Tag Archives: dr. Gregorius Bimantoro

Langkah Progresif Menuju Keterhubungan Informasi Data Kesehatan

Pandemi Covid-19 menjadi katalisator penting bagi Kementerian Kesehatan (Kemenkes) untuk mentransformasi industri kesehatan Indonesia. Bak kereta super cepat, Kemenkes merealisasikan sejumlah langkah yang sangat progresif di sepanjang satu tahun terakhir ini untuk mengawali transformasinya.

Sejak akhir 2021 hingga sekarang, agenda besar Kemenkes tercermin dari realisasi peluncuran (1) peta jalan transformasi digital, (2) regulatory sandbox, (3) platform Indonesia Healthcare System bernama “Satu Sehat”, dan—salah satu yang signifikan—(4) peraturan baru tentang penyelenggaraan Rekam Medis Elektronik (RME).

Poin nomor empat menjadi elemen krusial dalam memuluskan agenda transformasi industri kesehatan. Namun, secara keseluruhan, Kemenkes punya visi-misi jangka panjang yang dalam pelaksanaannya harus merangkul banyak pemangku kepentingan (stakeholder).

DailySocial telah mewawancarai sejumlah stakeholder untuk bicara sudut pandang mereka dari aspek industri, regulasi, dan teknologi sebagai enabler dalam menjawab berbagai persoalan di industri kesehatan yang selama ini identik sebagai high-regulated sector karena berkaitan dengan nyawa manusia dan punya kontrol besar terhadap data informasi kesehatan.

Lanskap dan tantangan

Mengutip sebuah studi, industri kesehatan di Indonesia dihadapkan pada sejumlah tantangan utama, seperti tuntutan untuk memperbaiki layanan medis, penyediaan akses informasi tepat waktu, dan tingginya biaya operasional.

Tenaga kesehatan (nakes) tak hanya dihadapkan pada tuntutan untuk memberikan kualitas layanan kepada pasien, tetapi juga beban administratif. Salah satunya adalah proses input data pasien masih dilakukan secara manual.

Di satu sisi, masyarakat khususnya kaum menengah ke bawah menganggap biaya berobat ke rumah sakit masih sangat mahal. Akses terhadap fasilitas pelayanan kesehatan (fasyankes) di daerah masih minim apabila memperhitungkan faktor geografis di Indonesia.

Data BPS menyebut rata-rata biaya pengeluaran untuk kesehatan di Indonesia meningkat 8,9% menjadi Rp34.364 pada 2021. Secara proporsi, pengeluaran ini naik menjadi 2,72% dari tahun sebelumnya 2,57%. Sementara, Kemenkes mencatat pada 2020 rasio dokter hanya berkisar 0,38 per 1.000 populasi, sedangkan rasio tempat tidur di rumah sakit 1,2 per 1.000 populasi.

Maka itu, pandemi Covid-19 dinilai telah membuka mata para pemangku kepentingan untuk membenahi industri kesehatan. Pandemi memberi dorongan bahwa teknologi dapat menjadi enabler untuk mengatasi krisis dan mendemokratisasi layanan kesehatan dalam jangka panjang.

Sebetulnya, layanan kesehatan berbasis teknologi atau healthtech di Indonesia sudah ada sebelum pandemi. Kita mengenal Alodokter, Halodoc, Klikdokter, dan Klinik Pintar. Layanan yang ditawarkan mulai dari telekonsultasi, marketplace produk kesehatan, hingga digitalisasi ekosistem kesehatan.

Telekonsultasi menjadi salah satu layanan healthtech yang popularitasnya meroket kala pemerintah mengizinkan penggunaannya untuk urgensi penanganan Covid-19. Halodoc dan Alodokter bahkan sempat mencatatkan lonjakan trafik tinggi di awal pandemi.

