Tag Archives: Digital Media

Asumsi Obtains Additional Funding from East Ventures, to Launch Live Streaming Platform

Asumsi digital media startup received additional funding from East Ventures. The value is said to reach $700 thousand or around 10 billion Rupiah. Previously, the startup founded by Pangeran Siahaan had secured pre-seed funding in September 2020.

Fresh funds will be focused on expanding media operations and strengthening the engineering team to create a more interactive platform. Asumsi targets to launch a live streaming platform in mid-2022. The platform is highly customizable to streamers’ needs, and viewers can access interactive features such as tipping, Q&A, and quizzes.

“As a media company with video as its main product, we recognize several limitations in interacting with viewers, especially during live streams. With the live streaming platform, Asumsi can continue to encourage the involvement of various elements of society in public spaces,” Asumsi’s Founder & CEO, Pangeran Siahaan said.

In addition, this platform will also add two new categories, Sport and Lifestyle, to complement the content that focused on politics and social issues. These two topics were chosen to broaden the audience reach and increase new commercial opportunities.

To date, Asumsi has produced a lot of content in the form of videos, articles, podcasts, newsletters, to mini content on its social media platforms. From a business perspective, they claim to have posted revenues of up to 10 times (year-on-year) since the previous funding round, with more than 10 million monthly viewers across platforms.

East Ventures’ media startup portfolios

In the East Ventures’ portfolio hypothesis, online media vertical becomes quite an attractive sector. Currently, several local media startups have received funds from the venture capitalist. Aside from Asumsi, there are also IDN Media, Katadata, and Content Collision.

“Asumsi continues to expand to provide quality news to the Indonesian people. We believe that the innovations in journalism from Panferan and his team will create greater space for all forms of diversity and democracy in Indonesia,” East Ventures’ Co-founder and Managing Partner, Willson Cuaca said.

The increasing consumption of digital media during the pandemic shows that the content presented is proven to be attractive to viewers, readers and advertisers. Based on the GWI report in 2020, viewers are now often watching television content through streaming applications on their gadgets. This reflects the huge potential of the media market, which is projected to grow from $1.7 billion in 2020 to $2.6 billion in 2025, globally.

The largest GMV generated from the digital industry in Indonesia (in $ billion), online media is one of them

According to the e-Conomy SEA 2020 report, online media is one of the biggest GMV contributors to digital businesses in Indonesia. By 2020 its value has reached $4.4 billion, will grow to $10 billion by 2025 at a CAGR of 18%. The online media coverage here includes OTT services and digital media.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Pendanaan Asumsi Media

Asumsi Dapatkan Pendanaan Lanjutan dari East Ventures, Segera Luncurkan Platform “Live Streaming”

Startup media digital Asumsi kembali mendapatkan pendanaan dari East Ventures. Kali ini nilainya mencapai $700 ribu atau sekitar 10 miliar Rupiah. Sebelumnya startup yang didirikan Pangeran Siahaan tersebut telah membukukan pendanaan pre-seed pada September 2020 lalu.

Dana segar akan difokuskan untuk memperluas operasional media dan memperkuat tim engineer untuk membuat platform yang lebih interaktif. Asumsi juga memasang target untuk meluncurkan platform live streaming di pertengahan tahun 2022 mendatang. Platform ini sangat mudah disesuaikan dengan kebutuhan para streamer, dan penonton dapat mengakses fitur-fitur interaktif seperti memberi tip, Q&A, serta kuis.

“Sebagai perusahaan media yang memiliki video sebagai produk utamanya, kami menyadari adanya batasan dalam berinteraksi dengan penonton, terutama saat live stream. Dengan platform live streaming, Asumsi dapat terus mendorong keterlibatan berbagai unsur masyarakat di ruang publik,” ujar Founder & CEO Asumsi Pangeran Siahaan.

Selain itu, Asumsi juga akan menambah dua kategori konten baru yakni Sport dan Lifestyle, untuk melengkapi konten yang saat ini berfokus pada politik dan isu sosial. Kedua topik ini dipilih untuk memperluas jangkauan pemirsa dan meningkatkan kesempatan komersial baru.

Sejauh ini, Asumsi banyak memproduksi konten berupa video, artikel, podcast, newsletter, hingga konten mini di platform media sosial mereka. Dari sisi bisnis, mereka mengklaim telah membukukan pendapatan hingga 10 kali lipat (year-on-year) semenjak putaran pendanaan sebelumnya, dengan lebih dari 10 juta penonton setiap bulannya di seluruh platform.

Startup media di portofolio East Ventures

Di hipotesis portofolio East Ventures, vertikal online media cukup menjadi perhatian. Sejauh ini sudah ada beberapa startup media lokal yang mendapatkan suntikan dana dari pemodal ventura tersebut. Selain Asumsi, ada juga IDN Media, Katadata, hingga Content Collision.

“Asumsi terus berkembang untuk menyajikan berita berkualitas kepada masyarakat Indonesia. Kami yakin inovasi-inovasi di bidang jurnalistik dari Pangeran dan tim Asumsi akan menciptakan ruang yang lebih besar bagi segala bentuk keragaman dan demokrasi di Indonesia,” sambut Co-founder dan Managing Partner East Ventures  Willson Cuaca.

Meningkatnya konsumsi media digital selama pandemi menunjukkan bahwa konten-konten yang disajikan terbukti menarik bagi para penonton, pembaca, maupun pemasang iklan. Berdasarkan laporan GWI di tahun 2020, penonton kini lebih sering menonton konten televisi melalui aplikasi streaming pada gadget mereka. Ini mencerminkan besarnya potensi pasar media, yang diproyeksikan akan berkembang dari $1.7 miliar di tahun 2020 ke $2.6 miliar di tahun 2025, secara global.

