Tag Archives: Echelon Asia Summit 2019

In Observation of Property Portal Potential as One of A Kind Market

Almost all vertical market is disrupted by technology, including property. The business is mainly controlled by the veteran, resulting in traditional methods in the process, including sales and rents.

Technology-based startups become the answer for a whole more efficient process. Therefore, various solutions are offered under basic circumstance as marketplace portal. The thing is how to simplify sales, rents, by connecting business to the target consumers.

In Indonesia, there are many overseas property portals surging up. The 99.co (Urbanindo acquisition), Rumah.com (part of PropertyGuru Group), Lamudi, Rumah123 (part of REA Group), and OLX. There are also locals, such as Rumahku.com and BTN Properti.

Their business models are kind of similar, connecting sellers with potential buyers. Mostly, it’s formed as classified ads with subscriptions. Unfortunately, most of the portals can be posted only by agents.

Take a look at Singapore, the developed country has various property startups with unique business models. One of those is Ohmyhome. They offer a D-I-Y platform approach to sell and buy houses. Everything is available independently, without agents.

Ohmyhome is yet to enter the Indonesian market. However, they’ve reached Malaysia and Thailand since early 2019 for business expansion.

In order to know further on how Ohmyhome provides a solution that disrupts property industry, Echelon Asia Summit 2019 has invited Ohmyhome’s Co-Founder, Race Wong to share insights on his three-year-old company.

Offering a localized solution

Ohmyhome offers a different business model from other property business players in Singapore / Ohmyhome
Ohmyhome offers a different business model from other property business players in Singapore / Ohmyhome

Wong said Ohmyhome intends to end the high commission issue for agents. Also, the long and tiring process of having a house, up to 10 stages. Start from price negotiation, credit agreement, to the 1-on-1 meeting.

In Singapore, 90% of the population are living in Housing and Development Board (HDB) residence. It’s Government-owned with high density due to the low cost and apartment look.

Ohmyhome also cut the agent channel for the faster process. Though, the company still owns special agents to handle customer’s complaints.

“We’re not a marketplace, not selling any opinion, or providing classified ads, but focusing on the end-to-end solution. It doesn’t matter how you buy a property, if someone’s contacting you through Ohmyhome, please take over the transaction yourself without adding more cost,” he explained.

In addition, if there’s some technical issue on the field which mostly handled by agents, customer can reach Ohmyhome team. The cost depends on the services. When it comes to trading, it starts from SGD2,888 for full service, SGD1,688 for meet-up and documentation. For rents, it usually costs SGD988 for full service, $98 for the lite one.

“This model is quite new in Singapore, so we have no direct competitor due to a different business model. We charge a flat rate because we want everyone to get the same opportunity with any services they needed.”

When we expand to Malaysia, the business model under HDB can’t be implemented in any way by Ohmyhome. They apply commission with percentage for its transaction in the Jiran country, it’s all about trust not price.

Therefore, the company partners with developers to reach potential buyers. Because developers can’t trust agents and buyers can’t trust agents. There are many frauds, the house they purchase through an agent is occupied by illegal immigrant or else. The property agents are freelance, it comes with high risk in fraud.

Yet to cut property agents

echelon, Echelon Asia Summit 2019, marketplace, ohmyhome, portal properti, property, proptech, race wong

Although Ohmyhome has been using technology-based back-end system, the company still in need of human touch by using property agents. They’re recruited for full-time, not freelance, to provide customers’ need.

Agents have important roles in helping people in making a  huge decision and also the inseparable element. In fact, buying a house is not a daily routine, that’s why agents still needed.

“But if you want to sell the house to friends or colleagues, does it still require agents? Of course, not. They might be useful for the documentation process.”

Wong said the company has facilitated 2,000 houses worth over SGD 1 billion. To be compared, there are more than 1000 property agents in Singapore. There are 10 leading companies, each has 300 to 600 agents.

However, seeing the transaction, Ohmyhome is in the fifth position, with only 20 agents. Though, it needs hundreds of agents to sell 2500 units in traditional ways.

“We do believe it can be more efficient by completing the automation process. While the industry still using a traditional and manual process, they will need a 1-on-1 meeting to build relation.”

It is said the average transaction through Ohmyhome took a month the longest, and a day the fastest. In the industry, it usually takes up to three months.

