Tag Archives: e-book

Aplikasi Perpustakaan Digital “BukuAku” Resmi Hadir untuk Pembaca Muda

Lumina Education meluncurkan aplikasi perpustakaan digital BukuAku yang menyasar target pembaca muda dari usia balita hingga 14 tahun. Aplikasi ini dirancang untuk membangun ketertarikan membaca sejak usia dini.

Mengacu data Program for International Student Assessment (PISA), Indonesia termasuk dalam 10 negara dengan peringkat literasi rendah dengan posisi 62 dari 70 negara. Ini menunjukkan bahwa budaya membaca di kalangan masyarakat Indonesia masih sangat rendah.

CEO Lumina Education Stephanie Riady mengatakan bahwa kebiasaan membaca sejak dini menjadi bagian penting dalam tahapan perkembangan kognitif anak. Kemampuan literasi menjadi bekal fundamental seseorang dalam berpikir, mengolah, menerima informasi, hingga mengambil keputusan.

“Perlu pendekatan sesuai untuk menarik minat para pembaca muda sehingga kegiatan membaca menjadi sebuah kegiatan yang seru, menyenangkan, dan memancing rasa keingintahuan anak-anak menjelajahi dunia imajinasi bersama karakter seru dari buku favoritnya,” tutur Stephanie.

Tak hanya pengguna individual, BukuAku berencana untuk memperluas kemitraan dengan berbagai sekolah. Menurut COO BukuAku Digital Indonesia Catherine Mulyana, sering kali ditemui sekolah tidak menyediakan cetakan buku yang lebih banyak sehingga menyulitkan kegiatan berdiskusi dengan para murid.

“Kami tidak hanya ingin mendorong kemampuan literasi, tetapi juga kemampuan mereka untuk memahami dan mengevaluasi apa yang mereka baca,” tambah Catherine dalam acara peluncuran BukuAku, Selasa (30/5).

BukuAku memiliki koleksi ribuan buku yang telah dikurasi oleh tim pendidik dan pakar literatur dari penerbit buku lokal dan internasional, seperti Literaloka, Mizan Publishing, dan Kuark Internasional.

Fitur unggulan

Menurut Psikolog anak Samanta Eleser, membaca dapat mempercepat stimulasi anak. “Bagi anak yang belum sekolah, mereka dapat belajar memahami lewat membaca. Untuk membangun dasar literasi mereka, penting membangun ketertarikan mereka melalui fitur, seperti Read-to-me Books dan Badges Award,” tuturnya.

Untuk membuat pengalaman membaca lebih asyik, BukuAku menampilkan sejumlah fitur unggulan, mulai dari Read-to-me Books, Dictionary Look-up, Badges Award, hingga Quizzes.

Read-to-me Books memiliki fitur audio untuk membuat kegiatan membaca lebih interaktif. Setiap kata yang dibaca akan diberi tanda kotak begitu audio diputar. Kemudian, Badges Award berfungsi memotivasi anak membaca lebih banyak buku dengan pemberian digital badge. Ada juga Quizzes yang berisikan berbagai pertanyaan dari buku yang sudah dibaca untuk mengasah daya ingat anak.

BukuAku juga memanfaatkan analitik data untuk menghadirkan perpustakaan yang dapat dipersonalisasi sesuai ketertarikan pembaca. Ada tiga mode berlangganan yang ditawarkan BukuAku, yakni paket keluarga, standar, dan sekolah dengan harga mulai dari Rp39.000.

Berdasarkan laporan Statista, pendapatan dari pasar e-book Indonesia di 2023 diestimasi mencapai mencapai $39,37 juta dengan CAGR sekitar 5,46% (2023-2027). Penetrasi pasar e-book diperkirakan mencapai 5,9% di 2023 dan mencapai 7,5% di 2027.

Versi Baru Amazon Kindle Paperwhite Bawa Layar Lebih Besar dan Daya Baterai Sampai 10 Minggu

Amazon resmi memperkenalkan generasi terbaru dari e-reader terpopulernya, Kindle Paperwhite. Model teranyar ini datang tiga tahun setelah versi sebelumnya, dan bersamanya hadir sejumlah pembaruan yang akan semakin menyempurnakan pengalaman membaca.

Pembaruan yang paling utama dan yang langsung kelihatan adalah layarnya. Ukurannya kini lebih besar; 6,8 inci dibanding 6 inci, akan tetapi tingkat ketajaman layarnya tetap di angka 300 ppi (pixel per inch). Agar perangkatnya tidak jadi kelewat bongsor, Amazon tidak lupa menyusutkan bezel yang mengitari layarnya.

