Tag Archives: early stage investment

Managing Partner East Ventures Willson Cuaca melihat "new consumption" sebagai hipotesis baru yang jadi tren investasi tahun ini

“New Consumption” Jadi Hipotesis Baru Investasi East Ventures Tahun Ini

East Ventures, yang spesialis mendanai startup tahap awal, mengungkapkan segmen new consumption menjadi hipotesis terbaru yang bakal mewarnai tren investasi pada tahun ini. Di samping itu, startup yang bergerak di bidang gaya hidup, wellness, kesehatan, O2O integration, dan new retail menjadi perhatian perusahaan modal ventura yang berpusat di Singapura tersebut.

“Tiap tahun kita selalu datang dengan hipotesis yang berbeda, cukup tematik. Ada naratif tertentu di belakangnya. Apakah lifestyle atau entertainment sebenarnya [kita] enggak begitu particular vertical. Intinya sekarang GDP Indonesia sudah mulai naik, artinya ada kebutuhan tidak dasar lagi yang mulai dicari orang. Di semua negara berkembang pasti begitu [arahnya],” katanya Managing Partner East Ventures Willson Cuaca.

Segmen ini, menurutnya, tidak akan bisa terjadi apabila mundur ke 10 tahun belakangan. Pada saat itu, ekosistem digital di Indonesia belum terbangun secara menyeluruh dan terintegrasi, baik dari sistem pembayaran, logistik, dan layanan e-commerce. Sekarang kondisinya sudah berbeda jauh dan membuatnya jadi lebih efisien.

Willson mencontohkan, Fitmee, salah satu lini usaha dari The Fit Company yang baru mendapat pendanaan dari East Ventures, adalah bentuk new consumption. Fitmee adalah brand baru tapi model bisnisnya tidak kuno karena tetap menjual mie instan, namun menggunakan bahan-bahan yang sehat.

Kasus yang sama juga terjadi untuk Fore Coffee, konsepnya tetap berjualan kopi tapi bisa dipesan secara online dan diantar oleh kurir instan. Sebagai catatan, Fore Coffee adalah proyek percobaan baru East Ventures, setelah Co-Hive dan Warung Pintar.

“Kita ada hipotesis kenapa orang harus ke Starbucks? [saat mau ngopi], kenapa harus nongkrong di sana? Gimana kalau kopi bisa diantar ke tempat mereka? Mungkin enggak? [kalau sekarang] ya mungkin, tapi mungkin enggak kalau ini terjadi di 10 tahun lalu? Ya enggak mungkin.”

Willson mengaku tahun ini East Ventures akan terus berinvestasi ke startup. Bahkan disebutkan dalam seminggu melakukan close deal dengan dua sampai tiga startup. Terkait dana investasinya, dia mengklaim East Ventures masih memiliki persediaan dari penggalangan sebelumnya.

East Ventures terakhir kali mengumpulkan fund sebesar US$30 juta pada akhir 2017. Dana tersebut difokuskan untuk berinvestasi di Indonesia, dengan nominal dari pendanaan tahap awal dan seri A. Secara rutin, perusahaan melakukan penggalangan dana dari para investornya tiap dua tahun sekali karena sangat aktif berinvestasi.

Membaca tren lewat hipotesis

Pada kesempatan terpisah, saat Willson menjadi pembicara dalam Indonesia PE-VC Summit 2019 pekan lalu, dia menyebut berbagai hipotesis sudah dibuat East Ventures sejak awal kehadirannya. Pada tahun pertama, East Ventures aktif berinvestasi ke platform e-commerce karena Indonesia belum memiliki ekosistemnya.

“Jika Anda sadari, dari perjalanan komputer mulai dari konsumer lalu sampai ke tahap enterprise. Sama seperti Indonesia, di mana kami mulai dari e-commerce. Di 2013, kami datang kembali dengan hipotesis baru yakni SME, kami pun banyak berinvestasi di sana.”

