Tag Archives: digital happiness

Membuat Game Bernuansa Indonesia. Berkah atau Bencana?

Ketika saya masih SMP, saya tertarik dengan sejarah Tiga Kerajaan di Tiongkok karena memainkan game Dynasty Warriors. Saat itu, terbersit sedikit rasa bersalah dalam hati saya karena saya lebih familier dengan tokoh-tokoh di Tiga Kerajaan daripada pahlawan Indonesia. Namun, apa boleh buat, pada tahun 2000-an, tidak ada game yang membahas sejarah Indonesia.

Sekarang, industri game di Indonesia sudah jauh lebih berkembang. Tidak hanya jumlah developer game Indonesia yang bertambah, kualitas game buatan developer lokal juga semakin baik. Dengan begitu, semakin banyak pula game-game yang memiliki unsur khas Indonesia di dalamnya. Salah satunya adalah Tirta dari Agate.

 

Tirta

Tirta adalah game terbaru yang tengah Agate garap. Game yang diperkirakan akan diluncurkan pada 2022 ini akan fokus pada kebudayaan masyarakat Bali. Dalam game ini, Anda akan bermain sebagai seorang priestess yang harus menjelajah Bali dan pulau-pulau di sekitarnya untuk melakukan ritual. Dalam perjalanannya, dia harus mengatasi berbagai masalah yang mengancam keberadaan makhluk dan binatang mistis yang ada di Bali.

Menggunakan keahlian bela diri dan sihir elemental, para pemain akan diminta untuk mengalahkan beragai monster. Di Tirta, para gamer juga akan menghadapi berbagai puzzle saat mereka menjelajah Bali. IGN menyebutkan, dari segi gameplay, Tirta mengingatkan mereka akan Legend of Zelda: Breath of the Wild. Memang, di Tirta, para pemain juga akan bisa menjelajah Bali untuk mencari tahu tentang lore dalam game.

Namun, tentu saja, Tirta akan tampil beda dari Breath of the Wild. Pasalnya, di Tirta, Agate sengaja untuk menonjolkan unsur budaya Bali. “Tirta membawa tema dan cerita yang unik bagi dunia, yang dirancang berdasarkan legenda Indonesia. Tema ini ditunjukkan salah satunya melalui grafis yang cantik agar menonjolkan karakter dan arsitektur yang terinspirasi budaya lokal,” kata Cipto Adiguna, VP of Consumer Games, Agate.

Lebih lanjut, Cipto menjelaskan, alasan Agate membuat game dengan unsur budaya Indonesia yang sangat kental adalah karena mereka ingin memamerkan kemampuan dan budaya Indonesia di hadapan dunia. “Banyak orang asing yang belum mengenal Indonesia, baik dalam hal budayanya maupun bahwa kita memiliki talenta game development yang kuat. Tirta dibuat dengan impian menancapkan bendera Indonesia dan memperkenalkan kemampuan kita pada dunia,” ujarnya.

Meskipun begitu, Agate juga ingin memastikan bahwa Tirta tetap relevan dengan pasar global. Karena itulah mereka memilih untuk menampilkan budaya Bali, yang memang sudah sangat dikenal di kalangan turis mancanegara. Memang, bagi sebagian orang asing, nama Bali lebih familier daripada Indonesia.

Di Tirta, Anda akan bermain sebagai priestess. | Sumber: IGN
Di Tirta, Anda akan bermain sebagai priestess. | Sumber: IGN

Cipto mengungkap, ide dan konsep untuk Tirta muncul pada akhir 2018. Sementara proses pembuatan teknis dari game tersebut baru dimulai pada awal 2019. Saat ini, ada delapan orang yang sedang mengerjakan Tirta. “Jumlah ini dirasa ideal untuk bergerak cepat dan mencoba banyak ide baru,” ujar Cipto melalui pesan singkat. “Jumlah anggota tim direncanakan bertambah ketika game masuk tahap produksi.”

Keputusan Agate untuk menjadikan budaya Bali sebagai tema utama dari game terbarunya — yang akan tersedia di PC, PlayStation 4 dan 5, serta Nintendo Switch — membuat saya bertanya-tanya…

 

Perlukah Memasukkan Konten Lokal Dalam Game?

Agate bukan satu-satunya developer Indonesia yang pernah memasukkan unsur kearifan lokal ke dalam game-nya. Ada beberapa developer lain yang juga sukses menyelipkan konten khas Indonesia di game buatan mereka. Salah satunya adalah Digital Happiness. Dengan DreadOut, developer asal Bandung itu sukses membuat game horor dengan cita rasa lokal, menampilkan hantu-hantu khas Indonesia, seperti pocong dan kuntilanak.

Saya lalu menghubungi Rachmad Imron, CEO Digital Happiness, menanyakan tentang alasan mereka untuk menonjolkan konten lokal di DreadOut. Imron menjelaskan, salah satu alasan Digital Happiness adalah karena ketika itu, belum ada game horor yang fokus pada cerita mistis lokal. Jadi, menampilkan konten khas Indonesia justru membuat DreadOut tampil unik.

“Kami pikir, kalau head-to-head perang teknologi dengan developer asing, kita pasti kalah. SDM dan experience juga pasti kalah, karena industri game mereka sudah berkembang selama puluhan tahun,” kata Imron. “Yang bisa kita lakukan ketika itu ya menggunakan tema konten lokal, hantu domestik, yang tidak dikenal oleh para developer asing.” Dengan begitu, para pemain akan bisa merasakan pengalaman bermain game horor yang berbeda dari game horor kebanyakan.

Meskipun konten lokal justru menjadi keunikan DreadOut, Imron percaya, konten lokal tidak seharusnya menjadi prioritas pertama para developer. “Yang paling penting adalah gameplay itu sendiri. Pada akhirnya, pemain tidak peduli ada atau tidaknya konten lokal dalam game. Mereka akan lebih peduli pada gameplay: gampang atau tidak, seru atau tidak,” jelasnya. “Kami selalu mencoba untuk mengedepankan gameplay terlebih dulu. Adapun memasukkan konten lokal, kita akan coba sesubliminal mungkin, bukan hard sell. Bisa dari setting, kostum, dan lain sebagainya. Intinya, mencari sesuatu yang unik, yang tidak sering dipakai oleh media/developer lain.”

Konten lokal jadi keunikan DreadOut. | Sumber: Steam
Konten lokal jadi keunikan DreadOut. | Sumber: Steam

Contoh lain game buatan developer Indonesia yang mengandung muatan lokal adalah Coffee Talk. Memang, konten khas Indonesia dalam game tersebut tidak segamblang DreadOut atau Tirta, tapi Coffee Talk tetap menyisipkan konten lokal dalam bentuk resep minuman khas Indonesia.

Mohammad Fahmi, kreator game indie dan yang dulu jadi penulis skenario Coffee Talk punya pendapat yang sama dengan Imron. Perlu atau tidaknya memasukkan konten khas Indonesia ke dalam game tergantung pada game itu sendiri. Dia menjelaskan, jika developer memaksakan untuk memasukkan konten lokal ke dalam game-nya, hal itu justru bisa membuat konten itu terlihat buruk.

“Idealnya sih, kita bisa dan mau mempromosikan sesuatu yang ada dari kita, seperti budaya. Tapi, perlu juga menentukan penempatan yang pas,” kata Fahmi saat dihubungi oleh Hybrid.co.id. “Jangan sampai niatnya mau mempromosikan budaya lokal, tapi malah jadi bumerang dan membuat game-nya jadi kurang dan pesan yang ingin disampaikan justru tidak tersampaikan dengan baik.”

Senada dengan Fahmi, Program Manager, Asosiasi Game Indonesia, Febrianto Nur Anwari mengungkap, perlu atau tidaknya memasukkan konten lokal dalam game tergantung pada target gamer dari sebuah game. “Konten lokal bisa menjadi penting jika diimbangi dengan riset yang mendalam dan dikemas dengan gameplay yang memang disukai oleh target pasarnya,” kata Febri. “Dengan begitu, developer bisa memperkenalkan konten lokal dan para gamer bisa tetap menikmati konten tersebut.”

 

Tujuan Memasukkan Konten Lokal?

Jika gameplay tetap jadi prioritas pertama bagi developer ketika membuat game, lalu kenapa masih ada developer yang mau memasukkan konten khas Indonesia? Jawaban pertama yang terpikir oleh saya adalah idealisme. Seorang kreator punya hak prerogatif untuk memasukkan idealismenya ke dalam karyanya. Developer bisa saja menyelipkan idealismenya ke dalam game buatannya. Kami pernah membahas masalah game dan idealisme di sini.

Ketika saya menanyakan tentang tujuan developer memasukkan konten lokal dalam game, Imron menjawab, “Hal itu tergantung developer-nya sih. Saya yakin selalu ada developer yang punya idealisme. Namun, semua tetap harus ada pertimbangan ekonomis serta erat dengan strategi marketing-nya.”

Sementara itu, Fachmi mengatakan, developer bisa punya alasan bisnis dan altruistik untuk memasukkan konten lokal dalam game mereka. “Bisa memuaskan idealisme sekaligus menjadikan konten lokal sebagai keunikan game, ini jalur yang indie sekali kan?”

