Tag Archives: drone komersial

Skydio X2 Ramaikan Pasar Portable Drone untuk Kebutuhan Komersial

Dua tahun lalu, industri consumer drone kedatangan satu pemain baru yang cukup ambisius. Mereka adalah Skydio, dengan produk perdananya yang bernama Skydio R1, yang betul-betul mengedepankan kemampuan kendali otomatis sampai-sampai Skydio sengaja tidak merancang unit controller buatnya.

Namun Skydio R1 bukanlah tanpa kekurangan. Yang paling utama, harganya kelewat tinggi: $2.500. Kedua, kualitas kameranya jauh di bawah drone sekelas. Ketiga, dimensinya masih tergolong bongsor jika melihat tren drone dengan desain foldable yang populer dalam beberapa tahun terakhir.

Setahun berlalu, Skydio 2 datang membenahi kekurangan-kekurangan tersebut. Harganya jauh lebih terjangkau ($1.000), kualitas kameranya jauh lebih superior, dan fisiknya menyusut sampai sekitar 50%. Meski demikian, sebenarnya masih ada beberapa hal yang bisa ditingkatkan lebih jauh lagi, seperti misalnya desain dari drone itu sendiri, sebab Skydio 2 memang belum menganut tren foldable.

Skydio X2

Kekurangan itu akhirnya mereka benahi tahun ini. Mereka baru saja memperkenalkan Skydio X2 sebagai varian alternatif dari drone generasi keduanya. Spesifiknya, Skydio menempatkan X2 sebagai portable drone untuk kebutuhan komersial, mulai dari ranah bisnis sampai militer. Kata “portable” itu perlu disorot mengingat X2 akhirnya mengusung rancangan foldable dengan empat lengan yang bisa dilipat ke dalam ketika sedang tidak digunakan.

Selain desain yang lebih ringkas, ada beberapa peningkatan lain yang X2 bawa dibanding sepupu versi consumer-nya. Dari segi kemampuan mengudara, X2 ternyata jauh lebih efisien, mampu beroperasi sampai 35 menit nonstop (Skydio 2 cuma 23 menit), dan jarak transmisi sinyalnya naik nyaris dua kali lipat menjadi 6,2 kilometer.

Kalau melihat wajahnya, tampak bahwa ia dibekali dua kamera utama. Satu merupakan kamera thermal FLIR Boson dengan resolusi 320 x 256 pixel yang diklaim 4x lebih tajam ketimbang kamera thermal milik DJI Mavic 2 Enterprise. Satu lagi adalah kamera biasa beresolusi 4K.

Kamera biasanya ini cukup istimewa, sebab ia dapat ditandemkan dengan enam kamera navigasi pada X2 dan guna mewujudkan fitur yang Skydio sebut dengan istilah “360 Superzoom”. Ya, X2 mampu menampilkan gambar 360 derajat sekaligus kemampuan zoom hingga sejauh 100x, semuanya lengkap dengan electronic image stabilization.

Skydio X2

Berhubung drone ini bakal banyak digunakan untuk misi penyelamatan maupun tugas-tugas inspeksi lainnya, fungsionalitas tentu jauh lebih penting ketimbang kualitas visual. Kemampuannya menggambarkan keadaan di sekitarnya dari segala sudut (360°) sekaligus memperbesarnya secara ekstrem tentu bakal menjadi nilai jual ekstra di segmen drone komersial.

Setiap unit Skydio X2 datang bersama Skydio Enterprise Controller. Dari namanya sudah kelihatan bahwa remote ini ditujukan buat kalangan profesional, dan sesuai dengan keadaan di lapangan, kontrolnya sengaja dibuat agar mudah dioperasikan meski pengguna sedang memakai sarung tangan.

Selain diterbangkan secara manual, tentu saja X2 mendukung kapabilitas otonom yang sangat komprehensif, dan di sini fitur-fitur pengendalian serba otomatis itu bakal berjalan secara harmonis dengan kontrol manual. Contoh yang paling gampang, seorang pilot bisa menerbangkan X2 selagi memperhatikan bagian atasnya saja, dan X2 sendiri yang akan menghindari rintangan-rintangan di depannya.

