Momen ini sepertinya yang ditunggu-tunggu oleh kebanyakan pengguna kamera DSLR Sony Alpha. Sony akhirnya meluncurkan kamera DSLR terbarunya, yaitu Alpha 7 (Mark) IV. Sang penerus dari Alpha 7 III ini resmi hadir di Indonesia semenjak tanggal 7 Januari 2022 yang lalu.
Koji Sekiguchi, President Director PT Sony Indonesia mengatakan, “Alpha 7 IV mengintegrasikan teknologi gambar terbaik dari Sony untuk melampaui ekspektasi kamera full-frame dasar. Alpha 7 IV juga memberikan pengalaman yang luar biasa baik dalam foto maupun video, memungkinkan pengguna untuk memotret dengan tepat gambar yang mereka inginkan, terlepas dari situasi yang mereka hadapi. Dengan sensor gambar Exmor R CMOS terkini yang dikombinasikan dengan mesin pemrosesan terbaru BIONZ XR, Alpha 7 IV memiliki performa pencitraan yang tinggi dan mampu menghasilkan resolusi 33 MP. Selain itu, dengan berbagai fitur untuk mendukung kebutuhan komunikasi jarak jauh yang terus meningkat, Alpha 7 IV memberikan makna baru pada apa yang dapat dicapai oleh kamera ‘dasar’.”
Dibandingkan dengan seri sebelumnya yang memiliki resolusi 24 MP, Alpha 7 IV hadir dengan sensor full frame resolusi 33 MP. Teknologi auto fokusnya pun juga baru, yaitu memiliki fitur Real-Time Tracking dengan 759 titik AF. Selain itu, teknologi Eye Auto Focus yang ada sudah mampu melacak mata burung dan hewan. Kamera ini juga mampu merekam video dengan resolusi 4K 60 fps dengan 10-bitdepth 4:2:2 color sampling.
Dari sisi dapur pacunya, Sony Alpha 7 IV menggunakan prosesor BIONZ XR yang sama digunakan pada Alpha 7s III. Untuk sensornya, Sony Alpha 7 IV menggunakan Exmor R CMOS terbaru. Sensor ini memiliki sensitivitas ISO 50 hingga 204.800. Untuk penyimpanannya, kamera ini sudah mendukung CFExpress dan SDXC.
Untuk pertama kalinya dalam seri Alpha, kamera baru ini memiliki fitur Breathing Compensation untuk memerangi focus breathing dan mempertahankan sudut pandang yang konsisten selama perubahan fokus serta dapat dinyalakan atau dimatikan. Sony juga menanamkan fitur Creative Look di mana akan mengubah gambar dengan filter tertentu. Dan untuk para content creator, kamera ini juga sudah memiliki kemampuan untuk live streaming.
Sony Alpha 7 IV akan hadir di Indonesia pada bulan Januari 2022 dengan harga Rp36.999.000 untuk varian body only dan Rp39.999.000 untuk varian dengan lensa kit 28-70mm.
Alpha 7 III akan discontinue?
Dengan lahirnya Alpha 7 IV, tentu saja semua mata akan tertuju pada kamera terbaru ini. Oleh karena itu, masih tanda tanya apakah Sony masih akan menjual Alpha 7 III yang saat ini masih banyak beredar di pasaran atau tidak. Hal tersebut tentu saja cukup lumrah di mana sebuah perusahaan akan menghentikan penjualan produk seri sebelumnya saat produk yang baru diluncurkan.
Takeshi Hatanaka, Head of Digital Imaging Product Marketing Sony Indonesia mengatakan bahwa mereka masih akan menjual kamera Sony Alpha 7 III di pasar Indonesia pasca peluncuran Alpha 7 IV. Sony juga masih akan menjualnya dengan harga yang sama dengan sebelumnya. Hal ini tentu akan membuat alternatif pemilihan kamera menjadi lebih luas lagi.
Hasil Foto
Agar tidak penasaran, berikut adalah beberapa contoh hasil foto dari Alpha 7 IV
Penjualan kamera digital terus mengalami penurunan dari tahun ke tahun, penyebabnya antara lain karena ancaman kamera smartphone yang semakin canggih dan diperparah dengan pandemi Covid-19. Lalu, bagaimana kondisi pasar kamera digital di tahun 2021?
Asosiasi Produk Kamera dan Pencitraan atau biasa disingkat CIPA (Camera and Imaging Products Association) telah merilis laporan terkait produksi dan pengiriman kamera di seluruh dunia edisi April 2021. Biasanya data terbaru tersebut dibandingkan dengan tahun sebelumnya, namun mengingat sejak April 2020 dan seterusnya industri kamera terkenda dampak langsung pandemi, angka penjualan kamera digital secara keseluruhan lebih rendah pada tahun 2020.
Untuk mendapat gambaran lebih jelas, mari kita bandingkan dengan data CIPA tahun 2019. Pada April 2021 terdapat 756.155 unit yang dikirimkan dengan nilai 44,6 miliar Yen. Turun 50% berdasarkan volume dan 26,8% berdasarkan nilai dibandingkan dengan data April 2019.