Resep kopi khas Indonesia jadi muatan lokla di Coffee Talk. | Sumber: Steam
Resep kopi khas Indonesia jadi muatan lokla di Coffee Talk. | Sumber: Steam

Sayangnya, tidak semua developer punya tujuan yang “murni” ketika mereka memasukkan konten khas Indonesia ke dalam game mereka. Ada juga developer yang memasukkan konten lokal dengan tujuan untuk memenangkan hati gamer Indonesia dengan embel-embel “buatan Indonesia” atau “game khas Indonesia”. Menurut Febri, hal inilah yang bisa menyebabkan masalah. Pasalnya, jika konten lokal dalam game tidak diimbangi dengan gameplay yang menarik serta kualitas yang baik, hal ini justru akan membuat para pemain kecewa, yang bisa berakhir dengan kehilangan kepercayaan pada developer.

“Biasanya, game yang dibuat hanya karena ‘local pride‘, risetnya kurang mendalam. Dan usianya tidak bertahan lama. Karena, orang-orang tertarik untuk download hanya karena ada bau-bau Indonesia-nya. Ketika mereka memainkan game itu dan ternyata kurang oke, akhirnya mereka justru uninstall,” jelas Febri. Meskipun begitu, tetap ada developer yang mengelu-elukan konten lokal demi memasarkan game mereka. Menurut Febri, hal ini terjadi karena memang masih ada gamer Indonesia yang merasa “bangga” dengan game khas Indonesia. Developer akan bisa dengan mudah memenangkan hati para gamer tersebut selama mereka membuat game dengan unsur khas Indonesia.

“Setahu saya, di forum-forum gamer, masih banyak gamer yang merasa ‘bangga’ dengan game bernuansa Indonesia. Mereka berbagi informasi di grup dan kadang-kadang, mereka menambahkan, ‘Kalau membajak game, game internasional saja, jangan game Indonesia. Game Indonesia harus di-support dengan dibeli atau di-download‘,” ungkap Febri. “Yang membuat game seperti itu (game yang menjual dengan embel-embel “khas Indonesia” — red) biasanya developer-developer baru, yang bisa saja baru pertama kali rilis game, yang ingin berkontribusi mengenalkan budaya Indonesia ke para gamer, walau mereka tidak yakin dengan kualitas game buatan mereka. Tujuannya ya agar game mereka lebih cepat dikenal dan mudah masuk ke komunitas gamer-gamer yang saya sebutkan tadi.”

 

Konten Lokal di Game untuk Audiens Global, Menjual?

Apapun alasannya, memasukkan konten khas Indonesia ke game memang tidak salah. Namun, pada akhirnya, developer game adalah perusahaan yang punya tujuan untuk mendapatkan untung. Untuk itu, developer bisa saja menyasar pasar global dan tidak sekedar pasar Indonesia saja. Hanya saja, mungkinkah developer menyasar pasar global jika mereka memasukkan konten khas Indonesia ke dalam game mereka? Jawaban singkatnya: ya.

“Dengan asumsi target pasar internasional, konten lokal itu bisa memberikan ‘warna’ tersendiri ke karya kita, sesuatu yang buat game kita berbeda dari ribuan game lain yang rata-rata dikembangkan di Amerika Utara, Eropa, atau Asia Timur,” ungkap Fachmi.

Imron juga punya pendapat yang sama dengan Fachmi. Namun, dia mengingatkan, keberadaan konten lokal dalam sebuah game bukanlah jaminan bahwa game tersebut akan laku di pasar global. “Karena ada banyak faktor di formula laku atau tidaknya game di pasar,” ujarnya.

Memasukkan konten “lokal” dari negara-negara tertentu merupakan salah satu strategi developer untuk memenangkan hati para pemain di negara atau kawasan tertentu. Imron memberikan contoh karakter Gatot Kaca dan Nyi Roro Kidul di Mobile Legends atau Gajah Mada dan Tribuana Tungga Dewa di Civilization V. Dalam setiap game Assassin’s Creed pun, Ubisoft biasanya fokus pada satu negara. “Hal ini menunjukkan bahwa developer asing pun menggunakan strategi pelokalan game untuk menggaet pasar-pasar domestik,” ungkapnya.

Satu hal yang harus diingat, ujar Imron, developer harus tetap mengutamakan gameplay. Tujuannya, agar game yang mereka buat tetap relevan dengan audiens global walau game itu mengandung konten lokal dari negara-negara tertentu. “Gameplay first, konten lokal bisa dipikirkan belakangan. Kalaupun bisa, itu akan jadi value lebih bagi pemain,” katanya. “Hal ini juga bisa dilihat dari seri The Witcher, yang menampilkan budaya Polandia, tapi hanya sebagai background dari game itu sendiri. Sementara pada game The Witcher, tidak ada embel-embel ‘based on Poland myth‘.”

Franchise The Witcher hanya menjadikan mitos Polandia sebagai background. | Sumber; Steam
Franchise The Witcher hanya menjadikan mitos Polandia sebagai background. | Sumber; Steam

Baik Tirta maupun DreadOut menjadikan konten lokal sebagai ujung tombak, sesuatu yang membuat kedua game itu unik. Namun, sebenarnya, konten lokal dalam game juga bisa disisipkan dalam hal-hal kecil. Misalnya, di Coffee Talk, Toge Productions memasukkan unsur lokal dengan menyelipkan resep minuman khas Indonesia. Mengingat Coffee Talk bercerita tentang barista, maka konten lokal tersebut akan terasa natural.

Febri memuji cara Toge Productions untuk menyelipkan konten lokal dalam Coffee Talk. “Coffee Talk itu punya setting di dunia fantasi kan, ada elf-nya juga. Tapi, ketika sedang main, pemain tiba-tiba menemukan resep kopi lokal. Mereka jadi surprised dan hal ini justru memberikan impresi yang bagus,” ungkap Febri. Dia bercerita, ada orang asing yang mengaku mencoba untuk membuat kopi jahe karena menemukan resep minuman tersebut dalam Coffee Talk. Hal ini menjadi bukti bahwa Coffee Talk telah sukses untuk memperkenalkan bagian dari Indonesia — dalam hal ini minuman — ke audiens global.

Selain makanan dan minuman, ada banyak cara lain bagi developer untuk menyelipkan konten lokal dalam game mereka. Fachmi menjelaskan, konten khas Indonesia yang bisa dimasukkan dalam game bisa berupa item, senjata, dongeng, musik, tarian, atau bahkan arsitektur. Yang paling penting, dia menegaskan, adalah untuk memastikan konten lokal itu sesuai dengan tema dari game yang sedang dibuat.

“Di game-ku berikutnya, What Comes After, kan setting-nya di kereta, yang sebenarnya KRL, karena cerita ini terinspirasi dari mas-mas yang ketiduran di KRL,” ujar Fachmi. “Tapi, semua kereta lokal itu kan terlihat mirip. Jadi, game ini bisa diinterpretasikan secara bebas mengambil setting lokasi dimana. Karena itu, aku menjual konten Indonesia dalam bentuk lain, yaitu musik.” Dia bercerita, dia menggunakan lagu berbahasa Indonesia dari band Indonesia sebagai musik di trailer dan ending song dari game What Comes After.

 

Sisi Gelap Game dengan Konten Lokal

Konten lokal bisa membuat sebuah game tampil unik. Namun, seperti yang disebutkan oleh Imron, keberadaan konten lokal bukan jaminan sebuah game akan sukses. Dan memang, tidak semua game dengan konten lokal sukses di pasar. Ada juga game-game yang mengusung kearifan lokal tapi berakhir dengan ketidakpastiaan waktu peluncuran.

Salah satu contohnya adalah Boma Naraka Sura. Developer dari game ini mencari pendanaan untuk membuat game tersebut melalui Kickstarter. Proyek Boma Naraka Sura diluncurkan di Kickstarter pada Juli 2015. Satu bulan kemudian, mereka berhasil memenuhi target pendanaan. Secara total, mendapatkan US$28 ribu dari 625 pendukung. Sayangnya, ketika kami mencoba mencari berita tentang peluncuran game tersebut, kami tidak dapat menemukannya.

Pale Blue berhasil memenuhi target pendanaan. | Sumber: Kickstarter
Pale Blue berhasil memenuhi target pendanaan. | Sumber: Kickstarter

Contoh lainnya adalah Pale Blue. Sama seperti Boma Naraka Sura, pendanaan untuk pengembangan game 2D platformer itu dikumpulkan melalui Kickstarter. Proyek untuk mengumpulkan dana pengembangan dari Pale Blue diluncurkan di Kickstarter pada Mei 2014. Pada awalnya, target pendanaan yang ditetapkan oleh developer Pale Blue, Tinker Games, adalah US$48 ribu. Pada akhirnya, mereka berhasil mendapatkan US$59,5 ribu. Namun, pada akhirnya, Tinker Games hanya dapat meluncurkan demo dari game tersebut.

Berdasarkan penelusuran yang kami lakukan, kami menemukan bahwa alasan Pale Blue tak pernah diluncurkan adalah karena Tinker Games telah kehabisan dana sebelum game selesai dibuat. Hal ini bisa terjadi karena mereka tidak memiliki orang yang bertanggung jawab untuk mengatur alur kerja tim, seperti produser, seperti dikutip dari Duniaku. Tak hanya itu, mereka juga tidak punya orang yang mengatur pengeluaran selama proses pengembangan. Hal ini membuat tim developer bekerja tanpa arah. Pada akhirnya, target yang telah ditetapkan oleh tim developer tidak tercapai.

