Tag Archives: early stage

Startup tahap awal Indonesia masih mendapat kepercayaan investor / Pexels

Mencari Pendanaan Tahap Awal? Ini Daftar VC Teraktif Sepanjang Tahun 2023

Pendanaan ekuitas untuk startup Indonesia mulai menunjukkan tanda pemulihan dibandingkan tahun sebelumnya (meskipun belum sepenuhnya). Menurut laporan Indonesia’s Startup Handbook yang dihimpun DSInnovate, pada Q3 2023, pendanaan startup — yang dipublikasi— mencapai 38 transaksi yang bernilai $501,6 juta. Nilai investasi ini lebih baik dari dua kuartal sebelumnya, yakni sebesar $376,7 juta pada Q1 dan $330,2 juta pada Q2. Peningkatan ini memberikan indikator positif, terutama mengingat penurunan tajam yang terjadi pada paruh pertama tahun ini.

Investasi tahap awal masih mendominasi keseluruhan pendanaan startup Indonesia. Hal ini mengindikasikan investor mempertahankan kepercayaan yang signifikan terhadap prospek generasi founder baru, bahkan dalam menghadapi tantangan terkini.

East Ventures menjadi investor tahap awal yang paling aktif berinvestasi di Asia Tenggara. Sepanjang 10 bulan ini, VC tersebut telah berinvestasi ke 29 startup, mayoritas di Indonesia, yang telah menerima kucuran dana. Pendanaan tahap awal terbesar diberikan untuk MAKA Motors.

Dalam wawancara sebelumnya, Co-founder dan Managing Partner East Ventures Willson Cuaca menuturkan pihaknya tidak akan berhenti berinvestasi mau bagaimanapun cuaca yang sedang terjadi. Menurutnya, valuasi startup saat ini sedang murah, tapi pekerjaan founder sekarang lebih “berat.”

“Tapi bukan cuma itu, sekarang level knowledge founder jauh lebih tinggi karena ekosistem sudah mulai mature. Banyak [founder] sudah kerja di mana-mana. Jadi [kondisinya] masih bagus, dari sisi kita tetap aktif [berinvestasi],” kata Willson.

Program Day Zero Antler menjaring Founder baru

Partner Antler Indonesia Agung Bezharie di kesempatan terpisah mengatakan dengan kondisi sekarang, semakin mudah terlihat kualitas founder startup. Mana yang bagus mana yang tidak. “Banyak founder yang bagus dan tidak oportunis. Sangat passionate menyelesaikan problem,” kata dia.

Founder yang ia maksud adalah para peserta yang mendaftarkan diri atau direkrut langsung tim Antler untuk membangun startup baru. Kebanyakan para calon founder ini punya satu benang merah, pernah berkarier profesional di sejumlah perusahaan, baik enterprise maupun startup, dan tertarik untuk terjun sebagai founder startup.

“Bahkan di cohort sekarang [ke-5] rata-rata founder di sini sudah bekerja selama 13 tahun.”

Sebanyak 60-70 orang per cohort bergabung di program Antler Residency selama 10 minggu untuk membangun startup baru. Konsepnya sedikit berbeda dengan kebanyakan program akselerator karena mereka yang mendaftar bisa sendiri tanpa tim. Ada yang mendaftar sendiri ke situs Antler atau di-scout tim Antler.

Antler Indonesia

Selama residensi berlangsung, para partisipan bisa mengikuti sesi bootcamp intensif, berdiskusi dengan tim dan sesama entrepreneur lain untuk mendapatkan peer learning, pertukaran ide, serta umpan balik yang konstruktif. Adanya sesi kolaboratif ini mendorong peserta untuk menajamkan konsep dan strategi bisnis mereka.

Residensi ini juga menawarkan sesi one-on-one dengan tim mentor berpengalaman di Antler, sehingga membantu founder untuk mengatasi tantangan, mendapatkan panduan spesifik, serta konsultasi dengan ahli untuk menyempurnakan strategi bisnis mereka.

Dalam masa residensi selama lima minggu pertama, para founder juga bisa secara aktif mencari co-founder potensial yang selaras dengan visi, misi perusahaan, serta memiliki keterampilan yang dibutuhkan. Dirancang sebagai platform kolaboratif, residensi Antler juga membuka akses jaringan yang lebih luas, sehingga menjadi platform ideal bagi founder pemula untuk menemukan co-founder mitranya.

Dalam dua kali dalam seminggu, mereka akan melakukan presentasi pitching ide ke tim Antler untuk mendapatkan feedback. Apakah konsepnya menarik atau tidak untuk dilanjutkan, yang argumentasinya didukung dengan data pelengkap dari pihak ketiga. Jika tidak, mereka perlu rombak ulang, bahkan ganti calon co-founder sampai benar-benar seluruhnya dinilai bakal sukses.

Antler juga memiliki database global, sehingga partisipan bisa belajar dari sesama founder di berbagai sektor dan negara yang telah sukses meluncurkan bisnis mereka. Pendekatan komprehensif ini dirancang agar partisipan bisa lebih siap dalam mewujudkan konsep startup mereka menjadi operasional bisnis yang sukses dan menjanjikan.