In the observation, Ohmyhome business looked very ensuring with the solution they offered that gets the current issue in the country. Hopefully, in Indonesia, the property startup players can be more innovative in presenting its solution to be not only a marketplace portal.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Tren Industri OTA

Tiket Atraksi dan Hiburan Jadi Tren Industri OTA Selanjutnya Setelah Akomodasi

Pariwisata adalah istilah yang sangat luas, tidak berbicara tentang tiket transportasi atau kamar hotel saja. Ada banyak irisan lainnya yang berkaitan dan tidak kalah menarik untuk diseriusi. Salah satunya adalah tiket akomodasi untuk atraksi, gaya hidup dan hiburan.

Ranah ini menarik karena melihat dari kebiasaan para pelancong setelah memesan tiket perjalanan dan hotel, mereka cenderung baru membuat rencana apa yang akan dilakukan setiba di destinasi. Para pemainnya pun mulai ramai bermunculan, hingga Traveloka dan Tiket membuat sub bisnis ini. Tak mau kalah, Gojek dan Grab yang memulainya terlebih dahulu dengan tiket akomodasi perjalanan dan hotel.

Di Asia Tenggara, isu ini juga cukup menarik dan menjadi salah satu pembahasan yang diangkat di Echelon Asia Summit 2019 di Singapura pada akhir bulan lalu. Mengundang empat pembicara, yaitu Chuan Sheng Soong (Klook), Liu Weichun (KKday), Blanca Menchaca (BeMyGuest), dan Kelvin Lam (YouTrip).

Keseluruhan pembicara ini adalah pemain OTA yang khusus di ranah yang sedang rising star tersebut. Klook dan KKday juga telah hadir di Indonesia.

Faktor eksternal dukung perubahan kebiasaan

Blanca menjelaskan faktor pendukung eksternal yang mendukung seseorang untuk melancong adalah semakin banyaknya pilihan maskapai dengan harga terjangkau dan harga kamar hotel yang bervariasi, dari budget sampai bintang lima. Di samping itu, semakin banyaknya pilihan destinasi lokal juga turut memengaruhi tingkat kunjungan wisatawan.

Belum lagi, saat ini kebanyakan wisatawan berasal dari kalangan milenial yang cenderung spontan dalam segala hal. Termasuk saat merencanakan dan mengambil keputusan pada hari yang sama. Namun sayangnya, sekitar 40%-60% orang akan cenderung offline begitu sampai di destinasi.

Maksudnya, mereka tidak lagi terhubung dengan aplikasi OTA untuk membeli semua kebutuhannya selama di destinasi. Wisatawan akan mengandalkan mesin pencari untuk mendapatkan rekomendasi dan membeli tiketnya secara offline, artinya harus mengantre, bayar tunai, dan sebagainya.

“Di luar sana masih banyak usaha kecil yang pendukung pariwisata yang belum terjamah oleh dunia online. Inilah yang ingin kami perbanyak, semakin banyak yang terhubung dengan online, bisnis kecil mereka akan semakin hidup.”

Chuan menambahkan, setelah kehadiran Klook dan KKday, terjadi perubahan kebiasaan pengguna dari sebelumnya. Pengguna kini cenderung memesan tiket atraksi yang ingin mereka kunjungi, baru memesan tiket akomodasinya. Pergeseran ini dianggap cukup baik, karena sebelumnya tiket atraksi itu ada di komponen paling akhir ketika wisatawan berkunjung ke suatu destinasi.

“Data kami memperlihatkan 50% pengguna Klook memesan tiket atraksi terlebih dahulu baru membeli akomodasinya. Ini sesuatu yang baik.”

Segmen gaya hidup dan hiburan itu istilah yang luas

Blanca melanjutkan, segmen gaya hidup dan hiburan adalah istilah yang luas dan mencakup banyak aspek. Mereka dikategorikan sebagai aset tidak berwujud. Beda halnya dengan platform e-commerce yang menjual barang berwujud seperti tas, ponsel, dan sebagainya.

“Kita menjual pengalaman yang diharapkan konsumen bisa melampaui ekspektasi mereka. Ketika pengalaman mereka jelek, mereka tidak menyalahkan penyuplainya tapi ke platformnya.”

