Tag Archives: east ventures digital competitiveness index

East Ventures Digital Competitiveness Index 2021

East Ventures Paparkan Pemetaan Daya Saing Digital Indonesia di 2021

East Ventures (EV) kembali merilis edisi kedua laporan Digital Competitiveness Index (DCI) yang memetakan daya saing digital pada 34 provinsi dan 25 kota di Indonesia. Laporan ini banyak menyoroti bagaimana pandemi Covid-19 mengakselerasi digitalisasi di Indonesia secara signifikan.

Salah satunya adalah kenaikan penetrasi internet yang luar biasa. Dalam laporannya, EV-DCI menyebutkan bahwa pengguna internet Indonesia bertambah 25 juta hanya dalam kurun waktu delapan bulan (Mei-Desember 2020). Sementara, Indonesia membutuhkan 10 tahun sejak 2009 hingga 2019 untuk mendapatkan 30 juta pengguna internet menjadi 167 juta.

Menurut Co-Founder & Managing Partner East Ventures Willson Cuaca, pertumbuhan ekonomi digital Indonesia akan sulit dikebut apabila infrastrukturnya tidak merata. Jika infrastruktur dan layanan digital tersebar di setiap provinsi, Indonesia dapat ‘menyetir’ ekonomi digital dengan baik.

“Ibarat dalam ketapel, ekonomi digital kita adalah bola. Gara-gara Covid-19, bola ketapel kita tertahan ke belakang. Di sini terjadi akumulasi power di mana pelaku startup disiplin dan merespons situasi dengan baik. Dengan infrastruktur yang dibangun bertahun-tahun dan populasi internet bertumbuh, potensi ekonomi digital kita terkumpul dalam peregangan ketapel. Artinya, bola ini akan melesat begitu situasi Covid-19 mereda,” ujarnya dalam paparan virtual EV-DCI.

Gambaran analogi ketapel yang disampaikan Willson dalam pemaparannya / East Ventures

Untuk memetakan daya saing digital tersebut, EV-DCI menggunakan pengukuran yang mengacu pada sembilan metode pada tiga pilar, antara lain input (sumber daya manusia, penggunaan TIK, pengeluaran TIK), output (perekonomian, kewirausahaan & produktivitas, ketenagakerjaan), dan penunjang (infrastruktur, keuangan, regulasi & kapasitas pemerintah daerah).

Skor daya saing digital Indonesia

Secara keseluruhan, indeks daya saing digital Indonesia di 2021 berada di angka tengah 32,05 atau meningkat dari skor sebelumnya 27,92 di 2020. Ada beberapa temuan yang disoroti dari capaian indeks ini.

Pertama, skor pada pilar SDM semakin melandai dari 77,3 poin di 2020 menjadi 58,4 poin di 2021. Artinya, daya saing ke-34 provinsi dalam menyiapkan SDM semakin merata. Pada pilar infrastruktur digital, laporan ini mencatat kenaikan signifikan hingga 7,5 poin dari semula 46,8 poin di 2020 menjadi 54,3 di 2021.

Secara keseluruhan, DKI Jakarta masih mengungguli provinsi dengan daya saing digital terbesar. Namun, kali ini Bali dan Riau sama-sama naik tiga peringkat dengan masing-masing ke posisi empat dan tujuh di tahun ini. Kenaikan ini dipicu oleh peningkatan infrastruktur internet yang semakin menjangkau pedesaan sehingga mendorong pertumbuhan usaha.

“Alasan kenaikan skor di Riau adalah karena konsentrasi di SDM semakin membaik. Kerja sama Indonesia dan Singapura untuk membangun Nongsa Digital Park di Batam otomatis memberikan spillover effect sehingga mendorong pertumbuhan talenta digital. Demikian juga di Bali yang kini menjadi destinasi digital nomad yang bekerja remote, baik di Thailand, Malaysia, atau negara lain. Makanya ada pergerakan ekonomi yang signifikan di sana,” jelasnya.

Kendati demikian, ketimpangan digital masih sangat terasa di luar Jawa. EV-DCI melaporkan bahwa hampir semua wilayah Indonesia, kecuali Jawa, terwakili dalam sepuluh provinsi dengan daya saing terendah. Ada tujuh provinsi non-Jawa di posisi ini antara lain Kepulauan Bangka Belitung, Lampung, Aceh, Kalimantan Tengah, Nusa Tenggara Timur, Papua Barat, Kalimantan Barat, Maluku Utara, Sulawesi Barat, dan Papua

Pentingnya akses dan SDM

Dari sejumlah laporan yang disoroti di atas, Willson menekankan bahwa akses dan SDM menjadi salah satu elemen penting dalam meningkatkan daya saing digital. Misalnya, daerah membuka akses investasi dari luar.

Di luar itu, ada juga variabel lain yang dapat mendorong daya saing digital per daerah, seperti pengembangan edukasi dan kapabilitas. Willson menilai bahwa penyerapan digital terhadap UMKM bisa lebih cepat apabila setiap wilayah di Indonesia memiliki SDM yang baik. Artinya, ada akselerasi yang membuat output menjadi lebih besar.