Khusus kamera dengan lensa yang dapat dipertukarkan termasuk DSLR dan mirrorless, terdapat 496.224 unit yang dikirimkan pada April 2021 dengan nilai 37,7 miliar Yen. Dibandingkan dengan April 2019, angka-angka ini masing-masing turun 40% dan 19,9% berdasarkan volume dan nilai.
Jika melihat secara eksklusif pada kamera DSLR, ada 225.584 unit dikirimkan pada April 2021 dengan nilai 9,86 miliar Yen, turun 48,8% berdasarkan volume dan 45,1% berdasarkan nilai dibandingkan dengan April 2019. Di sisi lain, kamera mirrorless berhasil mengirimkan 270.640 unit dengan nilai 27,8 miliar Yen, turun 29,7% berdasarkan volume dan 3,8% berdasarkan nilai.
Meskipun unit kamera dengan lensa yang dapat dipertukarkan lebih sedikit yang dijual, nilai unit tersebut tidak turun dengan kecepatan yang sama. Faktanya data tersebut menunjukkan bahwa nilai rata-rata kamera saat ini terjual jauh lebih banyak daripada dua tahun lalu.
Tren ini terutama terlihat di pasar kamera mirrorless yang semakin matang di mana nilai kamera mirrorless yang dikirimkan hanya turun sekitar 1/8 volume. Fakta lain adalah pengiriman kamera mirrorless telah melebihi DSLR, pada April 2019 kamera DSLR terkirim 56.961 unit lebih banyak daripada mirrorless, sedangkan pada April 2021, kamera mirrorless terkirim 45.056 unit lebih banyak daripada DSLR.
Perbedaan ini akan terus meningkat karena Sony, Canon, Nikon, dan Panasonic bersaing satu sama lain di pasar mirrorless full frame. Laporan yang dikeluarkan oleh CIPA ini hanya menunjukkan pengiriman unit kamera digital berdasarkan volume dan nilai. Namun tidak diketahui apakah semua kamera yang dikirimkan tersebut terjual semuanya atau tidak.
Eksistensi kamera mirrorless macam Sony A1 membuat kategori DSLR semakin tidak relevan di tahun 2021 ini. Saya tidak bilang DSLR sudah mati begitu saja, tapi arahnya sepertinya bakal ke sana jika melihat tren yang sedang berlangsung di industri kamera.
Baru-baru ini, situs Sony Alpha Rumors melaporkan bahwa Sony diam-diam sudah berhenti memasarkan lini kamera DSLR-nya yang menggunakan dudukan lensa A-mount. Kamera-kamera DSLR (DSLT kalau menurut kamus Sony) seperti Sony A68, Sony A77 II, maupun Sony A99 II semuanya sudah tidak bisa lagi ditemukan di situs resmi Sony maupun di peritel kenamaan macam B&H Photo Video.
Sejauh ini memang belum ada konfirmasi resmi dari Sony mengenai hal ini, tapi kabar ini sebenarnya sudah bisa kita tebak dari jauh-jauh hari. Pasalnya, terakhir kali Sony meluncurkan kamera DSLR adalah di bulan September 2016, yakni Sony A99 II yang membanggakan teknologi 4D Focus.
Kala itu, Sony bilang bahwa 4D Focus belum bisa diaplikasikan ke lini kamera mirrorless A7 karena keterbatasan ruang. Sekarang, 4D Focus bahkan sudah ada di kamera mirrorless sekelas A6100 sekalipun. Sony bisa dibilang sudah tidak punya alasan lagi untuk melanjutkan kiprahnya di kategori DSLR.
Lineup kamera mirrorless Sony sekarang sudah bisa memenuhi kebutuhan banyak kalangan sekaligus, dari yang baru memulai hobi fotografi, sampai yang sudah berkarir secara profesional di bidang fotografi maupun videografi selama bertahun-tahun. Sony merupakan salah satu kontributor terbesar terhadap popularitas kamera mirrorless sekarang, jadi tidak mengherankan apabila mereka merasa sudah waktunya untuk meninggalkan segmen DSLR sepenuhnya.
Sebagai informasi, Sony merilis DSLR perdananya, Sony A100, di tahun 2006 setelah sebelumnya lebih dulu mengakuisisi divisi kamera milik Konica Minolta. Sekitar empat tahun setelahnya, Sony merilis kamera mirrorless pertamanya, yakni Sony NEX-3 dan Sony NEX-5 yang sama-sama mengusung sensor APS-C. Barulah di tahun 2013, Sony merilis A7, kamera mirrorless pertama di dunia yang mengemas sensor full-frame.
Kebutuhan video conference saat bekerja dari rumah meningkat tajam. Tahun lalu, banyak produsen kamera yang merilis software yang memungkinkan menyulap kamera digital menjadi webcam berkualitas tinggi.
Canon salah satunya, mereka memiliki software bernama Canon Webcam Utility. Kini Canon telah mengumumkan kit aksesori webcam untuk pemilik kamera DSLR dan mirrorless tipe tertentu yang memungkinkan menggunakan kamera sebagai webcam dalam jangka waktu yang lama tanpa takut kehabisan baterai.