Belum diketahui berapa harga yang ditetapkan untuk Skydio X2, tapi semestinya tidak akan lebih murah dari $1.000 (harga Skydio 2). Di Amerika Serikat, pemasarannya dijadwalkan berlangsung mulai kuartal keempat tahun ini.

Sumber: SlashGear.

Baru Diumumkan, DJI Matrice 300 RTK dan Kamera Zenmuse H20 Series Langsung Mendarat di Indonesia

DJI belum lama ini kembali menetapkan standar baru di segmen consumer drone lewat Mavic Air 2. Selang beberapa hari setelahnya, segmen enterprise drone pun juga ikut mereka kejutkan lewat DJI Matrice 300 RTK (M300 RTK).

Tidak butuh waktu lama bagi M300 RTK untuk mendarat di Indonesia. Lewat sebuah sesi webinar di Zoom, Halo Robotics selaku distributor resmi produk-produk DJI Enterprise di Indonesia, secara resmi memperkenalkan M300 RTK sekaligus seri kamera hybrid Zenmuse H20.

Ada banyak inovasi mencengangkan yang ditawarkan oleh quadcopter berwajah industrial ini, terutama saat disandingkan dengan seri kamera Zenmuse H20 tersebut. Namun sebelumnya, saya akan bahas lebih dulu beberapa peningkatan secara umum yang diusungnya dibanding pendahulunya, Matrice 210 RTK.

DJI Matrice 300 RTK

Yang paling utama adalah waktu mengudara yang lebih lama, tepatnya sampai 55 menit dalam sekali pengisian. Baterainya pun hot-swappable, yang berarti dapat dilepas-pasang dengan mudah tanpa harus membongkar drone. Pihak Halo Robotics tak lupa menjelaskan bahwa paket penjualan M300 RTK sudah mencakup battery station berwujud seperti koper yang bisa menampung dan mengisi ulang 8 unit baterai sekaligus.

Jarak maksimum transmisi videonya juga meningkat drastis menjadi 15 kilometer. Ya, sampai sejauh itu M300 RTK dapat meneruskan video 1080p ke pilotnya. Saking jauhnya, bukan tidak mungkin ada perbedaan cuaca antara titik terbang drone dan titik berdiri sang pilot. Namun konsumen tak perlu khawatir mengingat bodi M300 RTK secara keseluruhan tahan air dan debu dengan sertifikasi IP45.

DJI Matrice 300 RTK

Lebih lanjut mengenai aspek keselamatan penerbangan, M300 RTK dibekali sederet sensor di enam sisinya (depan-belakang, kiri-kanan, atas-bawah). Bukan cuma sensor visual saja, melainkan juga sensor ToF (Time of Flight) sehingga drone bisa mendeteksi berbagai objek di sekitarnya secara lebih akurat sampai sejauh 40 meter.

Nyaris semua komponen yang ada di dalam M300 RTK – inertial measurement unit, barometer, kompas, bahkan antena RTK (Real-Time Kinematic) – berjumlah dua, dan ini berguna demi memastikan drone tetap operasional meski ada satu komponen yang tiba-tiba rusak. Juga menarik adalah bagaimana M300 RTK disebut mampu melakukan pendaratan darurat dengan baik meski salah satu rotornya macet.

DJI Matrice 300 RTK

M300 RTK dapat dikendalikan oleh dua pilot sekaligus. Ini berguna dalam program pelatihan, sehingga pilot pelatih bisa langsung mengambil alih kendali saat pilot yang dilatih melakukan kesalahan. Dalam skenario lain, semisal untuk menginspeksi jaringan pipa gas yang luar biasa panjang, yang mungkin terlalu panjang untuk rute pergi-pulang drone dalam sekali pengisian baterainya, drone bisa lepas landas di titik A bersama pilot A, lalu mendarat di titik B bersama pilot B.

Modul kamera hybrid Zenmuse H20 Series

Zenmuse H20 (kiri) dan Zenmuse H20T (kanan) / DJI
Zenmuse H20 (kiri) dan Zenmuse H20T (kanan) / DJI

M300 RTK sanggup menggotong tiga modul payload sekaligus (dua di bawah, satu di atas), dengan catatan total beratnya tidak lebih dari 2,7 kilogram. Modul lama seperti Zenmuse XT2 dipastikan kompatibel, akan tetapi tandem sejati M300 RTK sebenarnya adalah Zenmuse H20 Series yang diluncurkan secara bersamaan.

