Co-founder & CEO Fave Joel Neoh mengumumkan akan mengundurkan diri dari perusahaan efektif per 1 Maret 2023 mendatang. Belum disampaikan siapa calon penggantinya.
Bersamaan dengan itu, Co-Founder Fave Yeoh Chen Chow akan melanjutkan bisnis bersama General Manager Fave Singapura Avantika Jain; juga Aik Kuang Heng selaku General Manager Fave Malaysia yang baru diangkat; bersama tim kepemimpinan lokal di Indonesia dan India.
Mengutip dari e27, dalam keterangan resminya Neoh menyampaikan bahwa dirinya memiliki hak istimewa dalam seumur hidupnya untuk bekerja dengan talenta terbaik di Asia Tenggara yang membangun Fave menjadi merek konsumer yang besar.
“Hari ini, satu dari setiap warga Singapura dan jutaan konsumen di Malaysia, Indonesia, dan India menggunakan Fave setiap hari untuk pembayaran dan memperoleh reward. Dengan kepemimpinan dan budaya yang telah kuat dibangun, saya yakin dengan pertumbuhan perusahaan yang berkelanjutan di tahun-tahun mendatang,” kata dia.
Dia melanjutkan, “Ketika saya meninggalkan Fave, saya berharap dapat berkontribusi lebih lanjut ke ekosistem teknologi Asia Tenggara, membantu sesama pengusaha lain tumbuh dalam perjalanan startup mereka.”
Neoh adalah salah satu pendiri awal Groupon di Malaysia pada 2011, saat itu ia mengelola bisnis senilai $2 miliar di Groupon Pacific dengan lebih dari 2.500 karyawan. Sebelumnya pada 2009, ia ikut mendirikan Say.com, sebuah platform media digital yang merger dengan Rev Asia dan diakuisisi oleh perusahaan konglomerasi media Media Prima.
Perjalanan Neoh sebagai investor di Asia Tenggara juga patut disoroti. Disebutkan ia telah mendanai lebih dari 25 startup melalui perannya sebagai mentor dan penasihat di Endeavor Malaysia, XA Network, Sunway University, dan limited partner di 500 Southeast Asia III, Better Bite Ventures, dan lainnya.
Neoh menuturkan dirinya akan terus memberikan kontribusi kepada ekosistem startup digital di Asia Tenggara. Sembari menikmati waktu istirahatnya, ia akan kembali dan mendukung pendiri dan pengusaha lain di Asia Tenggara.
“Selama 10 tahun terakhir sektor teknologi telah menyaksikan lonjakan perusahaan baru, ratusan perusahaan yang didanai VC, dan beberapa unicorn dan perusahaan yang terdaftar publik, yang mengarah ke serangkaian pendiri berkualitas dengan potensi luar biasa. Merupakan suatu kehormatan untuk membantu para pemimpin ini dalam perjalanan mereka dari nol ke satu,” ujarnya.
Perjalanan Fave
Sejak didirikan pada delapan tahun lalu, Fave adalah platform penjualan e-voucher untuk merchant dari berbagai kategori seperti makanan, kecantikan, relaksasi, aktivitas, ritel, dan jasa. Produknya adalah berbagai penawaran (deals), pembayaran QR, cashback, dan rewards. Terdapat pula fitur eCards, kartu digital yang memberikan cashback untuk setiap pembelian di eCards partner.
Perusahaan mengatakan bahwa pada sepanjang 2022, telah mencapai volume transaksi tertinggi sepanjang masa, yang mencerminkan popularitas dan pangsa pasar perusahaan yang semakin meningkat. Data internal menunjukkan pertumbuhan 40% secara quarter-on-quarter (QoQ) dan diprediksikan pencapaian yang baik pada tahun ini.
Ditargetkan perusahaan akan meluncurkan lebih banyak kolaborasi dengan bank-bank utama dan lembaga keuangan di seluruh pasar, menyediakan opsi pembayaran yang lebih fleksibel untuk online merchant di kuartal kedua 2023. Saat ini Fave beroperasi di empat negara dengan kantor pusat di Malaysia. Pasca-akuisisi penuh oleh Pine Labs pada April 2021, Fave ekspansi ke India dan meluncurkan sejumlah fitur di sana.
Di Indonesia, Fave masuk melalui sister company KFit pasca-akuisisi Groupon Indonesia pada 2016. Lalu rebrand menjadi Fave hingga kini beroperasi di lima kota di Indonesia, yakni Jakarta, Bandung, Bali, Surabaya, dan Medan. Meski dari cakupan lokasi tidak ada penambahan dari pemberitaan terakhir, namun dari penelusuran DailySocial.id, merchant yang bergabung kian beragam dari lintas bisnis.
Terlebih itu, kelima kota di atas merupakan kota utama dengan tingkat ekonomi dan populasi yang tinggi di Indonesia. Sehingga bisa jadi sangat sesuai dengan target pengguna Fave yang demografinya sudah familiar dengan produk-produk digital. Pemain sejenis seperti Fave tidak ada yang persis sama, namun ada yang mendekati, di antaranya TADA, Cashbac, Qraved, dan Chope.