Baik Pale Blue maupun Boma Naraka Sura merupakan game buatan developer lokal yang mencari pendanaan di Kickstarter. Keduanya juga berhasil mencapai target pendanaan. Hal ini menunjukkan bahwa game buatan developer Indonesia — dan mengandung unsur budaya dari Asia Tenggara dalam kasus Boma Naraka Sura — diminati jika dikemas dengan baik. Sayangnya, kedua game itu tak pernah dirilis ke pasar. Dalam kasus Pale Blue, hal ini terjadi karena keteledoran developer dalam manajemen proyek.

 

Kesimpulan

Dari sini, saya menyimpulkan, kesuksesan sebuah game tidak ditentukan oleh ada atau tidaknya konten lokal dalam game tersebut. Kualitas game tetap menjadi tolok ukur nomor satu. Konten lokal hanyalah “vitamin tambahan”, menurut Fachmi. Sementara Febri menekankan pentingnya manajemen proyek bagi developer dalam mengembangkan game. Karena, jika tidak hati-hati, developer bisa kehabisan dana sebelum proses pengembangan selesai.

“Seperti mobil yang kehabisan bensin di tengah jalan,” ujar Febri.

Panjang Lebar Soal Tantangan Adaptasi Game ke Film

Ada stigma yang melekat pada film adaptasi dari video game. Tidak heran mengingat kebanyakan film adaptasi game menuai banyak kritik dan dianggap gagal. Memang, dari puluhan film adaptasi game dalam daftar Wikipedia, hanya ada 4 film yang mendapatkan skor di atas 50 persen pada Rotten Tomatoes, situs agregasi review film.

Memang, selera adalah masalah subjektif. Film yang saya sukai juga tak melulu mendapatkan review gemilang. Meskipun begitu, skor di Rotten Tomatoes atau situs agregasi lain seperti Metacritic adalah sesuatu yang bisa dihitung, sehingga bisa dijadikan sebagai tolak ukur. Dan kebanyakan film adaptasi game mendapatkan skor rendah. Hal ini memunculkan pertanyaan:

Kenapa Kebanyakan Film Adaptasi Game Gagal?

Paul Dergarabedian, Senior Media Analyst, Comscore mengatakan, sulit untuk memperkirakan apakah sebuah film adaptasi game akan sukses atau tidak. Ada beberapa film adaptasi game yang dianggap cukup sukses, seperti Tomb Raider dan The Angry Birds Movie. Namun, juga ada banyak film yang gagal, meski biaya produksinya besar.

Menariknya, meskipun sebuah film adaptasi game dianggap mengecewakan di mata kritikus, terkadang, film tersebut tetap bisa meraup pemasukan besar. Misalnya, Warcraft (2016). Film tersebut memiliki skor 28 di Rotten Tomatoes. Namun, film itu sangat populer di Tiongkok sehingga ia berhasil mendapatkan US$439 juta. Sementara Assassin’s Creed (2016), yang memiliki skor 18 persen, bisa mendapatkan US$240 juta. Menurut Dergarabedian, potensi pemasukan besar ini menjadi justifikasi bagi studio film untuk terus membuat film adaptasi game meski telah banyak film adaptasi yang dicap gagal.

Game Warcraft memiliki lore yang kompleks.
Game Warcraft memiliki lore yang kompleks.

Dalam membuat film adaptasi game, menyajikan cerita yang menarik menjadi prioritas utama. Masalahnya, game lawas biasanya tidak memiliki cerita yang terlalu dalam. Jika Anda ingin membuat film tentang Tetris, cerita seperti apa yang akan Anda angkat?

Untungnya, belakangan, semakin banyak game yang menjadikan cerita yang kompleks sebagai nilai jual utama. Game bahkan bisa dijadikan sebagai media untuk menunjukkan idealisme sang kreator. Jadi, ketidaan plot atau cerita yang kurang menarik dalam game tak bisa lagi dijadikan alasan mengapa film adaptasi game sering dianggap mengecewakan. Sayangnya, kompleksitas cerita dalam game juga bisa menjadi senjata makan tuan. Jika tidak diolah dengan baik, cerita yang kompleks dalam game justru bisa membuat para penonton kebingungan.

“Skenario film yang bagus itu ringkas, tapi tidak begitu dengan game populer,” kata Cara Ellison, seorang video game narrative designer yang juga punya pengalaman dalam menulis skenario untuk TV dan komik, seperti dikutip dari The Guardian. “Game AAA dari franchise terkenal, yang menjadi target studio film untuk diadaptasi, biasanya memiliki waktu bermain setidaknya 15 jam. Memasukkan semua elemen dari sebuah game ke dalam film berdurasi 120 menit bukanlah hal yang mudah.”

Idealnya, game yang akan diadaptasi ke layar lebar memiliki plot yang jelas dan padat. Hanya saja, tidak semua game memiliki jalan cerita yang koheren. Tidak sedikit game yang memang menonjolkan gameplay dan menomorduakan plot cerita, seperti game fighting atau game balapan.

Pertarungan internal keluarga Mishima jadi salah satu fokus dari cerita Tekken.
Pertarungan internal keluarga Mishima jadi salah satu fokus dari cerita Tekken.

Misalnya, dalam game Tekken, fighting menjadi elemen utama. Memang, setiap karakter di Tekken juga memiliki cerita sendiri-sendiri. Hanya saja, cerita yang disampaikan tentunya tidak sekompleks game yang memang fokus pada jalan cerita seperti The Outer Worlds ataupun game-game besutan Obsidian lainnya. Dan jika cerita Tekken terasa tidak masuk akal, siapa yang peduli? Kebanyakan orang bermain Tekken bukan untuk mengejar ceritanya. Namun, ketika Tekken diadaptasi menjadi film, sang kreator film harus dapat memberikan cerita yang koheren dan pada saat yang sama, tak melenceng terlalu jauh dari sumber asalnya.

Anda mungkin berpikir, “Ya kalau begitu, tinggal cari game yang memang punya cerita berbobot untuk diadaptasi ke film.” Oh, tidak semudah itu, Ferguso. Ketika game yang hendak dijadikan film memiliki lore yang kompleks, seperti World of Warcraft, maka sulit bagi kreator film untuk memasukkan semua elemen cerita di game ke dalam film. Alasannya, karena film memiliki durasi yang jauh lebih pendek dari game.

Masalah lain yang harus dihadapi pembuat film ketika mereka membuat film adaptasi game adalah memastikan film tersebut disukai oleh fans game dan pada saat yang sama, bisa dinikmati oleh penonton kasual yang tidak pernah memainkan game tersebut.

“Sebuah studio film biasanya kebingungan dalam membuat film yang menarik baik untuk fans game dan juga penonton kasual. Pada akhirnya, mereka biasanya gagal untuk memenangkan hati keduanya dan justru membuat film yang biasa-biasa saja,” kata Lauren O’Callaghan, editor di situs game dan hiburan Gamesradar.

Film Assassin's Creed mencoba untuk menonjolkan fitur khas dalam game, seperti Leap of Faith.
Film Assassin’s Creed mencoba untuk menonjolkan fitur khas dalam game, seperti Leap of Faith.

Memasukkan elemen khas dari gameplay sebuah game ke dalam film agar ia terasa familiar bagi gamer juga biasa menjadi masalah sendiri. Contohnya, dalam film Assassin’s Creed, Anda sering melihat adegan elang yang sedang terbang. Jika Anda memainkan game buatan Ubisoft tersebut, Anda pasti akan paham tentang simbolisme dari adegan itu. Namun, bagi penonton kasual, mereka mungkin akan merasa bingung.

Menurut Rachmad Imron, CEO Digital Happiness, developer di balik DreadOut, tidak aneh jika ada banyak film adaptasi game yang dianggap gagal. “Karena game biasanya memiliki waktu bermain setidaknya 4-20 jam. Sulit untuk meringkas semua itu ke dalam film yang hanya berdurasi 2 jam,” katanya, saat dihubungi oleh Hybrid melalui psean singkat. “Selain itu, karakteristik penonton dan pemain game cukup berbeda. Jadi, mencari balance antara keduanya adalah tantangan tersendiri.”

Seri TV Adaptasi Game

Belakangan, game tidak hanya diadaptasi ke layar lebar, tapi juga sebagai seri TV. Salah satu contohnya adalah The Witcher. Memang, cerita dari seri TV The Witcher didasarkan pada novel The Witcher buatan Andrzej Sapkowski dan bukan game-nya. Namun, tak bisa dipungkiri, salah satu alasan mengapa seri TV The Witcher memiliki hype tinggi adalah karena popularitas dari game The Witcher buatan CD Projekt Red. Tentu saja, hal itu juga berlaku sebaliknya. Berkat seri TV The Witcher, penjualan game RPG tersebut sempat melonjak naik.

Seri TV The Witcher mendapatkan sambutan yang hangat. Jadi, tidak aneh jika muncul wacana untuk membuat seri TV live-action dari game-game lain, seperti The Last of Us, Fallout, dan Halo. Seperti yang disebutkan oleh ScreenRant, salah satu alasan mengapa semakin banyak game yang diadaptasi ke seri TV adalah karena semakin populernya layanan video-on-demand seperti Netflix.

