Penerapan smart city di Indonesia saat ini masih sangat beragam. Hal ini lantaran belum ada standar baku dari pemerintah pusat terkait desain dan aturan implementasi secara eksplisit. Salah satu yang kini memulai operasional smart city adalah Pemerintah Kabupaten Soppeng, sebuah kota kecil di provinsi Sulawesi Selatan. Implementasinya mirip dengan yang dilakukan di Jakarta dan Bandung, salah satunya dengan pendirian Soppeng Command Center (SCC).
SCC diklaim menjadi implementasi paling riil smart city di lingkungan kabupaten Indonesia. Fungsionalitasnya untuk memantau kebutuhan masyarakat secara terpusat, sembari untuk efisiensi pelayanan, terutama melalui kanal media sosial yang banyak digunakan masyarakat sekitar. Di Soppeng, SCC dihubungkan melalui jaringan Metro Ethernet, menggunakan jalur fiber optik khusus dan wireless untuk menghubungkan kantor SKPD dengan beberapa ruang publik.
Penggunaan jaringan lokal tersebut didesain untuk mengurangi biaya data dan hambatan konektivitas internet yang sering terjadi. Selain itu dinilai lebih menjamin privasi data yang dihimpun. Beberapa ruang publik yang terhubung mulai dari kantor pelayanan masyarakat seperti dinas kependudukan, rumah sakit, puskesmas, sekolah hingga area publik seperti bundaran kota.
Fungsionalitas yang diterapkan SCC
Teknologi pertama yang diterapkan adalah CCTV, berfungsi melakukan monitoring pelayanan masyarakat sekaligus aktivitas di tempat-tempat umum. Mulai dari kantor pelayanan masyarakat, instansi dan ruang publik dipantau secara real-time melalui sistem terpusat. Tidak hanya itu, untuk memaksimalkan penilaian kinerja, sebuah sistem presensi pegawai pemerintahan terpadu di seluruh kabupaten juga telah diimplementasikan.
Bagi masyarakat Call Center Terintegrasi kini juga sudah dapat dinikmati. Melalui satu jalur, masyarakat dapat mengutarakan kebutuhan yang diinginkan/ Mulai dari layanan pemadam kebakaran, layanan rumah sakit, hingga kepolisian diklaim menjadi lebih mudah diakses. Selain itu masyarakat juga dapat melakukan pengaduan melalui media sosial resmi yang telah dirilis. Terakhir ada Kartu Macca, yakni sebuah layanan berbasis kartu yang terintegrasi. Tujuannya membantu masyarakat dalam akses pendidikan, kesehatan, bantuan hukum, hingga beras sejahtera. Penggunaannya juga dapat diakses secara terbuka melalui website .
Meningkatkan layanan secara konsisten dengan mengajak masyarakat berkarya
Masih banyak mimpi yang ingin ditorehkan Kabupaten Soppeng dalam implementasi teknologi untuk masyarakat. Impiannya untuk membuat Soppeng menjadi kabupaten terbaik dalam implementasi e-government. Untuk itu, pemerintah setempat juga berusaha mengajak berbagai kalangan untuk semangat berinovasi, khususnya kalangan muda.
Hal tersebut diwujudkan dengan pendirian sebuah coworking space untuk melahirkan lingkungan industri kreatif dan startup. Visinya untuk membuat masyarakat setempat bisa berkembang dan membantu pemerintah memberikan solusi bagi masyarakat secara luas. Dengan meningkatkan daya saing UMKM setempat, pemerintah meyakini bahwa tingkat kemiskinan di wilayah Kabupaten Soppeng bisa terus menurun.
Ketika mendengar kata Keraton, apa yang ada di benak Anda? Ya, pada umumnya akan mendefinisikan sebagai unsur budaya yang masih kental mempertahankan nilai-nilai leluhur. Lalu ketika membayangkan, apakah pendekatan digital modern mungkin untuk dielaborasi? Mungkin banyak orang akan berpikiran, baiknya jangan karena akan merusak tatanan budaya atau malah berpikiran keras bahwa pendekatan modern dan budaya harus benar-benar dipisahkan.
Namun dilahirkannya Tepas Tandha Yekti berhasil mengubah perspektif kami tentang akulturasi budaya luhur dan digitalisasi. Informasi ini mungkin akan memberikan insight baru juga untuk Anda yang skeptis tentang percampuran dua dunia ini.