GMV terbesar yang dihasilkan dari industri digital di Indonesia (dalam $ miliar), online media jadi salah satunya

Menurut laporan e-Conomy SEA 2020, online media menjadi salah satu penyumbang GMV terbesar bisnis digital di Indonesia. Pada tahun 2020 nilainya telah mencapai $4,4 miliar, akan bertumbuh $10 miliar pada 2025 dengan CAGR 18%. Cakupan online media di sini termasuk layanan OTT dan media digital.

Monetisasi Konten Digital

“Micro Payment” Jadi Alternatif Industri Media untuk Mendorong Monetisasi Konten Berbayar

Indonesia merupakan salah satu pasar terbesar dalam hal konsumsi digital. Menurut data Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Seluruh Indonesia (APJII), jumlah pengguna internet pada kuartal kedua 2020 telah mencapai 196,7 juta atau 73,7% dari total populasi.

Pasar Indonesia juga cukup tinggi dalam hal konsumsi konten digital, terutama yang berkaitan dengan segmen hiburan, seperti musik, film, dan video. Sebagian besar platform digital sudah mulai menerapkan sistem berlangganan (subscription) untuk memonetisasi bisnisnya.

Namun, bagaimana dengan monetisasi di industri media? Apakah pasar Indonesia sudah siap untuk mengonsumsi konten berbayar?

Simak paparan dan temuan menarik yang akan dibagikan oleh Founder & CEO DailySocial Rama Mamuaya, Co-founder & CCO Fewcents Dushyant Khare, dan Founder & Editor in Chief DealStreetAsia Joji Thomas Philip pada sesi bertajuk “Micro Payment: Is it possible to convert free readers to start paying for content?” yang diadakan Indonesia Digital Association.

Arti pandemi terhadap industri media

Sejumlah media (mungkin) baru terdorong untuk mulai memonetisasi kontennya di situasi pandemi. Hal ini juga yang salah satunya mulai diterapkan oleh DailySocial efektif sejak akhir November 2020.

Rama mengatakan, DailySocial sedang mencoba model berlangganan dengan tiga skema, yakni pay per view, monthly, dan annually subscription. Menurutnya, ketiga skema ini dipilih karena konsep berlangganan berita terbilang yang lebih preferable bagi pembaca Indonesia.

“Sudah ada konten berlangganan semacam Netflix dan Spotify, but when it comes to news, konsep ini terbilang weird bagi pasar Indonesia. Setelah kami coba, hasilnya monthly revenue dan annual membership kami mulai naik. Ini tidak terduga karena 80% konten kami berbahasa Indonesia. Apalagi di awal kami sempat khawatir trafik akan turun,” ujar Rama.

Dari sisi bisnis, Rama menilai sistem berlangganan dapat membantu team bisnis dan editorial dalam membuat keputusan. Hal ini karena biasanya kedua tim ini dinilai sering berbenturan jika bicara soal memproduksi konten berkualitas, tetapi bisa dimonetisasi. “Dengan sistem berlangganan, kami jadi tahu kategori konten seperti apa yang banyak dibaca pengguna,” tambahnya.

Sementara menurut Joji, pandemi membawa dampak positif terhadap bisnisnya. Dengan situasi Work From Home (WFH), masyarakat memiliki waktu untuk mengeksplorasi konten. Dan hal ini berdampak terhadap peningkatkan jumlah pelanggan sebesar 60% dibandingkan 2019.

Sejak awal berdiri, ungkapnya, DealStreetAsia memang berkomitmen untuk membangun world class jorunalism product yang tidak bertumpu pada trafik, tetapi dari subscription. Mereka berupaya memproduksi konten yang membawa impact dan value kepada pembaca sehingga mendorong kemauan pembaca untuk membayar.

“Yang kami pelajari selama pandemi ini adalah, kami meluncurkan banyak produk komplimentari bagi pelanggan, seperti research report dan database. Overall, sebagai sebuah perusahaan, [bisnis] kami tumbuh 30%, memang tidak sesuai target, tetapi tidak ada yang pernah tahu pandemi bakal terjadi,” ujarnya.

Tantangan industri media menerapkan sistem berlangganan

Bagi Rama, tantangan terbesar industri media dalam memperkenalkan sistem berlangganan adalah mengedukasi pengguna Indonesia. Terlebih bagi industri media dengan cakupan pemberitaan umum yang fokus terhadap page views.

Selain itu, ia menilai bahwa pasar Indonesia masih sangat enggan untuk mengeluarkan budget untuk berlangganan konten media. Contohnya saja, artikel mengenai riset dan analisis seharga Rp50.000 dinilai masih mahal bagi pengguna.

Kendati demikian, bagi media niche seperti DailySocial, menurutnya upaya yang dilakukan selama bertahun-tahun untuk memproduksi konten berkualitas dan tidak bermain di page views membuahkan hasil.

“Ketika kami switch ke premium, mereka sudah paham bahwa kami menyediakan konten berkualitas dan percaya konten ini hanya ada di DailySocial,” paparnya.

Micro payment menjadi alternatif untuk monetisasi

Dalam presentasinya, Dushyant memaparkan sejumlah temuan menarik terkait pasar Indonesia terkait monetisasi di industri media. Paparan ini juga berdasarkan dari pengalamannya bekerja sama dengan banyak publisher di Asia Tenggara dan India. Menurutnya, ia sangat familiar terhadap tantangan yang dihadapi publisher saat ini.

Umumnya, ada dua model monetisasi yang dipakai industri media, yakni iklan dan berlangganan. Kelebihan iklan adalah dapat memonetisasi semua pengguna, sayangnya revenue per user sangat rendah. Memang ada banyak media yang mulai memberlakukan sistem berlangganan, tapi hanya sedikit yang mau berlangganan. Ketika pandemi menghantam, publisher memikirkan cara untuk memonetisasi mengingat ads yield turun akibat Covid-19.

