Bertujuan untuk dapat membantu para pelaku usaha mengelola pajak, Pajak.io meluncurkan fitur baru Chatbot Bee-Jak yang dilengkapi dengan teknologi Artifical Intelligence berupa Natural Language Processing (NLP) dalam Bahasa Indonesia. Kepada DailySocial, Co-founder & CEO Pajak.io Rayhan Gautama mengungkapkan, visinya dari awal mendorong inklusi pajak, terutama untuk wajib pajak dari sektor UKM.
“Yang saya pahami, tarif pajak UKM itu murah sekali, hanya setengah persen dari total penghasilan kotor pada setiap bulan. Namun untuk proses pembayarannya relatif masih sulit dan berbelit-belit terutama untuk pelaku bisnis yang kurang familiar dengan pajak,” kata Rayhan.
Ketika ingin membayar pajak, ada banyak hal yang harus dipahami. Mulai dari jenis pajak untuk menyesuaikan dengan kode pelaporannya, kemudian mencocokkan dengan kode setoran, dan lain-lain. Kendati sudah ada aplikasi online dan petunjuk resmi dari situs Ditjen Pajak, banyak orang yang masih kurang fasih memahami prosedurnya.
Melalui layanan chatbot Bee-Jak, Pajak.io mencoba untuk membantu menambah pemahaman tersebut secara lebih komprehensif dan “bersahabat”. Layaknya berkonsultasi/chat dengan teman yang lebih mengerti pajak, chatbot juga akan memberi info sampai menghitungkan pajak yang harus dibayar, menerbitkan kode billing secara otomatis, dan menyiapkan link pembayaran melalui layanan e-commerce mitra Ditjen Pajak. Proses tersebut bisa terjadi lewat WhatsApp, layanan pesan instan yang cukup primadona di Indonesia: klik di sini untuk mencoba chat via WhatsApp dengan Bee-Jak.
“Namun ke depannya, Bee-Jak akan menjadi robot konsultan pajak pertama di Indonesia yang dapat melayani administrasi segala jenis pajak, mulai dari perhitungan, pembayaran maupun pelaporan, baik untuk pajak bulanan perusahaan, asistensi perhitungan dan pelaporan pajak orang pribadi, hingga pembuatan NPWP,” kata Rayhan.
Sebenarnya sudah ada startup lokal lain yang juga menawarkan kemudahan pelaporan pajak lewat mekanisme chatbot. Yakni aplikasi HiPajak, konsep layanannya menyuguhkan asisten virtual untuk membantu UKM mengetahui berbagai hal terkait perpajakan.
Pandemi dan pertumbuhan bisnis
Sejak diluncurkan pada 14 Juli 2020 hingga akhir Februari 2021, Pajak.io telah memiliki lebih dari 5 ribu pengguna, mencatat lebih dari 17 ribu transaksi pajak dengan total Gross Transaction Value (GTV) lebih dari 200 miliar Rupiah. Meskipun dihadang pandemi, namun tidak mempengaruhi bisnis secara keseluruhan. Secara umum perusahaan mengklaim cukup senang dengan pertumbuhan bisnis sejauh ini.
Untuk ke depannya, perusahaan juga akan memaksimalkan teknologi AI di Pajak.io, baik untuk membantu pengguna enterprise ataupun UKM. “Chatbot Bee-Jak ini dapat dinikmati oleh seluruh masyarakat UKM secara gratis. Kami berharap untuk mendapatkan peningkatan partisipasi UKM dalam pembayaran pajak di lingkungan Pajak.io,” kata Rayhan.
Hari ini Menteri Keuangan Sri Mulyani resmi membatalkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 210 Tahun 2018, lebih dikenal sebagai “Pajak E-Commerce”, yang seharusnya resmi diberlakukan mulai 1 April 2019 mendatang. Menurut keterangan resmi yang disampaikan Kementerian Keuangan, ada kebutuhan koordinasi antar lembaga dan kementerian untuk memastikan pengaturan e-comemerce tetap sasaran, berkeadilan, efisien, dan mendorong pertumbuhan ekosistem ekonomi digital.
Dengan ditariknya PMK ini, merchant tidak lagi memiliki kewajiban melaporkan NPWP ke penyedia layanan marketplace, sementara pihak marketplace tidak perlu mengembangkan sistem untuk memungut, menyetor, melaporkan PPN dan PPh terkait penjualan barang dagangan.
Yang tetap berlaku adalah kewajiban perpajakan untuk UKM, berupa pajak final 0,5%, bagi mereka yang memiliki omzet di bawah 4,8 miliar Rupiah per tahun.