Layarnya ini juga diklaim mampu menyala 10% lebih terang, serta dapat diatur temperatur warnanya secara manual agar lebih nyaman digunakan di malam hari. Seperti sebelumnya, bagian depan Kindle Paperwhite ini benar-benar rata dari atas ke bawah, dan bodinya secara keseluruhan tahan air dengan sertifikasi IPX8.

Pembaruan berikutnya bisa dibilang tidak urgen, tapi tetap sangat bermanfaat bagi pengguna, yakni soal baterai. Dalam sekali pengisian, Kindle Paperwhite edisi baru ini bisa tahan sampai 10 minggu pemakaian (versi sebelumnya ‘cuma’ sampai 6 minggu). Tidak kalah penting, colokannya kini sudah USB-C, sehingga proses charging-nya otomatis bakal lebih cepat — 2,5 jam dari kosong hingga penuh.

Amazon pun tak lupa menyematkan chipset baru pada Kindle Paperwhite edisi 2021. Dipadukan dengan tampilan antarmuka baru yang telah disempurnakan, chipset baru ini mampu mendongkrak kinerja perangkat sampai 20 persen. Setup awalnya kini juga lebih mudah karena pengguna bisa login via aplikasi Kindle di perangkat iOS atau Android.

Kindle Paperwhite generasi ke-11 ini dijual seharga $140, alias lebih mahal $10 dari pendahulunya. Dalam kesempatan yang sama, Amazon juga menawarkan varian lain bernama Kindle Paperwhite Signature Edition.

Varian ini dibanderol lebih mahal — $190 — akan tetapi ia mengemas kapasitas penyimpanan yang lebih besar; 32 GB dibanding 8 GB pada varian standarnya. Bukan hanya itu, varian Signature Edition juga dilengkapi dukungan Qi wireless charging, dan fitur pengubah temperatur warna layarnya tadi bisa berfungsi secara otomatis di sini.

Terakhir, Amazon juga menyingkap Kindle Paperwhite Kids. Dibanderol $160, varian ini sejatinya identik dengan varian standarnya, hanya saja ia datang bersama sebuah cover ramah anak, subscription selama 1 tahun ke layanan Amazon Kids+, dan masa garansi yang lebih lama (2 tahun).

Sumber: The Verge dan Amazon.

Kindle Paperwhite Generasi Terbaru Bisa Dipakai Membaca Selagi Pengguna Berendam

Di titik ini, saya kira kita sudah tidak perlu lagi menerima penjelasan mengenai kelebihan ebook dibanding buku biasa. Namun seandainya masih ada yang kurang yakin, saya masih punya satu alasan lain: ebook bisa Anda baca selagi bersantai di dalam bathub, dengan catatan perangkat e-reader yang Anda pakai adalah Kindle Oasis.

Kabar baiknya, Kindle Oasis kini bukan satu-satunya e-reader besutan Amazon yang tahan air. Amazon baru saja memperkenalkan Kindle Paperwhite generasi baru yang mengemas sertifikasi ketahanan air IPX8 (sampai kedalaman 2 meter selama 60 menit), sama persis seperti Oasis.

Hebatnya, Kindle Paperwhite baru ini ternyata lebih ramping dan ringan dibanding generasi sebelumnya, dengan tebal hanya 8,18 mm dan bobot 182 gram. Desainnya sedikit dibenahi; layarnya kini rata dengan bezel yang mengitarinya, dan sisi belakangnya kini dilapisi bahan soft-touch sehingga lebih mantap digenggam.

All-new Amazon Kindle Paperwhite

Layar sentuh e-ink yang terpasang masih sama, dengan ukuran 6 inci dan resolusi tinggi (300 ppi). Daya tahan baterainya tidak perlu ditanya, sebab penggunaan layar e-ink yang sangat irit daya memungkinkannya untuk digunakan sampai berminggu-minggu dalam satu kali pengisian.

Tidak seperti Oasis, Kindle Paperwhite tidak dilengkapi tombol navigasi maupun sensor ambient light. Kendati demikian, masih ada fitur milik Oasis yang diwariskan di samping bodi tahan air, yaitu konektivitas Bluetooth. Ini berarti pengguna dapat menyambungkan headphone atau speaker untuk mendengarkan koleksi audibook ketika sedang malas membaca.

All-new Amazon Kindle Paperwhite

Amazon pun tidak lupa memperbarui Paperwhite dari sisi software. Pengguna sekarang dapat menyimpan pengaturan seperti tipe font, tingkat ketebalannya, maupun orientasi tampilannya. Rekomendasi buku baru berdasarkan yang sudah dibaca tidak lupa disajikan, demikian pula statistik kebiasaan membaca pengguna.