“Selama beberapa tahun terakhir, iklan berkontribusi besar terhadap pendapatan media sehingga mereka banyak fokus memproduksi artikel yang punya page views tinggi. Sekarang, mereka sepertinya mulai pivoting untuk mengoptimalkan kualitas konten,” katanya.

Dalam temuannya, ia menemukan ada big gap dalam hal monetisasi revenue per user di iklan dan langganan. Sekitar 60%-70% pasar Indonesia disebut tidak pernah mau membayar konten digital. Hal ini bukan karena mereka tidak bisa membayar, hanya saja pasar Indonesia cenderung menyukai konten gratis. Kendati demikian, sebanyak 30%-50% pengguna punya kemauan untuk membayar.

“Mereka mulai paham, untuk menikmati konten bagus ya harus bayar. Makanya, kami pikir micro payment bisa address dan take advantage di sini. Di sini modelnya bukan berbasis subscription, tetapi value for money,” ujar Khare.

Ia juga menemukan sejumlah tantangan dalam aspek user readiness terhadap sistem berlangganan. Pertama, ada kecenderungan terhadap subscription fatigue. Contohnya, apabila pengguna sudah berlangganan di New York Times, kecil kemungkinan mereka akan berlangganan di media lain.

Kedua, loyalitas pengguna masih rendah di mana sebanyak 72% mengonsumsi konten dari media sosial. Dan ketiga, terkait digital spending. Menurut data Statista di 2019, pengguna Indonesia hanya mengeluarkan sekitar $30 untuk layanan digital per bulannya, dan kebanyakan untuk belanja di e-commerce. “Itu saja e-commerce, apalagi digital content. Makanya model subscription may not be best di Indonesia,” ucapnya.

Kendati demikian, ia menilai pandemi membawa momentum yang tepat untuk mengaplikasikan model micro payment, seperti yang dilakukan Fewcents dengan sistem pay per view. Terlebih, sistem pembayaran saat ini sudah semakin variatif dan memudahkan pengguna.

Two years ago, the payment infrastructure that we see today or take for granted, actually not really there. And now all coming together in terms of timing, mereka mau mengonsumsi konten berkualitas dan ini menjadi suatu hal yang baik bagi micropayment.”

 

Pendanaan Asumsi.co

Asumsi Dapatkan Pendanaan Awal dari East Ventures, Difokuskan untuk Peningkatan Teknologi

East Ventures hari ini (15/9) mengumumkan investasi tahap awalnya untuk startup media digital Asumsi. Tidak disebutkan nominal pendanaan yang diberikan. Modal segar ini akan digunakan untuk mengakselerasi proses pengembangan produk teknologi, dengan misi menjadi ekosistem media yang berkelanjutan. Termasuk untuk merekrut talenta teknologi dan membangun infrastruktur teknis.

Menargetkan pembaca muda, Asumsi banyak mengangkat topik peristiwa terkini seputar isu sosial, politik, dan budaya. Didirikan pada tahun 2017 oleh Pangeran Siahaan, saat ini perusahaan mengklaim telah meraih 10 juta kunjungan per bulan di situsnya, dengan rata-rata 3,2 juta penonton setiap bulan di kanal YouTube-nya.

“Asumsi percaya bahwa kunci dari bisnis media yang berkelanjutan adalah kombinasi dari konten berkualitas dan inovasi teknologi. Kami telah berusaha sebaik mungkin dalam menciptakan konten berkualitas tinggi yang memenuhi standar jurnalistik untuk menawarkan alternatif dari media arus utama. Namun, kami sadar bahwa ini hanya solusi sebagian,” ujar Pangeran.

Terobosan model bisnis

Akses internet yang semakin meluas memberikan keuntungan sekaligus tantangan untuk industri media digital. Keuntungannya jelas, memungkinkan setiap perusahaan/startup merangkul pembacanya secara lebih efisien. Sementara tantangannya, makin banyaknya media –baik mainstream maupun niche—membuat kue iklan (sebagai legasi model pendapatan) semakin kecil. Maka inovasi strategi bisnis perlu digencarkan.

Bulan Februari 2020, Asumsi meluncurkan YourMedia, memungkinkan pengguna untuk memberikan donasi terhadap sajian konten yang menurut mereka layak untuk diapresiasi. Sederhananya, perusahaan merilis platform crowdfunding untuk mengajak pembacanya turut serta membangun bisnis Asumsi. Program tersebut diluncurkan pasca perusahaan mengikuti program Google News Initiative.

Kepada DailySocial tim Asumsi mengatakan, setelah hampir 8 bulan dirilis, platform YourMedia mendapati traksi yang cukup baik. “Kami berhasil mendapatkan funding ratusan juta Rupiah dari audiens. Hal ini menunjukkan bahwa sebenarnya ada dorongan dan kemauan dari audiens untuk merogoh kantongnya untuk konten media yang mereka anggap berkualitas jika menggunakan pendekatan yang tepat.”

Isu lain yang disampaikan seputar industri media digital adalah soal ketergantungan terhadap media sosial. Di satu sisi, platform seperti Twitter, Facebook dll memudahkan proses distribusi konten dan terhubung dengan penikmatnya, tapi di sisi lainnya kemunculan kreator konten individu memperketat persaingan di industri yang sudah kompetitif sejak lama.

“Karena itu, kami harus berpikir di luar pendekatan yang biasa. Investasi ini memberikan Asumsi kemampuan untuk membangun infrastruktur teknologi, yang memberikan kami keunggulan sambil menjaga kualitas dan pendekatan unik yang membuat Asumsi berbeda. Asumsi ingin menciptakan platform berita yang didukung oleh sistem analisis dan monitoring canggih,” imbuh Pangeran.

