Tag Archives: digital reformation

Perubahan menuju digital adalah keniscayaan / Pixabay

“Reformasi Digital”, Perjuangan yang Belum Usai

Tahun 1998 merupakan salah satu lembaran kelam perjalanan sejarah negeri ini. Tak hanya soal kerusuhan dan demo di sana-sini, kondisi ekonomi dan moneter negara jatuh terpuruk seiring dengan krisis yang melanda kawasan Asia Tenggara. Krisis di tahun 1998 tersebut menandai jatuhnya pemimpin bangsa yang sempat bertahan di posisinya hingga lebih dari 30 tahun. Meskipun demikian, sejarah juga mencatat ekonomi Indonesia bisa bertahan karena bertumbuhnya sektor usaha kecil dan menengah, termasuk yang bergerak di industri kreatif.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) mengungkapkan bahwa pasca krisis tahun 1998, jumlah UKM justru terus meningkat. Bahkan BPS menyebutkan 99% bisnis di Indonesia, atau lebih dari 56 juta buah, adalah UKM. Sisanya, sekitar 5000 buah, tergolong usaha besar.

UKM bisa dibilang adalah pilar penopang yang bisa mendorong Indonesia untuk bangkit. Kini, dengan model gerakan yang sedikit berbeda, UKM dan industri kreatif memimpin pertumbuhan ekonomi Indonesia di abad ke-21. Pionirnya adalah startup-startup digital bertajuk unicorn, baik yang bergerak di industri e-commerce maupun layanan on-demand.

“Kaum millennial”, mereka yang saat reformasi tahun 1998 masih duduk di bangku sekolah atau bahkan baru berusia beberapa tahun, kini memimpin reformasi yang berbeda. Sebut saja gerakannya saat ini sebagai reformasi digital.

Reformasi model baru

Dua puluh tahun pasca reformasi, wajah dunia yang berubah membawa kita ke “reformasi model baru”. Meski tidak ada penjelasan bakunya, reformasi digital bisa diartikan sebagai pergeseran tata cara dari yang sifatnya konvensional ke digital. Reformasi digital bisa dijalankan di berbagai aspek, termasuk pemerintahan, manufaktur, pendidikan, penegakan hukum, dan ekonomi.

Reformasi digital adalah modal setiap bangsa memasuki abad kekinian. Melalui teknologi digital, ekonomi tak lagi didasarkan pada transaksi yang dilakukan di tempat yang sama antara penjual dan pembeli. Penjual dan pembeli bisa berdomisili di kota atau bahkan negara yang berbeda. Sarana logistik dan pembayaran digital akan menjadi jembatan yang memudahkan transaksi ini.

Reformasi seperti ini mendukung usaha Indonesia untuk sejajar dengan negara-negara maju. Berbagai studi lembaga terkemuka dunia, termasuk oleh McKinsey dan PwC, meyakini hadirnya Indonesia di jajaran ekonomi terdepan dunia di tahun 2030. Berdasarkan beberapa metode, Indonesia bahkan dianggap layak masuk ke jajaran lima besar ekonomi global, bersama dengan Tiongkok, Amerika Serikat, India, dan Jepang.

Abad ke-21 ditandai dengan booming pertumbuhan perusahaan teknologi. Data tiba-tiba menjadi “emas atau minyak baru” dan jargon-jargon seperti big data, artificial intelligence, blockchain, internet of things, dan connected device menjadi makanan sehari-hari.

Jika di awal tahun 2000-an perusahaan bervaluasi terbesar di dunia didominasi oleh perusahaan minyak dan ritel, di tahun 2018 ini hegemoni tersebut dikuasai perusahaan berbasis teknologi yang berbasis di Silicon Valley. Sebut saja Apple, Google/Alphabet, Amazon, Microsoft, dan Facebook di Amerika Serikat.

Sementara di Tiongkok, Tencent dan Alibaba bersaing ketat menjadi pemimpin pasar. Tiap-tiap perusahaan itu nilai perusahaannya udah berada di atas $400 miliar, bahkan Apple sudah berada di kisaran $800 miliar.

Pelaku di Indonesia tidak mau kalah, walaupun skalanya belum sebesar di Amerika Serikat maupun Tiongkok. Jumlah penduduk yang mencapai lebih dari 260 juta jiwa, terbesar keempat di dunia, menjadi modal dasar bangsa untuk unggul di zaman digital. Terlebih masyarakat kita sangat adoptif terhadap perkembangan teknologi. Lebih dari separuh masyarakat, atau sekitar 143 juta jiwa menurut data APJII, telah memiliki akses ke layanan internet. Ini adalah pangsa pasar yang sangat ideal. Di Asia kita adalah yang pasar ketiga terbesar setelah Tiongkok dan India.

