Tag Archives: Dumoly F Pardede

Mengawal Geliat Industri Fintech dengan Payung Hukum

Geliat industri fintech yang terus membara, kian menunjukkan posisinya sebagai salah satu industri yang patut diperhitungkan eksistensinya di Indonesia. Negara dengan populasi 250 juta jiwa dengan penetrasi pengguna internet yang terus bertambah ini, menjadikan Indonesia semakin dilirik oleh berbagai pemain asing untuk turut serta bermain di sektor tersebut.

Saat ini, OJK mendata ada sekitar 130 perusahaan fintech yang beroperasi di Indonesia dengan total transaksi senilai US$3,6 miliar. Diperkirakan pada tahun ini jumlahnya tumbuh dua kali lipat jadi 250 perusahaan.

Dengan semakin bertambahnya jumlah pemain fintech, otomatis regulator harus selalu siaga menjaga ekosistem dengan menerbitkan sejumlah regulasi dan bekerja sama dengan asosiasi. Tujuannya agar industri fintech tetap berjalan sesuai koridor.

Pendekatan yang dilakukan regulator sebelum menerbitkan regulasi kini agak berbeda. Regulator tak lagi “galak” dalam menertibkan pelaku bisnis, tetapi lebih mengayomi dengan membiarkan perusahaan baru untuk tumbuh terlebih dahulu seiring memantau inovasi seperti apa saja yang perlu diatur.

Setelah OJK mengeluarkan POJK Nomor 77/POJK.01/2016 untuk mengatur bisnis p2p lending “off balance sheet”, langkah berikutnya OJK mewacanakan penerbitan regulasi berikutnya untuk p2p lending “on balance sheet”. Kabarnya terakhir menyebut regulasi ini akan terbit pada akhir tahun ini.

OJK akan atur pemasaran asuransi digital

Perhatian OJK tidak hanya fintech yang bergerak di p2p lending. Saat ini OJK tengah mewacanakan regulasi lainnya terkait pemasaran asuransi digital. Hanya saja, pengaturan akan dilakukan secara bertahap. Untuk tahap awalnya, OJK akan mengatur soal pemasaran asuransi lewat situs masing-masing perusahaan asuransi, dalam bentuk surat edaran (SE), yang saat ini masih disusun regulator.

Deputi Komisioner Pengawas IKNB OJK Dumoly Pardede mengatakan penerbitan aturan lewat SE sifatnya tidak bakal seketat POJK. Dia bilang aturan tersebut nantinya akan lebih berisi pedoman untuk para pelaku usaha asuransi.

Beberapa poin yang bakal dimuat dalam SE tersebut mulai dari identitas perusahaan asuransi, nama produk, jenis proteksi, serta nilai pertanggungan harus jelas.

“Asuransi yang punya fintech itu kan sama saja dengan perusahaan asuransi biasa, tidak ada bedanya dari sisi permodalan, syaratnya sama. Tapi kalau distribusi digital itu tidak perlu dibuat regulasi, nanti ada semacam guideline saja lewat SE yang akan memuat identitas perusahaan, nama produk, nama pemasaran,” katanya saat ditemui DailySocial, Rabu (3/4).

Regulator juga akan mulai memikirkan aturan main untuk pemasaran produk asuransi lewat lembaga lain seperti fintech yang bertindak sebagai agregator. Dumoly mengatakan saat ini ada beberapa perusahaan yang menyebut dirinya sebagai agregator pemasaran asuransi digital, seperti PasarPolis, CekAja, CekPremi, dan RajaPremi.

Rencana OJK ini diamini oleh Direktur Eksekutif Asosiasi Asuransi Umum Indonesia (AAUI) Julian Noor. Asosiasi akan membuat pemetaan hal apa saja yang perlu dipertimbangkan regulator sebelum membuat regulasi, apa saja yang perlu diatur, dan kapan sebaiknya aturan diterbitkan. Pasalnya, asosiasi ingin melindungi dua unsur, yakni konsumen dan pelaku usaha itu sendiri.

“Bisnis asuransi itu berbicara tentang trust, sementara kalau digital itu mengenai jalur pemasaran. Dua unsur tersebut yang harus dijaga. Kami akan bantu regulator dalam merumuskan aturannya dengan membuat pemetaan dan sebaiknya regulator untuk melakukan assessment sendiri,” ucap Julian.

