Tag Archives: digital Rupiah

Dalam Lanskap Keuangan yang Dinamis, Indonesia Memiliki Rencana Terkait Rupiah Digital

Bank Indonesia sedang mempersiapkan mata uang digital bank sentral, atau CBDC, seperti diumumkan Gubernur Perry Warjiyo pekan lalu. Dalam sebuah postingan di Instagram, bank sentral mengungkapkan tengah melakukan penelitian dan penilaian untuk CBDC sebagai aspek mata uang negara. Langkah bank sentral menunjukkan bahwa otoritas keuangan Indonesia sedang meletakkan dasar untuk inovasi keuangan yang lebih maju ketika masyarakat di negara ini mulai nyaman melakukan transaksi tanpa uang tunai.

Bank sentral menunjukkan tiga pertimbangan dalam posting Instagram-nya: mata uang digital akan berfungsi sebagai alat pembayaran yang sah, akan berbasis teknologi, dan akan mendukung bank dalam kebijakannya, termasuk kontrol jumlah uang beredar.

Pengembangan ini akan memakan waktu, kata Bank Indonesia, karena CBDC akan membutuhkan investasi di bidang infrastruktur seperti langkah-langkah keamanan siber. Bank Indonesia sedang melakukan asesmen untuk lebih memahami manfaat dan potensi CBDC-nya, yang mencakup bidang-bidang seperti desain, teknologi, dan mitigasi risiko. Ini berhubungan erat dengan bank sentral lain untuk meninjau kemajuan dalam masalah ini.

Bank sentral di seluruh dunia sedang mempelajari atau menguji implementasi CBDC. China mempelopori penelitian pada tahun 2014 dan membuat sejarah tahun lalu ketika mulai menguji yuan digitalnya dalam program uji coba yang menelan biaya jutaan dolar per putaran. Indonesia mungkin perlu waktu untuk membuat kemajuan yang signifikan, kata Piter Abdullah, mantan ekonom senior di Bank Indonesia dan sekarang direktur riset di Center of Reform on Economics Indonesia.

“Konsep uang rupiah digital masih belum jelas, dan masih banyak pertanyaan yang belum terjawab, seperti bagaimana mekanisme pembuatan dan peredarannya, teknologi apa yang akan digunakan, dan bagaimana bank akan menyalurkan uang tersebut ke konsumen,” ungkap Abdullah kepada KrASIA. Perusahaan fintech dan bank sudah dapat mendigitalkan uang kertas, katanya, tetapi mata uang digital jauh lebih kompleks. “Regulator perlu memetakan konsep, prosedur, dan tujuan sebelum mulai membangun infrastruktur. Itu bisa memakan waktu bertahun-tahun.”

Berdasarkan definisinya, cryptocurrency terdesentralisasi, seperti Bitcoin dan Ethereum, merebut kendali atas pasokan uang dan sistem pembayaran dari lembaga keuangan konvensional, terutama bank sentral, jika diadopsi secara luas. Meskipun kripto bukanlah alat pembayaran formal di Indonesia, lebih banyak orang menyimpan uang di kripto dan memperlakukannya sebagai kelas investasi atau aset. Saat ini ada 4,45 juta investor kripto di negara ini, melebihi perkiraan 2 juta investor yang aktif di pasar saham konvensional pada Februari 2021.

“CBDC adalah respons dari bank sentral terhadap kebangkitan cryptocurrency,” kata Abdullah. “Ini bukan pesaing crypto karena mereka memiliki prinsip yang berbeda.” Sementara cold, hard cash—dan ekuivalen digitalnya di CBDC Indonesia—diterbitkan oleh bank sentral, cryptocurrency dibuat melalui jaringan komputer terdesentralisasi menggunakan teknologi blockchain.

CBDC membawa berbagai manfaat. Rupiah digital akan lebih murah untuk dibuat, didistribusikan, dan dijaga daripada uang kertas dan koin. Bahkan dapat melengkapi kebijakan moneter bank, karena pemantauan arus kas digital secara real-time dapat memberikan wawasan tentang kondisi makroekonomi. Selain itu, satu hal yang sering dibicarakan adalah bahwa CBDC akan membatasi atau bahkan menghilangkan pencucian uang dan penipuan pembayaran.

Rencana Bank Indonesia tersebut merupakan respon terbaru dari regulator dalam menyikapi pesatnya perkembangan sektor teknologi tanah air. Otoritas keuangan Indonesia OJK dan Bursa Efek, BEI, saat ini sedang mengkaji kebijakan baru untuk mengakomodasi perusahaan teknologi seperti GoTo dan Bukalapak, yang kabarnya berencana untuk go public tahun ini.