Perusahaan VOD biasanya berusaha untuk menyediakan konten original. Game menjadi salah satu sumber ide yang bagus dalam membuat seri TV. Selain itu, game juga sudah memiliki fans tersendiri. Jadi, sang pembuat film tak perlu khawatir bahwa tidak ada orang yang melirik seri TV buatan mereka.

Geralt dalam seri TV The Witcher.
Geralt dalam seri TV The Witcher.

Dan tampaknya, game memang lebih cocok untuk diadaptasi ke seri TV daripada ke film layar lebar. Pasalnya, seri TV bisa menawarkan durasi yang jauh lebih panjang. Dengan begitu, karakter dan cerita dalam game bisa disajikan dengan lebih baik tanpa harus khawatir membuat penonton merasa bosan.

Bagaimana dengan Film Adaptasi Game Indonesia?

DreadOut adalah contoh game Indonesia yang diadaptasi ke film. Ketika ditanya tentang proses bagaimana DreadOut bisa diangkat menjadi film, CEO Digital Happiness, Rachmad Imron berkata, “pada dasarnya, saat kami membuat DreadOut, kami memang sudah membayangkan dan mempersiapkan universe-nya untuk dibawa ke beberapa bentuk media lain. Salah satunya film.”

Dia melanjutkan, “Saat itu, kebetulan, kami memang sudah di-approach oleh beberapa produser film dan production house. Namun, dari sekian yang datang, Kimo-lah yang paling sejalan dengan visi kami. Terlebih, saat itu, kami juga fans dari karya-karya Kimo sebelumnya.” Kimo yang Imron maksud adalah Kimo Stamboel, sutradara dari film DreadOut.

Imron juga bercerita, Digital Happiness hanya menjadi creative consultant dalam pembuatam film DreadOut. Sebagai creative consultant, tugas mereka adalah memberikan informasi tentang konsep dari DreadOut serta lore yang ada dalam game. “Pada dasarnya, kami memberikan kebebasan seluas-luasnya untuk interpretasi DreadOut oleh Kimo dalam adaptasinya ke layar lebar,” kata Imron.

DreadOut adalah game Indonesia yang diangkat jadi film.
DreadOut adalah game Indonesia yang diangkat jadi film.

Terkait dampak peluncuran film DreadOut pada penjualan game, Imron menjelaskan, penayangan film DreadOut membuat masyarakat menjadi sadar akan keberadaan DreadOut. Dia juga mengungkap, DreadOut tidak hanya diadaptasi ke film, tapi juga ke komik di platform webcomic lokal, Ciayo. Selain itu, Digital Happiness juga telah membuat merchandise DreadOut dan melakukan cross-promotion.

Jika DreadOut adalah contoh game Indonesia yang diangkat ke layar lebar, Dilan adalah contoh game yang dibuat berdasarkan pada film dan novel Dilan, yang ditulis Pidi Baiq. Agate menjadikan game Dilan sebagai bagian dari Memories, game visual novel mereka.

Yuliana Xiaoling, Product Manager Memories, Agate mengaku, “Dilan itu sebetulnya IP (intellectual property) yang sudah besar dan berdiri sendiri. IP ini juga sudah dibuat ke dalam berbagai produk turunan, seperti komik, novel, film, sampai merchandise. Saat itu, kami melihat bahwa produk turunan berupa game belum ada.”

“Berawal dari obrolan santai antara tim Memories dan Pidi Baiq yang tertarik agar IP Dilan bisa dinikmati lebih luas dengan media yang sesuai dengan anak muda zaman sekarang, yaitu komik dan game,” kata Yuliana saat ditanya tentang awal mula pembuatan game Dilan. “Apalagi di game Memories, salah satu keunikannya adalah orang tidak hanya menjadi pembaca, tapi mereka juga akan merasakan bagaimana rasanya menjadi Milea dan mengambil keputusan yang tidak bisa didapatkan dari hanya menonton film atau membaca novel.”

Agate membuat game visual novel berdasarkan Dilan.
Agate membuat game visual novel berdasarkan Dilan.

Menariknya, Agate membuat game Dilan bukan untuk mendorong penjualan novel atau tiket film Dilan. Justru sebaliknya, Agate ingin mempromosikan game visual novel mereka dengan memasukkan cerita Dilan ke dalam game tersebut. “Strategi kami adalah untuk mengakuisisi pasar produk platform visual novel dengan memposisikan game Dilan sebagai produk turunan dari IP Dilan itu sendiri. Karena film dan novel Dilan sudah berdiri sendiri dengan popularitas masing-masing,” ujar Yuliana. “Kami merasa, Dilan adalah IP yang mampu mendongkrak awareness dari setiap produk yang menggunakan IP-nya.”

Sebesar Apa Kemungkinan Game Indonesia Diangkat Menjadi Film?

Yuliana percaya, di Indonesia, mengadaptasi game menjadi film atau sebaliknya adalah hal yang sangat mungkin terjadi. “Contohnya, selain Dilan, kami juga berkolaborasi dengan IP besar lain, yaitu Mariposa,” ujarnya. “Jika target audience-nya masih memiliki irisan, maka sangat memungkinkan terjadi kolaborasi, yang tentunya akan berdampak positif ke brand IP sendiri. Karena tidak semua IP film punya game yang bagus dan bisa dinikmati oleh banyak orang.”

Imron setuju dengan pendapatan Yuliana, bahwa mengadaptasi game ke film atau sebaliknya, sangat mungkin terjadi. “Namun, tantangan dari segi game adalah kurang banyak game lokal yang diapresiasi oleh gamer lokal sendiri,” katanya. “Misalnya, pemain lokal lebih banyak bermain Mobile Legends dan PUBG, yang bukan karya developer lokal. Jadi, bagi produser film, sulit bagi mereka untuk memvalidasi pasarnya. Sehingga, mereka lebih mudah untuk mencari konten dari webtoon, misalnya. Karena sudah jelas bahwa pembaca dari judul tertentu bisa mencapai sekian juta contohnya.”

Sementara proses pembuatan game dari sebuah IP film juga memiliki masalah tersendiri. “Biasanya, IP holder sebuah film kurang berani menyediakan investasi lebih untuk menghasilkan game yang ‘proper‘ dan bukan sekadar game iklan sebagai marketing gimmick saja,” aku Imron. “Begitu juga sebaliknya. Dari game developer sendiri, karena industrinya juga masih baru, kebanyakan game developer lokal belum punya ‘keberanian’ untuk melisensi sebuah judul film dan mengadaptasinya ke dalam game karena perlu modal yang cukup besar.”

Kesimpulan

Game tak lagi menjadi hobi niche. Newzoo memperkirakan, pada 2023, jumlah gamer akan mencapai 3 miliar orang. Jadi, tidak heran jika pembuat film berusaha untuk menargetkan para gamer dengan membuat film adapatasi game. Sayangnya, membuat film yang didasarkan pada game bukanlah hal yang mudah. Namun, mengingat potensi pemasukan yang besar — meskipun sebuah film dianggap “gagal” — tampaknya film adaptasi game masih akan terus ada di masa depan.

Di Indonesia, DreadOut tampaknya masih menjadi satu-satunya game yang pernah diangkat ke layar lebar. Meskipun begitu, seiring dengan berkembangnya industri game di Tanah Air, tidak tertutup kemungkinan, akan ada semakin banyak game yang diangkat menjadi film atau seri TV atau media lain seperti komik dan novel.

Strategi Publisher dan Developer Lokal untuk Pasarkan Game di Pasar Global

Di era serba digital ini, batas antar negara semakin mengabur. Dengan internet, Anda dapat terhubung dengan hampir semua orang di seluruh dunia. Dalam industri game, keberadaan platform distribusi game digital seperti Steam dan Google Play memberikan keuntungan tersendiri. Ini memungkinkan para developer untuk bisa menyasar audiens global. Semakin besar pasar yang ditargetkan, semakin besar pula potensi pemasukan yang didapatkan. Tentu saja, ada berbagai masalah yang harus bisa diselesaikan oleh pihak developer jika mereka ingin game-nya sukses di pasar global.

Apa yang Harus Diperhatikan Ketika Menargetkan Audiens Global?

Melalui platform seperti Steam atau Play Store dan App Store, developer bisa langsung menerbitkan game buatan mereka ke pasar global selama mereka menggunakan bahasa Inggris dalam game, ungkap CEO Toge Productions, Kris Antoni saat dihubungi oleh Hybrid.co.id melalui pesan singkat. Dia menambahkan, “Tapi, untuk beberapa negara yang mayoritas penduduknya tidak berbahasa Inggris, misal Tiongkok, Jepang, Korea, Brazil, dan lain sebagainya, kita perlu melakukan pelokalan. Tentu, biayanya tidak murah, tapi dapat dilakukan bertahap.” Ketika ditanya tentang apa yang harus diperhatikan ketika developer hendak menyasar audiens global, dia menjawab, “Perhatikan target market-nya. Negara/region apa saja yang mau kita tuju, dibandingkan dengan biaya pelokalan dan peraturan atau kultur.”