Tidak ada konsumen yang tidak suka dapat diskon atau uang kembali (cashback) saat belanja, meski secara konsep keduanya berbeda. Yang pertama, potongan harga sebelum pembelian, yang satunya lagi, mengembalikan uang konsumen setelah pembelian. Tapi keduanya punya ujung yang sama, merebut hati konsumen dengan harga termurah. Apalagi di tengah persaingan yang ketat, brand/perusahaan selalu putar otak bagaimana pabriknya tetap “ngebul”, strategi seperti demikian tetap dibutuhkan.
Kondisi tidak jauh berbeda ketika masuk ke dunia online. Suka atau tidak, dalam benak pelanggan sudah mulai mengharapkan diskon saat mereka berbelanja online. Diskon sepanjang tahun, diskon berbasis keanggotaan dan berbasis pendaftaran, kode diskon, dan kode kupon adalah mekanisme yang menonjol untuk memberikan diskon kepada pelanggan. Jadi, pada prinsipnya, pemain e-voucher sangat selaras dengan paradigma di mana e-commerce beroperasi.
Konsumen biasanya tertarik untuk belanja karena pemberian voucer (bentuk baku versi KBBI dari istilah voucher). Hampir di tiap situs belanja online terdapat opsi untuk memasukkan kode voucer saat checkout. Bila, UI/UX dari situs belanja ramah terhadap konsumen, akan tersedia mana voucher yang valid mana yang tidak sesuai dengan nominal belanjaan. Tidak perlu manual harus menulis kode voucernya. Belanja impulsif semakin terasa dimudahkan.
Di Indonesia sendiri, pemain e-voucher —cashback, reward, dan bentuk sejenis lainnya— sangat beragam. ShopBack dan Fave adalah nama terbesar dari non-Indonesia yang punya massa di sini. Di luar itu, terdapat Ultra Voucher sebagai perusahaan lokal yang sudah melantai di Bursa Efek Indonesia. Meski begitu, hingga saat ini di sini belum ada yang menjadi pemain dominan seperti Groupon saat masa kejayaannya.
Kemudian, timbul pertanyaan baru, memangnya seperti apa model bisnis voucer ini? Apakah prospeknya meragukan sehingga belum ada yang jadi dominan?
Menurut hipotesis yang diunggah Small Business, alasan pertama adalah beberapa pihak menduga bahwa seiring matangnya dunia e-commerce —dalam artian mulai berfokus pada laba alih-alih berfokus secara gila-gilaan pada bottom line—akan ada tekanan untuk menyingkirkan diskon. Jika hal ini terjadi, voucer bisa menjadi korban pertama.
Alasan kedua, untuk memberdayakan keuntungan yang diberikan pemain voucer, bisnis e-commerce harus menyerahkan dua kantong duit, untuk pelanggan dan untuk pemain voucer. Hal ini mungkin akan dianggap tidak menarik dan situs voucer dapat dihilangkan. Terakhir, social marketing, content marketing, affiliate marketing, dan sejenisnya tampak jauh lebih menarik bagi pemain e-commerce daripada kupon. Ini mungkin segera menghilangkan voucer sebagai senjata pemasaran di mata e-commerce.
“Tapi kami cenderung percaya bahwa voucer adalah alat yang terlalu kuat untuk menghilang dari muka e-commerce. Terutama ketika bisnis voucer cukup masuk akal untuk diintegrasikan secara mendalam ke dalam jejaring sosial penggunanya dan menawarkan penawaran yang benar-benar berfungsi, kami pikir pelanggan akan lebih memilih untuk membeli dari situs tempat mereka dapat menerapkan kode kupon. Dan itu akan mendorong bisnis e-commerce untuk terus menawarkan kode kupon agar tetap menjadi tujuan yang menarik,” tulis laporan tersebut.
Model bisnis Groupon
Sebelum masuk ke perkembangan bisnis voucer di Indonesia, kiprah Groupon perlu ditengok terlebih dahulu karena pemain global dan mengubahnya menjadi sesuatu yang paling diburu oleh discount hunter. Perusahaan menghubungkan pelanggan dengan bisnis lokal, terutama dengan menjual voucer dan kupon diskon untuk bisnis fisik.
Dalam hal ini, Groupon menghasilkan pendapatan dengan menggunakan salah satu model bisnis tertua: menjadi perantara. Perusahaan menghasilkan pendapatan produk dan layanan dalam tiga kategori: Lokal, Barang, dan Perjalanan. Dalam beberapa kasus, konsumen dapat membeli barang dan jasa dengan diskon lebih dari 50% dengan menggunakan voucer Groupon.
Perusahaan melakukan IPO pada 2011, tetapi sejak saat itu pendapatan terus loyo sebagai akibat dari meningkatnya persaingan dan perjuangan untuk mempertahankan popularitas. Akhirnya, Groupon mengubah model bisnisnya dari pendekatan berbasis voucer ke kartu, di mana pelanggan menerima cashback setelah menggunakan kartu kredit tertaut tertentu untuk menyelesaikan pembelian produk yang diiklankan di platform Groupon.
