Tag Archives: driverless car

Mercedes-Benz Sambut Era Baru Berkendara Lewat Pematangan Konsep Mobil Elektrik dan AI

Fenomena menarik yang terjadi di segmen otomotif adalah, satu terobosan besar malah dicetus oleh sejumlah raksasa teknologi dan bukan pemain tradisional di ranah itu. Anda mungkin ingat, konsep mobil tanpa pengemudi telah dieksplorasi Google sejak tahun 2010 dan terdengar lebih lantang di tahun 2013 sesudah kabar soal partisipasi IBM di sana. Tak lama berselang, Google memamerkan penampakan kendaraan tersebut.

Tentu saja para perusahaan otomotif tidak tinggal diam melihat cepatnya gagasan driverless car melesat. Di tahun 2015, Mercedes-Benz mengeksekusi sejumlah langkah strategis buat menghadapi persaingan yang tak terduga itu. Mereka mengakusisi layanan peta digital HERE Maps, memerintahkan divisi R&D untuk menyeriusi pengembangan kecerdasan buatan, bahkan meluncurkan layanan car-sharing Car2go lewat perusahaan induk Daimler AG.

MB 1

Sebagai implementasi ekspansi teknologi di produk konsumen, Mercedes sudah lama mengintegrasikan sistem perintah suara buat mengakses fitur serta fungsi kendaraan. Lalu dalam merespons naik daunnya mobil hybrid dan listrik, sang produsen membuka enam pabrik baterai di tiga benua lalu meluncurkan brand EQ yang dispesialisasikan pada penyediaan mobil elektrik tulen. EQC SUV jadi model pertama seri itu dan kabarnya mulai diproduksi tahun ini.

 

Bukan sekadar elektrik

Terinspirasi dari gagasan ‘kecerdasan dan emosi’, EQ punya arti ‘electric intelligence‘ dan merupakan brand teknologi sekaligus lini mobil listrik Mercedes-Benz. Konsep EQ mencakup seluruh aspek elektrik/kelistrikan, melampaui produk otomotif dan nantinya akan diintegrasikan ke semua sub-brand Mercedes, dari mulai Benz, AMG sampai Maybach. EQ juga diusung sebagai ujung tombak transisi varian-varian hybrid yang sudah produsen miliki selama ini.

MB 14

Setelah diperkenalkan, Mercedes-Benz membagi EQ ke dalam empat tier. Tipe paling ‘dasar’ ialah EQ Boost, yaitu mobil-mobil yang menyimpan unit power supply on-board 48V dan Integrated Starter-Generator. Naik satu level ada mobil-mobil hybrid plug-in (PHEV) EQ Power, lalu di atasnya adalah EQ Power+, yaitu model-model Mercedes-AMG dan kelas sport. Satu kategori lagi ialah EQ, yakni jenis kendaraan bertenaga baterai sejati.

MB 12

Namun pengembangan ke arah elektrik hanyalah satu dari empat visi yang ingin direalisasikan oleh Mercedes. Mereka punya harapan agar kendaraan-kendaraan itu nanti dapat saling terkoneksi, didukung sistem otomatis, serta bisa dipakai beramai-ramai dan menjadi dasar dari layanan transportasi publik. Mercedes menyebutnya sebagai CASE, kependekatan dari connected, autonomous, shared & services dan electric.

MB 8

 

Kendaraan terkoneksi

Butuh beberapa tahun (atau dekade) lagi hingga mobil tanpa pengemudi bisa hadir di tengah-tengah kita. Dan untuk sampai di sana, produsen terlebih dulu perlu memikirkan aspek koneksi dari kendaraan tersebut. Alat transportasi perlu diorientasikan pada konsumen, dapat diakses langsung, kemudian mampu berkomunikasi dengan perangkat bergerak, sesama kendaraan serta infrastruktur internet of things pendukung. Dan kita tidak boleh melupakan faktor keselamatan.

MB 17

Buat menuju ke sana, Mercedes menggodok Me Connect, yaitu layanan online yang dirancang untuk menyambungkan kendaraan ke perangkat bergerak sehingga mobil bisa menjadi ekstensi fitur-fitur pintar yang selama ini kita nikmati via smartphone. Dengannya, Anda dipersilakan membuka berita dan memanfaatkan deretan layanan, serta mengakses fitur-fitur khusus kendaraan: mengirim navigasi ke layar mobil, mengecek bahan bakar, mengunci pintu, memudahkan kita mencarinya di parkiran, serta memerintahkannya parkir secara otomatis.