Ketika ditanya lebih lanjut mengenai detail sistem tersebut, pihak Asumsi masih enggak untuk menceritakan. Selain itu, mereka memiliki beberapa rencana lain di beberapa bulan mendatang. Dua di antaranya merilis produk teknologi dan membuat vertikal media (konten) baru.

“Asumsi berencana membantu media independen lain untuk membuat dan memonetisasi konten dengan segera membuka platform YourMedia bagi mereka. Asumsi juga berencana untuk membantu audiens memahami dan mengonsumsi konten berita berkualitas dengan lebih baik. Ini tidak terbatas pada konten kami sendiri, tetapi juga konten berkualitas di platform lain.”

Dian Gemiano

Ketum IDA, Dian Gemiano Berbicara tentang Lanskap, Disrupsi, dan Masa Depan Industri Media Digital

Senin (07/9) lalu, Indonesia Digital Association (IDA) mengadakan proses pemilihan ketua umum baru untuk periode 2020-2023. CMO KG Media Dian Gemiano (Gemi) resmi terpilih, melalui proses voting yang diikuti perwakilan 22 perusahaan media digital di Indonesia secara online. IDA didirikan untuk menjadi salah satu payung industri digital, khususnya di bidang media, periklanan, dan pemasaran. Tugas besarnya, membantu perusahaan meningkatkan “kue iklan”.

DailySocial berkesempatan untuk mewawancara Gemi, menggali perspektifnya tentang industri media saat ini, di tengah gempuran pandemi Covid-19; dan mendalami visi asosiasi yang kini di bawah kepemimpinannya.

“Industri media digital pada periode pandemi ini pada umumnya diuntungkan dari sisi volume traffic atau keterbacaan, namun sayangnya peningkatan volume tersebut tidak merefleksikan peningkatan revenue iklan yang biasanya kedua parameter tersebut bergerak beriringan,” ujar Gemi.

Lebih lanjut ia menjelaskan, pendapatan iklan yang cenderung stagnan (bahkan turun) disebabkan karena dua hal. Pertama, banyak pengiklan yang menahan belanja ikan dikarenakan situasi ekonomi yang tidak pasti (wait and see), terlebih sepanjang Q1 dan Q2. Kedua, naiknya volume keterbacaan menekan turun harga programmatic ads, dikarenakan over-supply inventory.

“Tekanan kedua cukup berat karena di beberapa media proporsi pendapatan dari programmatic ini cukup besar. Covid-19 ini harus menjadi wake up call untuk para pelaku bisnis media digital karena makin terasa bahwa kontrol kita terhadap pendapatan iklan semakin lama semakin mengecil. Perlu ada upaya-upaya strategis dari pengelola media untuk meng-assess praktik bisnis yang selama ini dijalankan dan mengambil kembali kontrol yang hilang tadi,” imbuh pria lulusan ITB tersebut.

Disrupsi dan tantangan industri media

Banyak survei menunjukkan tingginya penetrasi pengguna media sosial di Indonesia. Salah satunya dirangkum dalam laporan terbaru WeAreSocial, sekurangnya tahun ini ada 130 juta pengguna Facebook di Indonesia dan 63 juta pengguna Instagram. Twitter, YouTube, Tik Tok, dan platform lainnya juga makin digemari. Secara tidak langsung, layanan tersebut mengubah cara orang dalam mengonsumsi konten digital seperti berita, pun bagi bisnis untuk menempatkan iklannya.

Kondisi ini memaksa bisnis media untuk berbenah, menyusun ulang strategi mereka agar tetap relevan bagi pembacanya. Gemi pun setuju bahwa media sosial menjadi salah satu tantangan eksternal yang dihadapi industri media digital. Karena sudah menjadi sebuah keniscayaan, di setiap ekosistem bisnis akan ada kompetitor yang sifatnya disruptif. Namun ia menekankan, idealnya kompetitor bisa membuat iklan bisnis menjadi lebih sehat, karena mendorong inovasi agar industri tetap bertumbuh.

“Untuk mencapai kondisi (ideal) tersebut, seluruh pemain harus berada di playing field yang setara sehingga keuntungan mutualisme terjadi dengan netral. Jadi menurut saya bukan keberadaan media sosial atau platform lain yang menjadi isu, tetapi apakah hubungan antarpemain sehat dan setara?,” terang Gemi.

Ia melanjutkan, “Suka atau tidak keberadaan media sosial untuk para publisher digital pun memberikan keuntungan, setidaknya di area distribusi konten dan consumer engagement. Namun pengelola media juga harus mampu menganalisis dengan cermat apakah keuntungan tersebut sudah adil dan setara? Jika belum maka harus diperjuangkan, dan jika merasa kurang memiliki kekuatan untuk fight, berarti harus diperjuangkan bersama-sama. Banyak sekali parameter yang harus dilihat dalam hal ini, mulai dari kebijakan, praktik bisnis, pengelolaan konsumen hingga masalah etika,” imbuhnya.

Ia juga menyoroti, selain di eksternal juga ada tantangan terbesar di sisi internal yang perlu diselesaikan bersama, yakni kompetensi. Misalnya terkait kompetensi pengelolaan data. Sejak lama banyak digembor-gemborkan tentang optimasi data dan peran data untuk peningkatan bisnis media, juga jargon-jargon seperti “data is the next oil”. Menurut pengamatannya, sampai saat ini belum terlihat pebisnis media di Indonesia yang berhasil mengelola data audiens dengan baik dan scaling up bisnis dari situ.