Menanggapi hal tersebut, pihak Pasar Polis menuturkan bahwa pihaknya akan selalu senantiasa mengikuti arahan dari regulator bila sudah ada titik terang mengenai kejelasan aturan. “Kami terus berupaya untuk comply dengan apa yang diinginkan regulator,” kata CMO PasarPolis Elia Wijaya.

Pengamanan dari sisi asosiasi

Menyambut perusahaan fintech yang diprediksi akan terus bertambah, perlindungan tak hanya dari sisi regulator, tetapi juga dari asosiasi terkait sebagai lapis pertama sebelum mendapat izin usaha dari regulator.

Terlebih, perusahaan fintech, yang kebanyakan berasal dari perusahaan rintisan (startup), sangat identik dengan jatuh bangunnya bisnis. Sehingga, diperlukan kepastian komitmennya saat berbisnis di Indonesia.

Dari sisi Asosiasi Fintech Indonesia (AFTECH Indonesia), sebelum terdaftar menjadi anggota, pelaku usaha diharuskan menempuh tahap self assessment berdasarkan kuesioner yang sudah disusun sendiri oleh asosiasi bersama salah satu multinasional konsultan manajemen.

“Pada dasarnya ini untuk melihat apakah perusahaan tersebut merupakan fintech atau bukan. Dalam assessment, kami juga dibantu oleh perusahaan konsultan tersebut sebagai pihak ketiga independen,” terang Direktur AFTECH Indonesia M Ajisatria Suleiman kepada DailySocial.

Aji melanjutkan secara kepatuhan, pihaknya juga meminta perusahaan pendaftar sudah operasional dan berbadan hukum, memiliki atau sedang dalam proses perizinan resmi regulator. Menurutnya, apabila kegiatan usahanya tidak membutuhkan izin, maka perlu diberikan penjabaran disertai alasan.

“Kami juga bekerja sama dengan BI dan OJK apabila ada perusahaan yang terindikasi berbahaya, misalnya melakukan investasi bodong sehingga tidak akan diterima sebagai anggota.”

“Fokus kami adalah hubungan dengan pemerintah dan regulator. Jika ada yang belum bergabung, mungkin belum siap untuk berkomunikasi dengan regulator,” lanjut Aji.

Saat ini total anggota AFTECH Indonesia sebanyak 74 perusahaan startup dan 18 lembaga keuangan.

OJK Siapkan Aturan Turunan POJK P2P Lending “Off Balance Sheet”

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) saat ini tengah menyiapkan aturan turunan dari POJK No.77/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi (LPMUBTI), ditargetkan aturan ini bisa segera diterbitkan dalam kurun waktu kuartal I 2017.

Aturan tersebut nantinya akan berbentuk surat edaran (SE). Ada beberapa aturan yang bakal diterbitkan, diantaranya tentang pemberian pinjaman, perubahan batas maksimal pinjaman, kerja sama fintech, tata kelola teknologi informasi, tanda tangan elektronik, dan lainnya.

[Baca juga: OJK Segera Terbitkan Aturan untuk P2P Lending “On Balance Sheet”]

“Berbagai rancangan aturan turunan masih dalam tahap finalisasi, kami usahakan terbit pada kuartal pertama tahun ini,” kata Deputi Komisioner Pengawas IKNB OJK Dumoly F Pardede.

Aturan mengenai batas maksimal pinjaman, sebelumnya telah diatur dalam POJK Nomor 77/2016 Pasal 6. Di sana disebutkan ketentuan batas maksimum total pemberian pinjaman dana kepada setiap penerima pinjaman adalah Rp 2 miliar.

Masih di pasal yang sama, di ayat 3 menyebutkan OJK dapat melakukan peninjauan kembali atas batas maksimum total pemberian pinjaman.

Mengenai hal tersebut, dihubungi terpisah Founder dan CEO Modalku Reynold Wijaya memberikan usulannya. Menurut dia, untuk aturan besaran pemberian pinjaman sebaiknya tidak diberikan limit, tujuannya agar pertumbuhan industri bisa lari lebih cepat.

