Tag Archives: DTO

Transformasi Digital Kesehatan

Chief DTO Ungkap Update Transformasi Digital Kesehatan

Dua tahun lalu, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menerbitkan peta jalan transformasi digital untuk memperbaiki carut-marut di industri kesehatan. Salah satunya bertujuan untuk meningkatkan pelayanan kesehatan masyarakat.

Eksekusinya dilaksanakan oleh Digital Transformation Officer (DTO), divisi baru di lingkup Kemenkes dan dipimpin oleh Setiaji yang berpengalaman kuat di sektor teknologi dan birokrasi. Peta jalan ini memuat tiga fokus utama yang ditarget rampung pada 2024; integrasi dan pengembangan sistem data, sistem aplikasi pelayanan, dan ekosistem di teknologi kesehatan.

Bagaimana progres pelaksanaan peta jalan transformasi digital kesehatan di 2023? Berikut rangkuman wawancara DailySocial.id dengan Chief DTO Setiaji.

Progres: rekam medis hingga sistem AI

Di awal wawancara, Setiaji bicara soal standardisasi data sebagai tulang punggung seluruh ekosistem kesehatan. Mengapa demikian? Sejak lama, fasilitas kesehatan (faskes) beroperasi dengan format dan sistem yang dibangun sendiri-sendiri. Karena format dan sistemnya berbeda, sulit untuk mengawinkan dan mengolah data informasi kesehatan.

Di sepanjang 2022, DTO merealisasikan sejumlah inisiatif untuk memuluskan integrasi dan keterhubungan data mulai dari peluncuran platform Satu Sehat, kodefikasi kesehatan (contoh: kode obat, alat kesehatan), hingga aturan untuk penyelenggaraan Rekam Medis Elektronik (RME).

“Tahun lalu, kami fokus merampungkan standardisasi data dan melakukan integrasi, dimulai dari Jawa dan Bali. Karena kami buat platform, bukan membangun sistem di faskes, jadi kami bertemu dengan pihak terkait, untuk memperkenalkan standardisasi ini,” ungkapnya.

Ia juga mengungkap progres integrasi pada rekam medis. Dengan transisi PeduliLindungi ke platform Satu Sehat, masyarakat kini dapat mengakses data kesehatan mereka. Setiaji bilang, baru sekitar 500 faskes yang mengirimkan data secara real-time dari target awal 10.000 faskes yang siap diintegrasi.

Standardisasi data kesehatan / Diolah kembali oleh DailySocial

Tahun ini, DTO tengah mengimplementasi sistem analisis kesehatan berbasis AI serta bioteknologi, hingga perizinan pengembang healthtech. Setiaji mengungkap sejumlah tenaga data scientist telah bergabung untuk mengembangkan permodelan untuk membantu proses diagnosis atau screening test penyakit tertentu.

Kemudian, pihaknya juga tengah mengulas hasil regulatory sandbox untuk platform telemedis. Beberapa poin yang diamati adalah lisensi tenaga kesehatan, cakupan praktik, dan keamanan data. Dari 60 platform mendaftar, sebanyak 15 dipilih agar kebijakannya nanti dapat mewakili setiap kategori.

Pihaknya juga tengah meminta input dari venture capital (VC) yang kini banyak terlibat dalam pengembangan teknologi kesehatan terkait klusterisasi layanan/produk.

“Dari regulatory sandbox ini, kami juga akan lihat terkait lisensi penyedia layanan telemedis, misalnya apakah sebagai platform atau klinik virtual. Contoh lain, nakes punya Surat Izin Praktik (SIP) daerah, harusnya punya SIP nasional untuk bisa cover secara nasional juga.”

Setiaji menambahkan bahwa aturan teknikal mengenai teknologi kesehatan akan diatur lewat Peraturan Menteri Kesehatan (PMK) atau Peraturan Direktorat Jenderal (Dirjen). Sementara, Peraturan Pemerintah (PP) akan mengatur dalam sekop besar. Ini akan memudahkan pengembangan inovasi kesehatan di masa depan, tanpa perlu mengubah PP lagi.

Perlu diketahui, Pemerintah tengah mematangkan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) dari UU No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. Pasal 344 menyatakan bahwa teknologi kesehatan akan diatur di dalam PP.

Lebih lanjut, DTO juga tengah menyiapkan Health Tech Space yang akan menjadi hub untuk mempertemukan ekosistem kesehatan. Health Tech Space juga akan berfungsi sebagai ruang advokasi terhadap regulatory sandbox, akselerator, dan inkubator. Bagi pelaku startup, ruang ini dapat dimanfaatkan untuk pengembangan ide maupun inovasi kesehatan.

