Tag Archives: dual class shares

Mandiri Group menyusun whitepaper yang berjudul "The Billion Dollar Moment: A Paradigm Shift for Indonesian IPOs" tentang kemudahan prosedur IPO bagi startup di Indonesia

Whitepaper Mandiri Group: Perkembangan Regulasi IPO di Indonesia, Adopsi dari Bursa Amerika Serikat

Bursa saham Amerika Serikat menjadi rumah buat banyak perusahaan teknologi glpbal karena ramah dari segi regulasi dan penetrasi investor yang begitu matang. Meski demikian, tidak selalu ada cerita indah di sana. Banyak pelajaran yang bisa dipetik dan menjadi bahan pembelajaran buat regulator di Indonesia.

Kesuksesan IPO Bukalapak pada Agustus kemarin, menjadi pembuktian bahwa regulator di Indonesia siap untuk menerima perusahaan teknologi, juga dapat menyerap dana yang dibidik Bukalapak. Selain Bukalapak, masih banyak perusahaan teknologi yang sudah menyatakan rencananya untuk segera melantai di bursa saham.

Agar semakin mudah dalam memahami paradigma terkini mengenai regulasi IPO baik di Indonesia maupun di pasar global. Mandiri Group menyusun whitepaper yang berjudul, “The Billion Dollar Moment: A Paradigm Shift for Indonesian IPOs”. Studi itu merupakan hasil kerja sama Mandiri Group, yakni Mandiri Capital Indonesia, Mandiri Sekuritas, dan Mandiri Institute.

Secara umum, studi tersebut mendeskripsikan pandangan makro terkait strategi pengumpulan dana perusahaan teknologi di Asia Tenggara, proses IPO untuk perusahaan rintisan teknologi, dan perbandingan kebijakan IPO di dalam dan luar negeri. Beberapa kesimpulan studi ini adalah laju volume IPO perusahaan teknologi di BEI diperkirakan akan terus melonjak ke depannya.

Kemudian, kesuksesan Bukalapak telah membuktikan kepada regulator dan pemangku kepentingan bahwa IPO perusahaan teknologi yang berkembang akan memberikan manfaat besar bagi perekonomian dan kesejahteraan masyarakat Indonesia.

“Dengan debut pasar yang memecahkan rekor dari salah satu unicorn teknologi, pembuat kebijakan terus aktif mengubah BEI menjadi lingkungan keluar yang lebih ramah untuk startup,” tulis studi tersebut.

Dalam whitepaper dipaparkan, setidaknya ada 14 perusahaan teknologi yang melakukan IPO di BEI sepanjang 2002-2021. Sejak 2002-2016, tercatat hanya ada tiga perusahaan yang IPO, yakni PT Limas Indonesia Makmur (2002), Multipolar (2013), Anabatic (2015). Kemudian bertambah menjadi 11 emiten sepanjang 2017-2021.

Berdasarkan klasifikasi bisnisnya terbagi menjadi lima kelompok, yakni e-commerce, fintech, SME solutions, IT & Data Security, dan digital trade marketing. PT Limas Indonesia Makmur pada saat itu IPO dengan kapitalisasi pasar sebesar Rp242 miliar. Sementara, PT Bukalapak.com melakukan IPO dengan kapitalisasi pasar mencapai Rp87 triliun.

Di pasar regional, tren pengumpulan dana melalui aksi merger dan akuisisi diprediksi akan mencapai $75 miliar pada tahun ini, setelah lebih dari satu dekade angkanya stagnan di kisaran $20 miliar di tiap tahunnya. Pada tahun ini saja, setidaknya ada tiga aksi merger dan akusisi antar perusahaan teknologi dengan total nilai transaksi lebih dari $245 juta. Aksi itu dilakukan oleh Carsome (akuisisi iCar Asia), Mekari (akuisisi Qontak), dan Warung Pintar (akuisisi Bizzy).

BEI dan OJK juga lebih adaptif dalam melakukan banyak relaksasi untuk menyambut lebih banyak perusahaan teknologi agar melantai di bursa lokal. Relaksasi tersebut adalah menyeragamkan metode penghitungan indeks saham berdasarkan jumlah saham publik yang beredar alias free float dengan menggunakan IHSG sebagai indeks acuan utama.