Ada dua model yang ditawarkan: H20 dan H20T. H20 dibekali tiga sensor sekaligus: 12 megapixel dengan lensa wide-angle, 20 megapixel dengan 23x hybrid optical zoom, dan laser rangefinder dengan jarak maksimum 1.200 meter. H20T mengemas tiga sensor tersebut ditambah satu kamera thermal beresolusi 640 x 512 pixel 30 fps.

DJI Matrice 300 RTK

Duet M300 RTK dan Zenmuse H20 Series ini mewujudkan sejumlah fitur cerdas yang jujur membuat saya agak geleng-geleng kepala (tidak percaya) saat mendengar penjelasannya. Kita mulai dari yang paling sepele, yakni fitur PinPoint. Fitur ini memungkinkan drone untuk menandai subjek di tampilan kamera sekaligus merekam data lokasinya (koordinat) secara presisi.

Data lokasi ini bisa langsung dikirimkan ke tim darat sehingga mereka bisa langsung mengambil tindakan, sangat berguna dalam misi-misi penyelamatan. Selanjutnya ada fitur Smart Track, yang memungkinkan drone untuk mendeteksi dan mengikuti objek bergerak dari jarak amat jauh. Istimewanya, dua fitur ini bahkan bisa berfungsi di kegelapan berkat sistem night vision.

DJI Matrice 300 RTK

Namun fitur favorit saya adalah Live Mission Recording. Saat fitur ini diaktifkan, drone akan merekam seluruh input pengendalian, mulai dari tingkat ketinggian sampai koordinat titik terbangnya, tidak ketinggalan juga pengaturan kameranya. Selesai direkam, drone bisa mengulangi sesi tersebut secara identik.

Ini berguna saat hendak melakukan inspeksi rutin yang terkesan repetitif namun membutuhkan level presisi yang tinggi. Operator cukup melangsungkan inspeksi awalnya satu kali, kemudian sisanya biarkan drone berjalan secara otomatis di inspeksi kedua, ketiga, keempat dan seterusnya.

DJI Matrice 300 RTK

Tidak kalah menarik adalah fitur AI Spot Check, di mana pilot bisa menandai bagian dari foto yang diambil, dan selanjutnya drone dapat ditugaskan untuk mengambil gambar persis di bagian tersebut secara otomatis. Lagi-lagi sangat berguna untuk keperluan inspeksi rutin.

Saat ditanya mengenai harganya, pihak Halo Robotics menjelaskan bahwa DJI melarang publikasi harga produk enterprise-nya secara umum. Namun mereka memastikan bahwa harganya tidak berbeda jauh dari kisaran harga seri Matrice selama ini.

Usung Aksesori Modular, DJI Mavic 2 Enterprise Dirancang untuk Kebutuhan Para Profesional

DJI resmi memperkenalkan drone terbarunya, Mavic 2 Pro dan Mavic 2 Zoom, pada bulan Agustus lalu. Sekarang, giliran versi komersialnya yang diungkap. Dijuluki Mavic 2 Enterprise, ia dirancang untuk memenuhi kebutuhan para pemilik bisnis sekaligus perangkat pemerintahan.

Secara teknis, Mavic 2 Enterprise sebenarnya identik dengan Mavic 2 Zoom. Ia mengemas kamera 12 megapixel dengan lensa 24-48mm (2x optical zoom), sanggup merekam video dalam resolusi 4K 30 fps dan bitrate 100 Mbps. Sistem transmisi yang digunakan pun sama persis, yakni OcuSync 2.0 yang mendukung streaming 1080p hingga sejauh 8 km.

Perbedaannya terletak pada sifatnya yang modular. Ia datang bersama tiga aksesori yang dapat dilepas-pasang. Yang pertama adalah lampu sorot dengan tingkat kecerahan maksimum 2.400 lumen. Yang kedua adalah speaker 100 desibel, dan terakhir ada lampu suar yang kelipannya bisa kelihatan dari jarak sejauh 4,8 km.