“Pemerataan digital itu tidak berkaitan dengan keharusan memiliki startup di setiap wilayah. Startup itu pasti terkonsentrasi di kota besar seperti Jakarta, tetapi mereka bisa membuka cabang tanpa harus menunggu di daerah itu ada startup baru. Apa yang dibangun di Jakarta dapat dipakai tempat lain, makanya jalannya harus dibangun supaya bisa kencang dan dinikmati,” jelas Willson.

Dampak pandemi

Transportasi dan travel online menjadi dua sektor yang terdampak signifikan akibat Covid-19. Dampak ini terlihat dari jumlah kunjungan per Januari 2020 yang mencapai 1,29 juta kunjungan, anjlok 89% menjadi 141.269 per Januari 2021.

Kendati demikian, perubahan pola masyarakat Indonesia ke perjalanan domestik diprediksi mendongkrak bisnis OTA hingga lima kali lipat di 2025. Terutama dengan distribusi vaksin lebih luas, confidence level terhadap bisnis OTA akan perlahan-lahan pulih.

Di sisi lain, dampak positif juga dialami pada sektor lain, seperti infrastruktur digital, e-commerce, dan edtech. Pada kasus Tokopedia, unicorn ini mengantongi sebanyak 2,5 juta merchant di sepanjang 2020. Padahal, Tokopedia membutuhkan waktu 10 tahun untuk mendapatkan 7 juta merchant.

“Semua bisnis dipaksa online karena tidak bisa jualan offline saat pandemi. Makanya pengeluaran pulsa juga turut naik. Di Indonesia, ada 30 juta pengguna internet baru yang pertama kali bertransaksi di e-commerce selama masa pandemi. Tetapi, apakah setelah go online, ekonomi digital bisa langsung melesat? Di sini mengapa O2O penting. Behavior akan tetap stay, begitu vaksin didistribusikan, offline dan online jalan, akselerasi akan lebih cepat,” katanya.

Tren digital selanjutnya

Willson juga mengungkap beberapa tren digital selanjutnya yang bakal semakin terakselerasi karena Covid-19. Pertama, sektor yang berkaitan dengan media (game, media sosial, video, etc) akan semakin meningkat dan mendorong terciptanya kategori baru, yakni creator economy.

“Semua orang bisa menciptakan konten sendiri ke depannya sejalan dengan tren perilaku konsumen yang beralih dari [konsumsi] TV. Eyeball semua tadinya di TV, kini konsumen bisa [menciptakan] konten mengikuti tren pasar,” tutur Willson.

Selanjutnya adalah tren investasi di dompet digital. Menurutnya, bisnis dompet digital sudah mendominasi pasar Indonesia. Jika bicara investasi ke dompet digital, tren ini dinilai tak lagi menarik. “Justru yang menarik adalah bagaimana isi dompetnya. Makanya, semua [pelaku startup] masuk ke bank digital,” ucapnya.

Terakhir, konsep remote working dan Work From Home (WFH) yang sudah mulai terbiasa diadaptasi perusahaan selama masa pandemi, akan semakin meningkatkan adopsi Software-as-a-Service (SaaS), misalnya cloud based computing.

Daya saing digital Indonesia masih terbilang rendah menurut laporan East Ventures - Digital Competitiveness Index (EV-DCI)

Laporan East Ventures: Daya Saing Digital Masih Rendah, Startup Didorong Masuk ke Pelosok

Daya saing digital Indonesia masih terbilang rendah menurut laporan East Ventures – Digital Competitiveness Index (EV-DCI) dengan indeks rata-rata 27,9 untuk 34 provinsi. Jakarta menjadi provinsi dengan indeks tertinggi (79,7), sementara Papua menempati urutan terakhir (17,7).

Laporan ini merupakan alat untuk mengukur kondisi ekonomi digital di wilayah Indonesia berdasarkan tiga aspek. Masing-masing aspek ini memiliki tiga pilar yang menjadi alat ukur EV-DCI, dengan turunan data pendukung yang diambil dari lembaga resmi.

Aspek input yang mencakup sejumlah pilar utama yang mendukung terciptanya ekonomi digital. Tiga pilarnya adalah SDM, penggunaan ICT, pengeluaran untuk ICT. Aspek output untuk menggambarkan sejumlah pilar terkait ekonomi digital yang dihasilkan. Tiga pilarnya adalah perekonomian, kewirausahaan dan produktivitas, dan ketenagakerjaan.

Terakhir, aspek penunjang yang mendukung secara tidak langsung pengembangan ekonomi digital. Tiga pilarnya adalah infrastruktur, keuangan, regulasi dan kapasitas pemda.