“Terlebih saya melihat bila tidak dikasih limit, sebenarnya tidak ada efek negatifnya. Saya pribadi lebih setuju bila tidak ada limit pinjaman,” kata Reynold.

Pemain didorong penuhi batas kepemilikan asing

Tak hanya itu, OJK juga akan mendorong pemain P2P Lending “off balance sheet” untuk memenuhi sesuai ketentuan terkait batas maksimal kepemilikan asing. Dorongan ini nantinya juga akan direalisasikan dalam bentuk SE.

Aturan ini termuat dalam Pasal 3, menyatakan kepemilikan saham penyelenggara oleh warga negara asing atau badan hukum asing secara langsung maupun tidak paling banyak adalah 85%.

Dumoly menyatakan, mengenai hal ini regulator masih dalam tahap melakukan klasifikasi dan identifikasi 157 perusahaan fintech yang sudah tercatat di OJK untuk mengetahui jenis usaha yang dijalankan, besaran modal, serta kepemilikan perusahaan.

“Ketika mendaftar pemain fintech masih menggunakan nama perusahaan, jadi belum terungkap. Akan tetapi, kami perkirakan sekitar 50% perusahaan fintech masih 100% dikuasai asing,” katanya.

Nantinya setelah proses identifikasi selesai dilakukan, apabila OJK menemukan perusahaan fintech dengan ketentuan di ambang batas, maka regulator akan mendorong pemain untuk segera melakukan penyesuaian.

Hanya saja, regulator akan memberikan tenggat waktu untuk melakukan penyesuaian selama satu hingga dua tahun. Hal ini dilakukan agar pertumbuhan industri tetap terjaga.

“Tidak bisa kita minta langsung turunkan [kepemilikan sahamnya], nanti tidak baik untuk industri. Rencananya kami akan terbitkan surat edarannya berkaitan dengan hal tersebut,” pungkas Dumoly.

OJK Segera Terbitkan Aturan untuk P2P Lending “On Balance Sheet”

Otoritas Jasa Keuangan (OJK) saat ini sedang menggodok aturan baru untuk subsektor fintech lainnya. Setelah pada akhir tahun lalu menerbitkan POJK Nomor 77/POJK.01/2016 untuk mengatur bisnis fintech peer to peer lending (P2P lending) yang bergerak di off balance sheet, kini OJK bakal menerbitkan aturan serupa untuk yang bergerak di on balance sheet.

Kepala Eksekutif Pengawasan IKNB OJK Firdaus Djaelani menjelaskan, regulator mempertimbangkan penerbitan aturan ini bertujuan agar perusahaan fintech P2P lending yang bergerak di on balance sheet tidak bertabrakan dengan industri perbankan dan pembiayaan.

Pasalnya, ketiganya memiliki kemiripan bisnis dan tujuan yang sama yakni meningkatkan likuiditas di masyarakat, hanya saja cara yang dilakukan berbeda. Nantinya, dalam aturan tersebut akan mengatur ketentuan gearing ratio, syarat permodalan, model bisnis, dan lainnya.

Gearing ratio adalah jumlah pinjaman dibandingkan modal sendiri perusahaan. Aturan ini dipakai dalam industri pembiayaan dan diatur dalam PMK No.84/2006, ketentuannya gearing ratio dibatasi maksimal 10 kali.

Sebagai ilustrasi, perusahaan bermodal Rp 100 miliar dapat memperoleh pinjaman atau utang sebagai sumber pendanaan untuk menyalurkan pembiayaan maksimal 10 kali dari modal, yakni Rp1 triliun.

“Mereka itu [P2P lending on balance sheet] seperti multifinance dengan skala kecil. Nanti dalam aturannya, tidak akan kami buat seketat multifinance ataupun perbankan karena mereka itu bukan deposit taking (ambil dana dari masyarakat). Tapi harus tetap ada aturan gearing ratio-nya,” terang dia, Selasa (14/2).

Firdaus menganjurkan, sebelum aturan ini terbit, sebaiknya para perusahaan fintech P2P lending on balance sheet yang sudah beroperasi untuk tetap memperhatikan prinsip kehati-hatian demi perlindungan konsumen.