Mereka juga melakukan penyesuaian atas kriteria pemilihan indeks yang memungkinkan emiten dapat dipertimbangkan segera masuk (fast entry) ke dalam konstituen LQ45, IDX30, IDX80, JII, JII70, IDX BUMN20 serta IDX-MES BUMN 17.

Belajar dari IPO di negara Barat

Perlu diakui, langkah BEI dan OJK untuk mendukung gairah perusahaan teknologi lokal untuk melantai di bursa lokal patut diacungi jempol. Salah satu yang menjadi permintaan para founer lokal adalah kemungkinan untuk pemberlakuan aturan dual class stock (DSC). Yang mana, aturan ini baru diluncurkan OJK setelah dinanti-nanti.

Praktek ini dibutuhkan perusahaan teknologi karena ada empat alasan. Pertama, memberikan ketenangan bagi founder yang ingin mengakses pasar modal publik untuk pendanaan tetapi tidak ingin melepaskan kendali atas bisnis mereka; memungkinkan pemilik perusahaan yang tumbuh cepat untuk mengakses pasar ekuitas publik tanpa melepaskan kendali total voting.

Kemudian, manajemen dapat fokus pada perolehan kekayaan jangka panjang alih-alih menjadi terganggu oleh tujuan kinerja jangka pendek; memberikan keamanan jika terjadi pengambilalihan potensial atau ancaman strategis, khususnya di era meningkatnya aktivitas pemegang saham; dan investor mungkin tidak terlalu khawatir tentang potensi kerugian dari struktur kelas ganda ketika dievaluasi terhadap manfaat berinvestasi di perusahaan yang dipimpin oleh seorang eksekutif atau pendiri terkenal.

“Dari 2017 hingga 2019, hampir 30% IPO menawarkan saham kelas ganda. Jenis struktur ini sangat populer di kalangan perusahaan teknologi yang pendirinya ingin mempertahankan hak suara dan kendali atas perusahaan.”

Tak hanya soal DCS, SPAC atau hal lainnya, perlu dicatat bahwa tidak semua debut IPO perusahaan teknologi di negara Barat berjalan dengan lancar pada tahap awalnya. Hal ini menandakan skeptisisme investor yang sehat. Kendati suatu perusahaan memiliki neraca keuanga yang sehat dan terus berada di posisi teratas, namun tidak selalu menandakan bahwa IPO akan berkinerja baik dalam waktu dekat.

Sekali lagi, ini adalah kondisi yang sehat karena menunjukkan bahwa menjual perusahaan kepada investor publik menjadi lebih menantang dan volume valuasinya jauh dari level dot-com-mania. Ambil contoh dari harga saham Airbnb, saat IPO dihargai $68 per lembar, sekarang tembus ke angka $170.

Kemudian, SEA adalah contoh kasus yang menarik karena sejak IPO di Oktober 2017, sahamnya dihargai $15 per lembar, tapi pergerakannya tidak dramatis sampai akhirnya di pertengahan Oktober 2020 meledak. Per kuartal III 2021, harga saham SEA naik 25 kali lipat dari harga IPO menjadi lebih dari $360 per lembar.

“Ini hanyalah salah satu contoh yang menunjukkan bahwa investasi teknologi adalah permainan yang panjang. Bahkan jika harga saham turun tak lama setelah IPO, potensi pertumbuhan dan keuntungan jangka panjang sering kali terasa bernilai.”

OJK menerbitkan aturan mengenai multiple voting shares (MVS) tertuang dalam POJK No. 22 Tahun 2021 untuk perusahaan teknologi

OJK Terbitkan Aturan Multiple Voting Shares, Semakin Ramah Buat Perusahaan Teknologi

OJK akhirnya menerbitkan aturan mengenai multiple voting shares (MVS). Hal ini tertuang dalam POJK No. 22 Tahun 2021 tentang Penerapan Klasifikasi Saham Dengan Hak Suara Multipel oleh Emiten dengan Inovasi dan Tingkat Pertumbuhan Tinggi yang melakukan Penawaran Umum Efek Bersifat Ekuitas Berupa Saham.

Penerbitan beleid ini merupakan upaya mendorong pendalaman pasar keuangan, khususnya sektor pasar modal, dengan cara mengakomodasi perusahaan yang menciptakan inovasi baru dengan tingkat produktivitas dan pertumbuhan yang tinggi (new economy) dalam melakukan listing di Bursa Efek Indonesia.