Kit aksesori webcam dari Canon dibanderol dengan harga mulai dari US$89.99 atau sekitar Rp1,2 jutaan dan terdiri dari tiga versi. Mulai dari versi untuk kamera mirrorless EOS M atau APS-C terbaru meliputi Canon EOS M50, EOS M50 Mark II, dan EOS M200.
Lalu, yang kedua untuk lini kamera DSLR-nya yang terdiri dari Canon EOS Rebel T3, T5, T6, dan T7. Satu lagi versi terakhir khusus untuk pemilik kamera mirrorless Canon EOS RP dan dibanderol lebih mahal yakni US$159 atau sekitar Rp2,2 jutaan.
Tiga versi kit aksesori webcam ini memiliki kelengkapan yang berbeda-beda. Namun setiap versi dilengkapi kabel USB untuk menghubungkan kamera ke komputer atau laptop Anda, baterai tiruan, dan adaptor daya untuk mengisi daya kamera langsung ke stopkontak. Namun dalam kit aksesori webcam ini belum termasuk tripod yang berguna untuk menempatkan posisi kamera dengan sudut yang baik.
Oktober tahun lalu, beredar kabar bahwa Canon sedang mengerjakan penerus dari EOS 5D Mark IV. Sekarang, situs yang sama (Canon Rumors) malah memberitakan bahwa seri EOS 5D bakal menyusul jejak seri EOS 7D, alias sudah di-discontinue.
Singkat cerita, kita tidak akan melihat EOS 5D Mark V dan seterusnya. Kalau merujuk pada kejadian yang menimpa seri EOS 7D sebelumnya, penyebabnya tidak lain dari tren kamera mirrorless. Kala itu, Canon lebih memilih untuk berfokus pada seri kamera mirrorless EOS R ketimbang mengerjakan penerus EOS 7D Mark II.
Seperti yang kita tahu, Canon baru saja meluncurkan EOS R5 dan R6. R5 sendiri sebenarnya bisa dibilang pantas menggantikan 5D Mark IV yang sudah berusia hampir empat tahun, apalagi mengingat R5 banyak mewarisi kemampuan fotografi EOS 1D X Mark III. Terkait videografi, R5 juga merupakan salah satu model yang paling superior di luar lini kamera sinema Canon (EOS C) saat ini.
Juga perlu diingat adalah, rumor tentang EOS 5D Mark V itu pertama muncul di bulan Oktober 2019, jauh sebelum pandemi COVID-19 melanda. Jadi selain karena tren mirrorless yang memang semakin naik, kemungkinan besar pandemi dan imbasnya terhadap industri turut menjadi salah satu faktor pertimbangan di balik keputusan Canon memberhentikan seri EOS 5D ini.
Satu catatan penting, diberhentikannya seri EOS 5D bukan berarti Canon sudah menyerah mengembangkan DSLR dan sepenuhnya beralih ke mirrorless. Canon mungkin masih akan mengerjakan DSLR baru ke depannya, tapi kemungkinan besar bukan dari seri 5D.
Konsumen DSLR boleh terus menurun setiap tahunnya, akan tetapi saya yakin di luar sana masih banyak yang lebih nyaman menggunakan DSLR ketimbang mirrorless, apalagi yang koleksi lensanya sudah begitu banyak. Baru-baru ini, Pentax bahkan mengumumkan visinya bahwa mereka masih akan terus mengembangkan kamera DSLR ke depannya, dengan optical viewfinder sebagai salah satu nilai jual utamanya.
Di industri kamera, seri EOS 5D sendiri bisa dilihat sebagai salah satu DSLR yang paling berpengaruh sejak generasi pertamanya dirilis 15 tahun lalu sebagai kamera full-frame pertama dengan ukuran bodi standar, bukan yang ekstra bongsor (double-grip) seperti seri EOS 1D. Tiga tahun setelahnya, EOS 5D Mark II datang membawa kapabilitas perekaman video, menjadikannya populer di kalangan videografer.
Lanjut ke tahun 2012, EOS 5D Mark III hadir mengemas upgrade yang sangat signifikan terhadap kinerja autofocus-nya dengan meminjam sistem autofocus milik EOS 1D X. Terakhir, EOS 5D Mark IV yang dirilis di tahun 2016 tentu saja menjadi yang paling modern dengan fitur-fitur seperti touchscreen maupun Dual Pixel CMOS AF.
Kamera DSLR flagship paling mutakhir dari Canon telah masuk Indonesia. PT Datascrip sebagai distributor tunggal produk pencitraan digital Canon di Tanah Air memasarkan Canon EOS 1D X Mark III (body only) dengan harga Rp110.000.000. Seperti apa kemampuannya?
Hands-on Canon EOS 1D X Mark III
Pertama ialah kapabilitas burst shooting-nya yang mencapai 20fps dengan autofocus dan auto exposure di live view. Serta, 16fps menggunakan OVF dengan buffer hingga 1.000 gambar lebih dalam format Raw atau Raw + JPEG.