Dampak bagi industri
Kehadiran Pajak E-Commerce sempat dianggap momok bagi para pelaku industri. Di saat usianya yang masih sangat balita, tambahan pajak yang diberlakukan di platform marketplace akan mengurangi tingkat kompetitif merchant di pasar yang sangat sensitif soal harga ini. Belum lagi kewajiban pelaporan NPWP yang dianggap merepotkan.
Di awal Januari, ketika peraturan tersebut disahkan, pihak asosiasi e-commerce Indonesia (idEA) langsung mengajukan penangguhan. idEA, melalui Ketua Umumnya Ignatius Untung, beralasan saat ini jumlah merchant yang hadir di marketplace masih minoritas jika dibandingkan mereka yang berjualan bebas di media sosial. Jika yang minoritas ini diperberat dengan berbagai syarat dan perpajakan, ditakutkan industri yang baru dibangun ini malah “bubar jalan”.
Sri Mulyani sendiri langsung merespon dengan menyebutkan peniadaan kewajiban pelaporan NPWP oleh merchant.
Batalnya pemberlakuan Pajak E-Commerce ini menjadi “kado” insentif bagi pemain industri yang sedang giat-giatnya menarik UKM untuk berjualan secara online. Di sisi lain, marketplace — setidaknya saat ini — tidak perlu berinvestasi untuk membangun sistem perpajakan.
idEA sendiri menyebutkan pihaknya tengah melakukan kajian mengenai dampak pungutan pajak terhadap penjual, marketplace, dan ekonomi negara. Studi ini bakal melibatkan lintas institusi dan Untung memprediksi dibutuhkan setidaknya sekitar satu tahun untuk memberikan rekomendasi bagaimana seharusnya penerapan perpajakan untuk e-commerce.
Contoh di Amerika Serikat
Di negara maju seperti Amerika Serikat, perpajakan e-commerce juga termasuk hal pelik. Acuan keputusan Mahkamah Agung tahun 1992 tentang peniadaan kewajiban pajak penjualan tanpa kehadiran operasional bisnis secara fisik (saat itu masih berupa katalog) mendorong pertumbuhan industri e-commerce yang sangat pesat, bak jamur di musim hujan.
Setelah 26 tahun, di tahun 2018, muncul keputusan Mahkamah Agung baru yang mulai mengatur soal pajak penjualan untuk layanan online. Di masa ini nilai e-commerce Amerika Serikat mencapai lebih dari $500 miliar.
Menurut data Google-Temasek, nilai e-commerce Indonesia tahun 2018 diperkirakan baru sekitar $12 miliar. Angka itu masih jauh dari ideal dan dibutuhkan insentif lebih banyak untuk mendorongnya mencapai batas psikologis $50 miliar di tahun 2025. Kehadiran wacana pajak tambahan di awal bisa membuyarkan target-target tersebut.
Penutup
Penarikan Pajak E-Commerce sangat diapresiasi untuk mendorong pertumbuhan ekosistem ekonomi digital. Menurut hemat kami, insentif supply chain, logistik, dan perpajakan dari Pemerintah menjadi hal krusial untuk mendorong pemerataan distribusi ketika e-commerce memudahkan konsumsi dari Sabang sampai Merauke.
Finance Minister Sri Mulyani agreed not to require online sellers to have Taxpayer Identification Number (NPWP). It’s a result of an agreement with Indonesian E-Commerce Association (IDEA) held this afternoon (16/1).
Sri Mulyani said this decision was taken after considering many sellers in marketplace platform have income below the Non-Taxable Income (PTKP) or Rp54 million per year. Therefore, TIN is not required in the policy.
“We’ve had a lot of discussion with them on what idEA said most sellers are students or housewives who want to start running business through marketplace platform. They don’t need to be requested for ID or TIN,” she said, quoted Katadata.
Further detail of the regulation will be issued by Directorate General of Taxation, said Sri Mulyani. However, she emphasized, the Financial Ministry Regulation (PMK 210) won’t change. The government’s enthusiasm as outlined in this policy is not merely a desire for a single tax. In fact, they’re encouraging a new industry growth with strict regulations.
“This PMK is not the one that collects online taxes but the procedures are implying that it requires ID or TIN. We announce that there’s no need for ID or TIN number. It’ll be in Directorate General Regulation (Perdirjen).”
The second decision is a commitment to maintain the level of playing field between marketplace platform organizer with social media. Sri Mulyani aware of the fear and committed to make an intensive discussion with all business players to maintain the ecosystem.