“Antler mau akselerasi proses belajar [bangun startup]. Ini bukan sesuatu yang bisa dipelajari di sekolah karena harus ada proses trial and error dan dilakukan sendiri. Dalam 4-5 minggu dapat pivot berkali-kali, akan diberitahu mana bagian yang perlu diperhatikan jadi tidak perlu menghabiskan waktu hingga tahunan.”

Untuk membuktikan komitmen partisipasi dari para peserta, Antler mewajibkan mereka hadir secara fisik selama program berlangsung. Tidak ada unsur paksaan untuk mengundurkan diri dari perusahaan apabila peserta masih bekerja sebagai karyawan.

“Ada yang ambil unpaid leave, ada yang bersedia untuk resign. Kami memang mewajibkan mereka untuk ketemu in-person selama 4-5 minggu pertama untuk melihat attendance-nya.”

Dalam setahunnya, Antler mengadakan tiga kali cohort untuk mengorbitkan startup-startup baru. Sejak pertama kali hadir di Indonesia pada pertengahan 2022, sekarang Antler sudah mengadakan Antler Residency yang ke-5. Cohort ini masih berlangsung dan rencananya akan selesai pada akhir tahun ini.

Tidak semua startup yang menjalankan program ini bisa mengikuti demo day di hari terakhirnya. Juga tidak semua startup pasti mendapatkan investasi tahap awal dari Antler. Namun investasi yang dikucurkan Antler per startup-nya mulai dari $125 ribu (hampir Rp2 triliun).

“Bukan berarti tidak di-invest itu startupnya tidak bagus. Tapi memang kita ada beberapa preferensi [dalam berinvestasi]. Kita bisa menghubungkan mereka ke investor di luar kami untuk peluang investasi.”

Sepanjang tahun ini, setidaknya Antler telah berinvestasi ke 19 startup. Beberapa di antaranya adalah MatchMade, Kora, dan Eten Technologies. Secara total, Antler telah memberikan investasi untuk 44 startup. Portfolio Antler
mencakup CareNow, Healthpro, BASE, Brick, Matchmade, TruClimate, dan Kora.

Untuk mendukung perjalanan portofolionya, Antler membuat dana kelolaan baru yang dikhususkan untuk pendanaan tahap lanjutan, dinamai Antler Elevate, dengan dana kelolaan sebesar $285 juta.

“Biasanya kita selalu follow-on, nominalnya tidak bisa banyak, jadi dibuat fund khusus. Kita mau jadi teman startup dari perjalanan mereka dari awal sampai akhir,” tutup Agung.

Bukalapak Kucurkan 110 Miliar Rupiah untuk Investasi Startup Tahap Awal Lewat 500 Southeast Asia

PT Bukalapak.com Tbk (IDX: BUKA) mengucurkan dana $7,5 juta (sekitar 110 miliar Rupiah) untuk berinvestasi di startup tahap awal. Aksi korporasi ini diteken Bukalapak pada 23 April 2023 lewat perjanjian penyertaan modal (subscription agreement) untuk menjadi Limited Partner (LP) dengan 500 Southeast Asia III, LP.

Berdasarkan keterangan resmi di Bursa Efek Indonesia (BEI), kemitraan terbatas ini bertujuan untuk menyalurkan investasi di startup pra-awal (pre-seed) hingga tahap awal (early stage) di dan dengan memiliki ekuitas dan/atau sekuritas yang berorientasi ekuitas dari perusahaan swasta yang beroperasi secara langsung atau tidak langsung di Asia Tenggara.

“[Perusahaan swasta] terutama yang berfokus pada teknologi informasi, komunikasi, internet, medis, dan bidang deep technology,” tulis Direktur dan Corporate Secretary Bukalapak Teddy Oetomo pada 3 Mei 2023.

Sebagai informasi, 500 Southeast Asia III LP adalah perusahaan modal ventura di bawah naungan 500 Southeast Asia. Sejauh ini, 500 Southeast Asia tercatat telah berinvestasi di lebih dari 270 perusahaan, termasuk Bukalapak, FinAccel (induk Kredivo), Carousell, dan Grab.

Aksi korporasi lainnya

Di sepanjang 2022, Bukalapak menggencarkan berbagai aksi korporasi untuk menunjang pertumbuhan kinerjanya. Keterlibatannya sebagai jajaran investor di AlloBank mulai mengecap hasil, di mana Bukalapak telah mengantongi laba laba nilai investasi market-to-market dari bank digital tersebut berdasarkan laporan keuangan tahun 2022.

Bukalapak melakukan akuisisi beberapa perusahaan antara lain situs pembanding harga asal Malaysia iPrice, startup edtech Bolu, termasuk brand SmartSari untuk melancarkan ekspansinya di Filipina.