Senada dengan Kris, CEO dan Pendiri Digital Happiness, Rachmad Imron berkata bahwa sekarang, developer lokal dapat menyasar pasar global dengan lebih mudah. “Dalam konteks komoditi digital global, untuk distribusi, tinggal centrang saja di negara mana saja yang mau kita rilis. Yang membedakan adalah apresiasi dari jumlah revenue yang bisa didapatkan dari market global,” ujarnya.

“Namun, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Salah satunya adalah pelokalan konten, yang bisa meliputi script text, penamaan karakter, atau bahkan sampai di perancangan desainnya. Dicari benang merahnya yang bersifat global, sehingga game bisa dimengerti secara universal,” kata Rachmad. Dia memberikan contoh dalam penamaan Linda, tokoh utama DreadOut, game horror buatan Digital Happiness. “Nama Linda yang kita gunakan adalah nama yang universal dan pengucapannya pun hampir semuanya sama,” jelasnya.

Digital Happiness sengaja memilih nama Linda yang universal. |Sumber: Steam
Digital Happiness sengaja memilih nama Linda yang universal. |Sumber: Steam

Salah satu keuntungan menyasar pasar global adalah potensi pemasukan yang lebih besar, terutama jika developer membuat game PC atau konsol premium. Memang, Indonesia merupakan pasar yang cukup besar dengan populasi mencapai lebih dari 270 juta orang. Meskipun begitu, konsumen Indonesia cenderung sensitif terhadap harga. Selain itu, masyarakat di negara berkembang juga memiliki daya beli yang lebih kuat. Jadi, developer bisa mematok harga yang lebih tinggi untuk game-nya, selama mereka dapat memberikan kualitas yang memang memuaskan.

“Dikarenakan global market khususnya Tiongkok, AS, Rusia, Eropa, ekosistem industrinya telah matang puluhan tahun jauh di depan kita, daya beli masyarakat mereka pun tinggi sehingga mendongkrak revenue kita secara umum,” ujar Rachmad. Pada saat yang sama, dia menjelaskan, menyasar pasar global juga akan meningkatkan biaya operasi developer. Alasannya, karena mereka harus menyediakan dana untuk proses pelokalan game.

Menargetkan pasar global memang menggiurkan. Sayangnya, potensi pemasukan yang besar itu hanya bisa direalisasikan jika sebuah developer bisa mengatasi berbagai tantangan yang mereka hadapi.

Tantangan Menyasar Pasar Global?

Menurut Rachmad, salah satu tantangan yang dihadapi developer lokal ketika hendak masuk ke pasar global adalah persaingan ketat dengan para developer yang sudah lebih besar dan berpengalaman. “Kita harus bersaing dengan developer besar, yang punya ratusan pekerja dan dana ratusan juta dolar. Dibandingkan dengan kita, ya kayak bumi dan langit,” ujar Rachmad sambil tertawa.

“Semua orang bisa membuat game, tapi belum tentu kita bisa bersaing dengan developer-developer besar,” kata Rachmad. Menurutnya, bagi developer Indonesia yang enggan untuk mencoba menargetkan pasar global, mereka bisa memilih untuk fokus untuk menguasai pasar domestik. “Menarik apabila kita bisa menguasai pasar lokal. Tampaknya, kita juga nggak perlu go global, seperti yang terjadi di beberapa negara seperti Korea Selatan, Tiongkok, dan Jepang,” dia bercerita.

Coffee Talk adalah salah satu game terbaru Toge. | Sumber: Steam
Coffee Talk adalah salah satu game terbaru Toge. | Sumber: Steam

Meskipun begitu, menurut Kris, terlepas apakah developer menyasar pasar global atau hanya menargetkan pasar domestik, mereka tetap harus bersaing dengan developer/publisher raksasa. Memang, berbeda dengan Tiongkok, pemerintah Indonesia tidak membatasi developer asing yang hendak meluncurkan game buatannya di Indonesia. Di Tiongkok, jika developer asing ingin meluncurkan game di negara Tirai Bambu tersebut, mereka harus bekerja sama dengan perusahaan lokal.

Namun, Kris setuju, persaingan dengan game-game internasional merupakan salah satu masalah yang harus dihadapi developer lokal yang ingin menerbitkan game-nya di tingkat global. “Kita sekarang melakukan seleksi yang cukup ketat untuk memilih game yang akan kita kembangkan dan publish. Hanya game yang memiliki keunikan yang kuat, hook dan value proposition yang kuat yang akan kita pasarkan,” ungkapnya. Lebih lanjut, Kris bercerita, tantangan lain yang harus dihadapi oleh developer lokal adalah visibility dan market reach.

“Gimana caranya agar game Indonesia bisa dikenal di luar negeri? Kita berjuang keras untuk mengirimkan game-game kita ke kompetisi dan event eksibisi internasional. Dari situ, kita pelan-pelan membangun kredibilitas dan jaringan,” ujar Kris.

Strategi Dalam Menargetkan Pasar Global

Menurut laporan dari PCGamesN, pada 2019, ada 8.290 game yang dirilis di Steam. Tidak mudah bagi developer untuk membuat game-nya tampil menonjol di antara ribuan game tersebut. Karena itu, marketing menjadi sangat penting. Kris bercerita, di Toge, ketika mereka hendak memasarkan game di pasar global, mereka akan melakukan marketing secara digital. Dengan digital marketing, Toge dapat memperluas jangkauan mereka dan menekan pengeluaran, mengingat biaya marketing digital relatif lebih murah jika dibandingkan dengan marketing tradisional.

Selain itu, Toge juga melakukan pelokalan konten. Namun, terkait hal ini, Kris berkata bahwa Toge biasanya tidak mengubah isi konten game. “Pelokalan yang kita lakukan kebanyakan hanya sebatas bahasa,” ujarnya saat ditanya strategi Toge untuk masuk ke negara-negara yang memiliki budaya dan kebiasaan masing-masing.

Pelokalan yang dilakukan oleh Toge biasanya hanya sebatas bahasa. | Sumber: Steam
Pelokalan yang dilakukan oleh Toge biasanya hanya sebatas bahasa. | Sumber: Steam

Saat menyasar audiens global, developer bisa meluncurkan game-nya di seluruh dunia secara serentak. Namun, ada juga developer yang memilih untuk merilis game-nya di kawasan atau negara tertentu terlebih dulu, seperti yang Niantic lakukan dengan Pokemon Go. Menurut Rachmad, jika developer mengincar pasar global dan memiliki dana yang memadai, mereka sebaiknya meluncurkan game mereka secara serentak di seluruh dunia pada berbagai platform sekaligus. Idealnya, developer juga sudah menyiapkan opsi bahasa selain bahasa Inggris, khususnya bahasa Mandarin, Rusia, Prancis, Italia, Jerman, dan Spanyol.

“Dalam kasus DreadOut 1 dulu, kita memang menyasar langsung global. Indonesia sangat membantu dalam memviralkannya. Tapi, angka sales (di Indonesia) sangat jauh dibandingkan dengan Amerika Serikat,” cerita Rachmad. “Untuk DreadOut 2, kami setengah-setengah. Kabar baiknya, pengguna asal Indonesia saat ini menempati urutan ke-2 pengguna berbayar, mengalahkan pemain AS yang di DreadOut 1 menempati peringkat pertama.”

Taktik Ekspansi Global oleh Developer Asing

Masing-masing developer memiliki strategi yang berbeda ketika mereka menyasar audiens global. Bagi Activision, ketika mereka menyasar pasar global dengan Call of Duty: Mobile, mereka tidak hanya berusaha untuk melokalkan konten, tapi juga berusaha untuk memastikan konten dalam game tetap relevan dengan para pemain, tak peduli di negara mana mereka tinggal. Jenny Taran, Head of Growth, Call of Duty Mobile at Activision menjelaskan, untuk membuat game terasa familier bagi pemain, Activision biasanya membuat tim lokal, yang mencakup customer support, media sosial, marketing, dan lain sebagainya, seperti dikutip dari VentureBeat.

Taran bercerita, saat hendak menargetkan pasar global, Activision memang akan melakukan pelokalan sejak awal. “Semua channel untuk akuisisi pemain dan konten kreatif dibuat secara khusus menargetkan kawasan tertentu,” ujarnya. “Terkait pelokalan, salah satu hal penting yang pelajari adalah untuk fokus pada video gameplay dari game kami.” Dia menambahkan, hal penting lainnya adalah untuk menjelaskan gameplay dengan cara yang memang dipahami dengan masyarakat di sebuah negara atau kawasan.”

Sejak awal, Activision menargetkan audiens global dengan COD:M. | Sumber: Actvision
Sejak awal, Activision menargetkan audiens global dengan COD:M. | Sumber: Actvision

Jika dibandingkan dengan developer lokal, Activision memiliki dana yang lebih besar. Namun, itu bukan berarti mereka bisa menghambur-hamburkan uang begitu saja. Ekspansi global tidak murah. Tidak hanya uang, developer juga harus siap untuk menyediakan waktu dan sumber daya ketika mereka hendak menyasar audiens global. Karena itu, Activision biasanya tidak sembarangan mencoba untuk masuk ke sebuah negara. Sebagai gantinya, mereka akan fokus pada pasar yang memang memiliki potensi besar.