Di Amerika Serikat, Amazon akan memasarkan Kindle Paperwhite generasi baru ini mulai 7 November mendatang. Harganya dipatok $130 untuk varian berkapasitas 8 GB, atau $160 untuk varian 32 GB. Amazon juga menawarkan varian 32 GB dengan konektivitas seluler seharga $250.

Sumber: Business Wire via Ars Technica.

Managing Director Gramedia Digital Nusantara Kelvin Wijaya

Strategi Gramedia Digital Nusantara Gabungkan Kultur Startup dan Korporasi

Setelah melebur menjadi Gramedia Digital Nusantara pada tahun 2016 lalu, layanan Scoop yang berangkat dari kultur perusahaan startup masih mencoba untuk menggabungkan dua kultur yang berbeda, yaitu perusahaan yang sudah mapan (Gramedia) dan startup.

Kepada DailySocial, Managing Director Gramedia Digital Nusantara Kelvin Wijaya mengungkapkan, proses penggabungan ini tidak selalu berjalan dengan mudah, sarat dengan bentrokan dari sisi kebiasaan, cara kerja hingga tim yang terlibat di dalamnya.

“Proses integrasi memang benar-benar lumayan sulit, karena kita datang dari startup dan berhadapan dengan perusahaan yang telah berdiri selama 48 tahun lebih hadir di Indonesia. Jadi memang terdapat culture clash, people clash, SOP dan cara kerja yang clash,” kata Kelvin.

Sebagai pimpinan yang memiliki latar belakang startup, Kelvin berupaya untuk bisa melakukan integrasi tersebut dengan cara pembuktian hingga melakukan MVP (Minimum Viable Product). Dengan menerapkan proses tersebut, Kelvin dan tim mengklaim bisa memberikan hasil yang terbaik agar bisa melancarkan proses integrasi.

Fokus ke misi utama

Hadirnya Gramedia Digital Nusantara, menurut Kelvin, untuk membantu percepatan transformasi digital di Gramedia Group. Menyesuaikan fokus utama, keterlibatan antara pegawai yang berasal dari korporasi dan pegawai yang berasal dari startup bisa menjadi kolaborasi yang solid guna mempercepat pertumbuhan bisnis.

“Misi besar kita adalah untuk Gramedia. Jadi kita mempunyai tugas besar untuk melakukan transformasi digital untuk toko buku Gramedia. Perusahaan dibuat untuk mempercepat transformasi digital di grup,” kata Kelvin.

Salah satu langkah yang telah diterapkan untuk bisa membawa kultur startup ke perusahaan adalah memisahkan kantor Gramedia Digital, menjalankan bisnis secara independen, dan melakukan konsolidasi dengan grup. Cara ini, menurut Kelvin, bisa membawa perusahaan ke arah yang tepat dengan menciptakan keseimbangan tersebut.

“Baiknya buat kami yang memiliki latar belakang dari startup adalah, kemampuan untuk bergerak dengan cepat, sementara perusahaan seperti Gramedia cenderung untuk lebih hati-hati dan kurang berani untuk mengambil langkah yang agresif. Di situlah peranan kami untuk bisa menggabungkan proses kerja tersebut,” kata Kelvin.

Berikut wawancara lengkap dengan Kelvin Wijaya soal strategi dan tantangan Gramedia Digital mengonversi konsumen yang terbiasa mengonsumsi konten secara gratis menjadi konsumen berbayar.

Application Information Will Show Up Here

Bea Cukai Barang Impor Digital, Apakah akan Berdampak pada Produk Digital Lokal? (Updated)

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution sudah memastikan bahwa pemerintah Indonesia akan mengenakan bea masuk bagai barang tak berwujud (intangible goods). Beberapa barang tak terwujud yang dimaksud termasuk e-book, perangkat lunak, musik digital, film digital dan sebagainya. Darmin menyebutkan, hal tersebut dilakukan dalam rangka menata dan mulai mengembangkan bisnis para pelaku usaha. Sejauh ini belum diberlakukan, karena terikat moratorium dengan World Trade Organization (WTO). Sementara moratorium tersebut berakhir di tahun ini.

Sebelumnya dalam moratorium disebutkan negara-negara berkembang tidak boleh mengenakan bea masuk atas barang tak berwujud yang diperdagangkan secara elektronik. Di tengah meningkatnya perdagangan digital, baik melalui situs e-commerce atau layanan distribusi digital lain, adanya bea masuk terhadap barang tak berwujud dinilai akan berpotensi menjadi penerimaan negara. Pemerintah Indonesia sendiri sudah mengusulkan ke WTO perihal pengenaan biaya ini yang akan dimulai pada tahun 2018 mendatang.

Menjadi kesempatan untuk pengembang lokal?

Salah satu dampak di sisi konsumen untuk pengenaan cukai barang tak berwujud (digital) ialah terhadap harga jual. Harga jual pasti akan menjadi lebih mahal, misalnya untuk produk perangkat lunak. Sejauh ini isu yang banyak diutarakan oleh para pengembang produk lokal ialah persaingan yang cukup berat dengan produk korporasi dari luar, khususnya untuk produk perangkat lunak yang menyasar bisnis.

Namun sayangnya draft aturan terkait hal tersebut belum disampaikan detailnya. Karena di lapangan untuk distribusi produk perangkat lunak nyatanya cukup kompleks. Saat ini produk tidak hanya didistribusikan dalam bentuk installer – misal dikemas dalam DVD atau diunduh melalui internet lalu dipasang di perangkat. Ada juga model SaaS, yang mana statusnya ke konsumen adalah sewa, bukan kepemilikan utuh layaknya licensed software.

Menanggapi tentang rencana ini, kami coba berbincang dengan salah satu pengembang perangkat lunak lokal. Kali ini kami menghubungi Yopie Suryadi selaku CEO Mailtarget –sebuah aplikasi yang membantu bisnis dalam mengelola email marketing.

“Dari apa yang saya baca, tujuan dari pengenaan bea masuk ini adalah untuk menggenjot target bea masuk. Sangat sulit untuk melihat hal ini dilakukan untuk mendongkrak penjualan produk digital dalam negeri. Untuk mendongkrak produk digital dalam negeri yang diperlukan adalah support dari pemerintah, mendukung para pembuat produk digital dalam negeri dalam bentuk kemudahan di regulasi, mendukung ekosistem, grooming programmer berkualitas, menggenjot penggunaan karya anak bangsa dll,” ujar Yopie.

Memang pemerintah tidak secara eksplisit menyebutkan bahwa adanya bea masuk ini juga dalam upaya memajukan produk digital buatan lokal.

“Salah satu hal penting buat saya adalah bagaimana implementasinya. Bagaimana pemerintah mengenakan bea masuk dari setiap e-book yang kita beli dari luar negeri. Apakah pemerintah akan punya akses penuh dari semua data aktivitas kita di internet? Apakah pemerintah akan bekerja sama dengan semua e-commerce/institusi dari luar yang menjual produk digital untuk mengenakan bea masuk di setiap transaksi? Kalau menurut Menkominfo adalah dengan melakukan self assessment kelihatan mudah tetapi penerapannya akan sangat sulit,” imbuh Yopie.

Narenda Wicaksono selaku CEO Dicoding turut memberikan komentar. Menurutnya aturan ini dapat berimplikasi pada dua hal (melihat dari sudut pandang konsumen perangkat lunak). Pertama konsumen akan mencari alternatif yang lebih terjangkau, bisa jadi non legal, seperti perangkat lunak bajakan. Kemungkinan yang kedua, konsumen akan mencari perangkat yang lebih terjangkau dan legal. Namun demikian rata-rata perangkat lunak yang dijual langsung ke konsumen adalah yang pengembangannya membutuhkan biaya tinggi. Belum banyak alternatif pengganti yang bisa dibuat oleh pengembang lokal untuk perangkat lunak tersebut saat ini.

“Harapan saya agar lebih banyak pengembang lokal yang mulai membangun software kelas dunia untuk pasar lokal. Butuh waktu 3 tahun bagi pengembang untuk membangun software pertama yang bisa dimonetisasi. Bila telah 3 tahun lewat dan belum juga bisa monetisasi, mungkin bisa mulai beraliansi atau bergabung dengan pengembang lokal yang membutuhkan talenta agar bisa mengembangkan software kelas dunia,” ujar Narenda.

Update: Penambahan opini dari Narenda Wicaksono.

Kobo Aura One Tantang Kindle dengan Layar Besar dan Bodi Tahan Air

Bicara soal e-book dan e-reader, nama yang pertama muncul dalam benak kita mungkin adalah Amazon Kindle. Kendati demikian, pabrikan seperti Barnes & Noble dan Kobo masih mempunyai pelanggan setianya hingga kini.