Berdasarkan kinerja keuangan kuartal I 2023, Bukalapak mengalami rugi bersih sebesar Rp1 triliun dari capaian laba sebesar Rp14,5 triliun pada periode sama tahun lalu. Pendapatannya naik sebesar 28% menjadi Rp1 triliun yang utamanya disumbang dari lini bisnis Mitra (Rp513,7 miliar), diikuti Marketplace (Rp484,4 miliar), dan BukaPengadaan (Rp7,79 miliar).

Application Information Will Show Up Here
Antler Indonesia

Sempat Tertunda, Antler Segera Buka Cohort Pertama di Indonesia

Antler, program startup builder dan inkubator global asal Singapura, menunjuk mantan CEO Carmudi Subir Lohani sebagai country head untuk Antler Indonesia. Di bawah pimpinan Lohani, Antler akan tancap gas dengan meluncurkan cohort pertama pada Januari 2022 mendatang.

Dalam wawancara bersama DailySocial.id, Lohani menjelaskan sebenarnya rencana Antler masuk ke Indonesia sudah diumumkan pada akhir 2019. Namun eksekusinya sempat tertunda karena pandemi, hingga akhirnya resmi menunjuk dirinya sebagai country head untuk Indonesia.

“Tidak ada yang berbeda dengan rencana sebelumnya. Kami ingin membuat program lokal di Jakarta. Antler ingin membuka akses kepada lebih banyak entrepreneur Indonesia untuk merintis startup melalui platform kami, mendapat funding, dan ekosistem,” terangnya.

Di bawah pimpinannya, Antler akan membangun tim kecil untuk memulai cohort pertama di Jakarta pada Januari 2022 dan mulai berinvestasi ke startup melalui fund Southeast Asia. Ditargetkan dalam debut perdananya, Antler dapat berinvestasi tahap awal untuk 10-15 startup, dengan target jangka panjang pada empat sampai lima tahun mendatang dapat menjaring 100 startup lokal.

“Antler akan menjadi salah satu dari sedikit pemain pre-seed terstruktur di Indonesia, dengan kemampuan untuk mendukung para founder startup dalam perjalanan mereka sejak awal. Kami bermitra dan membina para founder membangun tim yang kuat untuk mewujudkan visi mereka menjadi usaha yang scalable di pasar lokal dan global.”

Menurutnya, talent pool di Indonesia sangat banyak dan beragam. Antler mencari founder yang berfokus pada eksekusi, fleksibel, dan memiliki visi yang jelas tentang masalah yang ingin mereka pecahkan. “Para founder harus cukup tangguh untuk dapat membangun untuk jangka panjang,” sambungnya.

Program inkubator Antler berjalan selama enam bulan dalam dua fase. Pada fase pertama berjalan selama sepuluh minggu, tim Antler membantu para founder untuk memvalidasi ide bisnis mereka, membuktikan kesesuaian pasar produk, dan membangun tim yang kuat.

Kemudian pada fase kedua, Antler berinvestasi dalam tim terkuat, yang akan terus membangun dan meningkatkan skala startup mereka untuk persiapan Demo Day. Sejumlah startup lokal telah menjadi alumni di Antler melalui cohort Singapura. Base, Sampingan, Robin, dan Bubays adalah beberapa nama di antaranya.

Hingga kini, Antler telah mendukung 90 startup di Asia Tenggara sejak cohort pertama di Singapura pada Juli 2018. Di 2020 saja, Antler telah mengumpulkan 27 startup berpotensi. Secara keseluruhan, dari tujuh cohort yang telah diselenggarakan, secara total berhasil mengumpulkan pendanaan lebih dari $70 juta.

Di kancah global, Antler telah berinvestasi ke 58 startup baru hingga paruh pertama 2021. Selain Indonesia, Antler pada tahun ini juga meresmikan kehadirannya di Vietnam, Korea Selatan, dan Kanada.

Tren vertikal startup berikutnya

Menurut Lohani, ekosistem teknologi Indonesia masih dalam tahap awal, meskipun generasi startup pertama telah mencapai status unicorn, decacorn, dan exit IPO seperti Bukalapak. Generasi berikutnya bakal ramai dari vertikal yang semakin terdiversifikasi, seperti agritech, digitalitasi UMKM, fintech, dan B2B.

Di vertikal fintech misalnya, dengan kelas menengah yang semakin berkembang, ia percaya bahwa layanan e-wallet, manajemen kekayaan, investasi milenium dan platform tabungan makin banyak muncul di kelas aset tradisional dan non-tradisional. Kemudian, untuk digitalisasi UMKM, semakin banyak startup yang menyediakan solusi seputar ini. Baik itu dari rantai pasokan dan sektor terkait lainnya untuk lebih memungkinkan pertumbuhan UMKM di tanah air.

“Indonesia memiliki potensi untuk menjadi pemimpin regional dalam agritech, dengan pemain yang berfokus di Indonesia yang ingin berkembang untuk memecahkan masalah serupa di skala regional.”

Selain Antler, sebelumnya sudah ada sejumlah program akselerator global juga kini semakin aktif mengincar startup lokal untuk berpartisipasi dalam setiap cohort yang digelar. Mereka adalah Plug and Play, Accelerating Asia, Surge, Y Combinator, Endeavor, Google, dan masih banyak lagi.