Tiket pesawat dan hotel merupakan hal pertama yang didigitalkan oleh para pemain sebelum ramainya OTA. Seperti diketahui, kedua memiliki perbedaan kelas harga, ada eksekutif dan ekonomi, dengan pelayanan yang berbeda. Beda dengan tiket atraksi, semuanya diperlakukan sama.

Kendati demikian, hal inilah sekaligus menjadi tantangan. Sebab perlakuan untuk tiap tiket atraksi itu berbeda satu sama lainnya ada banyak vertikal yang harus diselesaikan.

Bandingkan ketika Anda ingin memesan tiket wisata ke suatu daerah dengan helikopter, lalu membeli kartu SIM lokal. Pengalamannya tentu berbeda, bukan? Padahal keduanya sama-sama masuk ke dalam segmen gaya hidup dan hiburan.

“Masih banyak pekerjaan yang harus kita lakukan untuk bantu industri perjalanan jadi lebih masif dan seamless dengan bantuan teknologi,” tambah Chuan.

Tantangan dari “super app

Menariknya segmen ini, lantas membuat unicorn semakin tertarik untuk menggelutinya. Lihat saja dari hadirnya fitur booking hotel di aplikasi Grab dan kerja sama antara Gojek dengan Tiket untuk Go-Travel. Keduanya memperkuat diri sebagai super app dengan beragam vertikal layanan di bawahnya.

Traveloka juga sudah mengumumkan sub brand baru “Traveloka Xperience” untuk perkuat dominasinya di ranah OTA. Diklaim Traveloka memiliki 15 ribu dalam 10 sub kategori yang dikurasi sendiri oleh tim.

Melihat tantangan tersebut, Kelvin menjawab bahwa pemain super app itu hanyalah sebagai tambahan jalur penjualan. Dengan basis pengguna yang begitu luas, penjualan tentunya akan semakin terdorong ketika masuk ke dalam ekosistem super app. Dari sisi konsumen pun mereka akan dimudahkan karena tidak perlu mengunduh aplikasi lain.

Akan tetapi hal ini jadi kelemahan, super app itu seperti pasar tanpa memiliki kekuatan yang paling menonjol. Sementara, para pemain seperti Klook dan KKday memiliki tim yang secara khusus memikirkan bagaimana UI/UX yang sesuai dengan para pengguna. Bagaimana penyampaian informasi dan ulasan yang lengkap untuk memberikan gambaran yang secara menyeluruh sebelum pengguna membelinya.

“Ketika kamu ingin beli tiket Universal Studio, kamu memang bisa belinya lewat super app. Tapi ketika kamu ingin menyusun seluruh rencana trip kamu, apakah mau membelinya di sana juga? Rasanya tidak. Kami pasti butuh banyak referensi dari berbagai situs untuk cari tahu apa yang paling tepat,” pungkas Kelvin.

Marketplace Properti Ohmyhome

Menilik Potensi Portal Properti Agar Tidak Sekadar Jadi Marketplace Biasa

Hampir semua vertikal industri kini mulai terdisrupsi oleh teknologi, termasuk properti. Bisnis ini umumnya dikuasai oleh pemain veteran, sehingga seluruh metodenya masih dilakukan secara tradisional, termasuk dalam proses penjualan dan sewa unit.

Kehadiran startup berbasis teknologi menjadi jawaban untuk proses menyeluruh yang lebih efisien. Alhasil, berbagai solusi ditawarkan dengan payung dasar sebagai portal marketplace. Intinya bagaimana memudahkan orang-orang yang ingin menjual, menyewa, bisa dipertemukan dengan target konsumen.

Di Indonesia, berbagai portal properti dari asing bermunculan. Ada 99.co (akuisisi Urbanindo), Rumah.com (bagian dari PropertyGuru Group), Lamudi, Rumah123 (bagian dari REA Group), dan OLX. Pemain lokal juga ada, seperti Rumahku.com dan BTN Properti.

Model bisnisnya kurang lebih seragam, menjembatani bertemunya penjual dengan calon pembeli. Bentuknya kebanyakan iklan baris dengan model berlangganan. Kekurangannya, mayoritas portal ini hanya bisa diposting oleh agen properti saja.

Melihat ke Singapura, negara maju tersebut memiliki beragam pemain startup properti dengan model bisnis yang menarik. Salah satunya Ohmyhome. Dia menawarkan pendekatan platform D-I-Y untuk menjual dan membeli rumah. Semuanya dapat dilakukan secara mandiri, tanpa agen.