Terlepas dari itu, masih banyak inovasi di bidang healthtech yang dapat dieksplorasi sehingga tak terbatas pada layanan telekonsultasi saja. Survei Statista memproyeksi nilai pasar digital health di Indonesia mencapai $1,98 miliar di 2022. Segmen terbesar diproyeksi berasal dari digital fitness dan well-being dengan total proyeksi pendapatan sebesar $1,14 miliar di 2022.

Standardisasi dan keterhubungan data

Peta jalan transformasi industri kesehatan memuat tiga agenda utama, yaitu integrasi dan pengembangan pada sistem data, aplikasi pelayanan, dan ekosistem di bidang teknologi kesehatan (healthtech). Sasarannya mencakup layanan kesehatan primer dan sekunder, ketahanan sistem kesehatan, sistem pembiayaan, hingga SDM. 

Dalam pelaksanaannya, Kemenkes membentuk divisi Digital Transformation Office (DTO), dipimpin oleh Setiaji yang telah memiliki pengalaman karir kuat di bidang IT dan birokrasi pemerintah. Setiaji akan menuntun penyelenggaraan transformasi digital di industri kesehatan selama empat tahun ke depan.

Pertanyaan selanjutnya, transformasi ini dimulai dari mana dulu?

Menurut Chief of DTO Setiaji, standardisasi dan keterhubungan data (interoperability) akan menjadi tulang punggung dalam mengintegrasikan seluruh layanan dan pemangku kepentingan di industri ini. Ini menjadi alasan utama DTO menempatkan standardisasi sebagai pondasi dasar transformasi. Tanpa standardisasi, keterhubungan data tidak akan tercapai.

“Maka itu, kami mendahulukan [transformasi] pada Rekam Medis Elektronik sebagai backbone. Salah satu tantangan besar selama ini adalah setiap rumah sakit atau fasilitas kesehatan lain punya format data sendiri. Transformasi tidak bisa dilakukan jika standardisasi data tidak sama,” ujar Setiaji dalam wawancara dengan DailySocial.id beberapa waktu lalu.

Peta Jalan Transformasi Digital Kesehatan Indonesia 2021-2024 / Sumber: Kementerian Kesehatan

Yang selama ini terjadi, setiap fasyankes beroperasi dengan format dan sistem yang dibangun sendiri-sendiri. Setidaknya, saat ini ada 400 aplikasi di bidang kesehatan, 70 aplikasi puskesmas, dan 50 aplikasi rumah sakit. Karena format dan sistemnya berbeda, sulit untuk mengawinkan dan mengolah data informasi kesehatan.

Standardisasi menyeragamkan seluruh aspek data di industri kesehatan untuk menuju satu data Indonesia sehingga seluruh penyedia dan pengguna layanan kesehatan, baik pasien, fasilitas kesehatan, dan pemerintah dapat saling terhubung dan melakukan pertukaran data. Adapun, standardisasi ini dapat dimanfaatkan seluruh stakeholder terkait pada platform Indonesia Healthcare System (IHS).

Asosiasi Healthtech Indonesia (AHI) menanggapi keputusan yang diambil DTO sudah tepat untuk memprioritaskan standardisasi dan keterhubungan data sebagai langkah awal transformasi. Menurut Wakil Ketua AHI sekaligus Co-founder Zi.Care Jessy Abdurrahman, peta jalan transformasi tersebut juga telah mencerminkan concern dari para pelaku healthtech di Indonesia.

Menurutnya, industri kesehatan selama ini sangat eksklusif jika menyangkut informasi informasi data kesehatan. Maksudnya, fasyankes seolah memiliki kendali besar terhadap informasi data kesehatan. Padahal, Permenkes 269 Tahun 2008 jelas menyebutkan bahwa kepemilikan data ada pada pasien. Karena situasi ini, para pelaku startup sulit untuk melakukan disrupsi di sektor kesehatan.