Brama One Ventures

Brama One Ventures, Pemodal Ventura Industri Agnostik yang Fokus ke Startup Tahap Awal

Kehadiran pemodal ventura yang berasal dari kalangan perusahaan keluarga makin menjamur di Indonesia. Setelah Prasetia Dwidharma, kini venture capital besutan pasangan adik-kakak yang mulai aktif melancarkan kegiatan pendanaan adalah Brama One Ventures (BOV).

Kepada DailySocial, CEO BOV Bryant Budhiparama mengungkapkan, perusahaan modal ventura ini dibentuk untuk menambah nilai industri yang baru lahir melalui struktur investasi.

“Kami awalnya memulai sebagai angel investor. Namun, pada akhirnya Brama One bergeser untuk membangun struktur dan menciptakan fondasi yang tepat untuk mendukung ekosistem startup dan venture capital.”

Bersama saudara kandungnya yang juga menjabat sebagai CIO, Endrick Budhiparama, keduanya merupakan lulusan dari salah satu program kewirausahaan terbaik di Amerika Serikat yaitu Babson College. Dari sana mereka berdua memahami dan mendalami kultur di kewirausahaan dan startup.

“Brama One adalah industri agnostik dan kami terbuka untuk mengeksplorasi setiap peluang menarik. Yang terpenting bagi kami adalah, dapat menambahkan nilai strategis bagi perusahaan dan membebaskan para pendiri startup mendorong pertumbuhan startup,” kata Bryant.

Tidak hanya berfokus kepada Indonesia, saat ini Brama One Ventures juga telah berinvestasi ke startup di negara lainnya, termasuk Amerika Serikat dan tentunya negara lain di Asia Tenggara. Namun pada akhirnya mereka memiliki komitmen untuk fokus kepada pasar Indonesia, khususnya untuk startup di tahap seed sampai pre-series A.

Opsi tersebut dilakukan oleh Brama One menyesuaikan pendekatan mereka yang berorientasi pada pendiri startup (founder); dan bahwa Brama One yang berkembang pesat dalam menyediakan jaringan tepat dan nilai strategis bagi para pemula.

“Indonesia juga menjadi fokus [utama] kami, karena pada akhirnya kami melihat peluang untuk membantu masyarakat Indonesia mengakses industri tertentu dengan lebih mudah, dan juga bagi perusahaan kecil agar lebih efisien karena penggunaan platform digital untuk membantu bisnis mereka tumbuh lebih cepat.” kata Bryant.

Hingga saat ini Brama One Ventures telah memberikan investasi kepada Halodoc, NalaGenetics, Ayoconnect, Dropee, Boom, Gomodo, Populix dan Gotrade. Bukan hanya melirik startup popular seperti healthtech, mereka juga telah memberikan dana segara kepada platform esports hingga traveltech.

Ingin menambah portofolio startup

Bryant Budhiparama dan Endrick Budhiparama

Venture capital yang berbasis di Surabaya ini juga melihat adanya pendekatan berbeda yang dilakukan antara startup asal Jakarta dan Surabaya. Menurut Bryant, mereka memang cenderung ingin mendapatkan perspektif yang berbeda tentang bagaimana pengguna dan calon pelanggan menggunakan platform di luar Jakarta, karena budayanya juga bervariasi. Hal tersebut memberi pemahaman yang lebih baik tentang kapan sebuah startup ingin scale up, bagaimana mereka pada akhirnya dapat melayani kota-kota lainnya.

“Meskipun kami berbasis di Surabaya, CIO kami berlokasi di Jakarta dan kami juga memiliki beberapa perusahaan portofolio di luar negeri. Digitalisasi telah meruntuhkan hambatan, dan kami tidak terbatas karena lokasi. Terkait dengan apa yang kami cari, karena pandemi, semua bisa bekerja secara remote. Oleh karena itu, lokasi bagi kami hanyalah kantor pusat saja, tetapi kami mengoptimalkan platform yang memungkinkan kami untuk berkomunikasi secara efisien,” kata Bryant.

Masih ada beberapa rencana yang ingin dicapai oleh Brama One, di antaranya adalah merampungkan pendanaan kepada 3-5 perusahaan setiap tahunnya. Brama One juga ingin memperkuat komitmen mereka pada portofolio saat ini, dan membantu mereka dalam investasi yang diperlukan untuk terus mendorong pertumbuhan dan memberikan nilai kepada pelanggan.

Disinggung seperti apa pertumbuhan ekosistem startup di Indonesia ke depannya, Bryant menegaskan Indonesia akan selalu menjadi salah satu lokasi utama bagi startup dan pertumbuhan mereka, karena ukuran populasi dan penggunaan masyarakat di platform digital. Namun, yang menarik untuk dilihat dalam waktu dekat adalah bagaimana para unicorn kini sedang dalam proses untuk go public.