DJI Mavic 2 Enterprise

Karena modular, ketiga aksesori ini dapat digunakan menyesuaikan dengan kebutuhan. Untuk inspeksi di malam hari misalnya, kehadiran lampu sorot yang amat terang jelas bakal sangat membantu. Mavic 2 Enterprise juga bisa menjadi alat bantu yang ideal di tangan regu penyelamat.

Di samping itu, DJI tidak lupa menyematkan fitur keamanan ekstra pada Mavic 2 Enterprise. Utamanya adalah fitur Password Protection, yang ketika aktif, mengharuskan pengguna untuk mencantumkan kata sandi setiap kali mereka menyalakan drone, menyambungkan controller-nya, dan mengakses isi storage-nya.

Bicara soal storage, Mavic 2 Enterprise hadir membawa penyimpanan internal sebesar 24 GB, tiga kali lebih besar daripada duo Mavic 2 versi consumer. Untuk proyek yang sifatnya rahasia, pengguna dapat mengaktifkan fitur Local Data Mode guna memblokir koneksi internet untuk sementara.

DJI Mavic 2 Enterprise

Terkait daya tahan baterai, Mavic 2 Enterprise dapat beroperasi hingga 31 menit dalam satu kali pengisian, sama persis seperti Mavic 2 standar. Bedanya, baterai ini dibekali kemampuan self-heating sehingga drone tetap bisa mengudara di suhu sedingin -10° Celsius.

Selebihnya, tidak ada yang berbeda dari DJI Mavic 2 Enterprise. Di Amerika Serikat, DJI saat ini telah memasarkannya seharga $1.999, sudah termasuk tiga aksesori modularnya itu tadi.

Sumber: DJI.

Bekerja Sama dengan Microsoft, DJI Ingin Terus Mematangkan Lini Drone Komersialnya

Dominasi DJI di segmen consumer drone sudah tidak perlu kita ragukan lagi. Kendati demikian, DJI masih punya sejumlah pekerjaan rumah yang harus diselesaikan di segmen komersial, utamanya untuk memberikan opsi kustomisasi yang lebih lengkap bagi para konsumen.

Tantangan tersebut mereka coba selesaikan dengan bekerja sama dengan Microsoft. Kemitraan ini bakal berbuah pada SDK (software development kit) untuk Windows, sehingga komunitas developer bisa mengembangkan aplikasi yang terhubung langsung ke drone DJI.

SDK tersebut menjanjikan sejumlah kapabilitas yang belum eksis sebelumnya, seperti kendali penuh atas pergerakan drone dan kemampuan mentransfer data secara real-time. Sebagai ilustrasi, drone DJI yang digunakan untuk menginspeksi infrastruktur dapat mengirimkan datanya langsung ke laptop Windows 10, di mana operator bisa langsung memonitor dan mengevaluasi hasilnya.

Di samping itu, SDK ini juga bakal menawarkan kemudahan untuk mengintegrasikan hardware ekstra buatan pihak ketiga macam sensor multispektrum maupun komponen-komponen robotik lainnya, yang secara langsung akan menambah fungsionalitas drone di lapangan.

Terakhir, kemitraan ini juga berujung pada ditetapkannya Microsoft Azure sebagai platform cloud computing pilihan DJI. DJI pada dasarnya ingin menghadirkan peningkatan pada fitur-fitur berbasis AI yang dimiliki drone besutannya, dan kiprah Azure yang sudah terbukti selama ini bakal membawa dampak positif pada hal tersebut.

Singkat cerita, seperti yang saya bilang, kemitraan ini pada dasarnya ditujukan untuk kian mematangkan lini drone komersial milik DJI. Meski begitu, tidak menutup kemungkinan bagi hasil kolaborasinya untuk turut dibawa ke segmen consumer drone. Yang paling gampang menurut saya adalah integrasi kapabilitas AI dan machine learning dari Microsoft Azure itu tadi.

Sumber: DJI.

DJI Zenmuse XT2 Adalah Kamera 4K Sekaligus Kamera Thermal untuk Drone Komersial

Perkembangan drone untuk sektor komersial sering kali luput dari perhatian publik. Padahal, eksistensinya malah lebih lama ketimbang drone untuk konsumen secara umum. Terlepas dari itu, ranah ini masih cukup menarik dibahas demi menggambarkan potensi drone secara lebih komprehensif.