Saat saya coba, suara rana yang dihasilkan sangat ‘mengerikan’ seperti memberondong menggunakan senjata berat (senapan mesin) yang ada di film action. Jadi, lupakan perhitungan shutter count, siklus kerja rana dan cerminnya sendiri sanggup bertahan hingga 500.000.
Itu satu dan masih banyak fitur-fitur andalannya, sebelum itu mari berkenalan dulu. Canon EOS 1D X series adalah jajaran kamera DSLR flagship dengan sensor full frame yang dirancang untuk memenuhi kebutuhan para fotografer profesional seperti fotografi olahraga, satwa liar, jurnalistik, hingga fotografi ekstrem. Generasi pertama dirilis tahun 2011 dan 2016 untuk generasi kedua.
Pada generasi ketiga, intinya adalah sensor CMOS full frame 20.1MP dengan sistem autofocus Dual Pixel dan didukung oleh prosesor Digic X. Prosesor baru ini diklaim mampu menawarkan pemrosesan gambar 3,1x lebih cepat dan kinerja komputasi 380x lebih cepat dibandingkan dengan prosesor dual Digic 6+ yang tertanam pada generasi sebelumnya.
Canon melapisi sensor tersebut dengan lowpass filter 16-point guna memerangi efek moiré, serta untuk latar belakang buram atau bokeh yang lebih alami, dan meningkatkan ketajaman pada area yang fokus. Nilai ISO native maksimumnya mencapai 102.400 dan bisa diperluas hingga 819.200.
Saat peluncuran, fitur yang juga ditonjolkan oleh kamera ini ialah sistem tracking AF-nya. Selain ketersediaan face detection dan eye detection, Canon mempersembahkan head detection AF. Bila fitur ini aktif, bahkan bila subjek bergerak cepat, berpaling, dan bahkan mengenakan topi atau helm pun kamera tetap bisa mengunci bagian kepalanya.
Berikutnya kamera ini mendukung format penyimpanan gambar baru 10bit yaitu standar HDR PQ HEIF. Lalu, mendukung perekam video 5,5K Raw 60fps secara internal, video 4K 60fps tanpa crop, slow motion 1080p 120fps, dan dilengkapi Canon C-Log.
Body Tangguh
Desain EOS 1D X Mark III ini memang terlihat masih identik dengan pendahulunya. Kamera ini punya double grip dan bobotnya cukup berat mencapai 1.530 gram. Kontruksi body-nya sendiri terbuat dari magnesium alloy yang didesain tahan terhadap debu dan cipratan air.
Baterai yang digunakan berjenis LP-E19 yang menurut rating CIPA mampu menyuguhkan 2.850 foto dengan viewfinder dan 610 dengan mode live view. Kemudian, kamera ini juga dilengkapi dengan dual slot kartu penyimpanan baru disebut CFexpress.
Lalu, terakhir yang tak kalah penting sebagai kamera modern ialah konektivitasnya sudah didukung teknologi SuperSpeed Plus USB (USB 3.1 Gen 2). Lengkap dengan WiFi dengan fungsi FTP untuk kemudahan mentransfer gambar dengan cepat.
Setelah sebelumnya me-review kamera mirrorless flagship foto sentris rasa analog Fujifilm X-Pro3, kali ini saya me-review kamera mirrorless X-A series terbaru; Fujifilm X-A7. Dua kamera ini jelas berbeda, dari desain, antarmuka, sampai pengalaman pengguna. Sebab yang satu ditujukan untuk fotografer pengalaman, satu lagi menyasar video content creator pemula.
Terus terang awalnya saya agak underestimate, tapi setelah mencoba dan sesi pertama saya memotret ‘my little girl‘ bermain. Satu hal yang saya sadari ialah kamera ini jelas tidak bisa diremehkan. Sebab sistem autofocus-nya kencang dan fitur eye/face detection cekatan dalam mengunci objek bergerak.
Harga Fujifilm X-A7 di Indonesia dibanderol sekitar Rp10-11 juta dengan lensa kit XC 15-45mm f3.5-5.6 OIS PZ. Berikut cerita review Fujifilm X-A7 selengkapnya.
Sensor 24MP Bayer Bukan X-Trans
Saya sangat menikmati warna yang disajikan oleh film simulation pada Fujifilm X-Pro3 yang menggunakan sensor X-Trans. Di mana mampu menghasilkan foto dalam format JPEG yang matang sehingga secara signifikan mengurangi tahapan editing.
Pada Fujifilm X-A7, kamera mirrorless ini masih menggunakan sensor konvensional berdesain Bayer 24MP. Lalu, mode film simulation X-A7 tidak selengkap yang dimiliki X-Pro3 dan yang menjadi concern saya ialah apakah efeknya tetap bakal ‘seistimewa’ seperti yang disuguhkan sensor X-Trans?
Setelah rutin melakukan street hunting, hasil bidikan Fujifilm X-A7 mampu membuat saya tersenyum lebar. Meski tidak menggunakan sensor X-Tans, efek film simulation-nya masih cukup terasa. Foto yang ditampilkan sudah saya kurasi dan diambil menggunakan lensa kit XC 15-45mm f3.5-5.6 OIS PZ.