MB 7

Perlu diketahui bahwa Mercedes Me Connect saat ini masih belum tersedia di Indonesia. Namun jantung dari kapabilitas tersebut telah ditanamkan dalam sejumlah varian Mercedes-Benz anyar yang diedarkan di tanah air, misalnya A-Class, B-Class, CLS dan GLE (jika saya tidak salah dengar). Perusahaan menamainya MBUX, atau Mercedes Benz User Experience.

MB 16

 

MBUX

Ada beberapa faktor yang dihidangkan oleh MBUX. Pertama-tama, sistem ini menyimpan kecerdasan buatan sebagai basis kapabilitas untuk mempelajari kebiasaan pengendara. Lalu jika mobil dipakai oleh lebih dari satu individu, masing-masing orang dipersilakan menyimpan profil beserta personalisasi yang ia lakukan – seperti mode berkendara (eco, comfort, sport), ambient light, jenis lagu atau stasiun radio favorit, sampai posisi kursi dan tema dashboard.

MB 9

MBUX juga menyederhanakan proses diagnosis mobil: suhu oli, voltase aki, tekanan ban, output tenaga sampai torsi mesin. Dan tak kalah penting, Mercedes-Benz User Experience menyuguhkan UI intuitif melalui layar lebar seluas 10,25-inci 1920x720p yang menyimpan chip grafis Nvidia Reilly Parker 128. Untuk berinteraksi dengan fitur dan konten, Anda bisa langsung menyentuhkan jari di panel, lewat trackpad ala BlackBerry di setir, atau via touchpad haptic yang berada di antara dua jok depan.

MB 6

Pengendara diperkenankan untuk mengutak-atik sejumlah aspek pada panel sentuh Nvidia di Mercedes-Benz, mesti kustomisasinya tidak selengkap smartphone. Satu contohnya adalah mengubah tampilan speedometer dari standar jadi sporty atau mode ‘understated‘ jika Anda sedang menginginkan pengalaman berkendara yang bebas gangguan.

MB 10

Alternatifnya, sejumlah fungsi di mobil bisa diatur lewat perintah suara. Cukup dengan mengucapkan “Hi Mercedes!“, Anda dapat meminta mobil untuk menunjukkan arah ke lokasi tertentu atau menaik-turunkan suhu AC. Berbekal Mercedes Me Connect, sebetulnya pengguna dipersilakan menggunakan bahasa percakapan/kasual, misalnya “It’s too cold in here.” Kemudian sistem segera menaikkan suhu AC. Namun karena MMC belum hadir di Indonesia, permintaan kita harus lebih spesifik, seperti “Set temperature to 20 degree Celcius.” atau sejenisnya.

MB 5

 

MBUX dan perannya membangun masa depan berkendara

Mercedes-Benz User Experience juga membuka jalan bagi teknologi-teknologi yang dahulu cuma ada di kisah-kisah sci-fi. Salah satunya adalah integrasi antara augmented reality dan solusi navigasi. Dengan memanfaatkan rangkaian kamera dan mapping, MBUX dapat menampilkan panduan arah di tampilan live via layar, mirip seperti ketika Anda bermain Need for Speed. Sistem akan memperlihatkan pedoman berupa anak panah, nama jalan sampai nomor rumah. Lalu saat mengantre lampu merah, kamera secara otomatis diarahkan ke lampu dan zoom-in agar kita bisa jelas melihatnya.

MB 15

Pada akhirnya, Mercedes memang punya ambisi untuk mematangkan ide alat transportasi otonom. Menurut perusahaan, sistem mobil tanpa pengemudi terbagi menjadi beberapa tahapan. Saat ini kita telah melewati tingkatan adaptive cruise control dan steering assist, dan sedang memasuki level ‘automasi bersyarat’. Contohnya saat menghadapi kemacetan, beberapa model kendaraan anyar dapat pindah sendiri ke jalur yang lebih lancar.

MB 11

Namun seberapa pun canggihnya teknologi yang membuat pengalaman berkendara jadi lebih simpel dan menyenangkan, satu hal tetap menjadi prioritas Mercedes – ditegaskan oleh PR manager Dennis Kadaruskan pada saya di sela-sela acara BIOS 2019 di kampus Universitas Multimedia Nusantara: perusahaan tidak akan berkompromi dan mengambil jalan pintas jika sudah berkaitan dengan keselamatan.

MB 18

Implementasi kendaraan otonom secara umum sudah terlihat di cakrawala, namun untuk dapat sampai di sana, dibutuhkan kolaborasi menyeluruh antara para pemain besar di ranah otomotif, penyedia teknologi dan infrastruktur, serta pembuat kebijakan.

MB 19

Waymo Umumkan Layanan Taksi Online Tanpa Sopir, Waymo One

Sudah bukan rahasia apabila banyak sopir taksi dan ojek di tanah air yang merasa terancam dengan adanya layanan seperti GO-JEK atau Grab. Namun seandainya mereka memutuskan untuk ikut menjadi mitra pengemudi kedua perusahaan tersebut, apakah profesi mereka otomatis jadi terbebas dari ancaman?

Untuk sekarang mungkin jawabannya iya, tapi kita tidak boleh lupa bahwa di luar sana ada banyak pihak yang mati-matian mewujudkan armada taksi tanpa sopir. Salah satunya Waymo, anak perusahaan Alphabet yang sejak April tahun lalu sudah mengerahkan ratusan mobil tanpa sopir di jalanan kota Phoenix, Arizona.

Tidak lama lagi, program tersebut akan ‘lulus’ dan berevolusi menjadi layanan taksi online bernama Waymo One. Layanan ini sebenarnya masih bersifat uji coba, sebab masih ada satu karyawan Waymo yang mengawasi di balik setir setiap mobil. Yang bakal menjadi konsumen pun juga orang-orang yang sebelumnya sempat berpartisipasi dalam program Waymo.

Waymo One

Yang berbeda, mereka sekarang bebas membagikan kesan-kesannya menggunakan layanan ini kepada publik. Mereka juga dipersilakan mengajak rekan atau anggota keluarganya yang sebelumnya tidak termasuk sebagai partisipan program Waymo. Lalu kalau sebelumnya mereka cuma diminta umpan balik, sekarang mereka diharuskan membayar tarif yang tertera pada aplikasi.

Aplikasi? Ya, cara memesannya tidak berbeda dari layanan taksi online yang kita kenal selama ini. Yang menarik, selagi dalam perjalanan, konsumen bisa melihat visualisasi pergerakan mobil beserta kondisi di sekitarnya pada aplikasi maupun layar tablet yang terpasang di kabin mobil.

Waymo One

Seperti yang saya bilang, untuk sekarang kesannya terlalu prematur menganggap layanan seperti Waymo One ini sebagai ancaman terhadap layanan taksi online konvensional. Regulasi setempat akan selalu menjadi penghalang terbesar, dan ini bukan tantangan yang mudah dilalui meskipun teknologi kemudi otomatis sudah bisa dibilang benar-benar matang.

Terlepas dari itu, Waymo One sejatinya bisa menjadi indikasi bahwa di masa yang akan datang, angkutan umum bakal sepenuhnya mengandalkan tenaga kerja robot (AI). Sekarang saja saya sudah berani menyebut Uber dan Grab sebagai layanan taksi online “konvensional” dengan hadirnya Waymo One.

Sumber: 1, 2, 3.

Konsep Volvo 360c Gambarkan Kondisi Transportasi Pribadi di Masa Depan

Anggap Anda hendak menuju Bandung dari Jakarta, Anda pilih naik mobil atau pesawat? Naik pesawat memang jelas lebih cepat, tapi jika ditotal waktu yang dihabiskan sebenarnya tidak terlalu jauh berbeda; yang mencakup perjalanan ke bandara, waktu menunggu boarding, dan perjalanan dari bandara Husein Sastranegara ke lokasi yang dituju di kota Bandung.

Poin yang ingin saya angkat adalah, naik mobil dari Jakarta ke Bandung memang lebih lama dan lebih melelahkan, tapi jauh lebih praktis. Setidaknya satu kekurangannya itu (melelahkan) dapat diatasi oleh perkembangan mobil kemudi otomatis. Kira-kira demikian pemikiran di balik pengembangan mobil konsep terbaru Volvo, 360c.

Volvo 360c Concept

Volvo 360c dideskripsikan sebagai mobil elektrik yang fully autonomous alias sama sekali tidak memerlukan kehadiran seorang sopir. Tidak ada ruang untuk pengemudi di dalam kabinnya, yang ada hanyalah interior modular yang bisa diatur sesuai kebutuhan; apakah Anda perlu tidur selama perjalanan, perlu bekerja, perlu bertatap muka bersama kolega, atau mungkin sebatas perlu menghabiskan satu season serial favorit di Netflix.

Karena ini adalah Volvo yang kita bicarakan, faktor keselamatan selalu menjadi prioritas sejak mereka pertama kali menciptakan sabuk pengaman tiga titik di tahun 1959, dan 360c pun tidak luput dari filosofi tersebut. Salah satu contohnya, selimut yang ada di dalam kabin juga dilengkapi sistem pengaman serupa, sehingga penumpang dapat tidur nyenyak sepanjang perjalanan selagi masih dijaga keselamatannya.

Pendekatan yang diambil Volvo ini tergolong cukup unik karena selama ini jarang sekali ada konsep-konsep mobil tanpa sopir yang menekankan fitur keselamatan, seakan-akan pengembangnya berasumsi mobil-mobil tersebut tidak akan pernah mengalami kecelakaan.

Masih seputar keselamatan, 360c juga dirancang agar dapat menyampaikan intensinya kepada pengguna jalan lain lewat perpaduan indikator suara dan lampu. Volvo berharap sistem komunikasi satu arah semacam ini dapat menjadi standar dalam pengembangan mobil kemudi otomatis ke depannya.

Volvo 360c Concept

Balik lagi ke cerita perjalanan Jakarta-Bandung tadi, Volvo 360c pada dasarnya bisa memberikan kepraktisan yang sama seperti naik mobil sendiri (tidak perlu ke bandara dan sebagainya) sekaligus kenyamanan seperti naik pesawat (cukup pejamkan mata saja sepanjang perjalanan). Namun selama mobil seperti 360c masih berstatus konsep, semua ini hanyalah angan-angan semata.

Juga penting untuk dicatat adalah, seandainya Volvo memproduksi mobil serupa di masa yang akan datang, kemungkinan Anda tidak akan bisa membelinya. Volvo bakal menawarkannya dalam bentuk layanan berlangganan (car sharing) ketimbang menjualnya ke konsumen secara langsung – ya setidaknya debat mengenai “bikin garasi dulu sebelum beli mobil” jadi bisa diselesaikan.

Sumber: CNET dan Volvo.

ZF Ajukan Konsep Setir Berteknologi Gesture Buat Mendukung Mobil Autonomous

Hanya dalam beberapa tahun silam, ide mobil tanpa pengemudi hanya ada di film-film fiksi ilmiah, namun itu semua mulai berubah sejak sejumlah raksasa di ranah teknologi mulai mencoba mengembangkan dan melangsungkan uji coba kendaraan autonomous. Tentu saja, ketersediaan sistem transportasi ini harus dibarengi oleh sistem pengendalian yang intuitif dan dapat diandalkan.

Mencoba memberikan solusi terbaik, produsen part mobil asal Jerman ZF Friedrichshafen mengajukan ide desain setir dengan sistem kendali gesture untuk menunjang mobil autonomous. Menurut ZF, secanggih apapun teknologi otomatis di kendaraan-kendaraan futuristis itu nantinya, mereka tetap memerlukan pengemudi. Pengendara harus memperoleh metode kendali yang familier, tapi juga menyeluruh dan memudahkannya mengakses seluruh fungsi mobil.

Setir berteknologi gesture ZF memadukan teknologi lawas dan masa depan. Anda tetap perlu menaruh tangan di sana; dan selanjutnya, sistem menggabungkan kendali gesture serta layar tradisional, dengan tujuan untuk menyempurnakan komunikasi antara supir dan kendaraan. Informasi terkait kendaraan dan notifikasi akan langsung disuguhkan di panel.

“Dalam merealisasikan gagasan bertajuk ‘Vision Zero’, bagi kami, bagian interface pengemudi dan kendaraan merupakan pondasinya,” tutur vice president ZF Juergen Krebs. “Saat sistem transportasi autonomous jadi kian umum, kita membutuhkan teknologi kendali yang semakin canggih demi meningkatkan keselamatan pengendara, serta mendongkrak kognisi supir terhadap jalan dan lingkungan di sekitarnya.”

Setir ZF didesain agar bisa memicu fungsi kendaraan via gesture – sesuai pilihan produsen mobil. Beberapa gerakan tangan diadopsi dari kebiasaan kita menggunakan smartphone dan perangkat pintar lain. Contohnya: satu tap di bagian cover berfungsi untuk mengaktifkan klakson, kemudian dua kali tap atau melakukan tap dan swipe di area tepi akan mengakses fungsi yang berkaitan dengan climate control. Selanjutnya, status aktif atau tidaknya fungsi-fungsi ini ditunjukkan di layar.

Display LCD tersebut berada di tengah, memiliki lebar 7-inci, bertugas jadi elemen interface utama. Buat melengkapinya, ZF membubuhkan pencahayaan LED di setir sebagai indikator mode: biru artinya mode otomatis sedang berjalan, warna putih berarti mode manual tengah aktif, kemudian LED segera menyala merah untuk memberi peringatan buat sang supir. ZF juga membubuhkan 10 sensor kapasitif di setir agar mobil dapat mengetahui apakah pengemudi sedang dalam kendali atau tidak.

ZF rencananya akan memamerkan teknologi ini di CES 2018 Las Vegas bulan Januari besok.

Sumber: ZF.

Usung Konsep Mewah, Mobil Driverless Audi Aicon Punya ‘Mata’ Untuk Melihat Pejalan Kaki

Mesin hybrid elektrik, teknologi self-driving serta bantuan AI sepertinya menjadi standar baru yang dikejar oleh perusahaan-perusahaan otomotif terkemuka di dunia. Diperkenalkannya kendaraan-kendaraan dengan konsep futuristis itu di acara-acara pameran bergengsi menjadi petunjuk kuat, dan 2017 Frankfurt Motor Show adalah salah satu tempat mereka disingkap.

Kali ini, Audi AG mencoba membuktikan bahwa mobil driverless sebetulnya bisa didesain agar tidak tampil membosankan. Setelah sempat mengungkap ide Long Distance Lounge beberapa bulan silam, gagasan tersebut turut dituangkan dalam konsep Audi Aicon. Aicon adalah mobil self-driving bermesin elektrik yang mengusung tema mewah layaknya varian Audi R8 V10.

Audi Aicon

Wujud Aicon dirancang agar merepresentasikan penampilan kendaraan masa depan, walaupun kita tetap bisa melihat benang merah antara Aicon dengan mobil Audi lain. Kendaraan memiliki dua grille besar di sisi depan, mengapit logo Audi di tengah. Grille tersebut sebetulnya lebih ditujukan untuk memperkuat karakteristik Audi, karena mobil elektrik tidak memerlukan radiator.

Audi Aicon 1

Uniknya lagi, desainer mengganti lampu depan dengan ‘layar digital’ 3D, diposisikan di bagian atas grille. Hal serupa juga diterapkan pada lampu belakang. Display tersebut menyimpan fungsi berbeda, bisa dikonfigurasi, namun fungsi utamanya adalah buat melakukan ‘kontak mata’ dengan pejalan kaki – melihat mereka layaknya mata pengemudi. Sensor di ‘mata’ Aicon juga dapat mendeteksi orang di kegelapan, menggantikan peran lampu jarak jauh.

Audi Aicon 2

Aicon menggunakan pintu ‘suicide‘ dan tidak mempunyai pillar B, memastikan penumpang bisa keluar-masuk secara leluasa. Saat dibuka, Anda disajikan kabin yang luas, lebih menyerupai ruang meeting minimalis ketimbang interior mobil. Kursi-kursinya dirancang agar menyerupai tempat duduk santai, lalu dua kursi depannya dibuat terpisah, dan dapat diputar ke arah belakang.

Audi Aicon 5

Tidak ada pedal gas/rem serta setir di dalam. Bagian interior Audi Aicon menitikberatkan fitur infotainment, fitur-fitur di sana dapat dikendalikan dengan sentuhan, perintah suara, hingga gerakan mata. Saat mobil sedang membawa Anda ke tempat tujuan, Anda bisa bersantai dan menonton video atau menyicil pekerjaan.

Audi Aicon 6

Aicon mengandalkan empat mesin elektrik, menghasilkan tenaga 260HP dan torsi 550-Newton-meter. Sebagai sumber tenaganya, mobil dibekali baterai yang sanggup membawanya menempuh jarak 800km. Dan dengan melakukan charging selama setengah jam, baterai tersebut dapat terisi 80 persen.

Audi Aicon 4

Audi belum bisa menetapkan kapan Aicon akan diproduksi. Mereka bilang, Aicon baru akan tersedia ketika kendaraan driverless sudah jadi pemandangan umum di jalan raya.

Via CNET. Sumber: Audi.

Waymo Kerahkan 600 Armada Mobil Tanpa Sopir untuk Melayani Warga di Kota Phoenix

Anak perusahaan Google yang bergerak di bidang pengembangan teknologi kemudi otomatis, Waymo, kembali membuat gebrakan setelah mengungkap mobil tanpa sopir hasil kolaborasinya dengan Chrysler. Baru-baru ini, Waymo meluncurkan program early rider untuk warga di kota Phoenix, Arizona di Amerika Serikat.

Program ini sejatinya akan menempatkan ratusan armada minivan Chrysler Pacifica Hybrid di jalanan kota tersebut, menjemput dan mengantarkan penumpang sepanjang hari tanpa batas waktu. Jumlah armadanya bukan lagi 100, melainkan akan bertambah menjadi 600 dalam beberapa bulan ke depan.

Waymo membuka pendaftaran untuk ratusan orang dari berbagai latar belakang yang berbeda. Mereka beserta anggota keluarganya bebas menikmati perjalanan bersama mobil tanpa sopir Waymo secara cuma-cuma dan sesering yang mereka mau. ‘Ongkos’ yang diminta hanyalah sekadar umpan balik terkait pengalaman mereka.

Lewat program ini, Waymo sejatinya ingin mencari tahu ke mana saja orang-orang ingin pergi saat mengendarai mobil tanpa sopir, bagaimana mereka berkomunikasi dengan sistem milik mobil, dan fitur-fitur apa saja yang mereka inginkan ke depannya.

Cukup satu orang yang mendaftar, maka semua anggota keluarganya juga bisa menikmati layanan antar-jemput gratis dari Waymo / Waymo
Cukup satu orang yang mendaftar, maka semua anggota keluarganya juga bisa menikmati layanan antar-jemput gratis dari Waymo / Waymo

Lalu mengapa cuma di Phoenix? Karena negara bagian Arizona memang tidak memiliki regulasi seketat di tempat lain terkait pengujian mobil tanpa sopir. Pun begitu, semua armada Waymo ini masih akan tetap dibarengi oleh seorang sopir di balik lingkar kemudi, meski campur tangannya sebisa mungkin akan diminimalkan.

Program Waymo ini sejatinya bisa menjadi momok baru buat Uber yang juga sedang menguji armada mobil kemudi otomatisnya di kawasan Arizona. Lebih gawat lagi, salah satu mobilnya mengalami kecelakaan sekitar sebulan lalu.

Di mata Waymo, momentum ini bisa mereka manfaatkan untuk menunjukkan bahwa teknologi yang mereka ciptakan memang lebih superior ketimbang milik Uber, apalagi mengingat Waymo sempat menuntut Uber dengan tudingan bahwa Uber mencuri teknologi LIDAR rancangan mereka.

Sumber: 1, 2, 3.

Daimler Gandeng Uber Kembangkan Mobil Tanpa Sopir untuk Keperluan Ride-sharing

Seakan tidak bisa menutupi ambisinya terhadap mobil tanpa sopir, Uber terus melakukan upaya-upaya khusus untuk mempercepat realisasinya. Terakhir kita tahu, mereka sudah mengoperasikan armada mobil kemudi otomatis hasil kolaborasinya dengan Volvo.

Sejak awal Uber telah menyadari bahwa mereka tak mungkin bisa mewujudkan teknologi ini sendirian, utamanya karena mereka sama sekali tidak punya pengalaman di bidang produksi mobil. Itulah mengapa Uber terus mencari mitra kerja sama yang memang ahli di segmen otomotif, dan yang terbaru adalah perusahaan induk yang memayungi Mercedes-Benz, yakni Daimler.

Namun kemitraannya dengan Daimler ini sedikit berbeda ketimbang yang mereka jalani bersama Volvo. Kalau dengan Volvo, Uber pada dasarnya hanya meminjam SUV XC90, lalu memodifikasi dan membekalinya dengan sistem kemudi otomatis. Di sini, bisa dikatakan Daimler-lah yang lebih banyak bekerja.

Mobil maupun teknologi kemudi otomatisnya akan dibuat oleh Daimler sendiri, sedangkan Uber hanya berperan sebagai penyedia jaringan ride-sharing. Lebih lanjut, armada mobil tanpa sopir itu nantinya akan dioperasikan oleh Daimler, tapi penumpang-penumpang yang dijemput adalah konsumen Uber.

Kerja sama semacam ini menurut saya terkesan amat ideal karena masing-masing pihak bisa berfokus pada spesialisasinya masing-masing. Namun di sisi lain apakah ini berarti Uber mulai menyerah dengan teknologi kemudi otomatis garapannya sendiri? Bisa jadi, tapi bisa juga Uber sekadar mencoba segala opsi yang mereka miliki untuk mewujudkan ambisinya itu tadi.

Sumber: Uber dan TechCrunch.

Seriusi Segmen Otomotif, BlackBerry Buka Pusat Pengembangan Teknologi Kemudi Otomatis

BlackBerry yang kita kenal sudah tidak seperti dulu lagi. Pabrikan asal Kanada tersebut sudah mangkir dari bisnis smartphone dan memilih untuk berfokus pada pengembangan software saja. Pun demikian, pergeseran ini tidak membuat BlackBerry kehilangan ambisi untuk terus berinovasi.

Mungkin terdengar sedikit mengejutkan, segmen yang mereka tuju adalah otomotif. Memang tidak banyak yang tahu, akan tetapi melalui anak perusahaannya yang bernama QNX, BlackBerry sebenarnya sudah berperan dalam perkembangan industri otomotif selama 10 tahun terakhir dengan menjadi pemasok teknologi otentikasi untuk sistem telematika milik jutaan mobil.

Sekarang, mereka tampaknya sudah siap untuk melangkah lebih lanjut ke ranah kemudi otomatis. Pada tanggal 19 Desember kemarin, CEO John Chen meresmikan BlackBerry QNX Autonomous Vehicle Innovation Centre (AVIC), sebuah pusat pengembangan teknologi kemudi otomatis yang bertempat di markas QNX di kota Ottawa, Kanada.

Fokus BlackBerry dipusatkan murni pada pengembangan software-nya. Mereka juga telah menjalin kerja sama dengan University of Waterloo, PolySync dan Renesas Electronics untuk mengembangkan mobil konsep berteknologi kemudi otomatis yang siap diuji di jalanan di negara bagian Ontario, Kanada.

Inisiatif BlackBerry ini menerima pujian sekaligus dukungan dari pemerintahan Kanada, dimana perdana menteri Justin Trudeau berharap ke depannya Kanada bisa menjadi pemimpin sekaligus pusat inovasi di bidang teknologi kemudi otomatis.

Terlepas dari itu, masalah yang kemungkinan harus BlackBerry hadapi datang dari nama yang tak kalah besar, yakni Apple. Akhir Oktober kemarin, Bloomberg melaporkan bahwa Apple telah menyiapkan tim khusus untuk mengembangkan sistem operasi mobil di Kanada. Tim khusus tersebut banyak beranggotakan mantan engineer QNX, dan lokasi mereka bekerja juga tidak jauh dari markas QNX sendiri.

Sumber: Engadget dan BlackBerry.

Hyundai Kembangkan Sistem Kemudi Otomatis yang Lebih Terjangkau dari Biasanya

Selama membahas mobil tanpa sopir dalam beberapa tahun ini, tanpa kita sadari sangat jarang yang membicarakan soal harga. Yang menjadi pertanyaan sebenarnya sederhana: sebagai konsumen, berapa budget yang harus kita sediakan untuk bisa meminang mobil tanpa sopir?

Kalau mempertimbangkan semua teknologi yang dipakai, mulai dari deretan sensor sampai bagasi yang pada dasarnya diisi oleh supercomputer, tentunya banderol harga mobil tanpa sopir bisa cukup tinggi. Jadi apakah ini artinya hanya golongan menengah ke atas saja yang bisa mengambil manfaat dari teknologi kemudi otomatis?

Menurut Hyundai, semestinya tidak seperti itu. Pabrikan asal Korea Selatan tersebut sedang sibuk mengembangkan sistem kemudi otomatis yang lebih ekonomis ketimbang yang sudah dikerjakan oleh pabrikan-pabrikan lain sekarang. Caranya adalah dengan mengurangi beban komputasi yang dibutuhkan.

Berkurangnya beban komputasi berarti unit komputer yang digunakan bisa lebih inferior daripada biasanya, yang pada akhirnya dapat menekan ongkos produksi sekaligus harga jual. Lalu apakah ini berarti kinerjanya jadi kurang bisa diandalkan?