Ohmyhome belum hadir di Indonesia. Tapi sudah mulai merambah ke Malaysia dan Thailand sejak awal tahun ini untuk perluasan bisnis.

Untuk melihat lebih dalam bagaimana Ohmyhome menawarkan solusi yang mendisrupsi industri properti, Echelon Asia Summit 2019 mengundang Co-Founder Ohmyhome Race Wong untuk berbagi banyak mengenai perusahaannya yang barumur tiga tahun tersebut.

Tawarkan solusi yang terlokalisasi

Model bisnis yang ditawarkan Ohmyhome cukup berbeda dengan yang ditawarkan pemain startup properti lainnya di Singapura / Ohmyhome
Model bisnis yang ditawarkan Ohmyhome cukup berbeda dengan yang ditawarkan pemain startup properti lainnya di Singapura / Ohmyhome

Race menjelaskan, Ohmyhome hadir untuk menyelesaikan isu komisi yang terlalu tinggi untuk agen. Ditambah lagi, untuk memiliki rumah prosesnya panjang dan melelahkan, bisa sampai 10 tahap. Mulai dari negosiasi harga, perjanjian kredit, sampai pertemuan 1-on-1.

Di sana, 90% masyarakat tinggal di perumahan Housing and Development Board (HDB). Perumahan milik negara yang berkepadatan tinggi karena berbentuk apartemen dan harganya murah.

Ohmyhome memotong jalur agen sehingga proses bisa jauh lebih cepat. Kendati, perusahaan tetap memiliki agen yang direkrut secara khusus untuk membantu setiap keluhan pembeli.

“Kami bukan marketplace, tidak menjual saran apapun, tidak menyediakan iklan baris, melainkan lebih fokus ke solusi end to end. Tidak peduli bagaimana kamu mau membeli properti, apabila ada yang menghubungi kamu lewat Ohmyhome dapat langsung kamu selesaikan sendiri transaksinya dan tidak dipungut biaya,” terang Race.

Dia melanjutkan, apabila pembeli butuh bantuan teknis di lapangan yang selama ini ditangani oleh agen, bisa dibantu lewat tim Ohmyhome. Komisinya tetap tergantung layanan yang diambil. Apabila transaksi jual beli, mulai dari SGD2.888 untuk layanan penuh, SGD1.688 untuk meet-up dan dokumentasi. Untuk sewa, biayanya mulai dari SGD988 untuk layanan penuh, $98 untuk layanan lite.

“Model seperti ini cukup baru di Singapura. Jadi kami tidak punya kompetitor langsung karena model bisnisnya berbeda. Kami charge dengan harga tetap karena kami ingin semua orang punya kesempatan yang sama di setiap layanan yang mereka butuhkan.”

Ketika ekspansi ke Malaysia, model bisnis yang dilatarbelakangi oleh HDB ini tidak bisa diterapkan sama sekali oleh Ohmyhome. Mereka menerapkan sistem komisi dengan persentase untuk transaksinya karena di Negeri Jiran tersebut, isunya mengenai kepercayaan bukan harga.

Makanya, perusahaan bekerja sama dengan pengembang untuk menemukan calon pembelinya. Sebab pengembang tidak percaya dengan agen dan pembeli tidak percaya agen. Banyak kasus penipuan, unit rumah yang dibeli pembeli lewat agen ternyata ditempati oleh imigran ilegal dan sebagainya. Agen properti di sana konsepnya freelance, rentan dengan risiko penipuan.

Tetap memiliki agen properti

Kendati seluruh back-end sistem Ohmyhome sudah berbasis teknologi, namun perusahaan tetap memerlukan sentuhan manusia dengan menghadirkan agen properti. Mereka secara khusus direkrut, tidak secara freelance, untuk melayani kebutuhan para pembeli.

Agen memiliki peranan yang penting untuk bantu orang dalam mengambil keputusan besar dan menjadi elemen yang tidak bisa dipisahkan. Pasalnya, membeli rumah bukanlah keputusan yang umum dilakukan setahun sekali. Makanya, peran agen tidak bisa dihilangkan.

“Namun apabila kamu ingin jual rumah ke orang yang sudah dikenal, apakah masih butuh peran agen? Tentunya tidak. Paling agen itu hanya dibutuhkan untuk proses dokumentasinya.”