Mode film simulation yang tersedia ialah Provia, Velvia, Astia, Classic Chrome, PRO Neg. Hi, PRO Neg. Std, Monochrome (+ Y, R, dan G), serta Sepia. Efek film simulation terbaru seperti Acros, Classic Negative, dan Eterna tidak tersedia pada X-A7.
Desain & Sistem Kontrol
Beralih ke body-nya, Fujifilm X-A7 mengalami banyak perubahan desain dibanding pendahulunya seperti mekanisme layar baru dan penyesuaian tombol kontrol fisiknya. X-A7 mengemas layar 3,5 inci dengan mekanisme fully articulated, artinya harus ditarik terlebih dahulu ke sisi kiri sebelum bisa memutar layarnya sesuai kebutuhan.
Selain ukuran layar yang sedikit lebih besar, resolusinya juga meningkat menjadi 2,76 juta dot. Sebelumnya X-A5 memiliki layar 3 inci 1,04 juta dot yang bisa dilipat langsung 180 derajat ke atas. Dengan tingkat kecerahan maksimum 1.000 nit, memungkinkan memotret di bawah terik matahari tanpa kesulitan.
Seperti kamera Fujifilm anyar lainnya, X-A7 dibekali focus stick atau joystick menggantikan tombol d-pad navigasi empat arah. Ruang kosong tersebutlah yang memungkinkan Fujifilm menyematkan panel LCD lebih besar tanpa banyak memengaruhi dimensinya.
Ukuran body-nya masih cukup compact, punya dimensi 119x38x41 mm dengan bobot 320 gram dan 455 gram dengan lensa kit. Secara keseluruhan, desain X-A7 masih senada dengan X-A series lain, tanpa viewfinder electronic, punya hot shoe dan flash dengan mekanisme pop up.
Untuk sistem kontrol kameranya, Fujifilm X-A7 memiliki dua roda kontrol putar di bagian atas untuk mengatur shutter speed dan aperture. Pas awal otak-atik kamera ini saya sempat bingung bagaimana caranya mengatur ISO dengan cepat.
Setelah menelusuri lebih jauh, kamera ini memiliki satu tombol Fn fisik yang secara default fungsinya untuk merekam video dan dua tombol Fn virtual untuk mengatur white balance dan film simulation. Untuk kenyamanan memotret, saya mengganti fungsi tombol Fn fisik untuk mengatur ISO. Lalu untuk merekam video, bisa beralih ke mode video yang tersedia secara terpisah di menu drive.
Selain soal pengaturan ISO, sebetulnya salah satu aspek utama yang ditawarkan oleh Fujifilm X-A7 adalah kepraktisan penggunaan. Di mana X-A7 memiliki antarmuka kamera berbasis sentuhan yang simpel agar lebih mudah dikuasai oleh pengguna baru.
Smart menu disebutnya, Fujifilm merancang ulang tampilan menunya dan menyediakan shortcut ke sejumlah fitur essential. Seperti tap autofocus/area/shot, white balance, mode film simulation lengkap dengan preview-nya, focus mode (AF-S, AF-C, dan MF), portrait enhancer,exposure compensation, depth control, aspek rasio foto, dan quick menu.
Build quality-nya sudah cukup baik, body-nya terbuat dari paduan material metal dan plastik polikarbonat dengan lapisan kulit sintetis di sekelilingnya. Ukuran grip-nya memang tidak besar, tapi masih bisa ditoleransi.
Kelengkapan atributnya, bagian belakang didominasi oleh layar 3,5 inci dan hanya menyisakan sedikit ruang di sebelah kanannya untuk sepasang tombol (menu/ok dan disp/back) beserta joystick.
Bagian atas terdapat roda kontrol bersama tombol Fn di tengahnya, yang secara default untuk mengatur shutter speed. Lalu, ada tombol on/off, mode pengambilan gambar, roda kontrol bersama tombol rana untuk mengatur aperture, shot shoe, dan pop up flash. Port micro HDMI dan USB Type C berada di sisi kanan, serta tuas untuk membuka flash dan port microphone 2,5mm di kiri.
Baterai yang digunakan berjenis NP-W126S, slot-nya berada di bawah bersama kartu SD. Bagian terbaiknya, X-A7 bisa diisi ulang menggunakan charger Type-C smartphone dan menurut CIPA mampu memberikan 270 jepretan sekali charge.
Kemampuan Foto & Video
Fujifilm X-A7 mengandalkan sensor CMOS APS-C 24MP berdesain Bayer. Sensor yang diusung X-A7 memiliki jumlah titik phase-detection autofocus 8,5 kali lebih banyak daripada sensor milik X-A5 yakni 425 titik.
Unit yang saya review punya rentang ISO 200-12800 yang bisa diperluas hingga 25600. Foto bisa disimpan dalam format JPEG kualitas fine atau normal dan Raw dalam opsi aspek rasio 4:3, 3:2, 16:9, dan 1:1.
Selain mode film simulation yang khas, X-A7 dijejali beberapa mode pengambilan gambar. Selain mode manual, aperture priority, shutter priority, dan program AE, terdapat juga mode motion panorama, night, sport, landscape, portrait, portrait enhancer, advanced filter, dan advance sr auto.