“Hal tersebut akan menciptakan perubahan paradigma pada permainan akhir. Di mana startup tidak hanya melihat merger and acquisition (M&A) sebagai jalan menuju likuiditas. Ini juga dapat memberikan inspirasi bagi para pendiri baru, dan kami senang melihat dorongan dan semangat tersebut dari para pemimpin masa depan,” tutup Bryant.

AC Ventures Secured 823 Billion Rupiah Fund, Targeting 30 Early-Stage Startups in Indonesia

AC Ventures (ACV) today (12/10) announced the first close of ACV III Capital L.P. worth of $56 million or the equivalent of 823 billion Rupiah. It is said to be invested in 30 potential startups over the next three years. ACV III is targeted to reach $80 million or the equivalent of 1.1 trillion Rupiah for early-stage startup investment in Indonesia.

ACV is particularly interested to explore investment opportunities in startups in the fields of e-commerce, fintech, supporting SMEs, and digital media. Some of their previous portfolios include Shipper, Kargo, Stockbit, BukuWarung, ESB, CoLearn, KitaBeli, Aruna, and Soul Parking.

“Our fund LPs include leading digital and strategic corporates, local Indonesian conglomerates, as well as technology entrepreneurs who have scaled billion-dollar businesses,” the Managing Partner, Adrian Li said.

ACV is a partnership venture capital firm, consisting of 3 partners, 6 professional investors, and supporting teams. Prior to becoming ACV, Convergence Ventures and Agaeti Ventures managed funds through CVI (’15) and AVI (’18) with respective returns of 31% and 48%.

Investment in time of the pandemic

Indonesia’s digital economy is growing at an unprecedented rate in 2020 due to the “disruption” of the Covid-19 pandemic. Next, many venture capitalists have to revisit the condition of the ecosystem. Regarding this, the ACV team told DailySocial that they had witnessed several interesting trends developing in all startup portfolios. This certainly raises enthusiasm to continue investing in sectors in the investment thesis.

“[Due to Covid-19] We don’t have a stringent criterion, as for every company, business model, and sector, we need to have a different approach in doing the due diligence. We evaluate companies based on market potential, founders, and traction/proof of product-market fit perspective. However, we do want to see companies that can scale but also have a path to positive unit economics,” Adrian added.

As conditions vary, including demographics, ACV is quite confident that the startup ecosystem in Indonesia will be quite promising. The market will continue to accelerate in adopting technology support. For this reason, it is an opportunity for digital startups to become a billion-dollar company, especially in critical sectors such as fintech, logistics, also education, health, agriculture, and SME support.

“We look for founders that demonstrate resilience and willingness to adapt the businesses in the face of adversity. As for competition, it is not unusual to see many players in a particular space, since it just reaffirms the opportunity of the sector. The markets we invest in tend to be large enough to accommodate a few players. It’s not always a winner takes all outcome. We are confident that our founders have incredible potential to succeed in their respective sectors,” Adrian added.

Besides Adrian Li, as the founder partner of ACV, there are Michael Soerijadji and Pandu Sjahrir who represent Indies Capital. It is said that ACV’s ambition is to take advantage of the founders’ industry insights, provide support, and a global network to empower founders to build businesses that are able to democratize various fields in Indonesia and Southeast Asia.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

AC Ventures

AC Ventures Bukukan Dana Kelolaan 823 Miliar, Targetkan 30 Startup Tahap Awal di Indonesia

AC Ventures (ACV) hari ini (12/10) secara resmi mengumumkan penutupan pertama ACV III Capital L.P. Di penutupan pertama, dana senilai $56 juta atau setara 823 miliar Rupiah berhasil dikumpulkan dan akan diinvestasikan ke 30 startup potensial selama tiga tahun ke depan. ACV III ditargetkan mencapai $80 juta atau setara 1,1 triliun Rupiah untuk investasi startup tahap awal di Indonesia.

Secara khusus ACV berminat mencari peluang investasi di startup bidang e-commerce, fintech, pendukung UKM, dan media digital. Beberapa portofolio mereka sebelumnya termasuk Shipper, Kargo, Stockbit, BukuWarung, ESB, CoLearn, KitaBeli, Aruna, dan Soul Parking.

“LP dana kami mencakup perusahaan digital dan strategis terkemuka, konglomerat lokal Indonesia, dan wirausahawan teknologi yang telah mengembangkan bisnis miliaran dolar,” ujar Managing Partner Adrian Li.

ACV adalah perusahaan modal ventura kemitraan, terdiri dari 3 mitra, 6 investor profesional, dan tim pendukung. Sebelum menjadi satu dalam ACV, Convergence Ventures dan Agaeti Ventures telah mengelola dana melalui CVI (’15) dan AVI (’18) dengan tingkat pengembalian masing-masing 31% dan 48%.

Investasi di masa pandemi

Ekonomi digital Indonesia tumbuh pada tingkat yang belum pernah terjadi sebelumnya di tahun 2020 ini akibat “gangguan” pandemi Covid-19. Kemudian, banyak pemodal ventura harus melihat ulang kondisi ekosistem. Terkait hal itu, kepada DailySocial tim ACV mengatakan, pihaknya menyaksikan beberapa tren menarik yang berkembang di seluruh startup portofolio. Hal itu tentu memunculkan semangat tersendiri untuk terus berinvestasi pada sektor-sektor yang dalam tesis investasinya.