POJK ini mengatur mengenai penerapan saham dengan hak suara multipel, yaitu satu saham memberikan lebih dari satu hak suara kepada pemegang saham yang memenuhi persyaratan tertentu. Tujuannya untuk melindungi visi dan misi perusahaan sesuai dengan tujuan para pendiri dalam mengembangkan kegiatan usaha yang dijalankan perusahaan.

OJK menetapkan syarat emiten yang dapat menerapkan saham dengan MVS adalah:

  1. Menggunakan teknologi untuk menciptakan inovasi produk dan terdapat pemegang saham yang berkontribusi signifikan terhadap pemanfaatannya;
  2. Aset perusahaan minimal Rp2 triliun dan telah melakukan kegiatan operasional minimal tiga tahun;
  3. Pertumbuhan tahunan (compounded) selama tiga tahun terakhir minimal 20% untuk aset dan 30% untuk pendapatan;
  4. Belum pernah melakukan penawaran umum efek ekuitas.

Lebih jauh, OJK tetap berusaha melindungi hak suara bagi pemegang saham publik. Ada empat poin yang ditetapkan:

  1. Jangka waktu penerapan saham MVS paling lama 10 tahun dan dapat diperpanjang satu kali dengan jangka waktu paling lama 10 tahun dengan persetujuan Pemegang Saham Independen dalam RUPS;
  2. Setiap pemegang saham MVS dilarang unntuk mengalihkan sebagian atau seluruh saham MVS yang dimilikinya selama dua tahun setelah Pernyataan Pendaftaran menjadi efektif;
  3. Saham MVS memiliki hak suara yang setara dengan saham biasa pada mata acara tertentu dalam RUPS; dan
  4. Dalam setiap penyelenggaraan RUPS, jumlah saham biasa yang hadir dalam RUPS paling rendah mewakili 1/20 dari jumlah seluruh hak suara dari saham biasa yang dimiliki pemegang saham, selain pemegang saham MVS.

Selain itu, OJK juga mengatur rasio hak suara MVS terhadap hak suara biasa:

  1. Dalam hal pemegang saham MVS baik sendiri maupun secara bersama-sama memiliki saham MVS paling rendah 10% sampai dengan 47,36% dari modal yang ditempatkan dan disetor penuh, rasio hak suara MVS terhadap hak suara saham biasa sebesar 10:1
  2. Untuk MVS paling rendah antara 5%-10% dari seluruh modal, rasionya 20:1
  3. Untuk MVS paling rendah antara 3,5%-5% dari seluruh modal, rasionya 30:1
  4. Untuk MVS paling rendah antara 2,44%-3,5% dari seluruh modal, rasionya 40:1
  5. Apabila hak suara saham MVS tidak lebih dari 50% dari seluruh hak suara, emiten dapat meningkatkan rasionya, sehingga rasio hak suara MVS terhadap saham biasa menjadi paling tinggi sebesar 60:1

Fenomena MVS

Penerapan dual class shares (DCS) dengan struktur multiple voting shares (MVS) menjadi hal lumrah bagi penerapan IPO di bursa Amerika Serikat. Banyak negara yang mengatur rata-rata rasio antara hak suara saham MVS dengan hak saham biasa berbanding 10:1. Praktek ini berbeda dengan saham biasa yang hanya memiliki satu hak suara, sering disebut ordinary share.

Di Amerika Serikat, tercatat sebanyak 26 dari 134 perusahaan go public pada tahun 2018, 25 dari 112 perusahaan baru yang terdaftar pada tahun 2019, dan 32 dari 165 perusahaan yang baru terdaftar pada tahun 2020 mengadopsi DCS.

Fakta tersebut membuat bursa di negara lain seperti Hong Kong, Singapura, dan Shanghai termotivasi melakukan pelonggaran aturan agar bursanya jadi lebih menarik, khususnya perusahaan teknologi. Apalagi Hong Kong sebelumnya telah kehilangan saat Alibaba dan perusahaan besar lainnya berpaling dan memilih go public di New York.