Lalu, bagaimana Activision menentukan pasar mana yang harus mereka masuki? Taran menjelaskan, Activision memiliki tim analitik dan konten kreatif di seluruh dunia. Dari sini, mereka akan mencoba untuk mengetahui besar potensi pasar sebuah negara. Setelah itu, mereka akan memfokuskan sumber daya mereka — uang, pekerja, dan waktu — berdasarkan besarnya potensi pasar dari satu negara. Sementara strategi yang mereka gunakan akan ditentukan berdasarkan apa yang mereka butuhkan. “Jika ada penyalahgunaan sumber daya karena kurangnya proses otomasi, maka data dan analitik data akan menjadi prioritas kami. Jika ada banyak ide kreatif yang belum direalisasikan, maka prioritas kami adalah mengembangkan konten kreatif,” ujarnya.

Kesimpulan

Dulu, game biasanya dikemas dalam bentuk fisik, baik berupa cartridge atau kepingan CD. Namun, sekarang, seiring dengan semakin cepatnya koneksi internet dan semakin tingginya penetrasi internet, semakin banyak juga orang yang memilih untuk membeli game melalui platform distribusi digital, seperti Steam dan Epic Store. Bagi developer game, ini berarti mereka dapat menyasar audiens global dengan lebih mudah.

Sebagai negara dengan populasi terbanyak ke-4 di dunia, pasar di Indonesia memang sudah cukup besar. Meskipun begitu, menyasar pasar global tetap menawarkan potensi pemasukan yang lebih besar. Pasalnya, sejumlah negara memiliki industri game yang lebih matang dan daya beli masyarakat yang lebih tinggi.

Hanya saja, untuk bisa menembus pasar global, developer juga harus bisa menawarkan game yang memang menarik bagi gamer internasional. Di sinilah pentingnya pelokalan. Biasanya, pelokalan tidak lebih dari mengganti bahasa, khususnya untuk negara-negara yang tidak menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa ibu. Namun, ada juga developer yang membuat tim lokal untuk memastikan bahwa game mereka dapat diterima dengan baik. Pada akhirnya, tingkat pelokalan yang dilakukan oleh developer tergantung pada dana yang mereka miliki.

Sumber header: DailySocial

Pengembang game lokal makin digemari di pasar domestik dan luar negeri, tapi akses ke pendanaan masih sulit

Pendanaan yang Masih Seret Jadi Ironi Pengembang Game Lokal

Lebih dari dua tahun lalu kami membuat laporan mengenai kesulitan industri game lokal memperoleh modal. Kali ini kami berbicara dengan sejumlah pengembang game dan investor untuk mencari menengok kembali perkembangan ekosistem game Indonesia.

Belum lama ini judul game Coffee Talk dan DreadOut 2 menghiasi majalah Tempo. Keduanya disorot karena dianggap berhasil memikat banyak pelanggan dari luar negeri. Coffee Talk yang dipasarkan via Steam disebut 99% pembelinya berasal dari luar negeri, sementara DreadOut 2 disebut paling banyak laku dikonsumsi pembeli Tiongkok.

Tangkapan gambar DreadOut 2.
Tangkapan gambar DreadOut 2.

Namun di balik pencapaian itu, masih ada tantangan yang belum sepenuhnya terpecahkan–tak hanya oleh Digital Happiness dan Toge Productions, tapi juga seluruh ekosistem pengembangan game itu, yakni pendanaan. Digital Happiness yang membesut DreadOut 2 mengandalkan hasil penjualan game sebelumnya untuk memproduksi karya terbarunya. Toge Productions yang melahirkan Coffee Talk mengaku meski game teranyar mereka laku di pasaran, kenyataannya pengembang game masih sulit menggaet investor.

CEO & Founder Toge Productions Kris Antoni Hadiputra Nurwowo mengatakan, pengembangan game memang memakan biaya yang tak sedikit. Bahkan Kris juga mengatakan bisnis ini berisiko tinggi. Dengan kompetisi ketat di pasar lokal dan internasional, mereka dituntut untuk terus menghasilkan game berkualitas agar bisa menarik minat investor ataupun sumber pendanaan lain.

“Jujur saja pencapaian pengembang game lokal masih belum seberapa jika dibandingkan dengan game developer indie internasional lainnya. Kebanyakan game developer Indonesia juga tidak memiliki pengalaman ataupun network ke publisher atau investor game internasional,” ujar Kris.

Tangkapan gambar dari Coffee Talk
Tangkapan gambar dari Coffee Talk

Investor masih belum melirik

Kris melanjutkan bahwa cara kerja investor dalam negeri, khususnya perusahaan modal ventura tidak selaras dengan cara kerja ekosistem pengembang game lokal. Ia berpendapat sistem penanaman modal yang dilakukan oleh VC tidak cocok dengan kebutuhan studio game.

“Apalagi di mata kebanyakan VC di Indonesia tidak mengerti industri game dan memiliki lebih banyak lahan lain yang lebih hijau,” imbuh Kris.

CEO & Founder Digital Happiness Rachmad Imron membenarkan bahwa industri game memiliki risiko yang tinggi dan itu yang menurutnya membuat investor lokal enggan menanamkan uangnya ke pengembang game. Persoalan ini baginya wajar karena ekosistem lokal masih dalam tahap mengejar ketertinggalan dari aspek bisnis maupun teknis.

“Tidak banyak pemodal lokal yang mau berisiko untuk berinvestasi dalam skala panjang lebih dari 5 tahun untuk pengembangan satu produk, misalnya mereka lebih prefer ke skala kecil kurang dari 1-2 tahun maksimal misalnya,” ungkap Imron.

Hingga saat ini jumlah institusi keuangan yang berani menyuntikkan modal ke pengembang game masih sedikit. Pemodal ventura yang masuk ke sektor ini jumlahnya masih bisa dihitung dengan jari, semisal Ideosource, Maloekoe Ventures, dan Digital Nusantara Capital (DNC). Pemerintah sebetulnya juga punya peran meski tak begitu besar. Hal ini tercermin dari kebijakan Bekraf yang memasukkan pengembangan game sebagai subsektor yang berhak memperoleh hibah Bantuan Insentif Pemerintah (BIP). Namun bantuan dari Bekraf ini bersifat terbatas dan sementara.

Managing Director Ideosource Andi S. Budiman menyebut metode pengumpulan dana oleh pengembang game masih sebatas dengan model ekuitas saja. Padahal menurut Andi masih ada metode lain seperti yang ia lakukan di industri film yakni dengan model financing per judul film.

Dalam kondisi demikian, Andi mengatakan hingga sekarang investor belum ada yang berminat terjun ke industri game. “Ada dua hal, pengembang belum biasa melakukan fundraise seperti film dan industri game belum banyak dipahami oleh investor,” tukasnya.

Butuh waktu

Komparasi pendanaan untuk industri film juga dipakai Imron. Menurutnya baik industri game maupun film sama-sama punya risiko tinggi dan potensi untung yang besar. Hanya saja waktu produksi film yang relatif lebih singkat menjadikannya lebih menarik bagi investor karena itu artinya perputaran uang mereka lebih cepat.

Namun ia optimis jika ekosistem pengembangan game di Indonesia kian matang, faktor-faktor tak menentu yang menyulitkan pengembang meraih pendanaan akan terkikis seperti halnya yang terjadi di industri film. Sumber optimisme Imron beranjak dari peningkatan jumlah pembeli DreadOut 2 dari Indonesia serta penerimaan yang menjanjikan di pasar internasional.

“Lima tahun lalu user Indonesia untuk DreadOut di peringkat belasan,” pungkas Imron.

Melihat kiprah pengembang lokal, seperti Digital Happiness dan Toge Productions, tak berlebihan menilai kualitas game buatan lokal terus meningkat seiring waktu berjalan. Meski begitu, bisa dikatakan belum ada kemajuan berarti bagi aspek pendanaan di industri pengembangan game lokal. Baik pengembang maupun investor masih mencari titik pertemuan yang cocok soal pendanaan.

Indonesian Games

Kata Developer Lokal tentang Pengembangan Game Premium vs Free-to-Play

Beberapa tahun terakhir, kita telah melihat semakin banyak developer Indonesia yang berhasil menerbitkan game di console. Sebut saja Mintsphere dengan Fallen Legion, Mojiken dengan Ultra Space Battle Brawl, Agate dengan Valthirian Arc: Hero School Story, dan yang belum lama ini muncul, Rage in Peace karya Rolling Glory Jam. Masing-masing game punya karakter tersendiri yang menunjukkan bahwa Indonesia punya dunia gamedev yang sangat kaya warna.

Menciptakan game premium berkelas seperti yang banyak kita mainkan ketika tumbuh besar dulu adalah impian banyak developer. Akan tetapi untuk mewujudkan hal tersebut jelas tak mudah. Ada berbagai tantangan yang harus dihadapi, apalagi industri game kita masih tergolong baru. Hybrid berbincang-bincang dengan beberapa developer lokal untuk menggali pengalaman mereka menciptakan game premium, serta apa perbedaannya dengan mengembangkan game free-to-play. Simak di bawah.

Game sebagai brand ambassador

Pengembangan game di console memang butuh usaha besar. Akan tetapi, untuk sebuah perusahaan, game itu nantinya tidak hanya berfungsi sebagai produk untuk mendapatkan profit saja. Lebih dari itu, game juga bisa menjadi cara untuk branding dan menjadi portofolio perusahaan. Hal ini diungkapkan oleh Azizah Assattari, CEO dari Lentera Nusantara yang kini tengah mengembangkan game berjudul Ghost Parade untuk PS4.

Sebagai sebuah perusahaan kita harus punya satu produk ambassador yang mandiri. Yang mana si produk tersebut bisa menunjukkan secara keseluruhan kapabilitas kerja serta visi misi ideal dari perusahaannya. Dan si proyek mandiri ini juga sebenarnya proses belajar kita di internal secara SOP. Kalau ke klien kita bisa tinggal jelasin parsial prosesnya dari si proyek ambassador itu sendiri,” demikian tutur wanita yang akrab dipanggil Astri ini.

Lentera Nusantara sendiri bukan perusahaan developer game murni, melainkan perusahaan developer konten digital yang merambah berbagai macam media. Selain menciptakan properti intelektual (IP) seperti Ghost Parade, mereka juga menangani pembuatan konten sesuai keinginan klien. Adanya brand ambassador dapat membantu meyakinkan klien akan kemampuan serta alur kerja perusahaan ini. Karena itulah Lentera Nusantara memilih menciptakan game premium untuk console sebagai game pertama mereka.

Tentu tidak semua perusahaan punya visi yang sama dengan Lentera Nusantara. Akan tetapi banyak studio game di Indonesia yang juga mengambil pekerjaan proyek dari klien, baik berupa pembuatan game utuh ataupun outsourcing pembuatan aset. Kepemilikan brand ambassador bisa menjadi aset jangka panjang yang menguntungkan. “Si proyek jangka panjangnya juga dibuat dengan target proyeksi profit mandiri yang lebih terukur,” ujar Astri.

Lentera Nusantara juga punya rencana untuk mengembangkan game dengan skema free-to-play di masa depan. Salah satu alasannya adalah agar mereka bisa melakukan komparasi produk. Jadi kemungkinan besar game free-to-play tersebut nantinya tetap akan memiliki latar belakang dunia yang sama dengan Ghost Parade. “Cuma kalau kita tipenya memang one at a time biar fokus hehe…” kata Astri.

Besar komitmen sebanding dengan keuntungan

Contoh lain perusahaan game yang banyak menangani pesanan klien adalah Nightspade. Sepak terjang mereka telah dimulai sejak 2010, dan mereka menyebut diri sebagai studio spesialis outsourcing. Namun di tahun 2019 ini Nightspade juga tengah mengembangkan IP sendiri dalam wujud dua game, satu premium dan satu lagi free-to-play, yang sayangnya belum bisa diumumkan ke publik.

“Dari pengalaman sih, dan ngobrol-ngobrol sama developer lain juga, premium itu lebih ‘predictable’ buat yang indie. Market emang nggak akan gede banget, dan maintenance-nya lebih ‘murah’ karena seolah-olah jualan sekali bayar,” kata Garibaldy Wibawa Mukti alias Gerry, CEO Nightspade, kepada Hybrid.

Free-to-play, butuh biaya lebih besar, lebih gede risikonya juga. Tapi return-nya juga bisa jadi lebih besar. Apalagi kalau udah dapet user base-nya, di-maintain terus, bisa jadi cash cow. Mereka yang udah purchase, gede kemungkinan untuk melakukannya lagi. Tapi ya itu, dari sisi game-nya, itu ga bisa game yang sederhana. Perlu yang memang memiliki potensi untuk di-scale,” lanjutnya.

Definisi “indie” di sini sebenarnya masih agak rancu. Karena bila dibandingkan dengan developer luar negeri, sebuah game dengan anggaran 1 juta dolar saja masih bisa disebut indie. Secara harfiah sendiri indie berarti independen. Tapi apakah game sekelas Read Dead Redemption 2 bisa disebut indie karena game tersebut self-published? Tentu tidak. Jadi indie yang dimaksud di sini adalah game dengan skala relatif kecil.

Rachmad Imron dari Digital Happiness punya pandangan yang cukup mirip dengan Gerry. Kreator DreadOut ini merasa bahwa untuk short term income, premium lebih cepat untung karena uang lebih cepat masuk. Free-to-play atau freemium lebih menguntungkan di jangka panjang, namun butuh komitmen, maintenance, serta strategi monetisasi yang baik, dengan anggaran besar pula.

“Bukan berarti sebaliknya dengan premium game yah… namun untuk skala tertentu, maintenance, security, dan update akan lebih berat untuk freemium game. Sebagai gambaran untuk judul-judul AAA free-to-play beberapa banyak yang langsung ditutup servernya dikarenakan user terlalu sedikit, misal seperti LawBreakers-nya Cliff Bleszinski, bahkan Paragon-nya Epic Games,” kata Imron.

“Nah kalau kita ngomongin gamedev lokal, menurut saya pribadi sih saya lebih pede premium game yah… karena bujetnya sudah jelas. Dan pengalaman Digital Happiness untuk masuk ke ranah freemium belum ada,” lanjutnya. Digital Happiness sendiri memiliki strategi unik untuk DreadOut. Mereka merilis bagian awal (Act 0) secara gratis, kemudian Act 1 berbayar, dan Act 2 gratis kembali.

Memperlakukan game seperti sebuah startup

Baik premium ataupun freemium sama-sama punya risiko. Selain masalah persaingan dengan game lain, dan kualitas game itu sendiri, hal yang tak kalah penting adalah menciptakan game yang memang ada pasarnya. Karena sebagus apa pun sebuah produk, bila tidak ada orang yang butuh produk itu tentu tidak akan ada yang membeli.

Karena faktor risiko itulah, Agate merasa lebih nyaman mengembangkan game dengan skema free-to-play. Hal ini diungkapkan oleh Shieny Aprilia yang merupakan CMO dari studio asal Bandung tersebut. Agate sendiri hingga saat ini terus konsisten menyandang predikat studio game terbesar di Indonesia, dengan jumlah kru hingga 170 orang dan fokus di ranah mobile game free-to-play.

“Kita merasa lebih baik yang free-to-play, karena kita bisa lebih mengontrol kesuksesan produknya, karena kita bisa tes retention dulu, lalu monetization. Kalau metriknya OK, baru kita promote,” kata Shieny, “Kalau premium product kan harus nunggu produknya rilis dulu baru kita tahu sukses atau nggaknya, jadi lebih risky juga in a way.”

Alur pengembangan yang dilakukan oleh Agate ini mirip dengan strategi validasi produk sebuah startup. Bahkan Shieny berkata bahwa di Agate, jabatan seorang product manager sudah seperti seorang “CEO mini”. Ia menerima sejumlah anggaran, kemudian dituntut untuk mencapai target revenue tertentu. Ketika sebuah produk di iterasi awal sudah menunjukkan metrik yang jelek, Agate tidak akan ragu untuk membatalkan game tersebut, sebelum menunggu terlalu lama dan sebelum berkomitmen mengeluarkan anggaran untuk promosi.

“Kita invest di rekrut dan retain product manager yang bisa mencari opportunity di market, doing market validation and then develop the product. Kita juga selalu berusaha make decision di produk based on data, selain tentunya creativity juga. Decision itu maksudnya mau develop game apa, menarget segmen user apa, etc.,” tutur Shieny.

Faktor keberuntungan dan keseimbangan

Strategi pengembangan produk seperti ini memang cukup rumit dan mungkin terasa tak lazim untuk sebuah game. Akan tetapi menurut Shieny, Agate bukan satu-satunya studio yang menerapkannya. Ada beberapa studio lain yang memiliki strategi serupa, di mana segala keputusan diterapkan dengan dasar data, dan mereka melakukan berbagai tes sebelum memasukkan anggaran marketing.

Uniknya, meski sudah memiliki strategi sedemikian rupa, sebetulnya ada faktor X yang bisa membuat sebuah game sukses secara tak terduga. “Karena ini adalah produk karya seni, bisa aja jackpot juga. Coba bayangin, Minecraft, yang gambarnya kayak gitu, effort relatif ‘kecil’, ternyata jadi gede kayak sekarang,” kata Gerry. Ada juga beberapa contoh game indie lain di dunia yang sukses besar dengan sumber daya kecil, seperti Undertale atau Stardew Valley.

Ini menunjukkan bahwa produk yang didasari dengan visi kuat akan bisa merebut hati banyak penggemar. Tapi tentu berbahaya bila kita menjalankan perusahaan dengan berharap pada faktor X semata, di mana faktor X itu tidak bisa diukur dengan jelas. Imron menyarankan para developer untuk menjaga produk agar tetap memiliki keseimbangan.

“Kita sendiri juga masih belajar sih Mas, namun kalau boleh saya share tipsnya: mencoba untuk tetap menjaga produk yang dibuat sesuai dengan kapasitas produksinya, balance antara ego dan kapasitas produksi, serta jangan lupakan branding dan marketing dari produk itu sendiri, serta peka terhadap perkembangan industrinya.” Kapasitas produksi yang dimaksud Imron meliputi jumlah anggaran, SDM, serta skill yang dimiliki.

One small step at a time,” pungkasnya.

Rachmad Imron tentang Film DreadOut: Match Made in Hell

Tahun 2014 silam, industri game developer Indonesia meroket namanya berkat sebuah game horor bernama DreadOut besutan Digital Happiness (DH). Kala itu, game ini mendapatkan respon yang positif bahkan dari pasar internasional sekalipun. Dari 3116 review di Steam, 2358 menilai game ini positif. Game ini pun sudah diunduh sebanyak 1 juta kali di semua platform.

Game DreadOut memang istimewa mengingat kebanyakan pemain (developer ataupun publisher) di industri game Indonesia kala itu memang masih seputar 2D ataupun Free-to-Play. DreadOut sudah menawarkan grafis 3D dan menjadi game berbayar karena mungkin memang mengincar target pasar internasional. Sungguh, game ini memang fenomenal di jamannya karena game-game lain dari pasar Indonesia saat itu bahkan masih kesulitan menyuguhkan model 3D yang masuk akal. DreadOut bahkan sudah satu langkah lebih jauh dengan menyuguhkan atmosfir horor yang begitu kental.

4 tahun berselang, 2018, DreadOut diumumkan akan diangkat ke layar lebar. Kali ini, franchise ini menjadi game Indonesia pertama yang diangkat jadi film. Hybrid pun berbincang dengan Rachmad Imron, Co-Founder Digital Happiness dan Game Producer untuk DreadOut, untuk cari tahu cerita bagaimana game-nya bisa jadi film dan rencana ke depannya.

Imron pun bercerita bahwa tim dari DH sendiri memang pada awalnya melihat potensi besar dari DreadOut diangkat ke layar lebar. Selama masa development-nya pun timnya sering bergurau tentang siapa sutradara yang tepat untuk adaptasi filmnya dan mereka setuju bahwa The Mo Brothers (Timothy Tjahjanto dan Kimo Stamboel) adalah pilihan terbaik.

Saat Kimo mampir ke DH pertama kali di tahun 2014. Dokumentasi: Rachmad Imron
Saat Kimo mampir ke DH pertama kali di tahun 2014. Dokumentasi: Rachmad Imron

“Tidak lama setelah itu, beberapa production house dan sutradara approach ke kami namun karena kurang satu visi akhirnya kami tidak berjodoh. Sampai pada satu saat Kimo Stamboel approach ke kami via email dan akhirnya beliau datang ke Bandung, ke studio kami.

Long story short, setelah bolak balik konsultasi tentang DreadOut universe, kenapa begini kenapa begitu, dan kesibukan masing-masing, dan gerilya untuk mendapatkan partner investasi yang tepat, yawes akhirnya alhamdulillah akhirnya match made in Hell.” Cerita Imron semangat.

Satu hal yang pasti, adaptasi game jadi film itu kemungkinan besar mengecewakan terlepas dari siapapun produser ataupun sutradaranya karena memang lebih ke bentuk media penyampaian narasi ataupun informasinya. Muasalnya, game menjadi bentuk penyampaian narasi dan informasi paling kompleks yang ada sekarang ini dan pasti ada berbagai elemen yang absen ketika format tersebut disederhanakan jadi film.

Imron pun sadar betul dengan hal tersebut mengingat ia memang sudah punya pengalaman banyak sebagai kreator game dan ia jugalah sang pencipta dunia DreadOut.

Menurut pendapat pribadinya, film DreadOut dinilai cukup menghibur, tidak terlalu seram namun seru sekali; sangat sesuai dengan target milenial yang dikejar.

“Untuk detail elemen-elemen yang hilang, hal itu sangat wajar karena 7 jam gameplay di game yang coba diadaptasikan jadi 96 menit di film pasti sangat sulit. Belum lagi lore universe kita yang luas.” Ungkap Imron.

Namun ia juga mengaku salut dengan Kimo yang akhirnya memutuskan film DreadOut menjadi sebuah prequel untuk game-nya dan sanggup mengemasnya dengan apik dan solid sehingga mudah dimengerti untuk audiens yang lebih luas, baik untuk gamer yang sudah memainkan game-nya ataupun penonton yang belum tahu soal DreadOut sama sekali.

“Intinya, it’s fun to watch, roller coaster emotion; dari ketawa, kaget takut, (dan) penasaran… Semoga penonton terhibur.”

Saat ini, franchise DreadOut sudah berkembang menjadi berbagai format. Selain film, DreadOut juga punya bentuk komiknya di CIAYO Comics yang bertajuk DreadOut: The Untolds. Rencananya, menurut pengakuan Imron, franchise DreadOut juga akan diadaptasi untuk jadi novel.

Dokumentasi: Nimpuna Sinema
Dokumentasi: Nimpuna Sinema

Ternyata, pelebaran franchise ini memang sudah jadi bagian dari rencana Imron. “Tujuan kami adalah IP based games developer dan publisher jadi, mau gimana-gimana juga, harus kita maintain dan terus dikembangkan existing IP kami (Dread Universe) dan juga mempersiapkan IP baru yang layak dikembangkan lebih lanjut di samping DreadOut.”

Sampai artikel ini ditulis, franchise Dreadout menjadi salah satu franchise berbasis game pertama asal Indonesia yang paling banyak diadaptasi dalam berbagai format lainnya (game, komik, film, dan, rencananya, novel) dan DH sendiri juga berencana akan merilis DreadOut 2 yang masih dirahasiakan tanggal rilisnya. Namun apakah DH juga berencana untuk membuat game baru lagi selain franchise DreadOut?

“Tentunya iya. Namun tentunya bukan hal yang mudah dikarenakan kami masih independen dan bootstrapping company. Kami akan membutuhkan investasi yang cukup besar untuk dapat scale up secara massive dan cepat.” Jawabnya.

Imron juga menambahkan bahwa Digital Happiness sangat terbuka soal investasi baik itu yang berbasis project ataupun keseluruhan perusahaan. Walaupun memang ia juga menyadari bahwa investasi akan membuat Digital Happiness membutuhkan penyesuaian.

“Memang yang challenging adalah berimbang antara idealisme dan komersilnya.” Tutup Imron.

Melihat sekilas perjalanan DH ke belakang, setidaknya dari perspektif saya yang berada di luar, perusahaan ini memang membuat gempar industri game Indonesia saat meluncurkan DreadOut karena kualitas dan pengalaman bermain yang disuguhkannya. Namun beberapa tahun berselang, DH seolah tenggelam dan tak terdengar lagi sampai 4 tahun kemudian mereka kembali membuat gempar industri kreatif Indonesia.

Tentunya, suntikan dana dari investor akan membuat DH lebih aktif dan produktif membentuk industri game Indonesia karena rekam jejak mereka yang membuktikan bahwa mereka memang bukan pengekor. Namun di satu sisi, bisa jadi juga DH akan kehilangan keistimewaannya jika, naasnya, terlibat dengan investor yang mungkin tak sejalan dengan romantisme ataupun idealisme awal perusahaan yang berbasis di Bandung ini.

Jadi? Kita tunggu saja bersama bagaimana sepak terjang Rachmad Imron dan Digital Happiness ke depannya ya!

Bagian Kedua Game Horor Indonesia DreadOut Sudah Bisa Dimainkan

Kelemahan terbesar sekaligus alasan mengapa kini khalayak cemas pada proyek crowdfunding video game ialah keraguan terhadap seluruh janji para developer-nya. Apa kabarnya Godus? Mana tanggal rilis pasti Star Citizen? Dimana gerangan episode kedua Broken Age? Tapi para penikmat Dreadout tidak perlu khawatir, petualangan menyeramkan Anda sudah bisa dilanjutkan. Continue reading Bagian Kedua Game Horor Indonesia DreadOut Sudah Bisa Dimainkan

Game DreadOut Siap ‘Menghantui’ Mulai Tanggal 15 Mei 2014 (Updated)

Game buatan lokal berjudul DreadOut siap dirilis lewat Steam pada tanggal 15 Mei 2014. Update: Tanggal 15 Mei (waktu Indonesia) telah tiba, namun ketika dilakukan cek ke halaman penjualan DreadOut di Steam ternyata ada keterangan bahwa game mulai bisa dibeli tanggal 16 Mei 2014.

Continue reading Game DreadOut Siap ‘Menghantui’ Mulai Tanggal 15 Mei 2014 (Updated)

Indonesian Horror Game DreadOut is Fully Funded on Indiegogo

Local horror game and id-byte 2013 finalist DreadOut has received full funding through the crowd funding site Indiegogo with 12 hours to the deadline. Digital Happiness, the Bandung-based company behind DreadOut, sought USD 25,000 to fully develop the game into completion with intention to release it in November of this year. Following a highly successful demo release at the end of March, the campaign kicked into high gear.

Continue reading Indonesian Horror Game DreadOut is Fully Funded on Indiegogo

Demi Mempercepat Development, DreadOut Mulai Mencari “Dukungan”

Game horor fenomenal berjudul DreadOut, yang kini tengah digarap oleh studio game asal Bandung, Digital Happiness nampaknya sedang bergerak cepat untuk melanjutkan pengembangan agar bisa merilis game-nya secara full. Pasalnya, game yang berbasis third person ini sedang gencar-gencarnya mencari dana melalui situs Indiegogo dan juga vote dari Steam.

Continue reading Demi Mempercepat Development, DreadOut Mulai Mencari “Dukungan”