Berikutnya, hipotesis baru berdatangan yakni SaaS lalu O2O. Segmen baru ini dengan cepat dimasuki East Ventures sehingga terkesan ada di posisi terdepan dibandingkan VC lainnya. Willson menggambarkan sebagai VC yang fokus di pendanaan awal harus selalu ada di depan gelombang, timing memainkan peran yang begitu penting.

“Jika Anda berada di belakang gelombang, maka Anda hanya dapat melihat gelombang. Penting bagi orang-orang tahap awal untuk menangkap pergerakan sebelum menjadi tren.”

Saat ini East Ventures memiliki sekitar 140 portofolio, 20 startup di antaranya telah tutup. Willson menyebut rasio ini dianggap lebih baik daripada teori yang umum dipaparkan industri. Umumnya rasio dari 10 startup yang dapat bertahan itu hanya satu.

Di sisi East Ventures, rasionya dari 10 startup yang diinvestasikan hanya dua yang mati, delapan di antaranya masih tetap hidup. Ada juga yang sudah exit karena diakuisisi perusahaan lain, contohnya Cermati, Disdus, Kudo, dan Loket.

Diklaim 70% startup Indonesia yang meraih pendanaan Seri A mendapat pendanaan tahap awal dari East Ventures.

Tidak kontrol portofolio startup

Meski banyak porfolio yang dikelola East Ventures, Willson mengaku pihaknya tidak melakukan kontrol terhadap perusahaan tersebut. Mereka juga tidak memberikan mentoring seperti yang ditawarkan VC lain. Dia percaya apabila founder itu adalah seorang wirausahawan sejati, maka harus tahu dasar-dasar administrasi bisnis.

Apabila founder tersebut baru pertama kali merintis startup, maka mereka harus memiliki cepat dan terampil dalam berbagai hal. Hal ini selaras hipotesis lainnya yang dibuat East Ventures, bahwa founder harus bisa membedakan antara visi, strategi, dan taktis.

Founder harus bisa menyelaraskan visi dan bagaimana memberi solusi atas masalah besar. Berbicara tentang strategi, pihaknya hanya memberi nasihat, tapi tidak memberi saran sampai di tahap taktis.

“Jadi kami setuju bahwa Anda harus pergi [ambil keputusan] ke sana tapi apakah Anda belok kiri atau kanan itu terserah Anda. Kami akan mengajari Anda apa yang harus dihindari, bukan apa yang harus dilakukan.”

“Karena jika kami mengajari Anda apa yang harus dilakukan, Anda akan terbatas pada batas-batas yang saya ajari. Jika kami mengajarkan 10, Anda akan sampai di 9 atau 9,5 saja. Tapi jika kita mengajarinya untuk tidak melakukan kesalahan, maka Anda bisa terbang ke langit,” pungkasnya.

Takahiro Suzuki, investor awal Tokopedia, yang kini jadi General Partner Genesia Ventures tidak mengira layanan e-commerce di Indonesia akan berkembang secepat ini

Genesia Ventures: “Go Public”-nya Startup Unicorn Akan Perkaya Ekosistem Startup Indonesia

Takahiro Suzuki adalah sosok yang tidak asing dalam komunitas startup di Asia Tenggara. Sebagai seorang investor kawakan, Suzuki  pernah menjabat CEO CyberAgent Ventures (CAV) Indonesia hingga beberapa bulan lalu. Ia juga seorang investor awal bagi startup unicorn Indonesia Tokopedia.

Suzuki, baru-baru ini bergabung dengan Genesia Ventures sebagai General Partner. Sebuah perusahaan investasi tahap awal yang fokus di Jepang dan Asia Tenggara, Genesia baru saja mengumpulkan dana startup keduanya yang bernilai US$80 juta.

Dalam interview bersama e27, Suzuki berbagi pengalaman tentang pendanaan sebelumnya, industri startup di Asia Tengggara dan Jepang, serta rencana ke depan.

Dibawah ini adalah sebagian cuplikan yang sudah disunting:

Sekarang ada banyak VC untuk startup tahap awal di Asia Tenggara. Mengapa wilayah ini masih membutuhkan pendanaan? Apa pendekatan unik Anda?

Ya, ada lumayan banyak VC untuk startup tahap awal di Asia Tenggara, namun di Genesia kami memiliki tiga pendekatan unik. Pertama, kami bisa membuat investasi besar pada tiap perusahaan. Sementara investasi awal kami fokus pada pendanaan seri A, kami bisa mengucurkan hingga US$5 juta pada masing-masing perusahaan dalam pendanaan lanjutan di putaran selanjutnya. Kami yakin pendanaan lanjutan ini akan memberikan kekuatan bagi penggalangan dana startup selanjutnya.

Kedua adalah pengambilan keputusan untuk investasi cepat. Kami memiliki satu general partner di Jepang dan satu di Jakarta. Tentunya kami memiliki proses due diligence sebelum finalisasi investasi, tetapi keputusan bisa diambil dalam waktu beberapa minggu saja.

Ketiga, kami telah berpengalaman dalam investasi VC di Jepang dan Asia Tenggara. Kami juga telah membangun koneksi bisnis yang luas di seputar Asia. Ketika industri konvensional belum sepenuhnya berkembang di Asia Tenggara, ada banyak bidang di mana bisnis digital telah berkembang pesat sebelum industri konvensional. Terdapat juga beberapa industri di mana bisnis seperti Grab dan Gojek telah melampaui Jepang. Informasi seperti itu sangat membantu dalam membuat keputusan investasi yang lebih baik dan merancang strategi bisnis perusahaan portofolio kami di Jepang.

Di Jepang, di sisi lain, industri konvensional sedang dirombak ulang dan kami berinvestasi di banyak startup B2B dengan harapan membawa transformasi digital. Transformasi digital diharapkan menjadi gerakan besar di Asia Tenggara nantiny, dan dapat dipastikan kami juga membawa pengalaman investasi di Jepang.

Selanjutnya, banyak perusahaan Jepang sedang fokus pada pertumbuhan masa depan Asia. Mitra terbatas kami terdiri dari perusahaan besar dan bank Jepang, juga pengalaman investasi di CAV memungkinkan kami menjalin relasi dengan perusahaan dan VC di Jepang dan Asia Tenggara. Kami percaya hal ini akan mengarahkan kami melalui proses untuk menemukan perusahaan portofolio serta menjalin aliansi dengan mereka. Dalam pandangan kami, pengalaman investasi dan jaringan bisnis kami di Jepang dan Asia Tenggara menjadikan kami perusahaan modal ventura yang berbeda dari yang lain.

Tidak ada kelangkaan dana untuk startup tahap awal di Asia Tenggara, tetapi wilayah ini terlihat jelas kekurangan investasi Seri B dan C. Selain itu, ada persepsi kurangnya startup berkualitas di Asia Tenggara. Bagaimana pendapat Anda?

Kami ingin berkontribusi dalam pengembangan masyarakat Asia dalam pendanaan awal dengan tiga poin penjualan unik yang diuraikan di atas. Mengenai persepsi kurangnya startup berkualitas di Asia Tenggara, kami juga merasa ada lebih banyak startup yang berkualitas di AS dan Tiongkok dalam hal jumlah, tetapi ini semata-mata karena memang ada lebih banyak startup di sana, dibandingkan di Asia Tenggara.

Kami percaya bahwa startup berkualitas akan sama baik di Asia Tenggara maupun wilayah lainnya. Seiring dengan ekosistem startup yang semakin cepat bersamaan dengan pertumbuhan ekonomi di kawasan ini, kami yakin akan ada banyak startup yang akan tumbuh secara substansial.

Anda adalah investor awal di Tokopedia, yang sekarang menjadi unicorn. Apa yang mendorong Anda untuk berinvestasi dalam startup saat itu? Pernahkah Anda mengira perusahaan ini akan menjadi unicorn di masa depan? Apakah Anda sudah menuai hasil dari investasi ini?

Karena pasar telah didominasi oleh perusahaan unicorn di mana-mana, saya berinvestasi di Tokopedia berharap bahwa ia akan menjadi perusahaan unicorn di masa depan. Saya tidak mengira bahwa akan secepat ini.

Alasan terbesar untuk investasi adalah keputusan pendirinya, William Tanuwijaya dan Leontinus Alpha Edison. Mereka dengan kuat mengatakan bahwa mereka serius ingin membuat masyarakat Indonesia lebih baik lagi melalui Tokopedia. Saya ingin mendukung mereka dalam misi ini dan memutuskan untuk berinvestasi di dalamnya.

Apakah saya memegang saham mereka atau tidak adalah informasi non-publik dan oleh karena itu saya tidak dapat mengungkapkannya.

Apa menurut Anda beberapa hal yang dilakukan Tokopedia dengan baik untuk membantu menaklukkan industri e-commerce di Indonesia?

Menurut saya pribadi, Tokopedia bisa tumbuh begitu cepat karena tiga alasan berikut:

1- Pengembangan layanan yang mengutamakan pelanggan (mengedepankan kenyamanan konsumen dan pedagang)

2- Ekspansi nasional, bukan hanya Jakarta (khususnya, mereka mulai merekrut pedagang secara nasional pada tahap awal)

3- Visi dan tim yang kuat (mereka memiliki visi yang kuat untuk membentuk Indonesia menjadi negara yang lebih baik dan bisa menciptakan [tim] Nakama yang percaya dengan visi tersebut)

Menurut Anda, apakah Indonesia memiliki potensi untuk melahirkan unicorn lainnya seperti Tokopedia? Apakah Anda menaruh minat pada salah satu perusahaan teknologi untuk mengikuti laju pertumbuhan yang sama di negara ini?

Ya. Kami percaya bahwa banyak perusahaan unicorn akan muncul dari Indonesia. Kami juga selalu mencoba yang terbaik dalam berinvestasi pada perusahaan yang berpotensi menjadi unicorn.

Apakah Anda menyesal tidak berinvestasi pada perusahaan seperti Go-Jek dan Grab yang kemudian menjadi unicorn?

Tidak. Saya mendapat kesempatan untuk berinvestasi, namun tidak menyesal karena tidak mengambil kesempatan itu. Tetapi saya banyak belajar karena tidak mengira bahwa bisnis akan menjadi seberagam ini. Saya ingin bisa meramal sebuah bisnis dapat tumbuh dalam keadaan saat ini.

Bagaimana keseluruhan ekosistem startup di Asia Tenggara. Negara mana di wilayah ini yang berpotensi bersaing dengan Silicon Valley? Apa pendapat Anda tentang kegiatan startup yang terjadi di Malaysia?

Sekarang, banyak orang di AS, Cina, India, Korea Selatan berinvestasi dalam startup Indonesia, dan ekosistem semakin kaya. Kami merasa bahwa ekosistem startup akan menjadi lebih kaya jika perusahaan unicorn mulai menunjukkan diri di bursa saham. Silicon Valley ya Silicon Valley. Akan tidak masuk akal untuk membandingkannya dengan Asia Tenggara.

Kami percaya bahwa startup yang berbisnis di Indonesia lebih berpotensi menjadi unicorn dibandingkan dengan negara lain di Asia Tenggara. Ada banyak startup luar biasa di Malaysia dan beberapa di antaranya sudah menuai profit. Di sisi lain, sebagai negara, potensi kenaikan pasar terbatas, jadi kami merasa bahwa jika perusahaan tumbuh besar, ia akan memiliki model bisnis yang mampu melakukan ekspansi ke luar negeri seperti Grab.

Menurut Anda, apa saja perusahaan yang dapat mengubah lanskap startup di Asia Tenggara?

Untuk memperkaya ekosistem startup, kami berharap perusahaan seperti Go-Jek, Grab, Tokopedia, bisa mengajukan IPO atau mengamankan dana lebih besar untuk secara proaktif melakukan M&A dan lain-lain. Kami juga berharap bisa melihat lebih banyak pengusaha dengan pengalaman kerja di unicorn.