Saat menjadi perusahaan publik, DSC berfungsi untuk meyakinkan para investor bahwa di bawah kontrolnya perusahaan dapat mencapai visi dan misi tertentu dalam jangka panjang. Meski founder tersebut secara teknis sahamnya lebih sedikit, tapi hak suaranya lebih besar daripada saham biasa.

“Kalau bursa bisa menerapkan ini, akan jadi hal positif karena rata-rata perusahaan teknologi itu di-drive oleh sosok founder,” ucap Managing Partner Ideosource Edward Chamdani dalam wawancara bersama DailySocial.

Pada umumnya, saat go public, biasanya tolak ukur perusahaan dilihat dari laporan keuangan dan tata kelola perusahaan yang baik (GCG). Perusahaan teknologi yang bersifat disruptif dan inovatif sangat dipengaruhi sosok founder untuk menguatkan visi misi perusahaannya yang masih abstrak.

Kendati begitu, penerapan MVS selalu ada sisi negatif yang dikhawatirkan karena sistem kapitalisme ini menghilangkan unsur demokratis. Satu saham tidak lagi dinilai satu hak suara. Google bahkan memiliki tiga jenis saham, Class A, B, dan C. Tiap lembar saham Class B menguasai 10 hak suara diisi oleh orang-orang dalam Google. Sementara saham biasa Class A yang dijual ke publik hanya bernilai satu hak suara dan Class C tidak memiliki hak suara.

The Way SPAC and Dual Class Shares Drive Unicorns to Go-Public

The Indonesia Stock Exchange (IDX) has been improved since earlier this year to welcome three unicorns. Some relaxation has been prepared, one of which is allowing them to go public using SPAC (Special Purpose Acquisition Company) and dual class shares. These are currently being discussed in the internal unit.

DailySocial received a statement that IDX’s Company Assessment Director,  I Gede Nyoman Yetna Setia said SPAC and dual-class shares (DCS) are currently in internal review, discussing with authorities and stakeholders regarding the potential for implementation and regulation in Indonesia.

He said, in every process of regulation drafting, his team will first make comparisons with several other stock exchanges in other countries to determine the best practices in Indonesia.

“Indeed, by considering several things such as corporate governance, protection of public investors, and compliance with applicable laws and regulations,” he said.

Separately, quoting from Bisnis.com, Nyoman said that the IDX is currently studying the potential for implementing DCS with a multiple voting share (MVS) structure. MVS is a type of share with more than one vote for each share.

MVS implementation in several countries usually regulates the maximum ratio between shares with voting rights is 1:10 or 1 share has 10 voting rights. This is different from ordinary shares, with only one voting right for each share, which is called the ordinary share.

“In terms of best practice in several global exchanges, DCS with MVS classification usually can only be held by founders who also involve as company management or key parties who can ensure the sustainability of the company’s vision or innovation in the long term.”

Pros and Cons

Essentially, SPAC and DCS are trends in the United States which is the hub for all tech companies. Amvesindo’s Chairman, Edward Chamdani observed whether SPAC can be implemented in Indonesia, it will be quite similar to the practice of reverse listing but with a guarantee of a much cheaper cost and process.

“In reverse listing, there is a risk that the company’s shell suddenly has a tax or legal problem. Meanwhile, the SPAC is guaranteed to be clean as it is new. Of all the companies intend to merge with SPAC, the sponsor is flexible, as long as it can provide sufficient value and funds,”  Edward said to DailySocial.

The downside also applies to founders, because they have to sell a percentage of shares and at a lower value than the market price.

The DCS practice is capturing lots of attention in the United States. Around 26 of the 134 companies that went public in 2018, 25 of 112 new companies registered in 2019, and 32 of the 165 companies that were newly registered in 2020 adopted DCS.

This fact has motivated stock exchanges in other countries such as Hong Kong, Singapore and Shanghai to create relaxation to regulations expecting markets to be more attractive, especially for tech companies. Moreover, Hong Kong had previously lost as Alibaba and other big companies turned around and go public in New York.

Edward explained that his team would really appreciate the IDX’s steps if DCS practice could be implemented in Indonesia because this will be a new breakthrough. For investors, DCS is not a strange concept as it is similar to preferred stock when investors signed the shareholder agreement issued by the company during the rights issue.

The preferred shareholders have higher voting rights than common shareholders, although this practice is less common in Indonesia.