Groupon menjual berbagai produk dengan diskon besar, termasuk barang fashion dan kecantikan, paket liburan, layanan spa, dan sertifikat hadiah ke bar dan restoran. Meskipun konsumen dapat dengan mudah membeli produk yang sama langsung dari bisnis yang menawarkannya, Groupon sering kali menawarkan harga jauh di bawah harga eceran.
Pada dasarnya, Groupon berfungsi sebagai mesin periklanan yang kuat, menghasilkan penjualan dan pengenalan merek yang lebih kuat untuk bisnis dengan imbalan biaya. Meskipun bisnis menerima barang dan jasa lebih sedikit daripada yang biasanya mereka kenakan, Groupon berfungsi sebagai pengiklan dengan jangkauan yang sangat luas, dan pebisnis juga diuntungkan dengan tidak harus membayar iklan di muka. Sebaliknya, mereka membayar sebagian pendapatan yang diperoleh berdasarkan kesepakatan dengan Groupon sesudahnya.
Groupon menarik bagi pemilik bisnis karena dijanjikan akan dikunjungi banyak pembeli yang melintas dan menjamin sejumlah peningkatan pendapatan. Akan tetapi dengan catatan, penawaran Groupon ini belum berlaku sampai sejumlah orang tertentu mendaftar, sehingga bisnis yang berpartisipasi tahu bahwa seberapa banyak pelanggan yang masuk.
Dengan munculnya kartu kredit yang tertaut diskon pada 2018, Groupon telah mendaftarkan hampir tujuh juta kartu kredit pada laporan tahunan terakhirnya. Sistem baru ini bertujuan untuk membuat proses lebih lancar bagi pelanggan; konsumen mungkin lebih mungkin untuk mengambil keuntungan dari beberapa penawaran terkait kartu daripada serangkaian voucher kupon individu.
Lebih lanjut, penawaran tertaut kartu memungkinkan pelanggan untuk tidak membayar sampai titik layanan dan menggunakan penawaran yang sama beberapa kali, fitur yang tidak tersedia dengan model voucer lama.
Melalui segmen Barang, Groupon juga menjual barang dagangan langsung ke pelanggan, melewati proses voucer sama sekali. Adapun untuk segmen Perjalanan, Groupon menjual penawaran perjalanan, termasuk penerbangan dan menginap di hotel, kepada pelanggan; beberapa di antaranya dilakukan melalui voucer, yang harus ditukarkan pelanggan nanti, dan dipesan langsung melalui Groupon.
Dengan model bisnis seperti ini, banyak pelanggan yang akhirnya menghabiskan uangnya lebih dari nilai Groupon yang mereka beli. Misalnya, seorang pelanggan yang membeli voucer salon mungkin juga memanjakan dirinya dengan pedikur, karena dia menghemat banyak untuk layanan awal. Jika bisnis menyediakan produk atau layanan berkualitas tinggi, pelanggan yang awalnya datang karena kesepakatan Groupon dapat menjadi pelanggan tetap.
Groupon sempat hadir di Indonesia. Pada masa jayanya sekitar 2011-2012, Groupon Indonesia merupakan pemain terbesar di segmen daily deals. Mereka hadir di sini berkat aksi akuisisinya terhadap Disdus. Mereka hengkang dari kawasan regional Asia Tenggara karena diakuisisi kompetitornya Fave pada Juni 2016.
Kinerja Groupon
Dalam laporan keuangannya, Groupon mengidentifikasi dua jenis pendapatan: tagihan kotor dan pendapatan. Jumlah tagihan bruto adalah total pendapatan dari penjualan barang dan jasa, tidak termasuk pajak dan pengembalian uang. Pendapatan mewakili jumlah transaksi di mana Groupon bertindak sebagai pasar dikurangi porsi layanan atau penyedia produk. Perusahaan juga menerima pendapatan langsung dari penjualan persediaan barang dagangan melalui situs marketplace.
Pada 2018, Groupon melaporkan tagihan kotor sebesar $5,2 miliar dan pendapatan $2,6 miliar. Pendapatan ini turun dari $2,8 miliar pada tahun sebelumnya. Adapun, basis pelanggan aktif mencapai 48,2 juta, turun dari 49,5 juta pada tahun sebelumnya. Sementara, laba bersih untuk 2018 adalah $2 juta dan arus kas operasi adalah $191 juta.
Bisnis Groupon terus merosot pada puncaknya hingga 2021. Mengutip dari Statista, selama beberapa tahun terakhir jumlah pembeli Groupon menurun tajam. Dari hampir 54 juta pelanggan unik yang membeli setidaknya satu penawaran di situs pada kuartal IV 2014, angka ini menyusut menjadi 22,2 juta pembeli pada kuartal I 2022.
Penurunan jumlah pelanggan telah berdampak signifikan pada pendapatan Groupon. Pada 2021, pendapatan global Groupon sekitar $967 juta, jauh lebih sedikit dari setengah dari apa yang tercatat pada puncaknya di 2016. Sebagian besar karena pandemi Covid-19 pada 2020, membukukan kerugian bersih sekitar $286 juta. Namun pada satu tahun berikutnya, perusahaan mengumpulkan lebih dari $120 juta dari laba bersih, peningkatan besar setelah kerugian pada tahun sebelumnya.