Last, is to make it easier to report for the marketplace platform organizers. In t erms of regulation, they’ve informed some data to Kemkominfo, BPS, and BI.
The government will make information distribution from the marketplace as simple as possible. If necessary, it’ll be made seamless or currently attached in the business model that wouldn’t require special effort.
“Therefore, they [marketplace platform] don’t need to feel bothered to go after institutions one by one. No special effort to deliver necessary information for institution because we’ll be the one to coordinate it,” she explained.
On the same occasion, Ignatius Untung is attended as the Chairman of IDEA. He appreciates Sri Mulyani’s response to their opinion.
“We, from idEA, are so glad. We have the same spirit, not to create fear for the business but otherwise. We [e-commerce] are very comply with the regulations and Finance Ministry to support other business model growing the same playing field,” he mentioned.
Previously, idEA showed its objection to the government after the PMK 210 was issued on (1/14).
–
Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian
Ibarat kalimat, pajak e-commerce menjadi isu yang sepertinya akan selalu ada koma di dalamnya. Antara pemerintah dengan pelaku marketplace saling mengemukakan pendapatnya masing-masing, membuat isu ini jadi semakin sengkarut karena dorongan pelaku, yang ingin pemerintah lebih transparan dan terbuka dalam membuat aturan, belum memperoleh respon sejauh ini.
Secara makro, riset yang dilakukan Google dan Temasek memperkirakan nilai pasar e-commerce Asia Tenggara tahun 2017 ini mencapai sekitar $11 miliar dan bakal menjadi $88 miliar di tahun 2025. Indonesia menyumbang lebih dari 50% pangsa pasar tersebut.
Namun potensi tersebut menjadi pisau bermata dua, lantaran perkembangan teknologi yang pesat belum dibarengi regulasi yang memadai. Ada peluang sekaligus tantangan. Tak heran terjadi gonjang ganjing ketika membicarakan soal perpajakan di sektor e-commerce.
Gegar budaya
Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo menyebut kejadian ini sebagai gegar budaya. Pemerintah belum mampu menyesuaikan diri secara cepat dengan perubahan yang terjadi. Aturan lama yang dulu dianggap sudah pas, ternyata kini jadi usang.
Menurutnya, masih banyak pihak yang keliru soal pemahaman soal cara berdagang online itu belum dipajaki. Kesalahpahaman ini sebenarnya masih di permukaan, belum menyentuh masalah mendasar. Yustinus berpendapat, sejatinya yang menjadi masalah dalam pajak e-commerce adalah bukan aktivitas mereka, melainkan cara memajaki dengan opsi yang paling efektif.
Dalam prakteknya, dunia e-commerce tidak sesimpel yang dipikirkan, tak sekadar berdagang secara fisik dan non fisik. Bisnis e-commerce itu sendiri ada berbagai jenis, ada yang berbentuk ritel online, marketplace, B2B, B2C, C2C, hingga kombinasinya. Ada juga yang berjualan di platform media sosial dan layanan OTT (over the top).
Kemudian soal cakupan layanannya, ada yang domestik dan lintas batas (cross border). Untuk domestik, aspek perpajakannya sama persis dengan berdagang konvensional: terutang PPN dan PPh sepanjang memenuhi syarat, tidak ada pengecualian. Ini yang kerap disalahpahami. Belum lagi wacana pemerintah yang ingin menjadikan pemain marketplace sebagai agen penyetor pajak.
Ketika pedagang menjual barang, jika omzetnya belum melebihi Rp4,8 miliar setahun (dianggap UKM), hanya bayar PPh Final 1%, di atas itu berlaku tarif umum (PPh 10%) yang dikenakan atas laba kena pajak. Pemerintah sendiri berencana menurunkan tarif PPh Final UKM tersebut menjadi 0,5%. Pihak pemain e-commerce, yang diwakili idEA, mendukung wacana ini.
Marketplace sebagai agen setor pajak
Agen penyetor pajak adalah perpanjangan tangan dari Direktorat Jenderal Pajak (DJP) untuk mengumpulkan, mendata, dan menyetor data pajak kepada pemerintah. Pemain marketplace sejauh ini masih menolak mentah-mentah bila amanat itu diberlakukan.
Isu tersebut dikhawatirkan membuat kenaikan biaya kepatuhan sebab marketplace harus menyiapkan sejumlah infrastruktur dan biaya tambahan yang relatif besar. Beban tersebut, menurut pihak idEA, tidak sebanding dengan platform media sosial yang tidak dibebani apapun.
