahwa startup itu baru akan jalan ketika masuk ke daerah dengan populasi minimal 7 juta orang. Asumsi angka ini dilihat dengan mengambil rata-rata kasar jumlah usia muda, diperkirakan ada 20%.

Dari angka ini diperkirakan, pengguna internet ada separuhnya sekitar satu juta. Artinya, ini adalah potensi pengguna yang bakal memakai produk apabila merilis suatu aplikasi. “Kalau populasinya hanya 70 ribu orang, maka target penggunanya akan semakin kecil.”

Teori ini melihat dari kesuksesan California dengan Silicon Valley yang punya populasi di atas 7 juta. Tokyo diperkirakan punya 14 juta populasi, sementara hampir sepertiga dari populasi di Korea Selatan terpusat di Seoul.

“Jadi berdasarkan teori ini mungkin buat startup di Surabaya kemungkinan gagalnya tinggi, harus beralih ke Jakarta.”

Menurutnya, apabila teori ini tidak tepat maka kenyataannya Silicon Valley akan ada banyak di berbagai negara. Tapi kenyataan ini tidak terjadi. Selain Jakarta, belum ada startup dari daerah yang terlihat paling menonjol.

Willson juga membuka kesempatan untuk mengelaborasi lebih jauh dari hasil laporan EV-DCI ini karena ada banyak turunan yang bisa dibahas. Salah satunya adalah fakta mengenai tingginya indeks persebaran layanan fintech di suatu lokasi, sejalan dengan penurunan kantor cabang.

Kondisi ini bisa dibuat suatu prediksi oleh bank dan regulator di mana lokasi penutupan berikutnya. Agar bank tersebut bisa fokus ke hal lain.

“Kita enggak mau berhenti [sebar luaskan laporan] di sini saja, mau teruskan ke luar negeri. Sehingga orang tahu negara kita seperti apa, agar semakin banyak orang yang masuk ke Indonesia untuk berinvestasi,” pungkasnya.