BEI secara konsisten mendorong raksasa teknologi untuk berkomitmen IPO di Indonesia. Pada bulan Januari, bursa meluncurkan sistem klasifikasi sektoral baru, yang disebut Klasifikasi Industri BEI, yang dimaksudkan untuk menyediakan metrik bagi investor institusi untuk melakukan analisis keuangan secara rinci. Meskipun pertukaran mengharuskan perusahaan untuk mendapatkan keuntungan setidaknya selama satu tahun untuk terdaftar di Papan Utama, hal ini membentuk aturan baru untuk raksasa teknologi yang merugi. Alih-alih menggunakan profitabilitas mereka sebagai satu-satunya ukuran, bursa juga dapat memperhitungkan aset berwujud bersih, kapitalisasi pasar, atau arus kas operasi kumulatif perusahaan-perusahaan ini.

Saham teknologi baru kemungkinan akan menarik investor ritel baru, terutama millennial atau Gen Z, yang telah mengamati kinerja saham teknologi di Amerika Serikat atau pasar lain. “Dewasa ini, investor muda lebih tertarik pada crypto meskipun volatilitasnya tinggi,” kata Abdullah. “Tetapi saya percaya saham teknologi juga memiliki potensi besar. Misalnya, sejak Gojek melakukan investasi di Bank Jago, sahamnya terus meningkat, menunjukkan minat yang tinggi pada perusahaan teknologi.”

Inovasi teknologi dalam industri keuangan dan perbankan mengubah cara konsumen dan bisnis menyimpan dan menginvestasikan uang mereka. Namun, potensi penuh CBDC hanya akan terwujud ketika warga memiliki akses yang inklusif terhadap internet serta literasi keuangan dan digital.

“Pemerintah sangat mendukung digitalisasi di industri keuangan untuk memberikan akses bagi lebih banyak orang. Namun, kami masih memiliki jalan, seperti membangun infrastruktur secara merata dan mengedukasi masyarakat tentang keuangan dan teknologi,” tambah Abdullah.


Artikel ini pertama kali dirilis oleh KrASIA. Kembali dirilis dalam bahasa Indonesia sebagai bagian dari kerja sama dengan DailySocial

Bank Indonesia Butuh Dua Tahun Kaji Penerbitan Uang Digital

Bank Indonesia mengungkapkan butuh waktu dua tahun untuk menyelesaikan proses kajian penerbitan uang digital, kurang lebih akan selesai pada 2020 mendatang. Kendati demikian, bank sentral belum bisa menjamin apakah uang digital benar-benar dapat diimplementasikan atau tidak.

Kepala Departemen Kebijakan Sistem Pembayaran BI Onny Widjanarko menerangkan sudah melakukan riset sejak tahun lalu lewat BI Fintech Office (FTO). Sekarang pihaknya tengah merampungkan kajian mata uang digital tersebut.

“Di pipeline kita akan coba dua tahun dari sekarang. Kalau lebih cepat [selesai kajian] itu lebih bagus, yang penting kita harus teliti bagaimana kompleksitasnya. Mau pelajari dulu dari sisi legal, pakai teknologi apa, belum lagi dari sisi operasionalnya akan seperti apa. Itu harus diteliti secara jelas,” kata Onny, Rabu (31/1).

Menurutnya, apa yang dilakukan bank sentral ini telah berkaca pada apa yang sudah dilakukan oleh bank sentral dari berbagai negara. Namun langkah ini bukan dikarenakan maraknya peredaran mata uang virtual seperti bitcoin.

Berdasarkan hasil riset sementara yang diperoleh bank sentral, pemanfaatan uang digital punya banyak kelebihan. Di antaranya tidak memiliki tingkat volatilitas yang tinggi, lebih efisien karena tidak harus mencetak uang, dapat disimpan di berbagai platform digital, dan sebagainya.

Bila dicontohkan, untuk membayar tol, kini konsumen perlu membayarnya dengan kartu e-money yang diterbitkan masing-masing bank. Tapi untuk kasus uang digital, penerbitnya adalah Bank Indonesia.

“Secara kekuatan hukumnya akan sama dengan uang cetak karena legal tendernya adalah Bank Indonesia yang sudah dijamin oleh Undang Undang sehingga tidak bisa tolak.”

Sejauh ini, lanjutnya, belum ada bank sentral di dunia yang menerbitkan mata uang digital. Akan tetapi ada beberapa bank sentral yang sudah melakukan uji coba penerbitan uang digital ini. Misalnya, Kanada dengan proyek Jasper dan Singapura dengan proyek Ubin.

Inggris pun saat ini diungkapkan Onny masih melakukan kajian yang dilakukan sejak 2016. Hanya Ekuador yang menjadi satu-satunya negara yang resmi menerbitkan mata uang digital.