Mengapa Genesia memilih Jakarta sebagai kantor pusat di Asia Tenggara?

Hal itu karena Indonesia adalah negara terbesar dan pasar yang paling kompetitif di Asia Tenggara.

Berapa banyak perusahaan yang ada dalam rencana investasi lanjutan Genesia? Sudahkah Anda mengidentifikasi startup untuk investasi? Selain pendanaan, apa lagi yang Anda berikan kepada perusahaan portofolio Anda?

Kami belum memutuskan berapa banyak perusahaan yang akan kami investasikan dari dana kedua ini, tetapi kami tidak akan menambah jumlahnya menjadi tiga atau empat tahun. Kami akan tetap selektif dalam keputusan investasi kami. Sudah ada beberapa perusahaan yang kami janjikan untuk berinvestasi.

Selain pendanaan, kami mendukung mereka melalui diskusi strategi bisnis, konsultasi mengenai struktur organisasi dan rencana rekrutmen, dan penggalangan dana (memberikan dukungan untuk membuat pitch deck dan jaringan dengan investor tidak hanya di Jepang dan Asia Tenggara tetapi juga wilayah lain).

Berapa rata-rata investasi Anda? Apakah akan berbeda untuk pasar di kawasan ini?

Kebijakan investasi kami pada dasarnya sama di mana pun di Asia Tenggara. Karena investasi awal kami menargetkan putaran pra-Seri A, ukuran tiket rata-rata adalah US$300.000-$600.000. Jumlah investasi lanjutan bervariasi dari perusahaan ke perusahaan. Rencana kami adalah membuat jumlah investasi rata-rata per perusahaan $1-2 juta, termasuk investasi lanjutan.

Apakah Genesia I sudah kehabisan dana? Apakah ada exit yang tersorot?

Kami tidak lagi melakukan investasi awal dari dana I. Kami hanya memiliki anggaran untuk investasi lanjutan. Jadi kami akan melakukan investasi awal dari dana II di masa depan. Tidak banyak exit sejauh ini karena baru berjalan dua tahun sejak dana I keluar, tetapi ada beberapa yang tersorot.

Bagaimana pengalaman Anda sebagai General Partner dari CyberAgent Ventures? Mengapa Anda meninggalkan Perusahaan untuk bergabung dengan Genesia?

Pekerjaan saya dengan beberapa pengusaha di Asia Tenggara dan Jepang telah mendorong minat saya untuk menjadi Mitra Umum di perusahaan VC institusional, melawan kemungkinan bekerja untuk CVC.

Sebagian besar, jika tidak semua, dari Limited Partner Genesia berasal dari Jepang. Apakah mereka optimis tentang industri startup di Asia Tenggara?

Walaupun Jepang masih merupakan ekonomi terbesar ketiga di dunia, pasarnya tidak akan tumbuh dengan cepat di masa depan. Karena itu banyak perusahaan Jepang memandang Asia sebagai pasar penting bagi pertumbuhan mereka di masa depan. Kami berusaha untuk menjadi platform yang menghubungkan perusahaan Jepang dan perusahaan tahap awal di Asia.

Bagaimana pembagian ekonomi di wilayah ini? Apakah ia berpotensi tumbuh lebih besar?

Karena real estat, mobil dan sepeda, serta peralatan konstruksi dan pertanian adalah aset yang mahal, menurut kami berbagi ekonomi untuk aset-aset tersebut memiliki potensi untuk berkembang. Karena itu kami telah berinvestasi di Luxstay, platform berbagi rumah di Vietnam. Selain itu, kami juga berinvestasi di Sukedachi (platform pencocokan pekerjaan berdasarkan permintaan untuk kontraktor dan pekerja konstruksi) dan Taimee (platform pekerjaan sementara berdasarkan permintaan) di Jepang. Kami juga mengawasi gig economy di Asia Tenggara.


Disclosure: Tulisan tamu yang dibuat oleh Sainul Abudheen K. ini awalnya dimuat di e27. Diterjemahkan (oleh Kristin Siagian) dan disunting atas izin penulis.