Kami berkesempatan untuk melakukan wawancara eksklusif dengan Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Hayu, putri ke-4 Sri Sultan Hamengku Buwono X dari Keraton Yogyakarta Hadiningrat, sebagai Penghageng (Kepala Divisi) Tepas Tandha Yekti.
Dalam wawancara ini, DailySocial mencoba menggali tentang apa itu Tepas Tandha Yekti dan inovasi digital yang coba digalakkan Keraton Yogyakarta. Berikut hasil wawancara kami dengan GKR Hayu.
Apa itu Tepas Tandha Yekti?
Tepas Tandha Yekti (selanjutnya disebut dengan TTY) merupakan sebuah divisi di dalam struktur organisasi Keraton Yogyakarta yang bertanggung jawab atas IT dan dokumentasi. Dibentuk atas Dawuh Dalem (perintah Sultan) pada akhir tahun 2012, TTY adalah salah satu divisi termuda. Sebelum adanya TTY, tidak ada divisi khusus yang bertanggung jawab atas dokumentasi. Secara struktural, TTY ada di ruang lingkup Keraton, di bawah Kawedanan Hageng Punokawan Panitrapura (bertanggung jawab atas administrasi Keraton).
Menurut GKR Hayu, zaman dulu fotografer istana justru kebanyakan orang asing atau orang Jawa di bawah didikan Belanda seperti Kassian Cephas. Setelah itu, foto-foto Keraton diabadikan oleh para pangeran yang hobi fotografi. Hanya saja semakin ke sini, hasil karya ini tersebar di banyak tempat. Misalnya foto dari seorang Pangeran biasanya disimpan di rumahnya, ketika beliau meninggal, keturunannya sudah tidak tahu lagi di mana dokumentasi tersebut berata.
Bukan hanya foto, tapi begitu pula dengan buku catatan yang tidak termasuk kitab sehingga tidak tersimpan di perpustakaan Keraton, Widya Budaya. Jadi sudah perlu adanya satu divisi khusus yang bertanggung jawab atas dokumentasi.
Sebelum 2012, semua workflow di Keraton masih sangat paper-based. Sehingga informasi antar Kawedanan Hageng atau semacam kementerian sangat terkotak-kotak dan tidak efisien. Atas dasar ini, Sultan merasa perlunya sebuah divisi IT yang bisa membawa Keraton ke proses computer-based sehingga cara kerjanya bisa jauh lebih efisien.
Apakah yang mengerjakan tugas di dalamnya merupakan Abdi Dalem Keraton?
Pada saat dibentuk, TTY hanya memiliki 5 Abdi Dalem, paling kecil di antara yang lain. Terdapat struktur organisasi di dalamnya, mulai dari Penghageng (kepala divisi, dijabat oleh GKR Hayu), Wakil Penghageng, Carik (sekretaris), Hartakan (bendahara) dan Lumaksono (umum). Abdi Dalem ada beberapa jenis, Abdi Dalem Tepas diharuskan sowan (masuk kerja) 4-5 kali dalam seminggu, sementara Abdi Dalem Caos hanya beberapa kali dalam sebulan, atau saat ada acara Hajad Dalem (upacara Keraton). Jadi meski kecil, Abdi Dalem TTY termasuk yang paling dedicated karena selalu ada setiap hari.
Hanya saja, menjadi Abdi Dalem adalah sebuah niatan mengabdi dan meluangkan waktu untuk Keraton. Permasalahan yang sering ditemui, tak jarang GKR Hayu kesulitan mendapatkan Abdi Dalem dengan skills yang dibutuhkan. Ditambah dengan workload TTY yang jauh lebih intensif dibanding Tepas lainnya, akhirnya GKR Hayu memutuskan untuk mengambil beberapa tenaga lepas untuk membantu kerja TTY.
“Kami belum pernah ada open recruitment tapi kami minta rekomendasi dari orang yang sudah bergabung di TTY. Pertimbangan saya, tim TTY tetap harus kecil karena mereka harus keluar-masuk Keraton sementara statusnya bukan Abdi Dalem. Saya harus bisa mempertanggungjawabkan semua yang diperbuat mereka. Jadi tiap anggota tim harus bisa menjalani tata krama yang ada di Keraton, dan punya niatan tulus untuk membantu Keraton. Sekarang ada sekitar 20-an non Abdi Dalem yang membantu TTY,” ujar GKR Hayu.