Sementara itu, aplikasi Groupon diunduh 5,8 juta kali di seluruh dunia. Sementara Amerika Serikat, tempat kelahirannya, menempati peringkat teratas untuk unduhan aplikasi – dengan lebih dari 4,3 juta unduhan tercatat tahun itu. Uni Emirat Arab menyajikan pertumbuhan tertinggi dalam unduhan aplikasi Groupon di App Store dan Google Play.
Investopedia menyebut, kelangsungan model bisnis Groupon dalam jangka panjang adalah topik yang banyak diperdebatkan. Untuk beberapa bisnis, pelanggan yang besar ini hanya membayar sebagian kecil dari harga eceran sebenarnya bisa dimaksimalkan nominalnya. Selain itu, beberapa kritikus turut menyoroti penurunan kualitas penawaran Groupon dalam beberapa tahun terakhir sebagai indikasi kehancuran yang akan datang.
Bisnis UVCR
Corporate Secretary Ultra Voucher (UVCR) Ayu Kusuma Trisyani masih meyakini prospek bisnis voucer di Indonesia masih cerah dan dapat tumbuh secara berkelanjutan. Kepada DailySocial.id, dia menyampaikan bahwa apa yang terjadi di Groupon Indonesia tidak bisa mewakili dari kondisi bisnis voucer di Indonesia.
“Profitability dan liquidity harus tetap menjadi goals utama bagi sebuah perusahaan. Bukan tentang seberapa besar market size-nya, tapi tentang menghadirkan revenue generator baru dengan menyelesaikan problem yang ada di market,” kata Ayu.
Dia melanjutkan, program marketing yang bertujuan untuk konversi —penjualan maupun akuisisi pelanggan— masih akan terus dilakukan oleh banyak perusahaan. Artinya, ruang untuk platform rewards akan selalu ada dan berkelanjutan. Alasan ini yang mendorong UVCR pada 2016 menginisiasi bisnis utama di bidang voucer.
“Ke depannya, rewards model mungkin akan menggunakan tools yang berbeda, namun masih dengan core model yang sama. Untuk tetap sustain tentu saja UVCR melakukan adaptasi terhadap interest & demand di market, baik B2B dan B2C,” kata dia.
Berdasarkan laporan keuangan sepanjang 2021, UVCR mencatatkan pertumbuhan laba bersih hingga 253% atau senilai Rp5,57 miliar dari sebelumnya Rp1,57 miliar, menunjukkan tren tumbuh positif dari 2019 sebesar Rp291 juta. Kinerja dari bottom line UVCR ini melesat karena ditopang oleh kenaikan penjualan bersih sebesar Rp939,20 miliar. Perolehan itu meningkat 177,26% dari 2020 yang tercatat sebesar Rp338,74 miliar.
“Untuk kuartal I 2022, kami telah mencapai hampir 50% goal kami di tahun 2022. Target kuantitatif kami adalah revenue Rp1,3 triliun dengan beberapa inisiasi yang siap kami luncurkan di kuartal III.”
Distribusi produk di channel e-commerce dianggap menjadi salah satu penyumbang pendapatan terbesar UVCR di tahun lalu, sekaligus berperan dalam meningkatkan laba kotor UVCR sebesar 127% secara yoy. Meski tidak dirinci oleh Ayu, mayoritas kontribusi datang dari penjualan di channel B2C.
UVCR merupakan perusahaan yang menjual berbagai macam voucer fisik dan digital dari merchant yang telah bekerja sama dengan perusahaan, sesuai dengan ketentuan regulasi di Indonesia. Voucer yang diproduksi kemudian didistribusikan ke seluruh channel milik UVCR, baik B2C dan B2B. Hingga saat ini, perseroan telah menjalin kerja sama dengan lebih dari 400 brand yang tersebar sebanyak 40.000 outlet di seluruh Indonesia.
“Voucer menjadi core business model kami, tapi generating revenue dari teknologi merupakan bisnis model terbaru kami untuk meningkatkan net profit margin kami.”
Dimaksudkan lebih jauh, UVCR memiliki aplikasi yang dapat membeli, menyimpan, dan membagikan voucer untuk kerabat dari raturan merchant yang telah hadir di aplikasi. Mulai dari F&B, lifestyle, hiburan, investasi, kesehatan, dan kecantikan. Disamping itu, terdapat fitur biller untuk membayar tagihan rutin dan berulang, seperti bayar BPJS, listrik, paket data, item game, dan sebagainya.
Inisiasi tersebut akan terus dilanjutkan dengan memosisikan UVCR sebagai CATS (Catalogue-Service-as-SAAS). Ayu bilang, solusi ini hadir untuk platform yang ingin memiliki ekosistem voucher sekarang cukup dengan menjadi partner UVCR. Perseroan sudah melakukan pilot project bersama BCA dan Bank Sinarmas. Kedua bank ini punya basis nasabah yang besar, jadi momok empuk bagi UVCR akusisi pengguna baru.
Di luar itu, perusahaan juga melayani konsumen korporat untuk pembelian gift card dalam jumlah banyak. Voucer tersebut dapat diintegrasikan lewat aplikasi UVCR dalam bentuk penambahan saldo yang dapat digunakan sebagai alat pembayaran untuk beli voucer apa pun yang tersedia di aplikasi.
“UV Gift Card edisi terbaru kami juga sudah dapat digunakan di seluruh Alfamart seluruh indonesia, dan kami continue untuk dapat meng-enable UV Gift Card ini agar bisa digunakan di merchant-merchant kami secara direct redemption tanpa aplikasi.”
Dalam laporan keuangan di tahun lalu, dijelaskan skema kerja sama antara perusahaan dengan mitra. Salah satunya, Boga Group untuk penyediaan dan/atau penerbitan voucer digital di dalam aplikasi Ultra Voucher, yang dapat digunakan sebagai alat pembayaran oleh konsumen dalam melakukan transaksi di outlet milik Boga Group.
Berdasarkan perjanjian yang dibuat pada Mei 2018, pembelian voucer seluruhnya bernilai Rp1 miliar dalam waktu satu tahun. Boga Group akan memberikan cashback berupa voucer sebesar 12,5% kepada UVCR berlaku apabila pembelian voucer mencapai nilai sekurang-kurangnya Rp500 juta atau kelipatannya dalam satu tahun. Perjanjian ini sudah beberapa kali diperpanjang sampai terakhir Maret 2021.
Dijelaskan lebih jauh, Boga Group akan memberikan diskon jika akumulasi pembelian dalam kurun waktu periode kerja sama, i) Tiering 1: Rp1 miliar – Rp2,99 miliar mendapatkan diskon 10%; ii) Tiering 2: di atas Rp3 miliar mendapatkan diskon 12,5%. Masa berlaku voucer satu tahun efektif sejak tanggal penerbitan voucer.
Tokopedia, Shopee, JD.id, Bhinneka, adalah platform online lainnya yang turut memanfaatkan solusi e-voucher yang turut disediakan oleh UVCR. Masing-masing skema kerja sama tergantung kesepakatan masing-masing perusahaan.
Head of External Communications Tokopedia Ekhel Chandra Wijaya menuturkan, perusahaan berkolaborasi dengan banyak pihak stratagis untuk menghadirkan pengalaman belanja online yang lebih menyenangkan dan efisien. Salah satunya melalui voucer, bisa berupa voucer cashback, voucer diskon, voucer toko, bebas ongkos kirim, dan lainnya.
“Praktiknya misal, kami memberikan voucer belanja Rp0 khusus unutk pengguna baru lewat program Traktiran Pengguna Baru. Untuk masyarakat di berbagai kota di Indonesia, kami juga menyediakan voucer bebas ongkir instan di kampanye Kumpulan Toko Pilihan (KTP) yang dipersonalisasi untuk setiap daerah dan menerapkan teknologi geo-tagging sebagai turunan inisiatif hyperlocal,” kata Ekhel.
Kehadiran voucer, sambung dia, memberikan dampak positif terhadap tren belanja di Tokopedia selama kuartal I 2022 hingga Ramadan 2022. Tanpa didetailkan dengan angka, diklaim dari data internal, voucer potongan harga belanja, voucer tiket acara, serta voucer potongan harga restoran menjadi kategori e-voucher yang paling laris selama kurun waktu tersebut.
“Manfaat dari hadirnya voucer juga dirasakan langsung oleh para pegiat usaha. [..] Melihat antusiasme masyarakat terhadap promo, termasuk voucer belanja sangat tinggi, ke depannya kami akan terus berinvasi agar kehadiran voucer dapat terus sesuai dengan kebutuhan pembeli.”
Prospek UVCR
Bila target bisnis pendapatan UVCR tercapai Rp1,3 triliun tahun ini, tentu saja prospek bisnisnya akan cerah. Setidaknya, perseroan sudah berhasil cetak laba dan tidak terjerat dalam strategi bakar duit yang berkepanjangan. Akan tetapi, bila mengacu pada laporan keuangannya, kemampuan UVCR dalam menghasilkan laba relatif tidak besar.
Mengutip dari data RTI, pada tahun lalu margin laba bersih atau net profit margin (NPM) UVCR hanya 0,60%. Angka ini jauh lebih baik dari kuartal I 2021 sebesar 0,28%. Namun ini masih sangat jauh bila melihat rata-rata industri sebesar 65,08%. Dengan kata lain, UVCR membutuhkan runway yang lebih panjang untuk terus meningkatkan kinerjanya. Masuk ke produk baru CATS dan melebarkan sayap bisnis ke ASEAN dapat menjadi penolong.
Pasalnya, bisnis seperti UVCR ini bukan tanpa risiko. Sebagai pemain digital, perseroan juga senantiasa dihadang oleh isu keamanan data, penipuan, dan peretasan.
Selain itu, model bisnisnya juga relatif mudah ditiru, sehingga tidak menutup kemungkinan bakal ada pesaing baru yang siap merebut kue di vertikal tersebut.
ShopBack, yang satu vertikal dengan UVCR, patut disoroti. Terlebih pasca mengumumkan perolehan dana segar Seri F sebesar Rp1,18 triliun yang dipimpin Asia Partners. Perusahaan yang didirikan Henry Chan dan Joel Leong ini, telah memiliki 35 juta pengguna dan beroperasi di 10 negara. Tahun lalu, perusahaan perluas solusi dengan mengakuisisi startup paylater asal Singapura, Hoolah.
Dengan amunisi yang besar, bukan jadi isu bagi ShopBack untuk lebih agresif mengembangkan kemitraannya dengan merchant offline, sesuatu yang belum hadir di Indonesia atau solusi lainnya di vertikal yang bersinggungan.
Di Indonesia sendiri, menurut data SimilarWeb, situs ShopBack menempati peringkat ke-6 di antara platform e-commerce lainnya. Adapun untuk kunjungan bulanannya hampir 600 ribu kali kunjungan, tertinggi untuk kategori layanan cashback. Adapun aplikasinya di Google Play masuk dalam urutan ke-19 untuk kategori Shopping, berjajaran dengan aplikasi e-commerce.
Dalam memperoleh pendapatan, ShopBack beroperasi di bawah model bisnis marketplace, menghubungkan merchant dengan pembeli yang ingin menerima cashback untuk pembelian. Perusahaan menghasilkan uang melalui dua strategi. Pertama, komisi afiliasi. Jadi, merchant membayar ShopBack komisi dengan imbalan mengirimi mereka pelanggan yang termotivasi untuk belanja. Perusahaan kemudian membagikan sebagian dari komisi ini kepada pelanggan dalam bentuk hadiah cashback.
Kedua, periklanan. ShopBack juga menghasilkan uang dengan menjual tempat iklan di situs web atau aplikasi selulernya. Di beranda situs web, misalnya, ada dua iklan spanduk menonjol di paruh atas yang mengiklankan berbagai merek dan acara promosi. Perusahaan dikompensasi oleh pengiklan dalam bentuk biaya tetap selama durasi iklan.
Kabar akuisisi penuh Fave oleh Pine Labs, startup unicorn POS dari India, senilai $45 juta (lebih dari 650 juta Rupiah) membuat kami tertarik untuk menelusuri lebih dalam perkembangan Fave sejauh ini di Indonesia dan apakah ada potensi ke depannya setelah kehadiran induk usaha.
Seperti diketahui, Fave adalah platform penjualan e-voucher diskon untuk merchant offline. Proses pembayaran e-voucher sepenuhnya dengan digital, saat ini untuk di Indonesia saja telah terhubung dengan OVO, CIMB Clicks, Indomaret, KlikBCA, BCA Klikpay, dan ATM/Bank Transfer. Ketika transaksi berhasil, secara otomatis konsumen akan menerima cashback atau poin loyalitas dari Fave yang dapat ditukar untuk transaksi berikutnya. Dari model bisnis seperti ini, Fave mampu menarik konsumen untuk berbelanja di merchant rekanan.
Diklaim, di tiga negara Fave beroperasi (Singapura, Malaysia, dan Indonesia), telah menggaet lebih dari 6 juta konsumen terhubung dengan 40 ribu merchant mencatatkan volume pembayaran kotor $400 juta.
Di Indonesia, Fave masuk melalui sister company KFit pasca akuisisi Groupon Indonesia pada 2016. Lalu rebrand menjadi Fave hingga kini beroperasi di lima kota di Indonesia, yakni Jakarta, Bandung, Bali, Surabaya, dan Medan. Dibandingkan dua negara lainnya, titik kehadiran Fave terbesar datang dari Malaysia yang hadir di 26 kota.
Berdasarkan keterangan resmi, dampak dari akuisisi tersebut adalah Fave akan ekspansi ke India dengan brand yang sama melayani merchant yang telah bekerja sama dengan Pine Labs. Totalnya ada lebih dari 500 ribu merchant di 3700 kota di seantero India.
Selanjutnya, seluruh investor Fave exit dan menerima pembayaran tunai, sementara founder dan karyawan Fave akan menerima sejumlah uang tunai dan saham di Pine Labs. Jajaran investor Fave ada Sequioa Capital India, SIG Asia Investments, dan VC lokal Venturra Capital.
Pine Labs sendiri adalah pemain POS yang memiliki layanan yang luas untuk UKM seperti manajemen inventaris dan CRM. Agar menjadi super app di segmennya, Pine Labs menyediakan tambahan layanan gift card yang disediakan Qwikcilver, yang turut diakuisisi oleh perusahaan karena punya jaringan luas dengan 250 brand dan peritel, dan 1500 konsumen korporasi.
Kerja sama Pine Labs dan Fave dimulai saat Pine Labs berinvestasi strategis pada Juli 2020, untuk perluasan solusi pembayaran non-tunai ke UKM dengan mengintegrasikan kode QR dari Fave dengan mesin POS Pine Labs.
Akan operasikan UPI
Di India, akan ada banyak rencana Fave. Salah satu yang menarik adalah menjadi operator untuk UPI (Unified Payments Interface). Sistem Fave yang bisa menarik transaksi dari berbagai metode pembayaran, bisa menjadi pertimbangan utama Pine Labs untuk mengakuisisi Fave.
UPI termasuk inovasi fintech yang revolusioner di India. Bank sentral setempat ingin permudah proses pembayaran di berbagai aplikasi dan terhubung dengan rekening bank dengan mudah, tanpa mengorbankan sistem keamanan. UPI menghilangkan kebutuhan untuk memasukkan detail bank atau informasi sensitif lainnya setiap kali pelanggan memulai transaksi.
UPI memungkinkan pemegang rekening di seluruh bank untuk mengirim dan menerima uang dari smartphone mereka hanya dengan menggunakan nomor identitas unik Aadhaar (sebutan E-KTP di India), nomor ponsel, atau alamat pembayaran virtual tanpa memasukkan detail rekening bank.
Oleh karenanya, kini konsumen tidak perlu lagi menggunakan aplikasi tertentu untuk mengirim dan menerima uang. Misalnya, saat menggunakan layanan taksi, di akhir perjalanan konsumen hanya perlu memberikan alamat virtual dan sopir akan meminta uang darinya. Konsumen akan mendapatkan pesan di ponsel Anda yang meminta autentikasi.
Setelah konsumen mengautentikasi transaksi dengan memasukkan kata sandi, transaksi akan selesai. Proses ini tidak mengharuskan pengemudi atau konsumen untuk membagikan detail bank. Karena UPI berjalan pada IMPS (Immediate Payments Service), layanan akan tersedia secara real time dan 24×7 jam.
Sejak UPI dirintis pada 2016, transaksi yang dikontribusikan terus melonjak. Pada Maret 2021, UPI telah memproses 2,7 miliar transaksi pada Maret 2021. Pine Labs juga mencatat pertumbuhan signifikan sebesar 171% dalam transaksi UPI selama dua kuartal terakhir.
Dampak buat Indonesia
Masuknya Pine Labs tentunya membuat langkah Fave ke depannya semakin meyakinkan untuk lebih ekspansif. Diharapkan produk-produk inovatif dari Pine Labs dapat diboyong Fave untuk menawarkan sesuatu yang baru di industri. Dari pantauan DailySocial, Fave lebih fokus pada pengembangan di Malaysia sebagai pasar utamanya lewat berbagai pengembangan fitur dan kerja sama.
Di bisnis penjualan e-voucher dan loyalitas yang beroperasi di Indonesia, belum ada pemain di segmen ini yang dominan alias kesempatannya masih sangat luas. Sejumlah pemain lainnya ada Traveloka Eats, TADA, Cashbac, Qraved, dan Chope. Di luar itu, kebanyakan program loyalitas hadir untuk pembelanjaan online yang disediakan oleh masing-masing platform e-commerce atau aplikasi untuk menarik kesetiaan para pengguna.
Tanpa dimungkiri, segmen ini ikut sempat “batuk-batuk” akibat pandemi sejak tahun lalu. Masa pemulihan untuk kembali ke kondisi normal butuh waktu, namun masih menyimpan optimisme yang tinggi berkat berbagai inisiasi positif dari pemerintah. Kesempatan tersebut dapat diambil oleh Fave untuk memimpin pasar.
Fave, e-voucher sales platform, introduces e-wallet service called FavePay to be used for transaction on Fave with QR code scannig technology
The e-wallet is an attempt for Fave to value the loyal customer, as every transaction will gain points and cashback to be used in Fave’s merchant.
FavePay is already existed in Malaysia and Singapore. Indonesia follows as it is launched in Bali on November 15, 2017.
“By using FavePay, customers can enjoy cashback from merchants go use in the same merchant. We will continue to innovate in providing satisfaction by giving best offers,” said Yew Wai Kong, Fave Indonesia’s General Manager on Wednesday (12/13).
Fave performance and business plans
Besides announcing e-wallet service, Fave also announces the achievements they get in a year. In the last four months, monthly active user (MAU) increases 50% with 3 times higher in download rate. Fave also strengthen its position by expanding to other big cities such as Bandung, Surabaya and Bali.
Fave merchants in Bandung and Surabaya shows a rapid growth within 3 times increasing sales. Merchants involve in Bali are claimed to grow rapidly. Currently, there are more than 400 F&B merchants joining Fave.
Fave is already provides more than 5,500 offers from 1,700 merchants throughout Indonesia.
Next year, Kong is committed to strengthen its position as the number one consumer app in F&B category. It is to be partnered with well-known brand and local industry, such as Time Zone, Krispy Kreme, Pizza Marzano and others.
“Lots of great and interesting things we achieved this year. Next year, we aim for better offers, products and services for our customers.”
– Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian
Fave, platform penjualan e-voucher diskon, mengumumkan kehadiran layanan dompet elektronik bernama FavePay yang dapat dimanfaatkan pengguna untuk membayar transaksi di platform Fave dengan teknologi pemindaian kode QR.
Dompet elektronik ini juga jadi upaya Fave untuk memberi nilai tambah bagi pelanggan loyal, karena setiap transaksi menghasilkan poin dan chasback yang dapat dimanfaatkan pada merchant Fave. Untuk sementara, FavePay baru bisa menerima pembayaran dengan sumber dana berasal dari kartu kredit.
FavePay ini sebenarnya sudah dihadirkan terlebih dahulu untuk pengguna yang ada di Malaysia dan Singapura. Indonesia menyusul dengan peluncuran perdana di Bali pada 15 November 2017.
“Dengan FavePay, pelanggan dapat menikmati cashback dari merchant untuk digunakan di merchant yang sama. Kami juga akan terus berinovasi untuk memberikan kenyamanan bagi pelanggan kami dengan memberikan pilihan penawaran terbaik,” ujar General Manager Fave Indonesia Yew Wai Kong, Rabu (13/12).
Kinerja dan rencana bisnis Fave
Selain mengumumkan layanan dompet elektronik, pihaknya juga mengumumkan kinerja yang berhasil dicapai Fave selama satu tahun ini. Dalam kurun waktu empat bulan terakhir, monthly active user (MAU) naik 50% dengan jumlah unduhan meningkat hingga tiga kali lipat. Fave juga memperkuat posisinya dengan ekspansi ke kota besar lainnya, yaitu Bandung, Surabaya, dan Bali.
Merchant Fave yang ada di Bandung dan Surabaya menunjukkan pertumbuhan pendapatan yang luar biasa dengan meningkatnya hasil penjualan sebesar 3 kali lipat. Merchant yang tergabung di Bali juga diklaim berkembang pesat. Saat ini terdapat lebih dari 400 merchant F&B bergabung dengan Fave.
Sepanjang tahun ini, Fave telah menyediakan lebih dari 5.500 penawaran dari 1.700 merchant seluruh Indonesia.
Untuk rencana tahun depan, Yew berkomitmen untuk terus memperkuat posisinya sebagai aplikasi konsumen nomor satu dalam kategori F&B. Caranya bermitra dengan brand besar dan industri lokal, seperti Time Zone, Krispy Kreme, Pizza Marzano, dan lainnya.
“Banyak hal hebat dan menarik yang berhasil kami raih di tahun ini. Tahun depan kami menargetkan untuk memberikan penawaran, produk, dan layanan yang lebih baik untuk pelanggan,” pungkas Yew.
Hari ini elevenia meresmikan fitur terbaru yang bisa di akses di desktop, mobile site dan aplikasi mobile MOKADO, yang merupakan singkatan dari Mobile Kado. Layanan yang telah ditawarkan sejak bulan Desember 2015 ini menghadirkan kemudahan kepada pengguna yang ingin mengirimkan hadiah, bonus atau kejutan kepada teman, orang terdekat, keluarga hingga rekan bisnis melalui SMS di semua perangkat telepon seluler hingga smartphone.
Saat ini elevenia telah mengumpulkan sekitar 100 brand dan 500 produk yang telah terdaftar dan suah bisa dipilih oleh pengguna. Mobile Kado ini diperuntukkan untuk memberikan pengalaman menyeluruh yang menyenangkan kepada konsumen dalam membeli produk yang akan diubah dalam bentuk mobile voucher.
“Selama ini Elevenia senantiasa berkomitmen untuk menghadirkan inovasi yang pertama dan terdepan sebagai marketplace di Indonesia. Kehadiran MOKADO merupakan salah satu inovasi terbaru yang dicoba ditawarkan oleh elevenia dengan segala kemudahan dan pilihan yang ditawarkan,” kata Vice President Marketing elevenia Madeleine Ong de Guzman kepada media hari ini (08/04).
Cara mudah memanfaatkan layanan SMS
Bagi pengguna yang ingin memberikan kejutan kepada orang-orang terdekat, bisa memilih brand yang ditawarkan di desktop, mobile site dan aplikasi elevenia. Pilih kanal MOKADO dan kirimkan voucher tersebut langsung ke smartphone pihak yang ingin dituju.
“Terdapat tiga cara mudah yang bisa dilakukan, pertama-tama masukan nomor telpon seluler pihak yang ingin dituju melalui aplikasi atau situs elevenia, nantinya pihak elevenia melalui sistem yang telah dijadwalkan akan mengirimkan pesan terusan (SMS) dilengkapi dengan tautan yang bisa diunduh dan dibuka di smartphone berisikan kode voucher yang dipesan oleh pengirim,” kata General Manager Hobby & Service elevenia Pamkin Pandawan.
Elevenia sendiri berharap MOKADO bisa memberikan kontribusi lebih dalam hal transaksi untuk elevenia, dilihat dari beragam pilihan brand yang bisa dikonsumsi oleh pengguna. MOKADO merupakan pengembangan kategori voucher e-coupon yang termasuk dalam 3 kategori paling populer di elevenia.
Strategi O2O dan pemasaran
Saat ini MOKADO hanya bisa dipesan di kawasan Jabodetabek saja. Selanjutnya elevenia akan mengembangkan layanan ini ke kota besar lainnya seperti Bandung dan memfokuskan pilihan F&B (food and beverage) untuk konsumen Indonesia.
Sebagai salah satu strategi online-to-offline yang dicoba dihadirkan elevenia, dengan hadirnya MOKADO diharapkan dapat mengedukasi lebih banyak pengguna, untuk memanfaatkan pilihan digital dalam hal pemberian hadiah, bonus, dan gift card.
“Sejak diluncurkan pada bulan Desember 2015, transaksi di MOKADO telah mencapai 100 transaksi per harinya, diharapkan dengan diresmikannya MOKADO hari ini, transaksi MOKADO diharapkan bisa mencapai target yaitu 1000 transaksi setiap harinya,” kata Pamkin.