“[Karena Covid-19] kami tidak mengetatkan kriteria investasi, karena untuk setiap perusahaan, model bisnis, dan sektor kami memerlukan pendekatan berbeda dalam melakukan due diligence. Kami mengevaluasi perusahaan berdasarkan potensi pasar, pendiri, dan daya tarik/pembuktian product-market fit. Kami tidak hanya ingin melihat perusahaan yang dapat melakukan skalabilitas, tapi juga memiliki jalur menuju unit ekonomi yang positif,” ujar Adrian menambahkan.

Melihat berbagai kondisi, termasuk demografi, ACV cukup yakin bahwa ekosistem startup di Indonesia akan menjanjikan. Pasar akan terus melakukan percepatan dalam mengadopsi dukungan teknologi. Untuk itu, menjadi peluang tersendiri bagi startup digital untuk bisa menjadi perusahaan miliaran dolar, khususnya di sektor-sektor kritis seperti fintech, logistik dan tidak menutup kemungkinan pendidikan, kesehatan, pertanian, dan pendukung UKM.

“Kami mencari pendiri yang menunjukkan ketangguhan dan kemauan untuk menyesuaikan bisnis dalam menghadapi kesulitan. Mengenai persaingan, tidak jarang melihat banyak pemain di ruang tertentu, karena itu menegaskan kembali peluang sektor tersebut. Pasar tempat kami berinvestasi cenderung cukup besar untuk menampung beberapa pemain. Tidak selalu pemenang mengambil semua hasil. Kami yakin para pendiri kami memiliki potensi luar biasa untuk sukses di bidangnya masing-masing,” imbuh Adrian.

Selain Adrian Li, selaku founder partner ACV terdapat Michael Soerijadji dan Pandu Sjahrir yang mewakili Indies Capital. Dikatakan ambisi ACV adalah memanfaatkan wawasan industri pada pendiri, memberikan dukungan dan jaringan global untuk memberdayakan para founder dalam membangun bisnis yang mampu mendemokratisasi berbagai bidang di Indonesia dan Asia Tenggara.

DailySocial mewawancarai Managing Director Sequoia India Abheek Anand untuk mendiskusikan rencana mereka di ekosistem startup Indonesia.

Kiprah dan Rencana Sequoia India di Indonesia

Sequoia India minggu lalu mengumumkan pengumpulan dana $1,35 miliar atau setara 19,5 triliun Rupiah. Dana ini diperoleh dari sejumlah limited partner, yang dibagi dalam dua program fund: $525 juta untuk venture fund dan $825 juta untuk growth fund. Fokus pendanaannya tetap untuk startup di India dan Asia Tenggara.

DailySocial berkesempatan mewawancara Managing Director Sequoia Capital India Abheek Anand untuk mendiskusikan rencana mereka di ekosistem startup Indonesia pasca pengumpulan dana ini.

Managing Director Sequoia Capital India LLP, Abheek Anand / Sequoia
Managing Director Sequoia Capital India LLP, Abheek Anand / Sequoia

Portofolio Sequoia India di Indonesia

Sequoia India telah berinvestasi ke startup di Indonesia sejak tahun 2014, termasuk turut andil di permodalan bagi Tokopedia dan Gojek. Tahun ini, mereka turut meramaikan arus digitalisasi supply-chain FMCG lokal dengan berinvestasi di GudangAda dan Ula.

Di tahun 2019 mereka meluncurkan program akselerator Surge di wilayah operasionalnya. Beberapa startup Indonesia turut berpartisipasi dan mendapatkan pendanaan, seperti Qoala, Chilibeli, BukuKas, dan beberapa lainnya.

“Sampai saat ini, kami telah bekerja dengan 19 startup teknologi di Indonesia untuk mendemokratisasi sektor-sektor penting seperti perdagangan, pendidikan, finansial, F&B, logistik, hingga perhotelan,” jelas Abheek.

Berikut daftar investasi yang telah ditorehkan Sequoia India untuk startup lokal:

Startup Tahun Investasi
Tokopedia 2014
Gojek 2015
Modalku 2016
Traveloka 2017
OnlinePajak 2017
Moka 2017
Akulaku 2018
Kopi Kenangan 2019
Kargo 2019
GudangAda 2020
Ula 2020

Startup Indonesia peserta program Surge:

Surge 01 1. Qoala

2. Bobobox

Surge 02 1. Rukita

2. Storie

3. Chilibeli

Surge 03 1. Hangry

2. BukuKas

3. CoLearn

Fokus ke startup tahap awal

Abheek menjelaskan, pihaknya melihat tren perkembangan pesat ekosistem startup di Indonesia dalam enam tahun terakhir. Berdasarkan pengalaman investasinya, Sequoia India memilih untuk fokus untuk mendanai startup tahap awal di kawasan ini. Mereka melihat sektor-sektor yang berpotensi tumbuh secara signifikan dan menyelesaikan masalah banyak orang.