The DCS existence is essential for tech startup founders because in  startup journey they are likely to make various series of funding which causes their shares diminished.

When it becomes a public company, DSC serves to convince investors that the company can achieve a certain vision and mission in the long term under its control. Although the founder has technically less shares, the voting rights are greater than the common stock.

“If the stock exchange can implement this, it will be a positive thing because most of tech companies are driven by a founder figure.”

When go public, company benchmarks are usually valued from the financial statements and good corporate governance (GCG). Disruptive and innovative technology companies are strongly influenced by the founder figure to strengthen the company’s abstract vision and mission.

Edward also expects that from the investor’s point of view, he will be more familiar in the future with the characteristics of technology companies which benchmarks are invisible from EBITDA, enterprise value (EV), or price to earnings ratio (PE). Therefore, even though they still around negative profit and loss (P&L), in the next 10-20 years, by understanding the disruptive roadmap of these companies, it will become a valuable company.

“The closest example is when Amazon go public, every income is always converted into assets, therefore, they do not pay dividends to shareholders. With such knowledge, investors can think long term, not just quarterly.”

Behind the glittering promises of DCS, there is always a negative vibe as the capitalist system eliminates democratic elements. One share is no longer valued as one vote. Google even has three types of shares, Class A, B, and C. Each Class B share has 10 voting rights filled by Google insiders. Meanwhile Class A common stock sold to the public is worth only one vote and Class C does not have voting rights.

Academics from Queen Mary University of London, Min Yan said that another debate is about a shift to how to contain governance-related risks. Such steps as termination and restrictions on voting differences are designed to withhold control over several classes of shares by voting and provide mandatory protection for shareholders with lower votes. However, this action, intentional or not, jeopardizes the value of the different voting rights.

Such action is like a double-edged sword, not only helping to reduce governance risk but also undermining the isolation of controllers from external investors and market influence.

The lack of enthusiasm for technology companies to go public on the Hong Kong, Singapore and Shanghai exchanges reflects the diminishing attractiveness of the DCS structure when safeguards are tight. This situation is the opposite of what happened in the United States, because there are no such compulsory precautions there.

Yan also highlighted the key safeguards, including final provisions, maximum vote differentials, and improved corporate governance standards, as ex ante strategies. Given the objective of such action is to prevent potential managerial unaccountability and opportunism by restricting the ability of controlling shareholders to exercise some of their voting rights.

Because the strict ex ante strategy, with too much restriction of controlling power and jeopardizing the benefits of weighted voting rights under dual class shares, the action to make ex post as an alternative needs to be reconsidered.

He said, no financial authority in Asia has an effective and strong ex post regime. DCS’s true success lies in its market acceptance. Whether a few or no companies intend to go public with that kind of structure, allowing two-class listing will be futile.

“Therefore, I suggest exploring more ex post mechanisms, such as aggregate litigation through a representative process that provides solutions to disadvantaged shareholders when the problem of lack of managerial accountability occurs, to reduce dependence on ex ante constraints as mandatory safeguards,” he concluded.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian
Foto header: Depositphotos.com

BEI sedang menyiapkan aturan memperbolehkan SPAC dan dual "class shares" di Indonesia / Depositphotos.com

Bagaimana Kehadiran SPAC dan “Dual Class Shares” Dorong Kehadiran Startup Unicorn Melantai di Bursa Efek

Bursa Efek Indonesia (BEI) banyak melakukan pembenahan sejak awal tahun demi menyambut kehadiran tiga perusahaan unicorn. Sejumlah relaksasi telah disiapkan, salah satunya adalah membolehkan mereka go public menggunakan SPAC (Special Purpose Acquisition Company) dan menerbitkan saham kelas ganda (dual class shares). Dua rencana ini sedang dibahas di internal bursa.

Dari pernyataan yang DailySocial terima, Direktur Penilaian Perusahaan BEI I Gede Nyoman Yetna Setia menuturkan SPAC dan dual-class shares (DCS) sedang dalam kajian internal, berdiskusi dengan otoritas serta pemangku kepentingan terkait potensi penerapan dan pengaturannya seperti apa di Indonesia.

Menurutnya, dalam setiap proses penyusunan peraturan bursa, pihaknya akan terlebih dahulu melakukan perbandingan dengan beberapa bursa lain di negara lain untuk dapat menentukan best practice yang akan diterapkan di Indonesia.