Kamera ini didukung kapabilitas memotret beruntun 6 fps dengan continuous autofocus. Bisa dibilang agak pelan dan buffer-nya juga terasa =pendek. Beberapa kali saya kehilangan momen, karena kamera tak mampu lagi memoret.
Lensa Fujinon XC 15-45mm F3.5- 5.6 OIS PZ akan memanjang saat digunakan, meskipun terbuat dari plastik tapi kualitas hasil fotonya dapat diandalkan. Tentu saja, Anda bisa memasangkan X-A7 dengan lensa fix Fujifilm yang cukup beragam pilihan focal length dan harganya.
Kamera dapat disambungkan ke smartphone melalui aplikasi Camera Remote menggunakan konektivitas Bluetooth dan WiFi. Bahkan mendukung fitur auto transfer sehingga otomatis mengirim foto-foto yang diambil.
Mekanisme layar yang fully articulated, serta ukuran lebih besar dan resolusi lebih tinggi – membuat X-A7 menjadi kamera yang ideal untuk bikin konten video. Benar saja, kemampuan perekaman videonya sanggup merekam 1080p hingga 120fps dan mencapai 4K 30fps tanpa crop dengan bit rate 200Mbps, bukan lagi 4K 15 fps seperti pada X-A5.
Perlu dicatat, durasi rekaman 4K dibatasi sampai 15 menit dan tidak didukung fitur F-Log untuk fleksibilitas editing warna. Lalu, port microphone eksternal 2,5mm – artinya bakal butuh adapter ke 3,5mm.
Verdict
Sebagai kamera foto, Fujifilm X-A7 sangat dapat diandalkan. Mode film simulation yang kece dan menawarkan kemudahan kontrol lewat tombol fisik dan layar sentuhnya. Menurut saya, Anda tinggal membeli lensa fix Fujifilm sebagai pelengkap experience dan focal length-nya sesuaikan dengan kebutuhan.
Untuk keperluan video, buat content creator awal jelas sangat mencukupi. Namun buat yang channel-nya sudah jalan dan fokusnya ingin meningkatkan kualitas konten, maka saya lebih merekomendasikan Fujifilm X-T30. Bila terpaksa butuh layar yang bisa ditarik ke depan, X-T200 juga telah tiba di harga Rp13 juta.
Sparks
Layar 3,5 inci dengan mekanisme fully articulated
Kinerja AF cepat dengan 425 titik
Perekam video 4K 30fps dan 1080p hingga 120fps
Slacks
Burst shooting hanya 6fps
Mode film simulation terbatas
Kena tanggung, posisinya terlalu dekat dengan X-T200
Lewat sistem EOS R (full frame) dan EOS M (APS-C), Canon tengah fokus menggarap lini kamera mirrorless mereka sambil terus merawat lini DSLR-nya. Transisi dari DSLR ke mirrorless ini memang diperlukan, sejalan dengan perkembangan teknologi.
Belum lama ini, Canon telah me-refresh lini DSLR entry-level mereka dengan EOS 200D mark II. DSLR dengan wujud ringkas nan ringan ini dibanderol dengan harga Rp10 juta di Indonesia.
Ya, pada rentang harga yang sama telah bertengger dengan kokoh kamera mirrorlessEOS M50. Di mana dimensinya lebih ringkas dan berpenampilan modern, lalu apa yang ditawarkan dari oleh EOS 200D II ini? Berikut review Canon EOS 200D II selengkapnya.
Desain Canon EOS 200D II
Tampang jadul dengan grip besar dan ‘punuk’ yang menonjol justru memberikan kesan yang mendalam bagi kalangan tertentu. Saya termasuk di dalamnya dan merasakan sensasi nostalgia, saya pun cenderung memotret menggunakan optical viewfinder daripada layar-nya.
EOS 200D II mengemas fitur Live View dengan layar sentuh mekanisme fully articulated, layarnya bisa ditarik keluar dan diputar 180 derajat menghadap ke depan. Lebih leluasa untuk menyusun komposisi dan sangat berguna saat nge-vlog.
Berat kamera ini 654 gram, dengan lensa kit EF-S 18-55mm f/4-5.6 IS STM. Aperture-nya tidak konstan, bukaan maksimalnya f/4 pada panjang fokal 18mm dan f/5.6 pada 55mm.
Untuk build quality-nya, EOS 200D II memilki body dari material yang hampir semua konstruksinya terbuat dari plastik. Harus diakui memang terasa kurang premium, tapi sisi baiknya bobotnya cukup ringan.
Unit yang saya review berwarna silver yang tampil cukup mencolok, dengan grip berwarna coklat. Grip-nya berlapis karet untuk mempererat cengkraman tangan.
Sistem Kontrol Canon EOS 200D II
Dibanding kamera mirrorless seperti EOS M50, desain EOS 200D II memang terkesan ‘ketinggalan zaman’. Menurut saya, hal tersebut justru menjadi keunikan tersendiri.