Industri kreatif dan UKM kita kemudian berevolusi. Tak hanya berjualan dari lapak ke lapak, mereka sudah merambah ke sektor digital. Ekonomi digital menjadi sebuah kredo populer, baik digaungkan pemerintah, penggiat ekonomi digital, maupun berbagai lapisan masyarakat.

Pengrajin di Jepara kini bisa memiliki pelanggan di Sabang, sementara pedagang mainan berskala kecil bisa mengirimkan barangnya ke Merauke. Semua dikendalikan melalui genggaman tangan.

Data Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA) menunjukkan hampir 25 juta orang atau 9 persen dari total populasi telah membeli barang secara online di tahun 2016.

Digital booming

Layanan berbasis online mulai bermunculan sejak tahun 2009, tapi booming-nya baru terasa di tahun 2014 yang diakselerasi kehadiran Rocket Internet. Jagad industri digital terbangun dari tidurnya ketika Tokopedia, salah satu layanan e-commerce lokal yang didirikan oleh William Tanuwijaya dan Leontinus Alpha Edison, mendapatkan suntikan dana segar senilai $100 juta (atau lebih dari 1 triliun Rupiah dengan nilai tukar saat itu) dari dua investor terkemuka, Softbank dan Sequoia Capital. Sejak itu industri digital Indonesia tak lagi sama.

Duit jutaan dollar kini mengalir ke kantong-kantong pendiri startup lokal. Sekitar tiga miliar dollar dikucurkan investor untuk startup Indonesia tahun 2017 lalu. Setiap tahun ratusan startup dibangun oleh anak-anak muda idealis yang ingin menyelesaikan masalah bangsa.

Indonesia yang memiliki permasalahan di berbagai aspek adalah suatu laboratorium eksperimen yang ideal bagi berbagai startup untuk menguji coba ide-idenya.

Presiden Joko Widodo di pertemuan World Economic Forum 2015 mengatakan: “When we see challenges, I see opportunities. Indonesia’s challenges are your opportunities.”

Kita tak lagi kaget ketika Go-Jek mencari dana miliaran dollar untuk tetap relevan dalam kompetisinya menghadapi pesaing terdekat. Semua berebut kue lezat yang didengungkan seantero jagad. Indonesia layaknya gadis molek yang diperebutkan semua orang.

Negara kita kini memiliki empat perusahaan startup yang memiliki valuasi di atas satu miliar dollar. Mereka adalah Go-Jek, Tokopedia, Traveloka, dan Bukalapak. Satu startup bergerak di sektor pelayanan dan logistik, sementara sisanya berhubungan dengan perdagangan.

Saking produktifnya, jumlah startup unicorn Indonesia lebih banyak dibanding total unicorn di negara-negara Asia Tenggara lainnya. Yang lebih mengejutkan lagi, nilai valuasi ini dicapai dalam jangka waktu pendek.

Sebagai gambaran, nilai valuasi Go-Jek, yang disebut-sebut menyentuh angka empat miliar dollar, lebih tinggi dibanding perusahaan transportasi apapun yang telah melantai di Bursa Efek Indonesia.

Selain itu sekitar dua juta UKM Indonesia kini menggantungkan kelangsungan bisnisnya melalui kepemimpinan perusahaaan digital. Belum lagi jutaan mitra pengemudi yang bergabung di layanan transportasi berbasis aplikasi.

Optimisme yang terukur

Menurut Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto, dalam enam tahun terakhir pertumbuhan industri digital mencapai 9,8-10,7 persen, dua kali lipat dari pertumbuhan dari pertumbuhan ekonomi nasional. Airlangga bahkan yakin angkanya mencapai di atas 11 persen di tahun 2019 karena seluruh Nusantara sudah terhubung dengan internet.

Saat ini ekonomi digital disebut baru menyumbang sekitar 1-2% dari total GDP, tapi semua optimis porsinya bakal terus bertambah. Menkominfo Rudiantara bahkan pernah memberi pernyataan bombastis bahwa di tahun 2020 ekonomi digital bakal menyumbang 11 persen (senilai $130 miliar) dari total GDP Indonesia, meskipun penulis melihat jangka waktu tersebut belum realistis.