Ambil contoh produk terbaru DJI, yakni Zenmuse XT2. Ia merupakan sebuah kamera thermal untuk drone. Bukan sembarang drone, tapi yang memang didedikasikan untuk kalangan profesional seperti Matrice 200 dan Matrice 600 Pro. Dalam mengerjakan XT2, DJI bekerja sama langsung dengan FLIR, yang memang sudah sangat berpengalaman di bidang thermal imaging.

Secara teknis, XT2 amatlah menjanjikan. DJI telah membekalinya dengan sensor CMOS berukuran 1/1,7 inci yang mampu menjepret foto 12 megapixel atau merekam video 4K. Di sebelahnya, bernaung modul thermal dari FLIR yang bisa mengambil heat signature dalam resolusi 640 x 512 atau 336 x 256 pixel, dengan pilihan lensa 9 mm, 13 mm, 19 mm atau 25 mm.

DJI Zenmuse XT2

Namun yang lebih menarik adalah dua fitur pintar yang telah DJI tanamkan: QuickTrack dan HeatTrack. Keduanya pada dasarnya memungkinkan pengguna untuk berfokus mengendalikan drone selagi kameranya beroperasi secara otomatis, memfokuskan pandangannya ke tengah area yang sudah ditetapkan (QuickTrack), atau ke area dengan suhu paling panas (HeatTrack).

Di saat suatu objek terdeteksi mencapai suhu di atas batas kritis, kamera dan drone juga akan langsung mengirimkan notifikasi ke pengguna. Kombinasi drone dan Zenmuse XT2 ini sangatlah ideal di tangan regu penyelamat, namun juga sangat bermanfaat untuk melakukan inspeksi infrastruktur maupun di bidang pertanian.

DJI sejauh ini belum mengungkapkan banderol harga resmi Zenmuse XT2, tapi bisa dipastikan jauh dari kata murah.

Sumber: DPReview.

Parrot Luncurkan Drone untuk Regu Penyelamat dan Petani

Dominasi DJI di segmen drone untuk konsumen umum sungguh tidak terbendung. Bahkan produsen sekelas Parrot pun sudah merasakan dampaknya, yakni menurunnya angka penjualan sampai-sampai mereka dengan terpaksa harus memecat hampir 300 karyawan di bulan Januari lalu.

Dari situ Parrot memutuskan untuk mengubah strategi dan mengalihkan fokusnya ke segmen drone komersial. DJI memang juga ‘bermain’ di segmen ini, tapi setidaknya dominasinya tidak sebesar di segmen drone untuk konsumen umum.

Parrot Bebop-Pro Thermal

Peralihan fokus ini melahirkan dua drone baru sekaligus: Parrot Bebop-Pro Thermal dan Parrot Bluegrass. Keduanya ditargetkan untuk pasar yang berbeda; Bebop-Pro Thermal untuk pemadam kebakaran dan regu penyelamat berkat kamera pendeteksi panasnya, sedangkan Bluegrass untuk bidang agrikultur berkat sensor multispectral-nya.

Bebop-Pro Thermal pada dasarnya memiliki desain yang sama persis seperti Bebop standar, hanya saja di belakangnya telah dipasangi kamera thermal Flir One Pro yang sanggup mendeteksi panas sampai suhu 400 derajat Celsius. Di tangan regu penyelamat misalnya, drone ini bisa membantu menemukan korban yang tertimbun reruntuhan.

Parrot Bluegrass

Lain halnya dengan Parrot Bluegrass. Berbekal modul sensor multispectral Parrot Sequoia, quadcopter yang satu ini dimaksudkan untuk membantu para petani memonitor lahannya secara efisien. Dalam satu kali charge, Bluegrass diklaim sanggup memantau lahan hingga seluas 30 hektar.

Mengingat yang menjadi target Parrot kali ini adalah kalangan profesional, wajar apabila harga kedua drone ini cukup premium. Bebop-Pro Thermal dibanderol $1.500, sedangkan Bluegrass lebih mahal lagi di angka $5.000.

Sumber: Parrot dan Engadget.

DJI Matrice 200 Adalah Drone Tahan Pukul untuk Keperluan Komersial dan Industrial

Tidak bisa dipungkiri, DJI merupakan pemimpin di segmen consumer drone. Namun hal itu tidak membuat mereka lupa dengan segmen commercial atau industrial drone, yakni drone yang biasanya dipakai untuk melakukan inspeksi infrastruktur maupun pemetaan lahan konstruksi.