Race menyebut perusahaan telah memfasilitasi 2.00 unit rumah senilai lebih dari SGD1 miliar. Bila dibandingkan, ada lebih dari 1000 perusahaan agen properti di Singapura. 10 perusahaan teratas, memiliki sekitar 300 sampai 600 agen di tiap perusahaan.

Namun melihat dari jumlah transaksi, Ohmyhome berada di posisi kelima, tapi hanya memiliki 20 agen saja. Padahal, untuk menjual 2500 unit butuh ratusan agen bila dilakukan secara tradisional.

“Kami percaya bisa lebih efisien lagi dengan terus menyempurnakan proses automasi di dalam sistem. Sebab selama ini industri perumahan ini masih tradisional dan manual, butuh proses tatap muka untuk bangun relasi.”

Diklaim secara rerata proses transaksi di Ohmyhome butuh waktu sebulan, ada yang tercepat hanya sehari. Di industri proses beli rumah itu butuh waktu sampai tiga bulan.

Melihat konsep bisnis yang ditawarkan Ohmyhome ini tentunya sangat menarik bagaimana solusi yang ditawarkan sesuai dengan apa yang terjadi di negara tersebut. Semoga di Indonesia, para pemain startup properti bisa lebih inovatif dalam menghadirkan solusinya agar tidak sekadar portal marketplace saja.

Inovasi Startup di Korporasi

Membawa Budaya Inovasi Tangkas ala Startup di Korporasi

Korporasi besar makin mawas diri dengan keberadaan startup. Mereka sadar daripada berlomba-lomba untuk mengejar startup, tapi di saat yang bersamaan tidak ingin terlena dengan terjangan inovasi yang dihadirkan pemain startup. Akhirnya memaksa mereka untuk berinovasi yang dimulai dari internal. Namun bagaimana caranya?

Dalam salah satu diskusi panel yang digelar Echelon Asia Summit 2019 sebulan lalu di Singapura, menghadirkan empat pembicara. Mereka adalah Winston Damarillo (Amihan), Audrey Kuah (Dentsu Aegis Network), Terrence Ng (Lenovo), dan Quentin Vaquette (ENGIE).

Keempat pembicara ini memberikan tips bagaimana mengukur kesuksesan korporasi untuk berinovasi seperti startup, apa saja yang harus dihindari agar tidak mengulang dari pengalaman yang sudah mereka alami sendiri.

Bangun budaya intrapreneurship

Intrapreneurship adalah budaya yang dianut penuh oleh startup. Membebaskan tim untuk bereksperimen dan berani menerima kegagalan. Dua hal ini yang paling ditakuti oleh suatu korporasi di manapun. Akhirnya mengakar dalam budaya kerja yang diterapkan.

Padahal, intrapreneurship itu bahan penting yang perlu selalu ada tidak hanya di startup tapi juga di perusahaan pada umumnya. Sebab menjadi salah satu faktor penentu kesuksesan inovasi korporasi dapat sukses.

Inovasi adalah proses dinamis yang membutuhkan banyak ide untuk dieksekusi. Lalu disaring satu per satu, disempurnakan, sampai akhirnya sesuai dengan kebutuhan pasar. Oleh karena itu biarkan karyawan Anda mencoba cara mereka untuk mewujudkan ide tersebut dan Anda akan mendapat proses inovasi.

“Tantangan skalabilitas di perusahaan saat berinovasi selalu mengenai mindset dan budaya perusahaan,” terang Audrey.

Kegagalan akan terus menghantui dan itu sudah menjadi bagian dari proses inovasi. Anda harus siap dengan hal itu. Yang terpenting setelah gagal adalah berani untuk move on dan memperbaiki kesalahan tersebut. Semakin sering gagal, harus dijadikan peluang untuk lebih baik lagi dalam berinovasi.

Komitmen penuh dari C Level

Mindset tidak akan berpengaruh sama sekali apabila tidak ada dukungan penuh dari C level. Korporasi yang berkomitmen ingin berinovasi, setidaknya memiliki satu direksi yang paham betul semua seluk beluk mengenai dunia inovasi, entrepreneurship, dan startup. Pasalnya, ke depannya semua keputusan yang dia ambil secara tidak langsung berkaitan dengan perspektif inovasi.