Sebagai Penghageng, peran GKR Hayu di TTY mulai dari konsep, mencari dana, eksekusi dan monitoring. Karena divisi ini sangat berbeda kerjanya dengan yang lain di Keraton, menurut GKR Hayu tidak banyak yang bisa jadi bahan studi banding.
Apa yang menjadi fokus inovasi di TTY?
Yang menjadi prioritas di TTY adalah mengumpulkan berbagai pengetahuan tentang Keraton yang tersebar dan diarsipkan dengan baik. Karena TTY harus riset untuk memproduksi konten, kolaborasi dengan Tepas dan Kawedanan lain sangat diperlukan untuk melakukan pendataan. Misalnya mendata semua Masjid Kagungan Dalem atau masjid-masjid milik Keraton yang jumlahnya ada 40 lebih.
Dari sisi IT, transformasi dari paper-based ke computer-based juga tengah terus dijalankan. Saat ini tim TTY sedang bekerja sama dengan beberapa Kawedanan lain untuk meneliti existing workflow dan mencari cara untuk memindahkan itu ke sebuah aplikasi.
Pada tahun 2013, TTY mengembangkan talkshow tentang budaya dalam Keraton yang disiarkan di TVRI Yogyakarta. Namun untuk sementara ini program tersebut dihentikan karena TTY akan mengubah formatnya dari talkshow menjadi feature. TTY sedang mengubah proses produksinya secara internal sembari meningkatkan skill masing-masing anggota.
Yang sudah berjalan stabil adalah optimalisasi penggunaan media sosial di Twitter, Facebook dan Instagram. Website kratonjogja.id juga sudah diluncurkan secara resmi oleh Sultan pada tanggal 7 Maret lalu bertepatan dengan 28 tahun Sultan bertahta.
“Saya sedang mengembangkan tim riset di dalam TTY, yang baru berjalan sekarang ini riset tentang pengageman atau busana di dalam Keraton,” ujar GKR Hayu.
Tentang GKR Hayu, kegemarannya di dunia digital
Kegemarannya dengan dunia digital menurutnya sudah diawali sejak kecil. Kegemarannya bermain dengan sesuatu yang berbau problem solving, seperti puzzle, lego hingga model kit. Pada saat SMP sempat beralih ingin menjadi politisi seperti ayah dan ibunya, tapi beralih lagi ketika masuk jenjang SMA.
“Jadi kurang tertarik karena kok rasanya politik hanya antara mbohongin orang atau dibohongin.”
Ketika kuliah S1 di Inggris, jurusan yang diambil adalah Computer Science. Tapi waktu itu GKR Hayu merasa kesulitan untuk mendalami pemrograman. Sempat hampir putus asa, karena pada perjalanan 2 tahun masa kuliah ia mendapatkan tawaran beasiswa jurusan Kimia di Inggris. Namun pada akhirnya ia tetap memutuskan untuk melanjutkan kuliah di jurusan IT, dengan mengambil konsentrasi pada Information System. Spesialisasi yang diambil saat itu Network Design dan Project Management.
Selepas lulus S1, GKR Hayu bekerja sebagai Assistant Project Manager pada sebuah software house di Jakarta untuk mengembangkan internet banking untuk korporasi. Setelah melalui pergelutan dengan pengembangan sistem internet banking di perusahaan BUMN, setahun kemudian ia dipercaya sebagai Project Manager di tempat tersebut.
“Selama 3 tahun saya bekerja di Jakarta, saya bertanggung jawab atas proyek di 8 bank (BUMN maupun bank asing), pengembangan produk internal, dan weekly knowledge sharing untuk sesama Project Managers maupun divisi lain seperti developers, analysts dan QA.”
Tak lama kemudian ia mengudurkan diri dari pekerjaannya di Jakarta, karena sudah mulai disibukkan dengan TTY dan rencana melanjutkan studi S2. Kembali ke Yogyakarta, sembari mengelola TTY, GKR Hayu bekerja di Gameloft sebagai HD Game Producer. Kala itu Windows 8 baru saja dirilis dan ia bertanggung jawab untuk memimpin salah satu tim pengembangan game di platform tersebut.