Bentukan EOS 200D II dengan ukuran grip-nya yang besar membuatnya lebih nyaman dipakai untuk aktivitas memotret dalam durasi lama. Serta, aman bahkan bila memotret menggunakan satu tangan.
Kamera DSLR ini memiliki mode pengambilan foto dan video yang terpisah, bersama tuas untuk menonaktifkan kamera yang terletak pada sisi atas sebelah kanan. Hanya ada satu roda kontrol putar (dial), fungsinya untuk mengatur shutter speed. Namun dengan menekan kombinasi tombol Av, Anda dapat mengatur nilai aperture dengan roda tersebut.
Masih pada sisi atas sebelah kanan, terdapat juga tombol ISO dan DISP yang ukurannya kecil – saya telat menyadari keberadaan mereka. Pada punuk kamera, dihuni oleh hot shoe dan LED flash.
Pada sisi samping kamera dapat ditemui port mikrofon 3.5mm dan mini HDMI. Sayangnya, kamera ini tidak mendukung pengisian daya lewat USB. Jelas hal ini cukup merepotkan karena kita harus bawa-bawa adaptor charger khusus bawaannya.
Pengalaman Menggunakan Canon EOS 200D II
Kamera ini memiliki antarmuka layar sentuh yang simpel dan berbagai mode yang sangat mudah dimengerti. Sangat ideal buat belajar fotografi, Anda bisa mempelajari dari dasar-dasarnya. Terdapat juga mode Full Auto, di mana Anda hanya perlu fokus mengatur komposisi dan menekan tombol rana.
Setelah kamera dihidupkan, optical viewfinder adalah metode standar pemotretan pada EOS 200D II. Anda bisa beralih ke Live View dengan menekan tombol switch yang berada persis disamping kanan viewfinder.
Buat saya, memotret menggunakan optical viewfinder menyuguhkan experience ‘real camera‘ dan juga memakan sedikit daya. Sebagai pembanding, EOS 200D II mampu bertahan hingga 1.070 jepretan per charge menggunakan jendela bidik optik dan hanya 300 jepretan menggunakan Live View.
Kedua pemotretan ini memiliki sistem autofocus yang berbeda. Optical viewfinder memiliki 9 titik yang bekerja sangat cepat, sementara Live View memiliki 3.975 titik fokus.
Kemampuan Foto Canon EOS 200D II
Canon EOS 200D II juga disebut EOS 250D di sejumlah negara, kamera ini mengusung sensor CMOS APS-C beresolusi 24,1MP dengan sistem autofocus Dual Pixel CMOS AF dan prosesor DIGIC 8 baru.
Prosesor DIGIC 8 merupakan pembaruan yang sangat penting di sini. Selain memastikan performa kamera berjalan lancar, ia juga berkontribusi besar atas fitur-fitur yang ditawarkan.
Sebut saja, Eye Detection AF di Live View, kemampuan memotret beruntun 5 fps, perekaman video 4K 25fps, dan battery life yang sangat mengesankan. Rentang ISO yang bisa digunakan cukup luas, dari 100 hingga 25.600 (dapat diperluas hingga 51.200) yang memungkinkan untuk memotret dalam berbagai kondisi pencahayaan.
Saya cukup terkesan dengan fleksibilitas lensa kit Canon EF-S 18-55mm f/4-5.6 IS STM, sudah mencukupi untuk berbagai kegiatan fotografi. Ukuran lensa ini cukup compact, dilengkapi tuas stabilizer dan focus mode. Dukungan image stabilization tentunya sangat berguna saat menggunakan shutter speed rendah untuk menekan nilai ISO agar hasilnya tetap tajam.
Hasil foto JPG-nya sangat mengesankan, ciri khas warna Canon terlihat menyenangkan dipandang. Untuk kualitas optimal, Anda bisa menyimpan foto dalam format Craw untuk fleksibel dalam editing tapi tetap hemat memori.
Untuk pertama kalinya, fitur seperti Creative Assist dan Smooth Skin terbenam dalam EOS DSLR guna membantu menghasilkan efek yang diinginkan. Berkat koneksi nirkabel, kita bisa mengakses hasil foto EOS 200D II dan mengirimkannya secara mudah ke smartphone.
Kamera ini sudah dilengkapi konektivitas Bluetooth dan WiFi, kita bisa menghubungkan kamera dan smartphone lewat aplikasi Canon Camera Connect. Bila perlu, kita bisa mengaturnya agar setiap bidikan langsung di-transfer ke smartphone.
Bagaimana dengan kemampuan perekam videonya? Lumayan, kamera ini mampu merekam video 4K pada 30fps dengan crop 1,7x dan 1080p hingga 60fps. Sudah mencukupi untuk keperluan pembuatan video di YouTube, meski tanpa dukungan picture profile.
Berikut hasil jepretan dari Canon EOS 200D II:
Verdict
Kita telah memasuki era kamera mirrorless, DSLR mulai ditinggalkan. Bukan hanya perkara soal dimensi yang lebih ringkas, tampilan lebih modern, tapi teknologi itu sendiri. Meski begitu, kalau bicara soal kualitas – kamera DSLR masih sangat solid.