“Tentunya dengan mempertimbangkan beberapa hal seperti corporate governance, perlindungan investor publik, dan kesesuaian peraturan dengan perundangan yang berlaku,” katanya.

Secara terpisah, mengutip dari Bisnis.com, Nyoman menerangkan kajian yang sedang dilakukan BEI adalah melihat potensi penerapan DCS dengan struktur multiple voting share (MVS). MVS itu sendiri adalah suatu jenis saham yang memiliki lebih dari satu hak suara untuk setiap lembar sahamnya.

Penerapan MVS di beberapa negara rata-rata mengatur maksimal rasio antara saham dengan hak suara adalah 1:10 atau 1 saham memiliki 10 hak suara. Ini berbeda dengan saham biasa yang hanya memiliki satu hak suara untuk tiap lembar sahamnya, biasa disebut ordinary share.

“Secara best practice di beberapa bursaa global, penerapan DCS dengan klasifikasi MVS biasanya hanya akan dipegang oleh para founder yang bertindak sekaligus menjadi manajemen perusahaan atau pihak kunci yang dapat memastikan keberlangsungan visi atau inovasi perusahaan dalam jangka panjang.”

Plus minus SPAC dan DCS

Pada hakikatnya, SPAC dan DCS adalah tren yang terjadi di Amerika Serikat sebagai kiblat perusahaan teknologi. Ketua Amvesindo Edward Chamdani melihat jika SPAC dapat diterapkan di Indonesia, sebenarnya ini tak jauh beda dengan praktik reverse listing (back door listing) namun dengan jaminan biaya dan proses yang jauh lebih murah.

“Yang sering ditakutkan saat reverse listing adalah cangkang perusahaan tersebut tahu-tahu ada masalah pajak atau hukum. Sementara kalau SPAC sudah dijamin bersih karena masih baru. Dari perusahaan yang mau di-merger-kan dengan SPAC juga bisa pilih sponsor mana yang ia suka, yang bisa berikan value dan dana yang cukup,” kata Edward saat dihubungi DailySocial.

Sisi minusnya juga berlaku bagi founder, karena mereka harus melepas sebagian persen saham dan dijual dengan harga lebih murah dari harga pasar.

Praktik DCS sendiri banyak dilirik di Amerika Serikat. Tercatat, sebanyak 26 dari 134 perusahaan go public pada tahun 2018, 25 dari 112 perusahaan baru yang terdaftar pada tahun 2019, dan 32 dari 165 perusahaan yang baru terdaftar pada tahun 2020 mengadopsi DCS.

Fakta tersebut membuat bursa di negara lain seperti Hong Kong, Singapura, dan Shanghai termotivasi melakukan pelonggaran aturan agar bursanya jadi lebih menarik, khususnya perusahaan teknologi. Apalagi Hong Kong sebelumnya telah kehilangan saat Alibaba dan perusahaan besar lainnya berpaling dan memilih go public di New York.

Edward menjelaskan pihaknya bakal sangat mengapresiasi langkah BEI bila praktik DCS dapat diimplementasi di Indonesia karena ini adalah terobosan baru. Di mata investor, DCS bukan barang asing karena tak jauh berbeda dengan saham preferen saat investor menandatangani perjanjian pemegang saham yang diterbitkan perusahaan saat rights issue.

Pemegang saham preferen (preferred share) juga punya hak suara yang lebih tinggi daripada saham biasa (common share), kendati praktik ini kurang umum di Indonesia.

Kehadiran DCS, bagi para founder startup teknologi, sangat bermakna karena dalam perjalanan startup kemungkinan besar sudah melakukan berbagai rangkaian pendanaan yang menyebabkan sahamnya kian terkikis.

Saat menjadi perusahaan publik, DSC berfungsi untuk meyakinkan para investor bahwa di bawah kontrolnya perusahaan dapat mencapai visi dan misi tertentu dalam jangka panjang. Meski founder tersebut secara teknis sahamnya lebih sedikit, tapi hak suaranya lebih besar daripada saham biasa.

“Kalau bursa bisa menerapkan ini, akan jadi hal positif karena rata-rata perusahaan teknologi itu di-drive oleh sosok founder.”