“Makanya menurut saya masalahnya bukan dari siapa [obyek wajib pajak], melainkan bagaimana [memungut pajaknya]. Kan sekarang ributnya di siapa-nya. Si pemilik platform disuruh mungut [pajak], itu yang menurut saya wajar terjadi penolakan,” terang Yustinus kepada DailySocial.
Asosiasi melihat perlakuan yang berbeda mengenai kewajiban memiliki NPWP Virtual berpotensi membuat pelaku usaha meninggalkan model marketplace dan beralih ke media sosial sebagai lapak jualannya.
“Kita apresiasi untuk rencana menurunkan besaran persetase tarif PPh Final jadi 0,5% dari 1%. Namun untuk isu jadi agen penyetor pajak katanya mau ditugaskan ke perusahaan marketplace, jujur kita agak keberatan di situ karena semua beban jadi ada di kita padahal itu tugas DJP,” kata Ketua Bidang Pajak, Cybersecurity, Infrastruktur idEA Bima Laga kepada DailySocial.
Belum semua taat pajak
DailySocial mencoba untuk mewawancarai dua pedagang UKM yang mengembangkan bisnis berbeda dan keduanya memanfaatkan platform marketplace untuk usahanya.
Febby selama kurang lebih tiga tahun mulai usaha berdagang hijab. Awalnya dia iseng-iseng memasarkan produknya tersebut lewat Instagram. Kemudian mulai mencoba memanfaatkan marketplace Shopee sejak setahun belakangan.
Secara skala bisnis, usaha kecil-kecilannya tersebut belum bisa dikatakan besar, kadang naik dan turun. Dia pun masih mengerjakannya sendirian, kadang minta bantuan temannya untuk jadi model peraga. Dari penjelasannya, meski tidak disebutkan secara rinci, usaha Febby tergolong UKM beromzet setahun di bawah Rp4,8 miliar.
Febby mengaku belum pernah membayarkan pajak dari penghasilan yang ia dapat selama ini. Dia merasa usaha yang ia jalankan tersebut adalah sampingan, sekadar mengisi kegiatan di rumah. Lagipula, menurut dia pendapatannya tersebut tidak seberapa.
Kedua, Aziz (nama disamarkan), adalah karyawan perusahaan skala awal yang bergerak sebagai distributor barang elektronik. Perusahaan yang menaunginya tersebut memanfaatkan berbagai platform marketplace untuk menjual barang-barang, mulai dari Bukalapak, Tokopedia, Blibli, Blanja, Shopee, dan Elevenia.
Aziz membuka akun di seluruh platform tersebut atas nama perusahaannya. Ia sengaja membuka akun resmi agar mendapat kelebihan yang ditawarkan masing-masing platform dibanding akun non resmi.
Dia ambil contoh, waktu itu saat mendaftar akun resmi di Tokopedia ada sejumlah dokumen yang wajib disertakan. Mulai dari NPWP perusahaan, SIUP (Surat Izin Usaha Perdagangan), harus berbadan hukum, akte perusahaan, domisili, KTP pemilik usaha, dan TDP (Tanda Daftar Perusahaan).
“Karena perusahaan kami adalah distributor, Tokopedia juga minta dokumen resmi dari prinsipal yang menunjukkan bahwa kami itu hanya menyediakan barang resmi,” terang Aziz.
Karena akun perusahaan Aziz adalah toko resmi, maka perusahaan memberikan komisi dari setiap transaksi yang berhasil terjadi di dalam Tokopedia. Adapun soal perpajakan, dia mengaku setiap barang yang dijual sudah mengandung unsur pajak lantaran harga yang didapat dari prinsipal merupakan Suggested Retail Price (SRP). Setiap tahunnya pun, perusahaan rutin melaporkan hasil pendapatannya ke kantor pajak.
Edukasi itu penting
Dari kedua contoh kontras di atas bisa disimpulkan bahwa pemerintah masih memiliki jalan panjang untuk mengedukasi masyarakat sadar pajak. Di luar sana, ada banyak Febby-Febby lainnya yang berpikiran sama dan belum tentu semua perusahaan mengambil langkah serupa seperti yang dipilih perusahaan Aziz.
Oleh karenanya, pemerintah butuh solusi alternatif dengan mengubah fokus. Bukan pada apakah UKM yang memanfaatkan platform e-commerce adalah terutang pajak, melainkan cara paling efektif memajakinya.
“Cuma ada dua kemungkinan, enggak tahu dan enggak mau. Ini sama masalahnya dengan yang offline, belum tentu di situ rutin bayar pajaknya. Bisa jadi kemungkinannya mereka enggak tahu [kalau harus bayar pajak], ada juga yang tahu tapi enggak mau [bayar pajak]. Artinya behavior-nya sama saja, lalu apa yang membedakan [antara pedagang offline dengan online],” tutur Yustinus.
Lalu bagaimana cara untuk menjamin semua pedagang bayar pajak? Menurutnya, masalahnya terletak di proses registrasi NPWP. Solusi ini bisa pemerintah manfaatkan marketplace untuk mensyaratkan pendaftaran akun pedagang harus mencantumkan NPWP.
Cara tersebut sebenarnya sama saja ketika pemerintah pada saat mulai edukasi tahap awal untuk mendorong warga memiliki NPWP dan tercatat sebagai wajib pajak. Saat itu, pemerintah harus satu per satu datang ke rumah warga untuk mendaftarkan diri.
Bahkan proses edukasi masih terus dilakukan hingga kini. Bedanya, sekarang proses pendaftaran NPWP bisa dilakukan secara online, tidak perlu dengan kertas manual lagi.
“Sebenarnya enggak rumit. Pemerintah saja yang buat rumit. Sebaiknya pelaporan pajak dilakukan secara self assessment dulu mengingat proses administrasi dan infrastruktur kalau dilakukan online belum memadai. Terpenting adalah mulai dari kesadaran untuk registrasi NPWP, baru setelahnya mulai pikirkan cara memungutnya.”
Solusi berikutnya
Pemerintah selanjutnya perlu memikirkan pemecahan masalah tentang bagaimana cara memajaki yang paling efektif. Ada berbagai kasus studi yang ditempuh Korea Selatan dan Tiongkok dalam menghadapi masalah yang sama dengan Indonesia.
Korea Selatan misalnya, memungut pajak e-commerce lewat PPN dengan memanfaatkan gerbang pembayaran terintegrasi (payment gateway). Dari sana, setiap transaksi akan terekam dan pemerintah dapat lebih mudah memantaunya karena sumber pemasukan negara berasal dari sana.
Beda halnya pendekatan yang dilakukan Tiongkok. Negara tersebut memiliki rentang waktu untuk pengenaan PPN buat beberapa jenis barang yang dijual di e-commerce. Ambil contoh, barang X dikenakan pajak 2 persen selama sekian tahun, sedangkan barang XYZ dibebankan pajak sedikit lebih besar. Secara perlahan, barang-barang tersebut nilai PPN-nya jadi rata 10 persen.
“Yang terpenting adalah otomatisasi sistem adalah hal yang mutlak, sebab berhubungan dengan infrastruktur. Ketika orang belum teredukasi [soal pajak], tapi sudah disuruh bayar pajak, ya terang saja pada nolak semua.”
Yustinus berpendapat, kedua negara di atas memanfaatkan PPN untuk memungut pajak e-commerce karena mekanisme ini adalah solusi termudah. Memungkinkan dapat dipungut secara efektif dengan jumlah signifikan dibandingkan PPh. Maka dari itu, menurutnya pemerintah perlu pikirkan pengenaan PPN yang efektif dan bisa menarik wajib pajak baru.
Beberapa negara ASEAN memanfaatkan skema PPN final dengan tarif lebih rendah dari normal. Misalnya, India sebesar 1% (tarif normal 12,5%-15%), Thailand 4% (tarif normal 7%).
Kemudian, Vietnam tarif khusus 1% untuk individu yang menyelenggarakan bisnis e-commerce (di luar itu dikenakan tarif normal 10%), Filipina memungut 3% apabila omzet masih di bawah US$37.647 (tarif normal 12% akan diterapkan apabila omzet melebihi threshold).
Untuk pedagang di platform media sosial, menurut Yustinus, juga sebaiknya diperlakukan sama seperti marketplace. Menjadikan mereka sebagai gerbang untuk mendisiplinkan pedagang agar registrasi NPWP. Tidak bisa menjadikan platform media sosial sebagai agen penyetor pajak pula.
“Masalahnya adalah edukasi dan awareness. Kita ini mau instan, ada peluang mau diambil dan dipajaki. Ini bisa jadi kontraproduktif. Kalau sosmed sudah dipajaki, lari lagi pasti [pedagang] ke e-commerce luar negeri. Itu bisa lebih repot lagi,” tutupnya.
Indonesia’s E-Commerce Association (idEA) demands Ministry of Finance act fairly regarding e-commerce tax regulation. It is expected to be applied in social media and other technology platforms of foreign companies.
Aulia E Marinto as idEA’s Chairman said on this matter, the government needs a clear vision of the fair treatment, including social media and other foreign platforms which presence is not even real in Indonesia.
Both platforms are making money out of Indonesia without having to pay any taxes. The distinct treatment is feared to make SME’s players left the marketplace and switch to social media.
“The regulation must be applied equally to create a balance,” said Marinto on Tuesday (1/30).
She admitted that the discussion on E-commerce tax regulation (RPMK) has been held several times by Directorate General of Taxation (DJP) and Fiscal Policy Agency (BKF) since last November.
However, the discussion is just a socialization of the taxation concept on e-commerce engaged in marketplace model, not the PMK Draft. Until recently, the association has not received any information regarding RPMK draft.
“We heard that the RMPK [Ministry of Finance Regulation (PMK) on the Tax Procedure for Electronic-based or e-commerce players] is getting released, but we have not received any draft. When it’s [draft] arrived, we can give further feedback.”
As idEA’s Head of Tax, Cybersecurity and Infrastructure, Bima Laga added that his team has heard the e-commerce regulation (PMK) will be issued at the end of this month or the beginning of February 2018.
“It [PMK] is said to be issued on January 31st or February 1st this year. Therefore, we demand public evaluation by holding this [press conference],” he explained.
He continued, demanding government’s guarantee to maintain level playing of field (same treatment), not only between online and offline SMEs but also among informal (social media) and formal (corporate) marketplace.
The marketplace is said to play a role in facilitating and assisting DJP to increase the number of new taxpayers, including tax deposits and online data transactions to the Central Bureau of Statistics (BPS).
“They are still looking for a way [citing tax from social media]. If there is no way, we’re ready to give inputs. Instead of issuing imbalance regulation, the price is not paid off,” he stated.
Selected as the taxpayer agent
In addition, the new regulation will require marketplace model as the taxpayer agent because it considered having implications for increasing compliance cost. As for Bima Laga, this regulation will take the marketplace at the burdened position to cut, deposit and report the final PPh.
The rise of compliance cost needs to get government’s attention because it can make a significant increase in taxpayer’s compliance. To fulfill the duty, the marketplace must prepare a number of infrastructures and additional cost.
To be illustrated, an SME’s seller from X marketplace is making a transaction worth Rp10 thousand. Whether he is not a Taxpayer Entrepreneur (PKP), there will be 0,5% tax cut. It will be reported and counted by the marketplace. What if there are issues with returns and others?
In this case, SME’s player of the marketplace will bear all risks. Whether the marketplace as a corporate, there will be no issue. It will be diverted to the seller.
“Marketplace initially used as wapu (compulsory collection) until finally become the tax agent. We are now collecting data and DJP function is our burden. There are lots of technical rules in being taxpayer agent, we do pity the sellers,” he said.
– Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian
Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA) meminta Kementerian Keuangan untuk berlaku adil terhadap pelaku e-commerce terkait mengutip pajak yang akan segera diterapkan. Hal ini diharapkan berlaku juga untuk platform media sosial dan platform teknologi lain yang berasal dari perusahaan asing.
Ketua Umum idEA Aulia E Marinto menuturkan perlakuan adil ini perlu didetilkan oleh pemerintah, termasuk untuk platform media sosial dan platform asal luar negeri lainnya yang bahkan kehadirannya tidak nyata ada di Indonesia.
Kedua platform tersebut memperoleh penghasilan dari Indonesia dan sampai saat ini tidak dibebani kewajiban pajak apapun. Dikhawatirkan perlakukan yang berbeda ini membuat pelaku UKM meninggalkan model marketplace dan beralih ke media sosial.
“Peraturan yang sama itu mutlak dijalankan supaya terjadi keseimbangan,” ujar Aulia, Selasa (30/1).
Aulia mengaku, diskusi mengenai RPMK Pajak E-commerce sudah beberapa kali diadakan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan Badan Kebijakan Fiskal (BKF) sejak November tahun lalu.
Namun diskusi tersebut baru berupa sosialisasi konsep pengenaan pajak pada layanan e-commerce yang berbisnis di model marketplace, bukan berupa draft PMK yang dimaksud. Hingga kini, asosiasi mengaku belum menerima draft soal isi RPMK tersebut.
“Yang kita dengar RPMK [Peraturan Menteri Keuangan (PMK) tentang Tata Cara Perpajakan Pelaku Usaha Perdagangan Berbasis Elektronik] ini mau keluar, tapi sampai sekarang kita belum terima draftnya. Kalau kami sudah terima [draft], kami bisa beri masukan lebih lanjut.”
Ketua Bidang Pajak, Cybersecurity, dan Infrastruktur idEA Bima Laga menambahkan pihaknya mendengar isu PMK pajak e-commerce akan diterbitkan pada akhir bulan ini atau awal Februari 2018.
“Katanya [PMK] akan terbit 31 Januari atau 1 Februari 2018. Makanya kami minta diuji publik, dengan mengadakan ini [konferensi pers],” terang Bima.
Bima melanjutkan, pihaknya juga meminta jaminan pemerintah untuk menjaga level playing of field (perlakuan sama), tak hanya antar pelaku UKM online dan offline, tapi juga antar marketplace informal (media sosial) dan marketplace formal (sudah berbadan hukum).
Disebutkan marketplace mendapat tugas agar turut berperan dalam memfasilitasi dan membantu DJP dalam meningkatkan jumlah wajib pajak baru, termasuk di dalamnya menyetorkan pajak dan memberikan data transaksi secara online ke Badan Pusat Statistik (BPS).
“Mereka sendiri mengaku masih mencari cara [mengutip pajak dari media sosial]. Kalau memang belum menemukan cara, kami siap beri masukan. Daripada aturan diterbitkan jadi memberatkan sepihak, harga yang harus dibayar terlalu mahal dikorbankan,” pungkas Bima.
Ditunjuk jadi agen penyetor pajak
Selain itu, dalam aturan terbaru ini nantinya pemerintah akan mewajibkan model marketplace sebagai agen penyetor pajak karena dinilai memiliki implikasi meningkatkan compliance cost atau biaya kepatuhan. Menurut Bima, kebijakan ini akan menempatkan marketplace pada posisi dibebani kewajiban untuk memotong, menyetor dan melaporkan PPh final.
Peningkatan biaya kepatuhan perlu mendapat perhatian pemerintah karena dapat mempengaruhi kepatuhan wajib pajak jadi naik relatif signifikan. Lantaran untuk melaksanakan kewajiban tersebut marketplace harus menyiapkan sejumlah infrastruktur dan biaya tambahan.
Bila diilustrasikan, ada transaksi dari penjual UKM dari marketplace X senilai Rp10 ribu. Jika dia bukan Pengusaha Kena Pajak (PKP), artinya dipotong dulu PPh 0,5%. Kemudian dilaporkan dan dihitung oleh perusahaan marketplace. Sementara ada isu kalau terjadi retur dan lain sebagainya?.
Dalam hal ini yang menanggung semuanya adalah pelaku UKM dari marketplace itu sendiri. Kalau marketplace sebagai korporasinya, tidak ada isu pajak. Justru akan kasihan ke penjual UKM.
“Wacana awalnya marketplace dijadikan sebagai wapu (wajib pungut) kemudian akhirnya jadi agen penyetor pajak. Jadi kita yang sekarang collect data, fungsi DJP dibebankan ke kita. Ada banyak sekali aturan teknis yang terjadi saat kami menjadi agen penyetor pajak, yang kasihan adalah penjual UKM,” pungkas Bima.
Pemerintah Indonesia tengah berusaha untuk meningkatkan perekonomian nasional. Salah atau langkah yang ditempuh adalah dengan mengeluarkan paket kebijakan ekonomi. Kabarnya di paket kebijakan ekonomi yang ke 14 pemerintah juga akan mengatur bisnis e-commerce. Salah satunya adalah mengatur tentang perpajakan di bisnis e-commerce.
Diberitakan di beberapa media, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution sempat memberikan bocoran bahwa paket kebijakan selanjutnya akan lebih banyak berbicara tentang e-commerce. Terutama mengenai roadmap pajak e-commerce.
Seperti kita ketahui bersama sejauh ini pemerintah telah mengeluarkan Paket Kebijakan Ekonomi sebanyak 13 buah, dan untuk yang ke-14 pemerintah menyasar sektor e-commerce. Jika dilihat dari apa yang dilakukan pemerintah belakangan ini industri e-commerce dan beberapa bisnis digital di Indonesia mulai dilirik pemerintah untuk diambil pajaknya. Hal ini dalam rangka menaikkan pendapatan negara, seperti kasus pemerintah yang sedang mengejar pajak dari raksasa OTT Google.
Berbeda dengan Google, meski pasar e-commerce memiliki potensi yang tinggi, banyak pemain di dalamnya yang tergolong “hijau”, artinya masih dalam tahapan perkembangan dan kemungkinan akan semakin susah untuk berkembang jika dikenai banyak pajak. Belum lagi risikonya yang tergolong cukup besar. Sadar mengenai hal ini Darmin menjelaskan bahwa untuk sektor e-commerce mungkin pemerintah akan mengenakan pajak secara umum, misalnya pajak final untuk bisnis e-commerce dengan omzet di bawah 4,5 miliar Rupiah.