Pada segmen entry-level, kamera DSLR mungkin akan sedikit kewalahan menghadapi kamera mirrorless. EOS 200D II sendiri harus berhadapan langsung dengan saudaranya EOS M50, belum lagi sejumlah kompetitor di kelasnya.
Menurut saya, kamera ini sangat ideal buat kalian yang memiliki minat untuk belajar fotografi. EOS 200D II mampu memberikan kualitas foto yang bagus dan lensa bawaannya mencakup banyak kebutuhan fotografi. Soal perekaman video, kualitas video 4K dan port mikrofon 3.5mm juga dimiliki meskipun tanpa dukungan picture profile.
Sparks
Prosesor DIGIC 8, kinerja cepat
Eye Detection AF di Live View
Perekaman video 4K 25fps
Layar sentuh dengan mekanisme fully articulated
Grip besar dan sistem kontrol mudah
Daya tahan baterai panjang menggunakan optical viewfinder
Konektivitas nirkabel
Slacks
Desain DSLR dengan Punuk besar yang terlihat jadul
Canon baru saja meluncurkan DSLR anyar: EOS 250D, penerus langsung EOS 200D dari dua tahun silam. Melanjutkan jejak EOS 100D yang dirilis di tahun 2013, EOS 250D kini memegang posisi sebagai DSLR paling ringkas di jajaran kamera bikinan Canon.
Apa saja yang berubah dari EOS 200D? Sensor yang digunakan ternyata masih sama, APS-C 24 megapixel, akan tetapi prosesor yang menemaninya sudah di-upgrade menjadi DIGIC 8. Hasilnya, EOS 250D dapat merekam video 4K 24 fps, bukan 15 fps seperti kasusnya pada sebagian besar kamera kelas entry.
Kendati demikian, yang disayangkan adalah, dalam mode video ini frame akan ter-crop cukup banyak, tepatnya hingga 2,64x. Ini berarti seandainya Anda menggunakan lensa 18-55mm, focal length paling pendeknya jadi setara 47mm. Singkat cerita, EOS 250D tak bisa dipakai untuk merekam video 4K dengan perspektif yang sangat lebar.
Sistem autofocus Dual Pixel AF 9 titik masih menjadi andalan di sini. Yang berbeda, pengguna sekarang juga bisa mengaktifkan fitur Eye Detection AF di saat yang bersamaan, baik ketika membidik menggunakan viewfinder ataupun LCD-nya.
LCD-nya sendiri masih merupakan layar sentuh 3 inci beresolusi 1,04 juta dot yang fully articulated, alias bisa dilipat keluar dan menghadap ke subjek. Vlogging adalah salah satu skenario penggunaan yang sangat tepat untuk kamera ini, dengan catatan jangan memaksakan resolusi 4K supaya sudut pandangnya bisa lebar.
Semua ini dikemas dalam bodi dengan bobot tak lebih dari 450 gram, tidak terlampau jauh dari sejumlah kamera mirrorless kelas high-end. Istimewanya, EOS 250D sangat superior untuk urusan daya tahan baterai; mampu bertahan hingga 1.070 kali jepret per charge, jauh melebihi daya tahan pendahulunya yang berada di kisaran 650 kali jepret.
Rencananya, Canon EOS 250D akan mulai dipasarkan pada akhir bulan April ini seharga $600 (body only), atau $750 bersama lensa 18-55mm f/4-5.6 IS STM. Selain warna hitam, ia juga tersedia dalam warna putih.
Photokina 2018 dimanfaatkan Leica untuk merayakan ulang tahun ke-10 DSLR medium format-nya, Leica S2. Pabrikan asal Jerman itu juga mengumumkan suksesornya, Leica S3, yang membawa sejumlah penyempurnaan dalam wujud yang tidak jauh berbeda.
Peningkatan yang paling signifikan, seperti yang sudah bisa kita duga, adalah di sektor resolusi. Sensor ProFormat (45 x 30 mm) yang digunakan S3 menawarkan resolusi 64 megapixel, naik hampir dua kali lipat dibanding sensor tipe CCD yang tertanam pada Leica S2.
S3 tidak lupa menjanjikan kemampuan merekam video 4K, dengan jaminan hasil yang berkualitas berkat pemanfaatan seluruh penampang sensor, serta tampilan khas medium format. Urusan continuous shooting, Leica S3 sanggup menjepret dalam kecepatan 3 fps.
Selebihnya, detail mengenai S3 masih minim. Leica cuma bilang bahwa sistem autofocus-nya dipastikan cepat sekaligus akurat, dan kamera akan dibekali viewfinder optik yang besar dan terang – S3 termasuk kategori DSLR, sehingga wajar apabila yang digunakan bukanlah viewfinder elektronik.
Rencananya, Leica S3 akan dipasarkan mulai musim semi tahun 2019. Harganya belum diungkap, tapi sudah pasti mahal. Buktinya, Leica S (Typ 007) (yang menggantikan sensor tipe CCD milik S2 dengan sensor CMOS di tahun 2014) masih bisa dibeli seharga $20.000.