Di Tiongkok, yang penetrasi ekonomi digitalnya sudah luar biasa, angka tersebut baru dicapai setelah sekitar 15-20 tahun.

Skala ekonomi yang dikembangkan layanan digital tak bisa dianggap remeh. Kajian Lembaga Demografi Universitas Indonesia beberapa waktu yang lalu menyebutkan bahwa Go-Jek per tahun sudah menyumbang sekitar 9,9 triliun Rupiah ke ekonomi nasional untuk meningkatkan taraf hidup jutaan mitra pengemudi dan keluarganya melalui dua jenis layanan saja, layanan transportasi dan layanan pengantaran makanan.

Sebagai seseorang yang beruntung merasakan langsung dinamika yang terjadi antara 1998 dan 2018, penulis meyakini faktor perkembangan teknologi memegang peranan penting bagi perkembangan ekonomi Indonesia ke depannya. Memanfaatkan teknologi, kita menjadi lebih efisien dalam melakukan transaksi perdagangan, kegiatan logistik, maupun pelayanan-pelayanan di sektor lainnya.

Efek samping

Meskipun demikian, implementasi teknologi bukan berarti tak punya sisi negatif. Sikap apatis, antisosial, dan semakin pudarnya sikap sopan santun menjadi sinyalemen bahwa kemajuan teknologi juga membawa dampak buruk.

Selain itu kita juga sekarang cenderung malas untuk bergerak karena layanan on-demand, seperti Go-Jek, sangat memudahkan kita untuk memperoleh satu barang atau bergerak dari satu tempat ke tempat lain. Tak heran jika tingkat obesitas di Indonesia termasuk yang melonjak tajam. Data Riset Kesehatan Nasional menyebutkan 20% penduduk dewasa Indonesia mengalami obesitas, sementara pengidap obesitas di anak-anak meningkat tiga kali lipat.

Sejumlah literatur juga menyoroti dampak buruk ekonomi digital. Don Tapscott, yang menerbitkan buku The Digital Economy tahun 1995, dalam tulisan retrospektifnya di Harvard Business Review, menyoroti isu-isu sosial, seperti berkurangnya lapangan pekerjaan, hilangnya privasi, dan semakin dalamnya jurang kesenjangan sosial.

Kehadiran layanan e-commerce memang mendorong perubahan budaya. Pusat-pusat perbelanjaan tidak lagi menjadi tujuan kita saat membutuhkan suatu barang. Tercatat setidaknya lima gerai ritel besar berguguran sepanjang tahun lalu, yang salah satunya berdampak pada menurunnya jumlah lapangan pekerjaan.

Kemajuan teknologi juga mengancam pekerjaan di sektor layanan pelanggan yang mulai digantikan teknologi seperti chatbot dan asisten virtual.

Kebanyakan yang menjadi korban adalah kalangan menengah ke bawah dengan skill atau tingkat pendidikan yang relatif rendah. Penetrasi teknologi yang semakin luas bisa berdampak semakin sempitnya lapangan pekerjaan bagi kalangan ini.

Kesimpulan

If we are really to be a great nation, we must not merely talk; we must act big. (Theodore Roosevelt, Presiden Amerika Serikat ke-26)

Reformasi tahun 1998 akan selalu menjadi pengingat bahwa sejarah Indonesia memiliki masa-masa naik dan turun. Indonesia adalah bangsa yang masih muda. Seperti halnya bangsa-bangsa lain yang memiliki sejarah lebih panjang, peristiwa tersebut akan menjadi titik tolak untuk melangkah menjadi bangsa yang lebih baik.

Kemajuan zaman tidak bisa dihindari dan adopsi teknologi adalah keniscayaan. Terlepas dari sejumlah efek samping yang ditimbulkannya, ekonomi digital akan terus merangsek dan berkontribusi bagi pertumbuhan ekonomi negara. Inklusi finansial, yang juga merupakan program pemerintah, bakal semakin mudah dengan hadirnya berbagai layanan digital, termasuk peminjaman, pembiayaan, investasi, dan lain sebagainya.

Reformasi digital masih belum usai dan menjadi kewajiban kita bersama mengawalnya untuk selalu berada di arah yang benar. Hal ini demi mencapai cita-cita Indonesia yang berdaulat dan sejajar dengan negara-negara besar lainnya pada tahun 2030.


Artikel ini juga dimuat di The Jakarta Post dalam format bahasa Inggris