Tak hanya itu, regulator pun nantinya akan mengidentifikasi identitas perusahaan P2P lending itu sendiri, jangan sampai mereka bergerak di ranah deposit taking. Sebab, ranah tersebut hanya ada di perbankan saja.

“OJK akan diskusi lebih dalam berbicara dengan perbankan dan pembiayaan, mereka [P2P lending on balance sheet] itu sebenarnya ada di segmen mana. Jangan sampai ada segmentasi, sebab dikhawatirkan terjadi persaingan yang tidak sehat,” tambah Deputi Komisioner Pengawas IKNB II OJK Dumoly F. Pardede.

Dumoly memperkirakan agar perusahaan P2P lending on balance sheet tidak bertabrakan dengan perbankan ataupun pembiayaan, mereka harus bergerak ke segmen medium ke bawah sehingga batasan pinjamannya pun bakal dibatasi.

Sebagai gambaran, beberapa pemain P2P lending on balance sheet yang mulai dikenal masyarakat diantaranya adalah UangTeman. Perusahaan ini telah menyalurkan pinjaman sebesar Rp 35 miliar pada tahun lalu. Tahun ini UangTeman menargetkan penyaluran pinjaman sebesar Rp 100 miliar, caranya dengan ekspansi ke daerah baru, misalnya Bali.

Ada 600 layanan fintech beroperasi di seluruh Indonesia

OJK mencatat sampai saat ini terdapat 600 perusahaan fintech (dalam artian luas) yang beroperasi di Indonesia. Dari jumlah tersebut, baru 157 perusahaan yang melaporkan kegiatannya ke OJK. Dari 157 perusahaan, diperkirakan hanya 120 perusahaan fintech yang lolos sesuai dengan persyaratan dalam POJK Nomor 77/POJK.01/2016.

“Dari jumlah tersebut, baru 157 fintech yang mendaftar ke OJK. Mereka belum diberikan pengesahan izin pendaftaran karena kami masih identifikasi mana yang masuk POJK Nomor 77 mana yang tidak,” kata Dumoly.

Dumoly bilang, proses klasifikasi sudah dilakukan sejak tahun lalu. Dari proses tersebut, diketahui hampir separuh dari pemegang saham perusahaan fintech dikuasai oleh pemilik asing.

Padahal, dalam POJK Nomor 77, aturan kepemilikan saham asing hanya boleh menguasai maksimal 85%. Menanggapi hal tersebut, menurut Domoly, nantinya regulator akan memberi waktu selama satu tahun untuk memenuhi sesuai ketentuan.

OJK Patok Suntikan Modal Minimum Angel Investor 1 Miliar Rupiah

Salah satu tren yang mengikuti pertumbuhan startup digital di Indonesia adalah hadirnya berbagai jenis investasi yang memberikan suntikan dana untuk pengembangan produk dan pangsa pasar. Salah satu model investasi yang sedang disorot oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) adalah angel investor. Salah satu poin yang disoroti OJK seputar angel investor ialah modal minimal yang digelontorkan untuk startup, yakni Rp 1 miliar Rupiah, sementara jumlah startup yang boleh didanai oleh satu angel investor adalah 4 startup.

Diungkapkan Deputi Pengawas Komisioner Industri Keuangan Non Bank (IKNB) Dumoly F. Pardede, seperti dikutip dalam koran Kontan (10/3), disebutkan bahwa rancangan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) yang mengatur angel investor ditargetkan rampung pada Juni 2016 mendatang.

Misi OJK menerapkan rancangan ini ialah untuk memastikan seluruh aktivitas kegiatan usaha keuangan harus memiliki legalitas. Awalnya OJK menentukan minimal modal sebesar Rp 50 miliar, namun para investor keberatan dengan nominal tersebut.

[Baca juga: Umumkan Sebelas Investor Baru, ANGIN Fokuskan Bangun Ekosistem Startup]

Dengan ketentuan minimum suntikan dana oleh angel investor tersebut, nantinya setiap penambahan startup yang didanai, angel investor terkait wajib menambah modal sebesar Rp 1 miliar. Jika total perusahaan yang dibiayai mencapai 20 startup, maka angel investor tersebut harus menjadi venture capital.