Dalam kasus Kobo, perusahaan yang diakuisisi oleh Rakuten pada tahun 2012 tersebut baru saja memperkenalkan sebuah e-reader baru bernama Kobo Aura One. Berdasarkan pengakuan Kobo, mereka merancang perangkat ini berbekal dari masukan para pelanggan setianya.

Desain Aura One amatlah ringkas; tebalnya cuma 6,9 mm, dan bobotnya hanya 230 gram. Sisi depannya didominasi oleh layar sentuh berukuran masif untuk sebuah e-reader: 7,8 inci dengan resolusi 1872 x 1404 pixel, atau setara 300 ppi.

Ukuran layar yang lebih besar daripada umumnya berarti satu halaman e-book bisa menampilkan lebih banyak kata, yang pada akhirnya pengguna jadi lebih jarang membolak-balik halaman. Sebagai sebuah e-reader, tentu saja layarnya mengemas teknologi e-ink yang tetap terlihat terang di bawah terik matahari sekaligus irit daya – baterainya diperkirakan bisa bertahan selama satu bulan dalam satu kali charge.

Sisi depan Kobo didominasi oleh layar sentuh, tanpa ada satu pun tombol / Kobo
Sisi depan Kobo didominasi oleh layar sentuh, tanpa ada satu pun tombol / Kobo

Besar, tajam dan terang, layar milik Aura One juga dibekali teknologi ComfortLight Pro. Teknologi ini pada dasarnya berfungsi untuk mengurangi spektrum cahaya berwarna biru yang kerap membuat pengguna sulit tidur ketika membaca di malam hari.

Pada prakteknya, sebuah sensor akan mendeteksi kondisi cahaya di sekitar perangkat dan menyesuaikan tingkat kecerahan sekaligus tone warna layar. Di malam hari, layarnya akan tampak menguning sehingga terasa lebih nyaman di mata.

Fitur unggulan lain dari Kobo Aura One adalah bodi yang tahan air dengan sertifikasi IPX8 – siap dicelupkan ke kedalaman 2 meter selama 60 menit. Sederhananya, Anda sudah tidak perlu merasa was-was ketika membaca selagi bersantai dan berendam di dalam bathub.

Kobo Aura One rencananya akan mulai dipasarkan pada bulan September mendatang seharga $230.

Sumber: Kobo.

CipikaBookmate dari Indosat Tawarkan Buku Digital dengan Sistem Langganan

Dewasa ini, mendapatkan buku digital alias e-book sangatlah mudah. Pengguna perangkat Android bisa membelinya langsung di Google Play Books, sedangkan pengguna perangkat iOS punya iBooks. Continue reading CipikaBookmate dari Indosat Tawarkan Buku Digital dengan Sistem Langganan

LIVI Ingin Jadikan Membaca E-Book Sebagai Tren Gaya Hidup Mainstream

LIVI Optimis Bahwa Tren Membaca E-Book di Indonesia Dapat Ditumbuhkan / LIVI

Melihat penetrasi penggunaan smartphone di Indonesia yang terus meningkat dari hari ke hari, sekelompok anak muda tak mau menyia-nyiakan kesempatan tersebut. Melalui sebuah produk yang dinamai LIVI, mereka berkomitmen untuk menjadi “Kindle-nya” Indonesia sebagai platform membaca, terutama untuk konten lokal.

Continue reading LIVI Ingin Jadikan Membaca E-Book Sebagai Tren Gaya Hidup Mainstream

Di Beijing, Kereta Bawah Tanah Juga Berfungsi Sebagai Perpustakaan Digital

Tiongkok adalah negara dengan jumlah penduduk terbesar di dunia. Di ibu kotanya sendiri, Beijing, terdapat sekitar 20 juta orang yang menduduki. Meski jalan-jalan di kota tersebut sering macet, sistem transportasi umumnya tergolong baik. Continue reading Di Beijing, Kereta Bawah Tanah Juga Berfungsi Sebagai Perpustakaan Digital

Apps Foundry Luncurkan TokoBuku by Scoop untuk Pembelian Buku Cetak

Penyedia layanan e-book Apps Foundry hari ini (12/08) resmi meluncurkan toko buku online TokoBuku by Scoop (selanjutnya disebut TokoBuku). Layanan ini menawarkan buku cetak pilihan yang belum rilis (pre-order) maupun yang sudah dirilis dari penerbit internasional maupun lokal. Scoop yang selama ini melayani pembelian produk digital kini dilengkapi oleh Tokobuku yang berusaha merangkul penggemar buku cetak.

Continue reading Apps Foundry Luncurkan TokoBuku by Scoop untuk Pembelian Buku Cetak