“Kita tidak meminta kebijakan pajak secara khusus, paling-paling pajak secara umum, misalnya kalau di bawah 4,5 miliar omzet perdagangan, pajaknya final,” ujar Darmin.
Sementara itu, untuk kasus pajak Google yang masih belum terselesaikan, pihaknya masih dalam proses negosiasi dan belum sampai pada sebuah kesepakatan. Kesepakatan mungkin baru bisa terjadi kalau Google memutuskan untuk membuat semacam Bentuk Usaha Tetap atau Badan Hukum di Indonesia.
Menjelang ditetapkan roadmap e-commerce oleh pemerintah, OnlinePajak sudah menyiapkan layanan pengintegrasian sistem pajak e-commerce dengan bisnis e-commerce yang ada di Indonesia. Dengan integrasi ini OnlinePajak akan membantu e-commerce dalam hal penanganan manajemen dan kepatuhan pajak dengan menyeluruh dan otomatis.
Aturan pajak e-commerce sendiri memang termasuk dalam salah satu poin roadmap e-commerce. Dengan akan diterapkannya di roadmap tersebut OnlinePajak berinisiatif untuk memudahkan para pemain e-commerce dengan layanan pajak terintegrasi. OnlinePajak sendiri menurut keterangannya termasuk salah satu pihak yang dilibatkan dalam sumbang saran penerapan roadmap e-commerce oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika.
“Salah satu pilar dari e-commerce roadmap berfokus pada perpajakan. Memajaki e-commerce bukanlah tugas yang mudah, karena ada berbagai jenis e-commerce. e-retail tidak sama dengan onlinemarketplace, dan menemukan sistem yang tepat untuk model yang terus berkembang ini tidak mudah,” ungkap Founder OnlinePajak Charles Guinot.
Dengan sistem integrasi yang ditawarkan OnlinePajak memiliki misi untuk meringankan beban administrasi yang dihadapi Wajib Pajak di Indonesia, dalam hal ini e-commerce. Pihak OnlinePajak lebih jauh menjelaskan bahwa pengintegrasian pajak e-commerce ini bekerja berdasarkan beberapa baris kode javascript yang dapat di pasang langsung di halaman web. Sistem OnlinePajak akan menyesuaikan dengan model bisnis pengguna secara otomatis. Selanjutnya sistem akan menghasilkan e-faktur dan mengirimkannya ke pelanggan jika model bisnisnya adalah B2B.
“Jika model bisnis Anda onlinemarketplace, sistem ini memungkinkan merchants Anda terhubung dengan akun OnlinePajak mereka. Sehingga dengan metode ini, Anda tidak perlu khawatir tentang informasi pajak mereka, seperti NPWP, dll, karena sistem secara otomatis mencatat transaksi yang mereka lakukan pada sistem Anda,” tambah Charles.
Charles lebih jauh menjelaskan dengan sistem integrasi ini pelaku bisnis e-commerce bisa merasakan banyak manfaat dalam hal penanganan manajemen dan kepatuhan pajak yang menyeluruh dan otomatis. Sehingga pemain e-commerce hanya tinggal fokus pada bisnis yang dikelolanya.
OnlinePajak sendiri didirikan pada September 2014 silam di Jakarta. Ketika itu, Charles yang mendirikan perusahaan pertamanya di Indonesia merasakan hambatan dalam menuntaskan administrasi perpajakan secara efisien. Karena itulah, ia mengembangkan aplikasi OnlinePajak.
“Ketika kami membangun aplikasi OnlinePajak, kami tahu kepatuhan pajak merupakan masalah di Indonesia. Misi kami adalah membantu pemerintah dalam meningkatkan penerimaan pajaknya,” imbuh Charles.
Menurut data internal OnlinePajak hingga saat ini pihaknya sudah digunakan oleh 160.000 wajib pajak badan dan pribadi. Di antaranya adalah Tokopedia, Bhinneka.com, Astra Group, Kawan Lama Group, Huawei, Oracle, dan lainnya. Tahun ini Charles menargetkan penerimaan pajak melalui aplikasi OnlinePajak bisa mencapai Rp.700 miliar.
“Kami membangun aplikasi pajak ini secara gratis. Tentu saja kami tetap perusahaan swasta yang membutuhkan pendapatan. Karena itu kami menyediakan fitur premium untuk perusahaan seperti slip gaji elektronik, profil dan katalog komersial online perusahaan, iklan tertarget, dan lain-lain,” tutupnya.