“Salah satu tantangan pengelolaan data ini adalah volume yang dimiliki masing-masing media. Jika dibandingkan dengan kompetitor global, maka volume individual tadi jadi tidak signifikan,” ujar Gemi.

Yang akan diupayakan IDA

Indonesia Digital Association

Visi terkait peningkatan kue iklan sudah sangat jelas dan dibutuhkan oleh seluruh pelaku di industri media. Namun tentunya visi tersebut harus mampu diperinci dengan langkah-langkah strategis yang dapat memberikan dampak nyata. Merurut Gemi, ada dua hal utama yang akan diperjuangkan: peningkatan kompetensi dan mendorong keberpihakan kebijakan pemerintah pada perusahaan lokal.

“Produk iklan harus atraktif. Dalam konteks iklan digital, attractiveness meningkat jika performa iklan juga baik. Agar performa iklan baik salah satu aspek utamanya adalah pemanfaatan data. IDA akan memfasilitasi dan mendorong pengelola media agar memiliki kompetensi yang baik di bidang data dengan pelatihan talenta atau menghubungkan dengan rekanan teknologi yang tepat. Ide lain yang perlu di eksplorasi adalah memfasilitasi data scale up antar media agar volume data yang dimiliki media lokal bisa bersaing dengan pemain global,” jelas Gemi.

Sementara itu, terkait kebijakan, IDA akan aktif memberikan edukasi kepada pembuat kebijakan terkait praktik bisnis periklanan digital — sejauh ini memang kompleks dan kadang tidak mudah dipahami orang di luar industri. IDA akan mengadakan diskusi reguler dengan pembuat kebijakan dalam lingkup kemitraan sehingga harapannya IDA dapat menjadi salah satu sumber referensi utama dalam penentuan kebijakan terkait industri digital.

Sebagai asosiasi yang menaungi banyak pemain industri, IDA juga mengharapkan adanya partisipasi dan kesepakatan untuk tumbuh bersama.

“Terdengar klise, tetapi untuk melakukan hal tersebut diperlukan investasi dan transparansi antar perusahaan media digital. Harapan ke depannya IDA dapat menjadi fasilitator yang efektif untuk inisiatif-inisiatif seperti itu. Komunitas ini juga harus bersepakat untuk mengedukasi pasar agar bergerak ke satu arah yang sama yaitu arah yang memberikan manfaat yang adil untuk semua stakeholder industri ini,” tuturnya.

Industri media digital masih terus bertumbuh

Perubahan industri sangat cepat, sehingga sulit untuk memprediksikan apa yang akan terjadi di tahun-tahun mendatang. Namun ia cukup yakin, bahwa industri media digital di Indonesia masih akan tumbuh karena ruang pertumbuhan pengguna internet pun masih sangat lebar.

“Pertumbuhan penetrasi internet Indonesia akan terakselerasi ke luar Jawa. Karena hal tersebut kapabilitas hyperlocal media jadi sangat penting untuk dimiliki. Dalam waktu dekat juga kita akan mengalami ‘cookie-less internet’ yang akan mengubah lanskap digital advertising kita dengan signifikan (KG Media memprediksikan penurunan revenue programatic sekitar 16% akibat kondisi ini). Pemilik media harus mampu memetakan lanskap baru ini dengan rinci agar bisa memosisikan dirinya dengan baik ketika hal itu terjadi,” tutup Gemi.

Model crowdfunding membuka kanal agar penikmat konten dapat berpartisipasi berdonasi dana untuk mendukung kualitas jurnalistik.

Perjalanan Model Bisnis Media Digital di Indonesia

Pekan lalu, Asumsi.co, sebuah perusahaan media digital yang membahas isu politik dan budaya untuk kalangan muda, meluncurkan YourMedia. Yakni sebuah platform yang mengizinkan audiensnya berdonasi terhadap sajian konten pilihan mereka – atau akrab disebut crowdfunding. Program tersebut diluncurkan pasca perusahaan mendapatkan dana hibah dari Google News Initiative.

“Pada dasarnya, kami membuat YourMedia karena percaya pembaca dan penonton bisa dilibatkan lebih dalam proses pembuatan konten. Banyak audiens kami yang merasa konten yang disajikan informatif dan berguna. YourMedia adalah langkah pertama kami,” tutur Founder & CEO Asumsi.co Pangeran Siahaan.

Prakarsa tersebut merupakan bagian dari visi jangka panjang perusahaan yang menempatkan audiens sebagai salah satu stakeholder utama dalam ekosistem medianya.

Model bisnis berita online

Konsep serupa dengan YourMedia milik Asumsi.co sebenarnya sudah diterapkan media di luar negeri. Salah satunya pemain besar asal Inggris, The Guardian. Mereka membuka kanal yang memungkinkan pembaca mendonasikan nominal tertentu untuk mendukung jurnalisme independen yang mereka kerjakan, kendati mereka juga menawarkan model berlangganan untuk mendapatkan konten premium.

Sebenarnya ada justifikasi yang cukup mendasar kenapa crowdfunding untuk media layak dijalankan, yakni metode pembayaran yang semakin mudah. Seperti yang dilakukan Asumsi.co, mereka menerapkan integrasi dengan GoPay agar penikmat kontennya bisa memberikan donasi mulai dari 10 ribu Rupiah secara mudah.

Asumsi yang sama juga tengah divalidasi platform monetisasi kreator yang akhir-akhir ini mulai bertumbuh di Indonesia – seperti kehadiran KaryaKarsa, Trakteer, dan Socialbuzz Tribe.

Crowdfunding dapat memberikan donasi sesuka pengguna, karena pada dasarnya konten yang disajikan bisa diakses gratis. Di sisi lain, model berlangganan membutuhkan komitmen dalam jangka waktu tertentu.