Persebaran Skor EV-DCI / East Ventures
Persebaran Skor EV-DCI / East Ventures

Dari sembilan pilar ini, kesiapan Indonesia dalam ekonomi digital terlihat dari pilar penggunaaan ICT dengan skor tertinggi. Penggunaan ICT yang dimaksud terdiri dari kepemilikan smartphone, komputer, dan besarnya akses internet dari masing-masing daerah.

Kondisi ini sejalan dengan pilar infrastruktur yang merupakan bagian dari aspek penunjang, berada di posisi kedua. Sementara, dua pilar terendah adalah SDM dan kewirausahaan. Bila diterjemahkan, Indonesia masih menghadapi persoalan keterbatasan SDM yang terampil dalam ekonomi digital.

Wilayah Jawa memiliki daya saing digital terbaik, semua provinsinya menempati posisi 10 besar. Dilihat dari sub-indeks input dan output, hampir semua provinsi di Indonesia memiliki skor output yang lebih rendah daripada input.

Hal ini mengindikasikan daerah-daerah di Indonesia belum dapat mengoptimalkan input dalam hal SDM, penggunaan dan pengeluaran ICT, menjadi output dalam hal perekonomian, kewirausahaan, dan tenaga kerja. Kondisi ini tercermin dari NTB dan Papua yang punya output lebih besar daripada input.

Urutan provinsi dengan indeks EV-DCI terbaik hingga terendah / East Ventures
Urutan provinsi dengan indeks EV-DCI terbaik hingga terendah / East Ventures

Yogyakarta menjadi provinsi dengan jarak cukup jauh antara input dan output. Artinya, provinsi ini punya sumber daya besar, tapi belum dimanfaatkan secara optimal untuk mendorong ekonomi digital. Hal yang sama juga terjadi untuk Kalimantan Timur, Bali, Kepulauan Riau, dan Bangka Belitung.

Selain membahas penggunaan digital dan literasinya, laporan ini juga membahas pekerjaan-pekerjaan apa saja yang akan hilang karena ekonomi digital. Juga memperkirakan pekerjaan baru apa saja yang akan muncul untuk meningkatkan kapabilitas suatu orang.

Langkah selanjutnya untuk stakeholder

Managing Director East Ventures Willson Cuaca menjelaskan EV-DCI bisa menjadi peta berikutnya untuk para penggiat startup dalam melebarkan bisnisnya secara tepat guna. Untuk startup yang skalanya sudah besar bisa didorong untuk masuk ke daerah yang potensi digitalnya masih gersang agar literasi digitalnya tinggi.

Akan tetapi, untuk startup baru, menerjemahkan laporan ini bukan dengan masuk ke lokasi yang gersang. Menurutnya startup itu butuh ekosistem sendiri, beberapa di antaranya butuh jumlah penduduk yang tepat, akses ke investor, infrastruktur ICT, hingga bandara udara.

“Ibaratnya sama seperti menanam pohon. Tidak semua jenis pohon bisa ditanam di tanah yang sama karena harus ada ekosistemnya,” terangnya.

Dia menerangkan, East Ventures punya teori yang menyebutkan bahwa startup itu baru akan jalan ketika masuk ke daerah dengan populasi minimal 7 juta orang. Asumsi angka ini dilihat dengan mengambil rata-rata kasar jumlah usia muda, diperkirakan ada 20%.

Dari angka ini diperkirakan, pengguna internet ada separuhnya sekitar satu juta. Artinya, ini adalah potensi pengguna yang bakal memakai produk apabila merilis suatu aplikasi. “Kalau populasinya hanya 70 ribu orang, maka target penggunanya akan semakin kecil.”

Teori ini melihat dari kesuksesan California dengan Silicon Valley yang punya populasi di atas 7 juta. Tokyo diperkirakan punya 14 juta populasi, sementara hampir sepertiga dari populasi di Korea Selatan terpusat di Seoul.

“Jadi berdasarkan teori ini mungkin buat startup di Surabaya kemungkinan gagalnya tinggi, harus beralih ke Jakarta.”

Menurutnya, apabila teori ini tidak tepat maka kenyataannya Silicon Valley akan ada banyak di berbagai negara. Tapi kenyataan ini tidak terjadi. Selain Jakarta, belum ada startup dari daerah yang terlihat paling menonjol.

Willson juga membuka kesempatan untuk mengelaborasi lebih jauh dari hasil laporan EV-DCI ini karena ada banyak turunan yang bisa dibahas. Salah satunya adalah fakta mengenai tingginya indeks persebaran layanan fintech di suatu lokasi, sejalan dengan penurunan kantor cabang.

Kondisi ini bisa dibuat suatu prediksi oleh bank dan regulator di mana lokasi penutupan berikutnya. Agar bank tersebut bisa fokus ke hal lain.

“Kita enggak mau berhenti [sebar luaskan laporan] di sini saja, mau teruskan ke luar negeri. Sehingga orang tahu negara kita seperti apa, agar semakin banyak orang yang masuk ke Indonesia untuk berinvestasi,” pungkasnya.