Di hadapan pengunjung MWC 2017 di Barcelona, DJI mengungkap lini drone Matrice 200. Lini ini terdiri dari tiga model yang berbeda, yakni M200, M210 dan M210 RTK. Perbedaannya terletak pada jumlah gimbal-nya: M200 hanya punya satu gimbal menghadap ke bawah, M210 punya dua plus satu lagi yang menghadap ke atas, sedangkan M210 RTK sama persis tapi telah dibekali dengan modul navigasi yang presisi sampai hitungan sentimeter.

Gimbal-nya ini kompatibel dengan hampir semua lini kamera Zenmuse yang DJI kembangkan sendiri. Selagi menggotong satu kamera, Matrice 200 diperkirakan dapat mengudara selama 35 menit nonstop berkat sepasang unit baterainya. Lebih lanjut, Matrice 200 telah mengantongi sertifikasi IP43, yang berarti ia sanggup mengudara di cuaca yang kurang ideal.

DJI Matrice 200 tersedia dalam tiga model: M200, M210 dan M210 RTK / DJI
DJI Matrice 200 tersedia dalam tiga model: M200, M210 dan M210 RTK / DJI

Hampir semua teknologi terkini DJI ada pada lini Matrice 200. Yang paling utama adalah DJI Flightsense, yang pada dasarnya memungkinkan Matrice 200 untuk mendeteksi sekaligus menghindari rintangan dengan sendirinya, baik ketika bergerak maju, mundur, menyamping dan atas-bawah, persis seperti Inspire 2.

Masih seputar navigasi, lini Matrice 200 turut mengusung teknologi DJI AirSense. Teknologi ini sejatinya mengandalkan komponen ADS-B receiver yang berfungsi untuk memberikan informasi real-time mengenai posisi, tingkat ketinggian dan kecepatan drone lain atau pesawat yang dilengkapi ADS-B transmitter yang ada di sekitarnya, sehingga sang pilot bisa terus siaga.

DJI Matrice 200 dapat mengudara dalam kondisi cuaca yang kurang ideal, seperti misalnya ketika hujan gerimis / DJI
DJI Matrice 200 dapat mengudara dalam kondisi cuaca yang kurang ideal, seperti misalnya ketika hujan gerimis / DJI

DJI tidak lupa membekali Matrice 200 dengan sistem Lightbridge 2, dimana drone dapat dikendalikan hingga jarak sejauh 7 kilometer selagi meneruskan video hasil tangkapan kameranya secara langsung dalam resolusi 1080p. Fitur ActiveTrack yang berfungsi untuk mendeteksi, mengikuti dan menempatkan objek dalam pandangan kamera secara konstan turut tersedia.

Sekali lagi, DJI Matrice 200 ini bukan diperuntukkan konsumen umum, melainkan untuk keperluan komersial dan industrial. Banderol harganya belum diumumkan, tapi rencananya pemasaran akan dimulai pada kuartal kedua tahun ini juga.

Sumber: Engadget dan DJI.

Intel Umumkan Falcon 8+, Drone Pertamanya untuk Bidang Komersial

Nama Intel selalu diasosiasikan dengan prosesor, akan tetapi rival utama AMD tersebut juga punya ketertarikan khusus terhadap drone. Sebelumnya, kita sudah melihat drone Yuneec Typhoon H yang mengadopsi teknologi Intel RealSense. Sekarang, teknologi tersebut hadir dalam drone berlabel Intel sendiri.

Namun RealSense baru sebagian cerita dari drone bernama Intel Falcon 8+ ini. Pasalnya, Intel merancangnya untuk bidang komersial, baik untuk inspeksi di kawasan industri, melakukan survei maupun pemetaan. Pada kenyataannya, Falcon 8+ diproduksi oleh perusahaan ahli drone komersial bernama Ascending Technologies, yang diakuisisi Intel sejak Januari lalu.