“Saat itu, kami melihat tidak ada standardisasi pada rekam medis elektronik (RME) sehingga data tidak bisa ‘dikawinkan’ dan diolah menjadi apapun. Hal ini menjadi isu besar ketika Covid-19 terjadi, formatnya berbeda-beda, data tidak akurat, dan proses sampai ke RS menjadi lama karena birokrasi panjang. Peta jalan transformasi ini seharusnya menjadi titik terang bagi industri kesehatan,” ujar Jessy.

Tantangan, implementasi, dan regulasi

Untuk merealisasikan standardisasi ini, Kemenkes meluncurkan platform IHS yang akan dikenal sebagai “Satu Sehat” pada Juli 2022. Satu Sehat adalah Platform-as-a-Service (PaaS) yang akan menghubungkan antar-platform atau aplikasi milik seluruh pelaku industri kesehatan, baik RS vertikal, RS pemerintah, RS swasta, Puskesmas, Posyandu, laboratorium, klinik, hingga apotek. Satu Sehat juga akan terintegrasi pada aplikasi PeduliLindungi.

Kemudian, Kemenkes menerbitkan regulasi baru tentang penyelenggaraan Rekam Medis Elektronik (RME) pada fasyankes; tertuang dalam PMK No. 24 Tahun 2022 tentang Rekam Medis yang merupakan perubahan dan pemutakhiran dari peraturan sebelumnya PMK No. 269 Tahun 2008.

Kedua agenda di atas krusial dalam menciptakan satu data kesehatan nasional dan terpusat dalam satu platform. Beberapa contoh output-nya adalah menekan potensi duplikasi input data, menyelenggarakan RME, dan memudahkan proses rujukan. Satu Sehat telah diuji coba di 41 RS, 9 RS vertikal, dan 32 RSUD di DKI Jakarta, serta uji coba beta di 31 institusi kesehatan dan lab kesehatan.

Pada pemberitaan sebelumnya, peraturan penyelenggaraan RME memuat pasal-pasal terkait kepemilikan dan isi rekam medis pasien, keamanan dan perlindungan data pribadi, hingga pelepasan. Adapun, Kemenkes diberi kewenangan untuk mengolah data kesehatan milik pasien.

Dalam pasal 3, fasyankes wajib mengimplementasi RME, termasuk pada layanan telekonsultasi oleh fasyankes, dan wajib diintegrasikan ke platform Satu Sehat. Pemerintah memberikan masa transisi bagi seluruh fasyankes hingga akhir 2023.

Dalam pelaksanaannya, Setiaji menilai akan ada beberapa tantangan yang dihadapi mengingat masa transisi yang diberikan hanya satu tahun. Tantangan terbesar adalah mengimplementasi penyelenggaraan RME, terutama bagi fasyankes di daerah. Ia menyebut fasyankes di daerah belum melakukan digitalisasi karena tak punya anggaran.

Survei Kemenkes mencatat anggaran digitalisasi RS rata-rata tak sampai 3% dari total anggaran mereka. Faktor ini membuat transformasi digital belum menjadi prioritas. Selain itu, RS juga harus memiliki sistem informasi manajemen yang terintegrasi agar dapat berbagi informasi secara real-time.

Sebagai gambaran, setidaknya ada 22% dari 2.595 RS yang belum punya Sistem Informasi Manajemen Rumah Sakit (SIMRS). Kemudian, dari 2.291 RS yang memiliki SIMRS, implementasi RME di front office baru 24% dan 64% untuk back office. Dari 737 RS, sebanyak 359 belum menerapkan RME, 175 RS baru sebagian, dan 203 RS sudah. Saat ini, terdapat 10.260 Puskesmas, 11.347 klinik (pratama dan utama), 2.985 RS, 5.862 praktik mandiri, dan 1.400 laboratorium.