Selain itu saat ini OJK juga sedang berembuk dengan Kementerian Keuangan unttuk merumuskan insentif pajak bagi angel investor. OJK hendak mengarahkan pungutan pajak bagi angel investor lebih kecil, dan mengacu pada ketentuan pajak bagi usaha kecil dan menengah (UKM). Hal ini dilandasi bahwa tren investasi oleh angel investor memang ditargetkan untuk kalangan UKM atau startup.

Dalam kesempatan bertemu dengan OJK, angel investor juga meminta untuk dibuatkan pasar modal khusus. Pembuatan pasar modal kedua (secondary board) bertujuan agar angel investor bisa memiliki wadah untuk melakukan divestasi ketika ingin menjual startup yang dikelola.

[Baca juga: Jaringan Investor Angel eQ Ingin Dorong Gairah Investor Indonesia Berinvestasi di Startup Teknologi]

Kendati OJK sudah berdialog dengan para angel investor dan mencapai kesepakatan nilai investasi, menurut Kamar Dagang dan Industri Indonesia, dalam hal ini disampaikan oleh Chris Kanter selaku Wakil Ketua, rencana OJK mengatur kegiatan angel investor sebenarnya belum mendesak. Menurut Chris yang juga menjabat sebagai Chairman Global Entrepreneurship Program Indonesia (GEPI) ini angel investor masih hal baru di Indonesia. Setidaknya saat ini ada dua asosiasi angel investor di Indonesia, pertama adalah ANGIN yang digagas GEPI, yang kedua adalah Angel eQ.

Enam Modal Ventura Asing Berminat Beroperasi di Indonesia

Rencana Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam menertibkan modal ventura di tahun 2016 tak menciutkan minat para pelakunya, terutama yang berasal dari luar negeri, untuk melebarkan sayap ke Indonesia. Setidaknya, ada enam perusahaan modal ventura luar negeri baru yang menunjukkan minat untuk beroperasi di Indonesia. Meski tak disebutkan nama-nama badannya, OJK mengungkap bahwa enam modal ventura ini mewakili Tiongkok, Hong Kong, Malaysia, dan Indonesia itu sendiri.

Dikutip dari DealStreetAsia, Komisaris Pengawas Industri Keuangan Non-Bank Dumoly F Pardede mengatakan, “Enam perusahaan telah mengajukan permohonan izin untuk OJK dari Malaysia, Hong Kong, Cina, dan Indonesia. Kami akan memproses [aplikasi] sesegera mungkin.”

Kepala Eksekutif Pengawas Industri Keuangan Non-Bank (IKNB) Firdaus Djaelani juga mengungkapkan bahwa pihaknya sejauh ini telah mengidentifikasi 15 perusahaan modal ventura asing yang berencana untuk berinvestasi di startup lokal.

Sebelumnya, OJK juga telah mengeluarkan beberapa kebijakan di akhir tahun lalu untuk venture capital (VC) atau modal ventura yang ingin mendirikan badan usaha legal dan beroperasi di Indonesia. Di antaranya adalah investor atau lembaga yang berkaitan setidaknya harus menyediakan dana sebesar Rp 50 Miliar (sekitar $3,6 juta) untuk sebuah perseroan terbatas (PT) dan Rp 25 Miliar untuk CV. Selain itu masih ada delapan poin kegiatan usaha yang harus dilakukan perusahaan modal ventura.

Alasan diterbitkannya aturan untuk menertibkan perusahaan modal ventura adalah untuk mengawasi arus masuknya dana asing ke Indonesia, mencegah upaya pencucian uang, dan melindungi industri modal ventura itu sendiri serta perusahaan rintisan lokal.

Sebagai informasi, di bawah peraturan baru yang dikeluarkan OJK sudah ada empat perusahaan modal ventura yang telah mengantongi izin untuk beroperasi di Indonesia. Mereka adalah PT Nusa Makmur Ventura, PT Reliance Modal Ventura, PT Cakrabuana Ventura Indonesia, dan PT Corpus Prima Ventura.

Indonesia sebagai negara berkembang dengan laju pertumbuhan ekosistem startup teknologi yang pesat memang telah berhasil membuat beberapa perusahaan modal ventura besar tertarik, terutama untuk segmen e-commerce. Beberapa di antaranya adalah Rocket Internet, Softbank, dan Sequoia Capital.