Bertahan satu tahun, GKR Hayu kemudian mengundurkan diri dari Gameloft karena alasan kesehatan dan dinyatakan lolos seleksi LPDP. Ketika lulus S2, ia full time mendedikasikan waktu untuk Keraton dan TTY.
Saat ini di Yogyakarta GKR Hayu juga menjadi advisor untuk Asosiasi Digital Kreatif (ADITIF) yang fokus pada startup teknologi dan Jogja Creative Association (JCA) yang fokus pada industri kreatif digital, seperti animasi, komik, dan game.
Tanggapan Sultan dengan kegemaran GKR Hayu di bidang digital
Dengan tegas GKR Hayu menjawab, “sangat mendukung”. Tidak pernah sekalipun ayahanda mengatakan “ini bukan kerjaan perempuan” yang justru sering ia dengar dari orang lain. Beliau selalu mengatakan “di masa depan IT akan jadi sangat penting”.
“Waktu saya telepon sambil nangis-nangis karena merasa gagal di jurusan Computer Science, Bapak hanya bilang ‘yang penting kamu sudah berusaha’ dan fokus membantu memikirkan next step-nya apa.”
Setelah semua itu berjalan, setidaknya kini GKR Hayu akan fokus penuh ke Tepas Tandha Yekti membawakan visi:
TTY sebagai divisi IT bisa membantu divisi lain dalam transformasi cara kerja yang lebih efektif dan efisien.
Menghadirkan budaya Jawa yang di Keraton ke publik dengan lebih baik, terutama untuk para diaspora Jawa yang sudah tak pernah kembali tapi masih memegang teguh identitas budayanya melalui internet.
Keraton yang sudah lebih efisien dan efektif cara kerjanya, bisa melayani publik dengan lebih baik lagi.
Semua arsip dan dokumentasi Keraton punya backup digital, dan punya kerja sama dengan institusi luar negeri yang punya arsip dan naskah kuno Keraton seperti di Inggris dan Belanda.
Tanggapan masyarakat Yogyakarta mengenai terobosan Tepas Tandha Yekti
Hadirnya Tepas TandhaYekti di lingkungan Keraton semakin menandaskan posisi Yogyakarta sebagai kota budaya, kreativitas, dan kota yang akrab dengan teknologi. Salah satu penggiat teknologi informasi dan warga Yogyakarta, Rony Agung Rahmanto, atau akrab disapa Rony Lantip, menyatakan bahwa transformasi Keraton Yogyakarta dengan Tepas Tandha Yekti merupakan salah satu harapan warga Yogyakarta yang menginginkan kemudahan akses. Bagi Rony, kemudahan yang diharapkan adalah akses ke naskah-naskah kuno di Keraton sebagai sumber sejarah valid.
Yogyakarta yang memiliki citra sebagai salah satu kota dengan warisan budaya yang kaya di Indonesia. Modernisasi di Yogyakarta melalui TTY juga membuktikan Keraton Yogyakarta tidak menutup diri terhadap inovasi teknologi dan semacamnya.
GKR Hayu, salah satu orang yang memiliki peran di belakang Tepas Tandha Yekti dipandang Rony sebagai salah seorang yang memiliki pandangan yang jauh ke depan. Pengalaman GKR Hayu di dunia teknologi informasi diharapkan bisa memberikan dampak yang signifikan dari adanya sentuhan digital di keraton Yogyakarta ini.
“Mengenai GKR Hayu dan Tepas Tandha Yekti saya mungkin tidak bisa berpendapat banyak. Pengetahuan saya soal Tepas Tandha Yekti amatlah terbatas. Tetapi pandangan-padangan GKR Hayu yang jauh ke depan, ditambah dengan bagaimana representasi Keraton dikemas Tepas Tandha Yekti (terutama di dunia media sosial), menurut saya bagus sekali.”
“Pengalaman GKR Hayu di dunia IT tentu yang memberikan warna itu, dan itu menarik sekali. Tinggal nanti harapannya, sentuhan itu akan meluas sehingga banyak dampaknya bisa dirasakan oleh seluruh warga secara langsung. Banyak komunitas digital di Yogya yang tampaknya akan menghasilkan sesuatu yang keren seandainya mendapatkan askes atau kesempatan berkontribusi dalam proses transformasi digital tadi,” papar Rony.
– Amir Karimuddin dan Pragoyo Ryza berpartisipasi dalam penyusunan dan penulisan artikel ini.
Konsep smart city sudah sangat lekat dengan visi pemerintahan di banyak kota di Indonesia. Transparansi, kemudahan dan kinerja yang lebih gesit diharapkan mampu dihadirkan dari tatanan kota pintar dengan pendekatan digital. Berbicara tentang smart city sejatinya akan mengembalikan pada revolusi e-goverment (e-gov), penerapan pendekatan berbasis komputer untuk penyelesaian berbagai tugas pemerintahan. E-gov merangkum pemanfaatan TIK untuk meningkatkan performa pemerintah dalam bekerja, baik itu memudahkan kinerja internal, antar lembaga, untuk rakyat dan hubungannya dengan proses bisnis.
Smart city adalah sebuah cita-cita besar yang harus diawal dari revolusi internal. Menerapkan e-gov dengan benar salah satu indikasinya. Mengapa hal ini penting dan berkorelasi langsung dengan apa yang dicita-citakan Presiden supaya Indonesia menjadi pemimpin digital di Asia tahun 2020? Penerapan digitalisasi di internal pemerintah akan membuka mindset para pelaku kebijakan, memudahkan mereka berpikir secara konseptual dalam mengatur berbagai regulasi. Kurang pas jika berbicara regulasi tentang pembaruan digital, namun regulator tak pernah menyicipinya.
E-gov menjadi permulaan, apa kabar penerapannya di Indonesia?
Regulasi tentang e-gov di Indonesia sudah diatur dalam Instruksi Presiden No. 3 Tahun 2003 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan E-Government. Namnu faktanya petunjuk legal tersebut masih diinterpretasikan dengan beragam bentuk, pada akhirnya penerapan di tiap daerah menjadi berbeda. Melahirkan banyak SOP dan sistem dalam berjalannya sistem produktif pemerintahan berbasis elektronik. Yang paling fatal adalah akan lebih menantang ketika dibutuhkan integrasi di sistem antar daerah.
Solusinya tak lain diperlukan poin-poin yang lebih jelas untuk menghadirkan standar yang lebih terukur. Termasuk di dalamnya petunjuk teknis secara mendetail. Misalnya menentukan kualifikasi sumber daya manusia, skema manajemen, arsitektur produk dan sebagainya. Umumnya pengembangan sistem di tiap daerah dilakukan pada sebuah arsitektur standalone, dengan keberagaman di dalamnya.
Adapun jenis aplikasi yang menjadi penopang produktivitas meliputi aplikasi internal, aplikasi publik dan aplikasi bisnis. Aplikasi internal dikembangkan dengan tujuan memudahkan beragam kegiatan, seperti manajemen keuangan, manajemen sumber daya, pengarsipan hingga tata kelola informasi. Aplikasi publik adalah aplikasi yang berhubungan dengan pelayanan, dari yang paling simpel dalam bentuk sistem antrian, layanan pengaduan, layanan perpajakan, pembayaran dan sebagainya.
Sedangkan aplikasi bisnis adalah bersifat B2B, berhubungan dengan berbagai kegiatan bisnis, misalnya tender, integrasi dengan perbankan dan sebagainya. Sedangkan jika dikategorikan dari fungsionalitas, setidaknya juga akan ada tiga aplikasi yang dibutuhkan dalam sebuah sistem e-gov, yakni aplikasi umum, aplikasi khusus dan aplikasi pendukung.
Keseriusan dalam pengembangan sistem elektronik mengantarkan pada kepemimpinan digital
Di luar analisis isu teknis di atas, pada dasarnya penerapan e-gov tak lain untuk kenyamanan bersama. Visi ini turut menjadi proses transformasi serius (dalam skala nasional) untuk penerapan teknologi di masyarakat yang lebih luas. Kesiapan Indonesia menghadapi era digital, dalam hal inovasi dan persaingan, sangat bergantung pada kesiapan masyarakat di dalamnya. Terlebih jika menargetkan 3-4 tahun lagi untuk memimpin pangsa pasar digital di Asia Tenggara. Teknologi dapat dimanfaatkan secara konsumtif dan produktif.
Jika dominan ke arah konsumtif, maka Indonesia hanya akan menjadi sasaran pasar, sedangkan kebalikannya bisa mengantarkan pada kreasi dan pemenuhan kebutuhan pasar dalam negeri. Kota pintar dapat dimaknai secara lebih luas. Mulai dari digitalisasi layanan hingga edukasi masyarakat menuju pola pikir yang lebih baik. Di luar itu penerapan di internal regulator tujuannya memberikan insight terciptanya regulasi yang mengarah pada penguatan strategi digital dalam beragam perancangan aturan. Seperti diketahui, saat ini aturan yang mengarah ke sana sudah mulai banyak diperbincangkan.
Tak pernah ada kata terlambat untuk berbenah. Setidaknya kalimat tersebut masih berlaku bagi pemerintah Indonesia yang sedikit demi sedikit mulai mengeluarkan layanan atau aplikasi digital untuk pelayanan masyarakat. Mulai dari situs e-commerce untuk jual beli produk BUMN hingga aplikasi panduan pariwisata mulai bermunculan dari beberapa instansi pemerintahan.
Dua aplikasi atau layanan “berbau” pemerintah yang diluncurkan seminggu terakhir adalah Xplorindonesia dan Indonesia Airports. Layanan pertama berupa portal web yang menampilkan informasi mengenai pariwisata di seantero tanah air dan yang kedua merupakan aplikasi untuk mengetahui informasi mendetail mengenai bandara, mulai dari jadwal penerbangan hingga fasilitas di dalamnya.
Xplorindonesia sendiri merupakan sebuah portal yang digagas bersama oleh beberapa BUMN di sektor pariwisata seperti Indonesia Tourism Development Corporation (ITDC), Patra Jasa da PT Taman Wisata Candi Borobudur (TWC), Prambanan dan Ratu Boko. Disampaikan Menteri BUMN Rini Soemarno inovasi digital yang dilakukan sektor pariwisata ini merupakan bagian dari upaya pemerintah mendorong target wisatawan yang mencapai 20 juta. Termasuk juga target kontribusi pariwisata sebesar 8 persen dari Produk Domestik Bruto nasional dan menyumbang devisa negara sebanyak Rp240 Triliun.
Semetara itu aplikasi Indonesia Airports yang dirilis PT Angkasa Pura II ini merupakan aplikasi Android yang disiapkan sebagai panduan masyarakat untuk mengetahui informasi mengenai bandara secara lengkap. Ada tiga bandara yang disebutkan sudah terdapat pada aplikasi Indoensia Airports ini, yakni bandara Soekarno-Hatta, Kualanamu, dan Halim Perdanakusuma. Informasi yang disediakan pun beragam, mulai dari informasi penerbangan, lokasi toko dan cafe, Airport Care hingga informasi kedatangan bus. Semua diringkas menjadi sebuah aplikasi.
Inovasi yang sedikit terlambat
Riuh rendah aplikasi digital sebenarnya sudah dimulai beberapa tahun ke belakang. Hanya saja penetrasi pengguna dalam hal ini termasuk mereka yang menggunakan smartphone baru melonjak dalam tiga sampai empat tahun terakhir. Apa yang dilakukan pemerintah sebenarnya bagus dari segi inovasi, tetapi masih ada beberapa yang harusnya bisa dioptimalkan. Salah satunya dengan memperdayakan potensi startup-startup yang muncul dari ajang pencarian bakat seperti INAICTA atau pun Bekup.
Terlepas dari berbagai hal yang dipertimbangkan pemerintah berkecenderungan mengembangkan sendiri layanan digital mereka. Hal seperti ini harusnya bisa dioptimalkan dari ajang pencarian bakat startup yang sudah banyak disponsori oleh pemerintah. Sebuah potensi yang mungkin bisa sangat membantu.
Kolaborasi, kerja sama atau apa pun itu bentuk kesepakatan antara startup terpilih dengan pemerintah bukan hanya soal pendanaan, tetapi juga dalam hal mengembangkan produk lokal dan efisiensi kerja. Pemerintah punya data, startup punya ide, harusnya ini bisa jadi kolaborasi yang saling menguntungkan. Alih-alih pemerintah mengerjakan proyek sendiri untuk membangun aplikasi yang sebenarnya idenya sudah banyak dieksekusi.
Untuk hal ini sebenarnya banyak sekali kemungkinan dan pertimbangan yang diambil pemerintah. Tentu kita berharap bahwa pemerintah bersungguh-sungguh dalam mengerjakan inovasi tidak hanya turut meramaikan setelah itu tidak terurus sama sekali. Setidaknya terus memberikan update pada layanan atau aplikasi yang telah dikembangkan. Jangan sampai ajang inovasi digital hanya sekedar euforia belaka.
Pemerintah Indonesia sebenarnya punya potensi cukup besar dalam pemanfaatan layanan digital ini. Selain memudahkan birokrasi dan memperkenalkan produk-produk lokal layanan digital bisa semakin mendekatkan masyarakat dengan pemerintah, termasuk juga dalam hal transparansi. Modal yang baik untuk pemerintah yang bersih.
Qlue kembali menunjukkan diri sebagai salah satu layanan dengan inovasi yang bisa dimanfaatkan oleh pemerintah dalam pengelolaan kota secara digital. Yang terbaru adalah dideklarasikannya Probolinggo Smart City akhir September lalu. Salah satu langkah awal untuk mewujudkannya adalah dengan diresmikannya Probolinggo Command Center.
Command Center milik pemerintah Probolinggo ini nantinya bisa dipergunakan untuk menyajikan informasi mengenai keadaan kota lengkap dengan kemampuan integrasi data dan aplikasi hingga analisis data, sehingga nantinya pengelolaan kota diharapkan bisa lebih efektif dan efisien.
VP of Sales Qlue Indonesia yang turut hadir dalam acara soft launching Probolinggo Command Center mengatakan:
“Qlue mengapresiasi keberanian dan langkah nyata Pemerintah Kota Probolinggo dalam mewujudkan smart city. Karena seperti kita ketahui, mewujudkan sebuah smart city dibutuhkan komitmen kuat dari pemerintah, serta partisipasi yang besar dari warga. Berharap dengan komitmen yang sudah dideklarasikan oleh Pemerintah Kota Probolinggo ini, warga Probolinggo menjadi lebih peduli terhadap keadaan kotanya sehingga tercipta sinergi yang kuat antara Pemerintah dengan Warga yang dilengkapi dan dimudahkan bantuan teknologi.”
Selain Probolinggo Command Center pihak Qlue juga berharap ke depan platform smart city milik pemerintah Probolinggo juga dilengkapi dengan penggunaan aplikasi Qlue oleh warga sebagai salah satu kanal aspirasi sehingga platform dapat dimaksimalkan menjadi pusat data serta analisis berbasis laporan warga. Hal tersebut nantinya diharapkan bisa menjadi dasar yang kuat bagi para pemimpin untuk pengambilan keputusan dalam pemerintahan kota Probolinggo.
Sementara itu di sisi lain Rukmini selaku Walikota Probolinggo memberikan keterangan bahwa penandatanganan MoU Smart City ini menjadi salah satu bukti bahwa Pemerintah Kota Probolinggo sangat peduli untuk memenuhi kebutuhan kota dengan dukungan TIK. Ia berharap ke depannya dengan penerapan konsep Smart City di Probolinggo pihaknya bisa memaksimalkan pelayanan masyarakat untuk menjadi lebih baik lagi.
Untuk informasi selain aplikasi pelaporan warga Qlue juga memiliki Qlue Help Desk, sebuah dashboard untuk memantau pelaporan dan keluhan sehingga bisa ditangani dengan cepat dan juga memiliki inovasi di bidang Internet of Things (IoT) yakni Qlue Smart Trash Bin, sebuah teknologi baru yang nantinya akan terintegrasi dengan dashboard Jakarta Smart City.
Lembaga penelitian nirlaba RTI Internasional baru-baru ini mengumumkan kerja sama pengembangan solusi analisis data di bidang e-government. Bertajuk Penerapan Revolusi Data untuk Pembangunan kerja sama ini diawali bersama pemerintah Kabupaten Sragen (Jawa Tengah) dan Serdang Bedaga (Sumatera Utara). Penggunaan big data di pemerintahan dinilai dapat mampu membuka kesempatan yang lebih besar untuk mewujudkan pengambilan kebijakan berbasis data secara lebih baik. Perkembangan teknologi ini juga dapat melahirkan inovasi-inovasi yang memperkuat kinerja pemerintahan.
Kolaborasi ini merupakan langkah awal dari komitmen kedua pihak dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi, sosial, pendidikan, serta kualitas hidup masyarakat Indonesia. Sebagai perwujudan dari kerja sama tersebut di bidang pendidikan, RTI akan mengembangkan prototipe sistem yang memanfaatkan berbagai bentuk data dari beragam sumber secara terpadu untuk memberikan keluaran berupa analisis strategis yang bermanfaat.
RTI International juga berkomitmen memainkan peranannya sebagai penasihat teknis dalam mengimplementasi konsep DRD ini di bidang pendidikan sebagai bentuk dukungan terhadap pemerataan pendidikan di seluruh wilayah Indonesia yang dimulai dari 2 kabupaten terpilih.
Chief Technical Officer International Development Grou RTI International Luis Crouch dalam sambutannya mengatakan:
“Kami merasa bangga dapat bekerja sama dengan para Bupati serta Pemerintah Kabupaten Sragen dan Serdang Bedagai dalam program ini. Kami percaya dan optimis Bupati Yuni, Bupati Soekirman dan Yanuar Nugroho akan terus melanjutkan komitmen untuk meningkatkan pelayanan publik melalui pengambilan keputusan yang berbasis analisis data terutama saat ini untuk sektor pendidikan.”
Mengapa big data dan e-goverment menjadi salah satu kolaborasi yang harus segera dimatangkan. Ujung-ujungnya adalah terletak pada transparansi dan efisiensi, bagaimana pemerintah mengelola dan memutar sumber daya untuk memajukan daerah masing-masing. Big data memiliki kekuatan analisis andal, sedangkan lembaga pemerintahan harusnya memiliki sumber data yang lengkap dan akurat. Namun kadang tantangannya justru di bentukan data tersebut, yang biasanya masih dalam berbentuk kertas.
Selain itu, sebagai pihak yang harus memutuskan berbagai kebijakan yang terkadang perlu dilakukan secara cepat, PR rekanan penyedia layanan pengolah data ialah menyediakan sistem real-time berupa ulasan dari data tersebut yang mudah dipahami dan diartikan. Keterbatasan sumber daya (dalam hal ini pengoperasi sistem) turut menjadi salah satu hal yang harus disiasati dengan baik untuk optimalnya pemanfaatan big data di sektor e-goverment.
Menjadi salah satu kota penopang ibukota, Depok yang mengusung titel “Cyber City” perlu memperkaya fasilitas layanan publik untuk mengikuti gerak masyarakatnya yang juga semakin melek teknologi. Realisasi rancangan untuk menjadikan Depok sebagai smart city nantinya bertujuan untuk memanfaatkan informasi sumber daya di dalam kota secara efisien dan maksimal secara merata di tahun 2025 nanti.
Dalam rangka mendorong pemerintah Indonesia dalam mengoptimalkan penggunaan sistem e-government, perusahaan “plat merah” yang bergerak di bidang teknologi informasi dan komunikasi, PT Telekomunikasi Indonesia (Telkom), akan fokus untuk memperluas klien di sektor pemerintahan. Continue reading Telkom Incar Klien Di Sektor Pemerintahan→
Menyusul pemberitaan seputar adopsi teknologi dalam melayani masyarakat oleh Pemprov DKI pada akhir tahun lalu, pemerintah kembali melangkah maju untuk merealisasikan konsep Smart City Jakarta dengan situs interaktif yang bisa diakses melalui halaman http://smartcity.jakarta.go.id/. Untuk pengembangan konsep Smart City tahun ini, pemerintah siap gelontorkan dana sebesar Rp 30 Miliar.
Apparently, Indonesia is still steps behind in implementing the e-government technology within its governance system that it’s even unable to keep up with other fellow Southeast Asian countries. According to E-Government Survey 2014 by the UN, Indonesia is ranked 106th out of 193 countries. Given the fact, the establishment of partnership of e-government enhancement between Indonesia and South Korea became the main topic of the E-Government Partnership Forum Workshop which was held by both governments last Thursday.