Damarillo menyebutkan, kebanyakan C level dilatih untuk berpikir secara jangka pendek, per kuartal, atau tahunan saja. Padahal inovasi itu adalah bentuk investasi jangka panjang yang harus dilakukan secara terus menerus.

Pivot yang menjadi hal lumrah bagi startup, menjadi hal yang begitu menakutkan buat mereka. Dia pun memprediksi setidaknya butuh waktu selama tiga bulan sampai setahun untuk benar-benar mencerna seluruh hal baru tersebut sampai akhirnya siap menjadikannya sebagai prioritas.

“Setiap bisnis yang beroperasi saat ini punya risiko di-disrupt oleh startup. C level harus sadar dengan fakta tersebut,” katanya.

Buat kolaborasi dengan startup

Startup dan korporasi itu saling melengkapi satu sama lain. Ada kelebihan dan kekurangan yang masing-masing dimiliki. Hal inilah yang ditekankan oleh Vaquette. Korporasi besar menurutnya ahli dalam mengoptimalkan bisnis, sementara startup itu lebih ke arah kecepatan atau agile.

Bisa kita sendiri lewat kolaborasi yang kini kian kencang antara startup fintech dengan perbankan. Keduanya saling melengkapi. Bank kini tidak perlu buka cabang untuk mendapatkan nasabah baru, cukup memanfaatkan teknologi yang dikembangkan oleh startup.

Solusi lainnya adalah membentuk tim kecil dan menunjuk orang yang bertanggung jawab atas tim tersebut untuk berinovasi. Kepala tim inilah yang akan berhubungan langsung dengan C level untuk koordinasinya. Biarkan tim tersebut bekerja seperti startup, tanpa harus terbentur dengan birokrasi.

Lalamove Perusahaan Logistik

Memetik Tiga Pelajaran dari Ekspansi Lalamove untuk Kuasai Logistik di Asia Tenggara

Industri e-commerce di Asia Tenggara telah tumbuh begitu pesat dengan tingkat transaksi yang selalu berlipat ganda tiap tahunnya. Inovasi di berbagai sisi dilakukan demi meningkatkan kepuasan konsumen, sekaligus untuk efisiensi.

Di satu sisi, inovasi yang dilakukan industri logistik belum bisa menyamai. Padahal industri ini adalah salah satu ekosistem pendukung e-commerce dengan peran yang vital karena berkaitan penuh dengan unsur efisiensi.

Lalamove mengambil peluang tersebut dengan menjadikan diri sebagai on demand logistik, mengangkat teknologi sebagai DNA. Alhasil, memosisikan Lalamove untuk mitra perusahaan yang ingin mengedepankan kecepatan layanan kepada konsumen tanpa harus berinvestasi di segmen yang mereka kurang mengerti.

Dalam diskusi singkat di Echelon Asia Summit 2019 pada akhir bulan lalu, Managing Director of International Lalamove Blake Larson memaparkan berbagai hal yang bisa dipetik lewat ekspansinya di Asia Tenggara. Bagaimana perusahaan menjembatani semua kebutuhan yang terfragmentasi di tiap negara.

“Kami sangat ingin memberdayakan usaha lokal yang sudah mereka kuasai. Lalamove menjadi mitra saat mereka ingin mengembangkan bisnisnya. Jadi saat musim puncak, mitra tidak ada armada yang mencukupi, kami bisa bantu,” terang Larson.

Lalamove memiliki armada terlatih yang bisa membantu mitra mengatur dan melakukan pengiriman sesuai kebutuhan dengan berbagai moda. Larson menyebut perusahaan sudah berdiri sejak 2013 di Hong Kong. Lalu ekspansi ke berbagai negara seperti Thailand, Vietnam, Filipina, Malaysia, Singapura, Taiwan, Cebu, India, dan Tiongkok.

Di Indonesia, Lalamove baru meresmikan kehadirannya pada akhir tahun lalu. Secara total Lalamove hadir di lebih dari 150 kota di Asia Pasifik, dengan total armada lebih dari 2 juta dan 15 juta konsumen terdaftar. Perusahaan telah menyandang status unicorn berkat pendanaan yang diterima Seri D senilai US$300 juta pada awal tahun ini.

Teknologi sebagai DNA perusahaan

Lalamove membedakan diri dengan perusahaan logistik pada umumnya karena sepenuhnya menggunakan teknologi. Larson menjelaskan sebagai perusahaan dengan pertumbuhan yang pesat, salah satu tantangan yang dihadapi adalah memastikan sisi permintaan armada selalu terpenuhi seiring bertambahnya jumlah konsumen.

Di saat yang sama, juga memastikan bagaimana Lalamove bisa tetap memberikan pengalaman terbaik untuk para pengguna dan pengemudinya. Oleh karena itu, perusahaan sangat bergantung pada data untuk mengintegrasikannya melalui API.

Dia mencontohkan, berdasarkan variasi rute perjalanan yang diambil pengemudi, perusahaan bisa memberikan rekomendasi rute terbaik untuk pengiriman tercepat. Atau merekomendasikan pengemudi yang tepat apabila ada kebutuhan khusus dari mitra.

“Teknologi memungkinkan kita untuk memberikan pengalaman seamless dan serba otomatis, pengguna dan pengemudi dapat mengirim dan menerima permintaan pengiriman yang nyaman, tahu persis berapa biayanya dan membayarnya melalui berbagai opsi pembayaran.”

Isu ini terjadi di India. Saat melakukan riset di lapangan, ternyata kompetisi logistik di sana begitu tinggi karena tidak ada pengemudi yang secara khusus melayani suatu perusahaan. Mereka berkumpul dan menunggu pesanan datang. Apabila hanya ada satu, bisa saling berebut. Sehingga bisa jadi seorang pengemudi tidak mendapat pesanan sama sekali sampai berhari-hari.

Sentuhan manusia selalu dibutuhkan dan paling utama

Larson menekankan perusahaan selalu membutuhkan sentuhan manusia, meski DNA perusahaan berbasis teknologi. Sentuhan manusia ini berdampak penuh pada retensi pengguna dan pengemudi itu sendiri.

“Meskipun teknologi membantu kami meningkatkan efisiensi operasional dan bisnis, sentuhan manusia masih penting ketika berbicara cara meningkatkan pengalaman pengguna.”

Pengalaman online baik melalui API, aplikasi atau lainnya hanya memiliki porsi 10%. Sementara 90% sisanya secara offline terletak di sisi pengemudi dan pengguna. Hal ini mengakibatkan dari sisi inovasi cukup kontras, perusahaan lebih banyak menggunakan pendekatan branding dengan menempelkan banyak stiker di armada mereka.

Strategi ini dianggap lebih jitu karena bisa menangkap konsumen yang dibidik, daripada beriklan di situs online. Strategi tersebut dilakukan perusahaan untuk mengembangkan bisnisnya di Tiongkok. Disebutkan ada lebih dari 400 ribu armada yang memasang stiker Lalamove.

Penyesalan memilih Singapura daripada Indonesia

Larson ditanya mengenai penyesalan apa saja yang dia harapkan bisa diperbaiki untuk Lalamove, menariknya dia menjawab bahwa dirinya menyesal lebih memilih Singapura daripada Indonesia sebagai negara kedua ekspansinya.

Pada awal berdiri, perusahaan berupaya untuk ekspansi dengan cepat. Namun pemilihan negara lebih dikarenakan kompetitor dengan model bisnis yang sama menyasar negara-negara tersebut.

“Kami masuk ke Singapura sebagai negara kedua. Saya berharap [seharusnya] ke Indonesia lima tahun lalu, bukan Singapura karena di sini tidak ada [masalah] apa-apa. Ini seperti negara dengan pangsa pasar terbesar melawan yang kecil.”

Meskipun demikian, dari seluruh negara yang kini sudah dimasuki Lalamove, Manila menjadi kota yang paling menguntungkan. Pertumbuhan di sana berkali-kali lipat lebih cepat dari kota lainnya, malah diklaim perusahaan sudah meraup untung daripada di Singapura.

Pencapaian lainnya, seperti di Bangkok, Lalamove menjadi pemain terdepan untuk pengiriman kurir makanan. Dari pencapaian tersebut, perusahaan banyak memiliki mitra restoran yang mengandalkan armada Lalamove untuk mengirim pesanan ke konsumen.