“Kami harus melakukan integrasi 8.000 aplikasi/platform/sistem dengan harapan digitalisasi tidak hanya terjadi pada sistem, tetapi juga tenaga kesehatan. Dokter juga ikut menginput. Dari 10 ribuan Puskesmas, baru 3.000 yang memiliki sistem. Nanti [fasyankes daerah] seperti Puskesmas akan mendapat anggaran khusus [untuk transformasi digital],” ujar Setiaji.

Untuk memudahkan transisi, penyelenggaraan RME pada fasyankes di daerah juga akan dilakukan secara bertahap mengingat kesiapan SDM, infrastruktur, dan budaya kerja berbeda dengan di perkotaan. DTO mengambil peran lebih dalam dengan melakukan edukasi digital dan uji coba integrasi platform Satu Sehat di fasyankes di berbagai kota.

Setidaknya sampai akhir tahun 2022 ini, Kemenkes menargetkan sekitar 12.000 fasyankes akan terintegrasi dengan platform Satu Sehat.

Mengawal transformasi

Lebih lanjut, Ketua Pengurus AHI dr. Gregorius Bimantoro menambahkan bahwa perlu ada kolaborasi pada lima pemangku kepentingan agar dapat merealisasikan peta jalan tersebut. Di antaranya dari (1) pemerintah, baik pusat dan daerah harus onboard, (2) pimpinan faskes primer dan sekunder, (3) mitra rekam medis dan IT rumah sakit, (4) startup dan developer, dan (5) nakes. Pihaknya berupaya menggandeng kampus/universitas untuk ikut dalam mendorong ekosistem healthtech.

“Kami belum pernah melihat roadmap yang salah satunya memprioritaskan ekosistem healthtech, jadi kami sangat senang dilibatkan dalam kolaborasi ini. Ini berarti pemerintah terbuka dengan [enabling] teknologi dalam mencapai ketahanan di bidang kesehatan. AHI berperan untuk membantu pengembangan ekosistem [healthtech] dengan DTO,” papar dr. Gregorius.

Sementara itu, Co-founder dan CEO Klinik Pintar Harya Bimo mengaku antusias dengan langkah pemerintah. Menurutnya, ini pertama kalinya Kemenkes dan pelaku healthtech memiliki cara berpikir yang sejalan. Ketika penggunaan layanan telekonsultasi diizinkan pada masa pandemi, banyak pihak menyadari perlunya RME untuk memperkaya historical data dari pasien. Sayangnya, saat itu peraturan tentang RME belum ada.

“Struktur roadmap ini bagus karena fokus utamanya dimulai dari keterhubungan data. Namun, roadmap ini harus dikawal bersama untuk memastikan standardisasi tersebut berjalan. Kita bertanggung jawab bagaimana pertukaran data kesehatan terjadi. Bagaimana dari sisi komersial, kami cari use caseDo and don’ts harus dijembatani,” jelas Bimo.

Diakuinya, apa yang dilakukan pemerintah sejauh ini juga sejalan dengan upaya Klinik Pintar untuk mencapai interoperabilitas. Standardisasi dan keterhubungan data memang seharusnya menjadi agenda utama sebelum bicara lebih jauh tentang demokratisasi layanan kesehatan, terutama pada grass root.

Jika melihat riwayat ke belakang, ia menilai tidak mudah bagi pengembang layanan digital untuk beroperasi tanpa produk hukum. Sebetulnya, bisa saja kedua hal tersebut berjalan paralel bagi keduanya. Namun, push back biasanya terjadi ketika ada disrupsi.

Ambil contoh, penggunaan layanan telekonsultasi diperbolehkan ketika pandemi. Pemerintah menerbitkan Surat Edaran (SE) untuk melegitimasi penggunaan layanan tersebut. Namun, SE kurang memiliki kekuatan untuk jangka panjang karena begitu pandemi selesai, telekonsultasi tak diperbolehkan lagi.

“Jadi DTO ibarat sebuah startup yang sedang membangun Minimum Viable Product. Ketika kita ingin menuju goal keterhubungan data, kita perlu membantu meski belum ada produk hukum.”