Model bisnis media digital yang sudah tenar sebelumnya adalah berlangganan untuk konten premium. Di Indonesia beberapa perusahaan sudah mengaplikasikan, seperti The Jakarta Post atau Kompas.id. Ditinjau dari sisi harga, Kompas.id mengenakan biaya Rp50.000 akses penuh ke platform digital atau Rp19.900 untuk tiga rubrik favorit.

Untuk model bisnis berbasis iklan sendiri, arahnya juga sudah mulai dengan personalisasi. Fitur ads targeting yang banyak disajikan startup adtech memberikan keleluasaan kepada pemilik media untuk menghadirkan iklan secara native, dengan konten yang relevan dengan preferensi pembacanya.

Berbagai kanal mainstream masih memanfaatkan model ini untuk tetap menghadirkan publikasi yang dikonsumsi cuma-cuma. Untuk bisa untung, syaratnya memang harus punya trafik yang besar. Implikasinya mereka mengejar dengan model pemberitaan clickbait.

Sementara untuk model berlangganan atau crowdfunding, kualitas jurnalisme menjadi kunci utama. Orang akan membayar demi kepuasan terhadap konten yang dihasilkan. Media tersebut biasanya memiliki ceruk pasar spesifik – jumlahnya kecil namun potensial menghasilkan keuntungan lebih dengan mau membayar.

Model bisnis yang dapat diterapkan media online / Ross Dawson
Model bisnis yang dapat diterapkan media online / Ross Dawson

Gambaran data

Menurut data yang dikompilasi Statista, tahun ini pendapatan bisnis media digital (termasuk video games dan video-on-demand) di Indonesia diproyeksikan mencapai lebih dari $1,6 miliar, dengan sepersepuluhnya ada di ranah publikasi online. Trennya diperkirakan terus meningkat hingga tahun 2024.

Pertumbuhan keuntungan bisnis media digital di Indonesia / Statista
Proyeksi pertumbuhan pendapatan bisnis media digital di Indonesia / Statista

Menurut data Dewan Pers, saat ini (24/2) ada 1226 media pemberitaan yang terdaftar di asosiasi, baik yang cakupannya nasional maupun daerah, dengan pemberitaan umum maupun spesifik. Di luar itu masih banyak media yang berdiri secara independen – kebanyakan perusahaan media yang menyasar pangsa pembaca dari kalangan tertentu (niche).

Selama sekitar dua dekade terakhir, bisnis media di Indonesia dikuasai oleh televisi. Kendati beberapa pihak dan lembaga penelitian menilai mulai ada transisi ke media digital, namun ikatan siaran on-air melalu sambungan satelit tersebut masih sangat kuat.

Riset Nielsen Indonesia tahun 2017 menyebutkan jumlah penikmat berita online Indonesia mencapai 50,6 juta orang. Angka ini naik 35,8% dibandingkan tahun sebelumnya. Angka tersebut terus diproyeksikan meningkat seiring dengan penetrasi broadband dan penggunaan smartphone yang lebih luas.

Peningkatan tersebut diiringi dengan makin kuatnya cengkeraman media digital, baik yang berbentuk kanal teks, video on-demad, hingga yang terbaru podcast. Terlebih ada yang tidak bisa dihadirkan televisi dan kini diakomodasi media digital: personalisasi.

Transisi

Saat ini memang masih masa transisi menuju konsumsi media yang sepenuhnya online. Belum ada pengukuran pasti tentang efektivitas dari model bisnis terkait di Indonesia. Masih perlu banyak validasi dengan beragam skenario.

Beberapa masih mencoba model bisnis tersebut di atas dan masih bertahan sampai sekarang, beberapa lagi mencoba bereksperimen dengan strategi revenue lainnya yang terus bermunculan seperti melalui kemitraan, komunitas, hingga penyelenggaraan acara dengan mengedepankan kredibilitas merek yang dimiliki.

Fragmentasi kanal dapat menjadi hambatan tersendiri untuk pebisnis media digital. Orang mengonsumsi informasi melalui media sosial, memproduksi kabar lewat YouTube, dan lain-lain. Untuk tetap kokoh, fondasi utama jurnalisme harus tetap menjadi pegangan agar menjadi diferensiasi dengan publikasi yang beredar di luar sana, seperti akurasi, objektivitas, dan kualitas.

Edi Taslim and On Lee to be Kaskus' top-tier executives / Kaskus

Source: Edi Taslim is Promoted as Kaskus’ CEO

Edi Taslim, a digital media industry veteran, is reportedly becoming Kaskus’ CEO. The appointment is to support Kaskus’ strategies to stay relevant in current tech industry. Taslim joined Kaskus through the strategic investment on the adtech company he founded, ProPS, on last November.

According to our previous report, Taslim joined GDP Venture to help Kaskus’ business development. In his LinkedIn page, he’s listed as Kaskus’ COO since December 2017.

After Ken Dean Lawadinata left in 2016, Kaskus is in absence of de facto leadership and as interim  led by On Lee, the CTO (for Kaskus and GDP Venture). Kaskus received strategic funding from GDP Venture in 2011.

Taslim is expected to lead this company sailing through this digital era. Kaskus, a UGC-based community service, has strong competitors in two sectors, media/social media and classified ads. Aside from forum, Kaskus also owns messaging product (Kaskus Chat), payment platform (Kaspay), and digital ads platform (Kaskus Ads)

Taslim has been in the media industry for quite some time. Before founding ProPS, he was working with Kompas Gramedia Group, with the last position as Digital Group Director.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Duet Edi Taslim dan On Lee menjadi nahkoda baru Kaskus / Kaskus

Edi Taslim Disebut Kini Menjadi CEO Kaskus

Edi Taslim, veteran di industri media digital, menurut sumber terpercaya disebut kini telah memegang tampuk kepemimpinan tertinggi Kaskus. Naiknya Edi menjadi CEO bakal mendukung strategi-strategi Kaskus supaya tetap relevan dan berkembang di industri teknologi saat ini. Edi masuk ke Kaskus setelah perusahaan adtech yang didirikannya, ProPS, mendapat investasi strategis di bulan November lalu.

Dalam laporan terdahulu disebutkan Edi bergabung dengan GDP Venture untuk membantu pengembangan bisnis Kaskus. Laman LinkedIn Edi mencantumkan posisi COO Kaskus diemban sejak bulan Desember 2017.

Pasca hengkangnya Ken Dean Lawadinata di tahun 2016, secara de facto Kaskus tidak memiliki pemimpin perusahaan tetap dan secara interim kepemimpinan dipegang On Lee yang juga menjadi CTO (baik untuk Kaskus maupun GDP Venture). Kaskus mendapatkan pendanaan strategis dari GDP Venture di tahun 2011.

Kehadiran Edi diharapkan menjadi nahkoda baru yang memahami arah perusahaan digital seperti ini. Kaskus sebagai layanan komunitas berbasis UGC mendapatkan persaingan keras di dua area, media/media sosial dan iklan baris (classified ads). Selain forum, Kaskus juga memiliki produk messaging (Kaskus Chat), platform pembayaran (Kaspay), dan platform periklanan digital (Kaskus Ads).

Edi sendiri telah lama malang melintang di dunia industri media. Sebelum mendirikan ProPS, Edi berkiprah bersama Kompas Gramedia Group dengan posisi terakhir Digital Group Director.

The Asian Parent Resmikan Kehadirannya di Indonesia

Setelah menjalankan bisnisnya selama satu tahun, media yang diperuntukkan kepada ibu-ibu muda di Asia yaitu The Asian Parent meresmikan kehadirannya di Indonesia. The Asean Parent merupakan salah satu media yang dimiliki oleh Tickled Media. Kepada DailySocial, CEO dan Founder Tickled Media Roshni Mahtani mengungkapkan keberadaan The Asian Parent di Indonesia, sepenuhnya mengedepankan lokalisasi dengan tampilan hingga konten yang menggunakan bahasa Indonesia.

“Tidak berbeda dengan The Asian Parent di 9 negara lainnya, konten yang kami hadirkan kami buat untuk non-judgmental parents yang memperhatikan sepenuhnya kesehatan buah hati mereka.”

Kepada media hari ini The Asian Parent Indonesia meresmikan kehadirannya dengan memberikan hasil survei yang telah dilakukan oleh lebih dari seribu ibu muda di Jakarta, Bandung, Medan dan Surabaya. Hasil dari survei tersebut diharapkan bisa membantu para marketer untuk melakukan pendekatan kepada ibu-ibu muda di Indonesia, dan mencermati bagaimana mereka berinteraksi memanfaatkan media sosial hingga perangkat teknologi yang menjadi pilihan.

“Hal menarik yang kami dapatkan dari survei ini adalah sebanyak 88% ibu muda di Indonesia memilih android untuk gadget mereka, Facebook sebagai media sosial favorit dan memilih layanan e-commerce Shopee sebagai pilihan belanja online mereka untuk membeli keperluan rumah tangga hingga keperluan bayi,” kata Roshni.

Saat ini The Asian Parent Indonesia telah memiliki 15 juta pembaca, 30 juta page views, 3 juta penggemar di Facebook dan 200 ribu pelanggan newsletter. Jumlah tersebut diklaim cukup fantastis oleh The Asean Parent Indonesia yang telah menjalankan bisnis selama satu tahun.

“Selain di situs The Asian Parent Indonesia juga bisa diakses di mobile browser dan aplikasi. Kita ingin memudahkan ibu-ibu muda mendapatkan informasi sekaligus berkomunikasi melalui jaringan kami,” kata Roshni.

Meluncurkan Tap Influencer Network

Dalam kesempatan tersebut The Asian Parent Indonesia juga turut meluncurkan komunitas ibu-ibu muda yang gemar menulis di blog, media sosial dan platform lainnya dalam satu wadah yang diberi nama Tap Influencer Network. Diharapkan dengan jaringan komunitas ini, bisa mempermudah para anggota untuk berbagi informasi, ide hingga kegiatan yang sepenuhnya didukung oleh The Asian Parent Indonesia.

Meskipun saat ini masih fokus hanya di Jakarta, The Asian Parents Indonesia ingin ke depannya menjangkau lebih banyak lagi anggota yang merupakan ibu-ibu muda di kota-kota besar lainnya di Indonesia.

“Keuntungan bagi anggota yang tinggal di Jakarta lebih banyak dinikmati, hal tersebut tidak terjadi dengan mereka yang tinggal diluar Jakarta. Untuk itu target kita hingga akhir tahun 2017 ini adalah memperluas wilayah bukan hanya di Jakarta tapi juga kota-kota lainnya di Indonesia,” tutup Roshni.

Application Information Will Show Up Here

Riset Nielsen Tunjukkan Pergeseran Penikmat Media ke Ranah Online

Sebuah data hasil riset dari Nielsen Company yang dirilis paruh pertama tahun 2017 menunjukkan beberapa tren menarik dalam industri digital dan media. Total sampel yang diikutsertakan dalam riset kali ini sebanyak 1107 dengan dominasi responden di usia antara 16-34 tahun dari 11 kota besar di Indonesia, mewakili sekurangnya 54,8 juta penduduk.

Bab pertama temuan survei membahas tentang penetrasi media. Tercatat bahwa TV masih berada di peringkat pertama dengan 96 persen responden masih menikmatinya, disusul oleh media berjenis static outdoor (53 persen), kemudian internet (44 persen – setara dengan 24,2 juta penikmat), radio (37 persen), koran (7 persen), dan majalah (3 persen). Penetrasi internet menjadi yang cukup signifikan, meningkat 26 persen sejak lima tahun silam.

Demografi menjadi salah satu hal menarik dalam media, hal ini menjadi kebutuhan bagi para brand untuk menargetkan pangsa pasar yang tepat. Dari konsumsi media didasarkan pada generasi tersaji sebuah grafik menarik berikut. Millennials dan generasi X yang kini menjadi pangsa pasar mayoritas brand terpantau lebih menyukai media internet dan bioskop dalam aktivitas mendapatkan konten.

Riset Nielsen bertajuk "The New Trend Among Indonesia's Netizen"
Riset Nielsen bertajuk “The New Trend Among Indonesia’s Netizen”

Kemudian jika menilik proposisi media berdasarkan Social-Economic Class (SEC), terdapat temuan masyarakat kelas 1 (berpenghasilan di atas rata-rata) mendominasi penggunaan TV berlangganan. Sedangkan untuk kelas menengah masih mengisi semua porsi, dengan persentase tertinggi ada pada TV konvensional, internet dan majalah.

Riset Nielsen bertajuk "The New Trend Among Indonesia's Netizen"
Riset Nielsen bertajuk “The New Trend Among Indonesia’s Netizen”

Perangkat tablet kurang dinikmati pengguna di Indonesia

Internet menjadi saluran media paling bertumbuh, hal tersebut tak lain dipengaruhi karena aksesiblitas yang makin terjangkau. Mengenai alat akses sendiri, dari hasil survei Nielsen terungkap bahwa ponsel pintar masih berada pada di tingkat teratas, pun demikian dengan pertumbuhannya. Persentase menarik lainnya justru penetrasi perangkat tablet kian menurut. Pada grafik di bawah membandingkan antara penggunaan perangkat di tahun 2015 (ungu tua) dan tahun 2017 (ungu muda).

Riset Nielsen bertajuk "The New Trend Among Indonesia's Netizen"
Riset Nielsen bertajuk “The New Trend Among Indonesia’s Netizen”

Menjadi sebuah temuan menarik, pasalnya justru angka yang masih besar berada pada perangkat laptop dan PC. Faktor kenyamanan dinilai menjadi yang paling mempengaruhi mengapa tablet pada akhirnya kurang diterima di kalangan masyarakat yang menjadi responden.

Tentang penetrasi konten video internet

Tentang media hiburan juga bergeser, kendati sambungan TV masih memiliki porsi tertinggi, ada peningkatan yang cukup signifikan untuk konten video internet. Dalam grafik di bawah ini, varian konten video internet persentasenya tersaji pada grafik batang berwarna kuning. Frekuensinya aksesnya cukup beragam, sedangkan kategori usia menjadi salah satu yang mempengaruhi.

Riset Nielsen bertajuk "The New Trend Among Indonesia's Netizen"
Riset Nielsen bertajuk “The New Trend Among Indonesia’s Netizen”

Sedangkan untuk kanal video populer, YouTube masih mendominasi di pasar. Pun saat dibandingkan dengan penyedia konten viral lokal. Persentasenya berselisih sangat jauh. Tentu dapat dipahami, bahwa terdapat banyak faktor yang mempengaruhi angka tersebut. Selain dari kuantitas dan kategori video yang tersedia, kemudahan fitur pada kanal platform juga menjadi salah satu faktor keberpihakan pengguna dengan portal video milik Google tersebut.

Riset Nielsen bertajuk "The New Trend Among Indonesia's Netizen"
Riset Nielsen bertajuk “The New Trend Among Indonesia’s Netizen”

Nielsen juga mencoba menelisik lebih dalam terhadap persentase masyarakat yang belum menikmati konten berbasis internet. Terdapat tiga alasan fundamental, yakni terkait dengan ketersediaan infrastruktur, pengetahuan teknologi yang rendah, serta kenyamanan dengan konten yang telah disediakan oleh TV konvensional.

Riset Nielsen bertajuk "The New Trend Among Indonesia's Netizen"
Riset Nielsen bertajuk “The New Trend Among Indonesia’s Netizen”

Efektivitas media internet dengan kebutuhan pemasaran produk

Dalam risetnya Nielsen juga menanyakan apakah ketika responden melihat sebuah tayangan brand di konten yang ia temui internet mereka akan mencari tahu lebih lanjut. Selain responden berusia 50 tahun ke atas, kebanyakan dari responden (lebih dari 60 persen) mengaku selalu berminat mencari tahu lebih lanjut. Karena pada umumnya iklan yang ia lihat di media online mengerucut kepada produk atau brand yang cocok untuk mereka. Hal tersebut tentunya berpengaruh pada digital advertising yang kian maju, mampu menargetkan secara spesifik kepada demografi pengguna yang diincarnya.

Ada beberapa jenis tindakan yang coba dipetakan ketika pengguna mencari tahu lebih lanjut tentang produk yang mereka temui di konten online. Mulai dari menilik lapak online yang diinformasikan, melakukan pembelian secara langsung, menghubungi penyaji brand terkait, atau membeli secara online. Persentase tertinggi ialah melakukan pembelian secara online.

Riset Nielsen bertajuk "The New Trend Among Indonesia's Netizen"
Riset Nielsen bertajuk “The New Trend Among Indonesia’s Netizen”

Sehingga dapat menjadi sebuah simpulan bahwa akses media online tidak terpaku pada sebuah platform media saja, namun sifatnya kait-mengait satu dengan yang lainnya. Misalnya antara media online dengan iklan digital, antara iklan digital dan toko online, dan lain sebagainya.