Pada umumnya, saat go public, biasanya tolak ukur perusahaan dilihat dari laporan keuangan dan tata kelola perusahaan yang baik (GCG). Perusahaan teknologi yang bersifat disruptif dan inovatif sangat dipengaruhi sosok founder untuk menguatkan visi misi perusahaannya yang masih abstrak.

Edward juga berharap dari sisi investor sendiri dapat lebih familiar ke depannya dengan karakteristik perusahaan teknologi yang tolak ukurnya bukan dilihat dari EBITDA, enterprise value (EV), atau price to earning ratio (PE). Jadi, meski profit and loss (P&L) masih negatif, tapi dengan mengerti roadmap dari perusahaan tersebut yang disruptif, pada 10-20 tahun mendatang akan menjadi perusahaan yang valuable.

“Contoh terdekatnya adalah Amazon saat go public, setiap pendapatannya selalu dialihkan menjadi aset, sehingga mereka tidak memberikan dividen kepada pemegang sahamnya. Dengan pengetahuan seperti itu, investor dapat berpikir jangka panjang, tidak kuartalan saja.”

Dibalik gemerlapnya janji yang ditawarkan DCS, selalu ada sisi negatif yang dikhawatirkan karena sistem kapitalisme ini menghilangkan unsur demokratis. Satu saham tidak lagi dinilai satu hak suara. Google bahkan memiliki tiga jenis saham, Class A, B, dan C. Tiap lembar saham Class B menguasai 10 hak suara diisi oleh orang-orang dalam Google. Sementara saham biasa Class A yang dijual ke publik hanya bernilai satu hak suara dan Class C tidak memiliki hak suara.

Akademisi dari Queen Mary University of London, Min Yan, menambahkan, perdebatan lainnya adalah mengenai pergeseran ke cara menahan risiko tata kelola terkait. Langkah-langkah seperti ketentuan penghentian dan pembatasan perbedaan hak suara dirancang untuk menahan kontrol yang berasal dari beberapa kelas saham dengan suara dan memberikan perlindungan wajib bagi pemegang saham dengan suara yang lebih rendah. Namun, tindakan ini, disengaja atau tidak, membahayakan nilai hak suara yang berbeda.

Tindakan tersebut ibarat pedang bermata dua, tidak hanya membantu mengurangi risiko tata kelola tetapi juga merusak isolasi pengontrol dari investor eksternal dan pengaruh pasar.

Minimnya antusiasme perusahaan teknologi untuk melantai di bursa Hong Kong, Singapura, dan Shanghai mencerminkan berkurangnya daya tarik struktur DCS ketika pengamanan wajib ketat. Situasi ini berbanding terbalik dengan Amerika Serikat, sebab di sana tidak ada tindakan pengamanan wajib seperti itu.

Yan juga menekankan, tindakan pengamanan utama, termasuk ketentuan akhir, perbedaan suara maksimum, dan standar tata kelola perusahaan yang ditingkatkan, adalah strategi ex ante. Mengingat objektif dari tindakan tersebut adalah mencegah potensi tidak akuntabilitas dan oportunisme manajerial dengan menahan kemampuan pemegang saham pengendali untuk menggunakan beberapa hak suara mereka.

Karena strategi ex ante yang cenderung ketat, terlalu mengekang kekuasaan pengontrol dan membahayakan manfaat hak suara tertimbang di bawah saham kelas ganda, maka tindakan ex post sebagai alternatif perlu dipertimbangkan.

Menurutnya, tidak ada otoritas keuangan di Asia yang memiliki rezim ex post yang efektif dan kuat. Keberhasilan DCS sebenarnya terletak pada penerimaan pasarnya. Jika sedikit atau tidak ada perusahaan yang memilih untuk go public dengan struktur saham seperti itu, mengizinkan pencatatan dua kelas akan sia-sia.

“Oleh karena itu, saya menyarankan eksplorasi mekanisme yang lebih ex post, seperti litigasi agregat melalui proses perwakilan yang memberikan solusi kepada pemegang saham yang dirugikan ketika masalah dari kurangnya akuntabilitas manajerial terjadi, untuk mengurangi ketergantungan pada kendala ex ante sebagai pengaman wajib,” tutupnya.


Foto header: Depositphotos.com