Sumber: DTO Kemenkes

Tantangan: akses internet hingga SDM

Dalam pelaksanaannya, Setiaji mengaku ada sejumlah tantangan yang menyulitkan proses integrasi data kesehatan. Pertama, tidak meratanya akses internet. Dari total 10.000 puskesmas di Indonesia, sebanyak 745 tidak memiliki akses internet yang memadai. “Untuk menangani hal ini, pemerintah memfasilitasinya dengan internet satelit.”

Kedua, masih banyak faskes tidak memiliki sistem untuk mengimplementasikan rekam medis elektronik (RME). Pemerintah berupaya mendorong keterlibatan startup atau platform penyedia solusi terkait sehingga faskes tidak perlu membangun infrastruktur dari awal.

“Startup-startup ini menawarkan solusi dengan model berlangganan, ada juga paket gratis selama satu tahun. Kami pernah melakukan riset di mana ada satu RS menghabiskan Rp2 miliar untuk rekam medis berbasis kertas. Nah, kami coba arahkan agar beralih ke elektronik,” ungkapnya.

Ekosistem healthtech di Indonesia / DS/X Ventures

Terakhir adalah tantangan pada sumber daya manusia (SDM). Sejak tahun lalu, DTO dan pemangku kepentingan terkait aktif menggencarkan kegiatan edukasi terhadap 10.000 tenaga kesehatan (nakes) terkait literasi digital. Edukasi ini diperlukan untuk memahami transformasi digital sektor kesehatan.

Dengan waktu tersisa satu tahun ke depan, DTO berupaya mengakselerasi agenda transformasi ini. Paling tidak, tahun ini dapat terealisasi integrasi di 30.000 faskes hingga akhir 2023. Apabila tidak terpenuhi, ada sanksi yang dikenakan sebagaimana diatur dalam PMK No. 24 Tahun 2022. Sanksi ini dapat berupa sanksi tertulis atau sanksi administrasi (misal, akreditasi diturunkan).

“Kami berupaya speed up dengan memperbaiki model registrasinya. Data faskes kan sudah ada, kami buat verifikasinya secara otomatis. Kami juga memisahkan tim untuk go-to-market dan tim operasional untuk integrasi. Nah, integrasi ini juga sebetulnya tidak harus full mencapai level 6, jadi bertahap. Transformasi digital harus berbasis gerakan, tidak bisa dilakukan DTO sendiri.”

BGSi: enabler inovasi biogenomik

Agustus lalu, Kemenkes baru saja meluncurkan program inisiatif pertama Biomedical & Genome Science Initiative (BGSi) untuk mengembangkan metode pengobatan yang tepat bagi masyarakat. Keluarannya dapat menghasilkan produk diagnosis untuk pencegahan dan vaksin untuk perawatan penyakit.

Caranya adalah menggunakan teknologi pengumpulan informasi genetik (genom) dari manusia maupun patogen, seperti virus dan bakteri atau disebut Whole Genome Sequencing (WGS). “Targetnya dapat mengumpulkan 100 ribu sample pada 2025 untuk dipetakan data genomenya,” ujar Setiaji.

Setiaji mengungkap bahwa saat ini rancangan pelaksanaan BGSi tengah disiapkan, terutama rincian terkait biobank, bioregistry, dan ethical clearance. Targetnya, BGSi dapat menjadi enabler bagi ekosistem terkait untuk mempercepat inovasi biogenomik di Indonesia.

Selain alat sequencing, BGSi juga tengah mempersiapkan perangkat untuk menganalisis sample. Butuh perangkat komputasi tinggi karena sample membutuhkan data sangat besar, bisa sampai 300 GB per sample. Kami pernah coba pakai komputer biasa dan itu memakan waktu tiga hari. Dengan perangkat high computing, hanya 30 menit,” jelasnya.

Nantinya akan disiapkan juga portal hub yang dapat memfasilitasi sistem secara end-to-end, mulai dari data sequencing, transfer data untuk analisis, hingga pencocokan data sesuai rekam medis untuk mengetahui hasil genomik.

“Startup [di bidang genomik atau bioteknologi] juga nanti dapat mengirimkan sample kami. Ini memungkinkan mereka untuk menekan biaya R&D. Kami juga tengah menyusun revenue model dengan ekosistem terkait, mulai dari researcher, vendor, hingga startup.”

Perlu diketahui, program BGSi didukung oleh sejumlah investor dan kolaborator dalam dan luar negeri, termasuk The Global Fund, Panin Bank, Biofarma, dan East Ventures; serta melibatkan Illumina, BGI, Oxford Nanopore Technologies, dan Yayasan Satria Budi Dharma Setia.

Application Information Will Show Up Here