Sebagai unicorn, Lalamove tentunya memiliki kesempatan yang lebih besar untuk monopoli pasar Asia Tenggara. Namun Larson lebih memilih untuk memberikan lebih banyak pilihan untuk konsumen. Kunci memenangkan pasar di sini bukan perang harga memberikan harga termurah, tapi dengan memberikan kualitas.

“Kuncinya adalah memberikan harga yang kompetitif dan menambahkan banyak value. Bagi pemilik bisnis, bukan hanya soal dapat diandalkan, transparan, dan aman. Kami memberikan tim yang khusus didedikasikan untuk mereka.”

Terlebih, dalam industri logistik ada banyak jenis pengiriman tersedia dan kompleks. Yang mana tidak semua jenis tersebut harus dikuasai oleh Lalamove. Seperti pengiriman makanan saja, penanganannya beda dengan mengirim furnitur. Monopoli menurutnya membuat pasar jadi tidak sehat karena konsumen tidak memiliki banyak pilihan untuk membandingkan.

Echelon TOP100 adalah bagian konferensi tahunan Echelon Asia Summit 2019 yang akan diadakan pada 23-24 Mei di Singapore Expo

Tiga Alasan Mengapa Startupmu Harus Ikut Echelon TOP100

Yakin kamu bisa memenangkan kompetisi tahun ini? Daftarkan startupmu sekarang juga!

Kamu mungkin sudah pernah mendengar tentang Echelon TOP100, sebuah kompetisi startup yang menjadi bagian dari konferensi Echelon Asia Summit 2019, yang akan diadakan oleh e27 pada 23-24 Mei 2019 di Singapore Expo, Singapura.

TOP100 bertujuan untuk menemukan, mempertunjukkan, dan mengakselerasi bibit-bibit unggul di komunitas startup Asia Tenggara. Proses penjurian TOP100 melibatkan juri dari berbagai perusahaan modal ventura ternama seperti 500 Startups, SparkLabs, Cocoon Capital, Cradle Fund, dan Monk’s Hill Ventures.

Proses penjurian akan diadakan secara tertutup di enam kota di seluruh Asia Tenggara, yang akan diakhiri dengan acara networking Echelon Roadshow. Indonesia sendiri akan mendapatkan gilirannya pada 4 April 2019. Startup yang berhasil lolos tahap ini berhak mewakili negara asalnya di Singapura pada bulan Mei nanti.

Tahun lalu, salah satu startup yang mewakili Indonesia di Echelon Asia Summit 2018 adalah MyClinicalPro, sebuah startup kesehatan yang dipimpin oleh co-founder William Suryawan.

Menurut William, hal paling menarik dari mengikuti TOP100 adalah kita tidak pernah tahu siapa yang sedang menyimak presentasi kita. Bisa jadi mereka adalah calon investor, partner, atau pelanggan kita yang berikutnya.

Masih belum yakin mengapa startupmu harus ikut kompetisi ini? Berikut ini tiga alasan utama yang bisa dijadikan pertimbangan:

  1. Tahun ini, TOP100 akan memberikan hadiah senilai lebih dari Rp1 miliar (US$75,000). Selain hadiah tunai, startupmu juga berkesempatan mendapatkan fasilitas coworking space gratis, slot eksibisi di Echelon Asia Summit 2019, dan berbagai hadiah lainnya yang bisa kamu gunakan untuk menunjang operasi startupmu.
  2. Bergabung dengan TOP100 berarti membuka diri untuk bertemu dengan banyak pihak yang nantinya dapat menunjang keberhasilan startupmu, mulai dari investor sampai calon karyawan. Selain itu, kamu juga bisa bergabung dengan jaringan alumni TOP100 yang meliputi nama-nama besar seperti Carousell, 99.co, dan HotelQuickly.
  3. Dengan mengikuti TOP100, kamu berkesempatan untuk mewakili Indonesia di ajang startup internasional –dan membuktikan bahwa #IndonesiaBisa. Dari tujuh startup unicorn yang ada di Asia Tenggara, empat di antaranya berasal dari Indonesia. Keempat perusahaan ini telah mengharumkan nama Indonesia di komunitas startup internasional —dan startupmu pun punya kesempatan untuk menjadi seperti mereka.

Jadi daftarkan startupmu hari ini juga dan sampai ketemu di Echelon Roadshow!


Artikel ini adalah hasil kerja sama DailySocial dan e27