“Kami berinvestasi di Tokopedia dan Gojek di masa-masa awal mereka. Saat ini perusahaan tersebut menjadi sumber inspirasi bagi para pendiri startup baru. Faktanya, Indonesia saat ini memiliki unicorn terbanyak di Asia Tenggara,” jelas Abheek.

Ia melanjutkan, “Kami ingin terus melipatgandakan komitmen kami terhadap startup di Indonesia, dengan tidak hanya menjadi bagian dari unicorn generasi pertama, tapi juga setiap generasi berikutnya [..] Kami berpikir bahwa Indonesia berada di titik kritis dan akan meledak dengan peluang populasi yang berkembang dan mengerti teknologi.”

Hipotesis investasi

Melihat track-record investasinya, Sequoia India terlihat cenderung agnostik secara sektoral. Mereka berkolaborasi dengan berbagai model bisnis, mulai dari layanan konsumer, B2B, fintech, hingga healthtech.

“Sekarang, lebih dari sebelumnya, bisnis dengan unit ekonomi yang solid tidak lagi sekadar baik untuk dimiliki [melalui investasi]. Mereka wajib dimiliki. Yang kami cari adalah para pendiri yang membangun bisnis dengan unit ekonomi yang masuk akal di pangsa pasar yang besar,” jelasnya.

Dampak pandemi Covid-19 dirasa tidak memperlambat tensi investasi mereka.

“Kami terus bertemu dengan pendiri yang bersemangat dengan ide dan bisnis yang menarik, terutama di tahap awal. Sebelumnya kami akan melakukan obrolan mingguan dengan para pendiri di Jakarta dan kami akan terus melanjutkan — dan memindahkan percakapan itu secara online.”

Saat ini program Surge 04 juga sudah dibuka pendaftarannya. Mereka berharap lebih banyak startup tahap awal di Indonesia yang dapat terlibat dalam program ini.

Abheek mengatakan, “Satu pesan kami untuk para pendiri adalah: bahwa tidak pernah terlalu dini untuk berbicara dengan kami. Kami tersedia melalui email, semua platform media sosial, dan terus menerus menciptakan lebih banyak saluran. Ekonomi belum ditutup, bisnis masih terus diciptakan setiap hari. Kami terus tertarik untuk bermitra dengan para pendiri yang berani untuk membuat gebrakan di dunia.”

“Penggalangan dana baru-baru ini senilai $1,35 miliar merupakan indikasi komitmen kami dan kami akan terus mengandalkan komitmen ini ketika menyangkut pasar-pasar utama di Asia Tenggara seperti Indonesia, terlepas apakah kami dapat hadir secara langsung ataupun tidak,” pungkasnya.

Beenext

Beenext Closes 2.2 Trillion Rupiah Fund, Indonesian Startups Remain a Potential

As a Singapore based Venture Capital, Beenext, which actively participated in the seed funding of Indonesian startups, today (16/6) announced the closing for two new managed funds, raising around US$160 million or equivalent to 2.2 trillion Rupiah. Previously, they’ve booked US$110 million in their first fund titled “Beenext Emerging Asia Fund”.

The fresh fund came from institutions in the United States, Japan, family conglomerates, and businesses interested in the digital industry. The new round is designed to connect early-stage startups with Beenext’s founder network, in order to gain global partnership opportunities and access to the best resources.

Beenext’s investment approach is centered on the founder; outside of monetary commitments, they will also provide a key role in accelerating business. The company has invested in more than 180 startups around the world, 45 of those are in the Asia Pacific region.

“Covid-19 has affected every aspect of global business, but we continue to detect novice founders who push boundaries not only to survive but also thrive in these conditions […] we feel required to nurture an entrepreneurial ecosystem to ensure reviving as a strong founding community,” Founder & Managing Partner, Teruhide Sato said.

He added, “Beenext has always believed in building a business together with local founders and co-investors, in order to have a lasting impact. We look forward to being able to create and grow together with more new company founders.”

Also mentioned in the release, the funds will be focused on ecosystems in India, Southeast Asia, and Japan. India will get the 50% portion of the first managed fund while also managed to increase funding in Southeast Asia.

Faiz Rahman from Beenext told DailySocial, “We plan to allocate 40% of the managed funds to Southeast Asia and Indonesia. We continue to focus on early-stage startups, in e-commerce, fintech, healthtech, agritech, logistics, HR-tech, and SaaS.”