Desainnya tidak seperti octocopter pada umumnya, dimana formasi baling-balingnya membentuk huruf V, dan ini diambil dari paten yang ditetapkan Ascending Technologies. Kalau Anda merasa tidak asing dengan wujudnya, yup, ini merupakan suksesor dari AscTec Falcon 8 yang dipakai oleh Airbus untuk mempercepat proses inspeksi pesawat.

Saat diperlukan, drone bisa melesat dengan kecepatan maksimum 56 km/jam. Sistem komunikasi disematkan langsung ke dalam tubuh drone, dan ia juga mengemas baterai cadangan yang sangat krusial dalam aktivitas komersial.

Intel Cockpit / Intel
Intel Cockpit / Intel

Falcon 8+ datang bersama sebuah controller khusus yang jauh dari kata ringkas. Dijuluki Intel Cockpit, bagian depannya dihuni oleh sebuah tablet terintegrasi, disusul oleh sepasang joystick di belakangnya. Intel mengklaim controller ini siap digunakan di cuaca buruk, demikian pula dengan drone Falcon 8+ itu sendiri.

Di titik ini tidak ada yang bisa menyimpulkan apakah Intel nantinya juga bakal merambah ranah consumer dan bersaing langsung dengan DJI maupun yang lain. Intel sendiri merupakan salah satu investor utama Yuneec, jadi kemungkinan persaingannya akan berlangsung di bawah bendera Yuneec.

Sumber: The Verge dan Intel.

3DR Gandeng Sony dan Autodesk untuk Ciptakan Drone Komersial

Di ranah consumer drone, kita semua tahu bahwa DJI adalah rajanya. Maka dari itu, 3D Robotics (3DR) sebagai salah satu rivalnya tak ingin dominasi tersebut kembali terulang di ranah commercial drone. Belum lama ini, perusahaan yang didirikan oleh jurnalis ternama Chris Anderson tersebut mengumumkan kerja samanya dengan Autodesk dan Sony demi mengembangkan drone baru untuk kebutuhan komersial.

Drone baru ini sebenarnya merupakan varian khusus dari 3DR Solo. Perbedaan utamanya terletak pada komponen kamera, dimana varian ini tak lagi mengandalkan produk buatan GoPro, melainkan kamera besutan Sony yang sanggup menangkap gambar yang lebih mendetail sekaligus mengunggah data-datanya langsung ke cloud.

Varian khusus 3DR Solo ini akan dijual bersama sebuah tablet Sony yang telah diisi oleh software FORGE milik Autodesk. FORGE akan bertanggung jawab mengolah seluruh data yang dikumpulkan sehingga dapat dianalisa dengan mudah oleh para pekerja di lapangan.

Menurut pengakuan Autodesk, kolaborasi ini didasari oleh permintaan yang besar dari perusahaan konstruksi. Hampir semua perusahaan konstruksi yang pernah menjalin kerja sama dengan Autodesk menyatakan keinginannya untuk memanfaatkan drone di lapangan untuk keperluan inspeksi maupun survey yang akan lebih mudah dilakukan dari ketinggian.

Software Autodesk untuk 3DR Solo

Jadi kalau sebelumnya para pekerja harus memanjat menara tinggi guna melakukan inspeksi, nantinya tugas beresiko tersebut akan diserahkan pada 3DR Solo. Drone akan mengambil gambar dan mengunggah semua data yang diperlukan untuk dievaluasi lebih lanjut sebelum memulai tahap konstruksi selanjutnya.

3DR sebenarnya tidak sendirian dalam menarget pasar drone komersial. DJI sendiri sudah lebih dulu meluncurkan drone untuk keperluan agrikultur serta kamera pendeteksi panas untuk drone. Tak hanya DJI, Parrot pun juga belum lama ini memperkenalkan lini aksesori drone untuk bidang pertanian.

3DR akan memasarkan varian khusus Solo dengan bundle kamera dan lensa Sony ini mulai bulan Juni mendatang seharga $4.999, plus biaya berlangganan sebesar $499 per bulan. Ke depannya 3DR juga akan meluncurkan aksesori lain untuk kebutuhan komersial, seperti misalnya kamera multispektrum dan kamera pendeteksi panas, tidak ketinggalan juga seperangkat hardware khusus untuk dipakai di lahan pertanian, pabrik bahan kimia maupun pertambangan minyak.

Sumber: The Verge, 3DR dan Autodesk.