Tidak juga. Pada prototipe Hyundai Ioniq yang didemonstrasikan ke media, Hyundai sengaja tidak menyematkan sensor LIDAR 360 derajat yang biasanya terlihat terus berputar secara konstan di bagian atap mayoritas prototipe mobil tanpa sopir. Sebagai gantinya, terpasang sensor LIDAR dengan jangkauan 130 derajat di depan, dan yang berjangkauan 110 derajat di kiri-kanan mobil.

Bagian belakangnya sengaja diabaikan karena kurang begitu relevan, sekaligus dapat diatasi dengan radar. Absennya sensor bagian belakang ini akan mengurangi beban komputasi yang diperlukan untuk mengolah semua data yang dikumpulkan.

Prototipe Hyundai ini masih mengandalkan sejumlah kamera dan radar untuk memperhatikan objek-objek di sekitarnya. Lebih lanjut, mobil juga banyak mengandalkan sistem pemetaan mendetail yang dikembangkan oleh Mnsoft, yang merupakan anak perusahaan Hyundai sendiri.

Ketergantungan akan sistem pemetaan ini bisa menjadi indikasi bahwa Hyundai butuh waktu yang cukup lama untuk bisa merealisasikan sistem kemudi otomatis ramah kantong semacam ini. Gampangnya, tanpa data peta lokasi di sekitar yang lengkap, mobil tidak akan sanggup menavigasikan dirinya sendiri.

Terlepas dari itu, inisiatif dan upaya Hyundai ini patut diberi apresiasi. Meski jalan yang ditempuh masih panjang, setidaknya mereka sudah punya gambaran jelas perihal masa depan otomotif yang berlaku untuk semua kalangan.

Sumber: Engadget dan Hyundai.

Setelah Pittsburgh, Armada Mobil Tanpa Sopir Uber Kini Beroperasi di San Francisco

Beberapa bulan setelah sukses mengoperasikan armada mobil tanpa sopirnya di kota Pittsburgh, Uber kini membidik San Francisco sebagai target selanjutnya. San Francisco dipilih karena selain merupakan kota kelahiran Uber sendiri, kondisi lalu lintasnya yang berbeda dari Pittsburgh – lebih padat, lebih banyak pesepeda dan banyak jalan-jalan kecil – diyakini bisa menjadi pelajaran yang berharga untuk teknologi kemudi otomatisnya.

Mobil yang dipakai masih sama, yakni SUV Volvo XC90 yang telah dimodifikasi dan dijejali seabrek sensor sekaligus software. Masing-masing mobil juga masih akan ditemani oleh seorang engineer yang bertugas untuk mengambil alih kemudi ketika dibutuhkan, dan di kabin penumpang terdapat sebuah tablet yang memberikan gambaran mengenai apa saja yang dilihat oleh mobil tanpa sopir tersebut.

Sayangnya, Uber harus terganjal masalah akibat keputusannya mengoperasikan armada mobil tanpa sopir di San Francisco tanpa mengajukan izin terlebih dulu dari otoritas setempat. Menurut Uber, mereka tidak memerlukan izin karena tiap-tiap mobil masih akan didampingi oleh seseorang yang bertugas untuk memonitor. Namun menurut Departemen Kendaraan Bermotor negara bagian California, apa yang dilakukan Uber ini termasuk ilegal.

Apapun alasannya, Uber dinilai wajib mengajukan izin terlebih dulu sebelum mengoperasikan armada mobil tanpa sopir di wilayah California. Masalah ini semakin dipersulit dengan adanya video yang beredar yang menunjukkan mobil tanpa sopir Uber sedang menerobos lampu merah di jalanan San Francisco.

Mengapa sang engineer tidak segera mengambil alih? Tidak ada yang tahu, atau bisa saja ini kesalahan sang engineer yang bosan duduk diam begitu saja dan memutuskan untuk mengambil alih kemudi, kemudian dengan enaknya menerobos lampu merah, bahkan ketika ada seorang pejalan kaki yang hendak menyeberang.

Kepada Business Insider, Uber mengaku sedang melakukan investigasi terhadap insiden ini. Otoritas California pun meminta Uber untuk menghentikan pengoperasian armada mobil tanpa sopirnya di San Francisco, paling tidak sebelum izinnya keluar.

Sumber: Uber, SF Examiner dan Business Insider.