Beenext is yet to plant local teams and office buildings in Indonesia, however, they have invested in 16 Indonesian startups and several regional startups that are expanding into the Indonesian market. These include Ralali, Zilingo, Amartha, Dekoruma, Happy Fresh, Sweet Escape, Zenius, Snaphunt, Mekari, Andalin, Janio, Ritase, Provesty, AgenKan, Raena, Jendela360, Akseleran, AdaKerja, and TrustMedis. The last three names secured investments around early 2020.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Beenext

Beenext Bukukan Dana Kelolaan 2,2 Triliun Rupiah, Startup Indonesia Tetap Jadi Perhatian

Beenext selaku venture capital asal Singapura yang turut aktif berinvestasi untuk startup tahap awal di Indonesia, hari ini (16/6) mengumumkan telah menutup dua dana kelolaan (fund) baru, mengumpulkan dana senilai US$160 juta atau setara 2,2 triliun Rupiah. Sebelumnya mereka telah membukukan US$110 juta dalam fund pertamanya bertajuk “Beenext Emerging Asia Fund”.

Dana ini bersumber dari institusi di Amerika Serikat, Jepang, konglomerasi keluarga, hingga pengusahan yang tertarik di bisnis digital. Dana baru dirancang untuk menghubungkan startup tahap awal dengan jaringan founder Beenext, demi mendapatkan peluang kemitraan global dan akses ke sumber daya terbaik.

Pendekatan investasi Beenext memang terpusat pada founder; karena di luar komitmen moneter, mereka juga akan memberikan peran kunci dalam mengakselerasi bisnis. Perusahaan telah berinvestasi di lebih dari 180 startup di seluruh dunia, 45 di antaranya dari kawasan Asia Pasifik.

“Covid-19 telah memengaruhi setiap aspek bisnis global, tetapi kami terus melihat para pendiri pemula yang mendorong batasan untuk tidak hanya bertahan tetapi juga berkembang dalam kondisi ini […] kami merasa perlu memelihara ekosistem kewirausahaan untuk memastikan kami bangkit kembali sebagai komunitas pendiri yang kuat,” ujar Founder & Managing Partner Teruhide Sato.

Ia melanjutkan, “Beenext selalu percaya untuk membangun bisnis bersama dengan pendiri dan co-investor lokal, demi memiliki dampak yang langgeng. Kami menantikan untuk bisa menciptakan dan tumbuh bersama dengan lebih banyak pendiri perusahaan baru.”

Dalam rilis disebutkan, dana akan difokuskan ke ekosistem di India, Asia Tenggara, dan Jepang. India akan mendapatkan porsi 50% dari dana kelolaan pertama dengan tetap meningkatkan volume pendanaan di Asia Tenggara.

Kepada DailySocial, Faiz Rahman dari Beenext menjelaskan, “Kami berencana mengalokasikan 40% dari dana kelolaan untuk Asia Tenggara dan Indonesia. Kami terus fokus pada startup tahap awal, di sektor e-commerce, fintech, healthtech, agritech, logistik, HR-tech, dan SaaS.”

Kendati hingga saat ini Beenext belum punya tim dan kantor lokal di Indonesia, mereka telah berinvestasi ke 16 startup Indonesia dan beberapa startup regional yang ekspansi ke pasar Indonesia. Termasuk di antaranya Ralali, Zilingo, Amartha, Dekoruma, Happy Fresh, Sweet Escape, Zenius, Snaphunt, Mekari, Andalin, Janio, Ritase, Provesty, AgenKan, Raena, Jendela360, Akseleran, AdaKerja, dan TrustMedis. Tiga nama terakhir mendapatkan investasi sekitar awal tahun 2020 ini.

Kejora and SBI Holdings Launches “Orbit Fund”, Ready to Invest 426 Billion Rupiah for Indonesia’s Early Stage Startups

and SBI Holdings today (03/6) launched the Orbit Fund. It is a joint venture in the form of a venture capital company focused on early-stage startups funding in Indonesia. In its debut, they’ve prepared US$ 30 million or equivalent to 426 billion Rupiah.

As per the information we received, Orbit Fund is to make its first closing on June 30, 2020, with the investors and immediately disburse the funds. To date, they claim to have received strong commitments from various investors, including family businesses, high net worth individuals (HNWI), corporations and institutional investors from Indonesia, Japan, Singapore, and Europe.

They are currently targeting edutech, healthtech, consumer goods, agritech, fintech, and online media sectors. Seed funding will be channeled starts from US$ 200 thousand to US$ 3 million.

In terms of operation, the company appoints Billy Boen as director. Previously, he is known as an entrepreneur, active as an angel investor, also an advisor for several companies in Indonesia. In addition to Boen, the VC’s leadership will also be assisted by Shunichi Keida. It will be supported by the team members consist of Leon Hermann, Yudi Anugrah, and Richie Wirjan.

“Orbit Fund is created for Indonesian startups. In addition to financial support, SBI Holdings and Kejora have experience in more than 25 other countries, and local and regional resources and insights to build technology startups in Indonesia. With the support of experienced venture capital, we believe that Orbit is capable to produce and build a strong generation of startups,” Billy said.

Meanwhile, Yoshitaka Kitao as President & CEO of SBI Holdings said “SBI Holdings is very proud to announce this collaboration, bearing in mind that for more than 3 years we have established relations with Kejora since our first co-investment. SBI Holdings believes that there will be many technological innovations popping up Indonesia, and the Orbit Fund is a renewal of our commitment to accelerate the growth of the technology sector in Indonesia. ”


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian