Tag Archives: edison tobing

Jaring Pangan (JaPang)

Jaring Pangan Dapat Pendanaan Pra-Seri A dari Gayo Capital, Akan Realisasikan Token Komoditas di 2024

Startup rantai pasok komoditas Jaring Pangan (JaPang) mendapat pendanaan pra-seri A sebesar $11,5 juta atau 175 miliar Rupiah dari Gayo Capital. JaPang akan memperkuat pasokan komoditas di sektor hulu (upstream) sebagai strategi kunci menuju pengembangan token komoditas (commodity token) di 2024.

DailySocial.id berkesempatan berbincang eksklusif dengan JaPang; Co-founder Tjong Benny dan Edison Tobing, Executive Chairman Ivan Arie Sustiawan, serta Gayo Capital; Co-founder dan Managing Partner Ishara Yusdian dan Investment Principal Eldo Wana Kusuma.

Disampaikan Ishara, Gayo Capital memiliki komitmen investasi sebesar $11,5 juta dengan menggabungkan antara debt financing dan equity. Investasi akan dikucurkan secara bertahap di mana fokus utama tahun pertama adalah memperkuat cakupan pasokan komoditas di Pulau Jawa.

Hal ini untuk memperkuat posisi JaPang dan mitra di sektor hulu dalam membangun dan mengendalikan sekitar 10% dari volume transaksi komoditas di wilayah terkait melalui kolaborasi dan/atau akuisisi mitra di sektor hulu. Strategi ini akan memperkuat underlying dari token komoditasnya nanti.

Sebelumnya pada akhir 2021, JaPang telah mendapat suntikan investasi awal (seed) senilai $500 ribu yang merupakan gabungan dari para pendiri dan sejumlah angel investor.

“Kami memiliki tiga lapis assessment risk untuk menentukan apakah startup dapat tumbuh, mencapai profitabilitas, dan punya exit path. Kami mulai dari debt financing, misalnya, tiga bulan pertama harus capai zero NPL. Ini penting untuk memastikan investasi dapat diputar menjadi GMV, opex, dan lainnya. Kemudian diputar lagi pada bulan berikutnya sampai 12-18 bulan ke depan,” tutur Ishara.

Selain memperkuat 10% kontrol supply chain pada wilayah yang ditargetkan, pihaknya berharap pertumbuhan bisnis dari mitra downstream (JaPang Warung Rakyat/JAWARA dan Juragan) juga tercapai. “Kami meyakini Japang dapat memiliki confidence level lebih dalam debut penawaran token komoditas dengan mitra strategis yang direncanakan apabila strategi KPI tersebut terpenuhi,” tambahnya.

Pada pendanaan kali ini, Ishara Yusdian juga masuk sebagai Strategic Advisor di JaPang. Dengan pengalamannya sebagai serial investor dan corporate venture builder di Amerika Utara, Asia Tenggara, Australia, dan Selandia Baru, ia akan membantu memperkuat model bisnis dan operasional JaPang hingga siap menuju Sustainable Web3.

Sementara, Tjong Benny mengatakan pihaknya fokus mendigitalisasi sektor pertanian dan peternakan agar sejalan dengan visinya menjaga pasokan pangan di Indonesia. Ada dua segmen pasar yang dibidik, yakni B2B dan B2B2C untuk memberdayakan pelaku UMKM dengan produk utama beras, daging, dan ayam.

Produk ini dipilih mengingat potensi pasarnya besar, yakni potensi konsumsi beras nasional mencapai $22 miliar di 2020, sedangkan daging dan ayam nasional mencapai $6,3 miliar. Japang juga menyediakan bahan pokok makanan lainnya, yakni telur, gula, dan garam.

“Awalnya, kami mulai dengan B2B melalui strategi private label untuk masuk ke pasar. Memang traction B2B besar, tetapi belum bisa merata atau sustainable. Namun, kami melihat kebutuhan masyarakat sangat besar. Kami bergerak ke B2B2C agar dapat menjangkau lebih banyak user. Untuk skala pasar Indonesia, segmen ini kurang tersentuh,” jelasnya.

Kuasai 10% pangsa

Saat ini, JaPang baru mencakup sekitar 2%-3% permintaan pasokan di Jabodetabek dan Surabaya, itu pun dipenuhi oleh lini B2B2C JaPang Warung Rakyat (JAWARA). Menurut Ishara, dengan jumlah mitra RMU yang dimiliki saat ini, Japang dapat berpotensi memenuhi 10% dari permintaan commodity trading di kawasan tersebut.

“Jika dikalkulasi dalam 1-3 tahun ke depan, Japang bisa menjadi referensi index pricing berdasarkan transaksi yang terjadi. Maka itu, kami ingin JaPang engage dengan strategic partner yang dapat menjangkau pemain upstream. Sulit untuk menguasai 10% [pangsa] commodity trading kalau tidak bermitra dengan pelaku upstream,” lanjutnya.

Ivan Arie Sustiawan menambahkan, JaPang akan menambah jumlah sourcing pasokan mereka untuk memastikan ketersediaan supply dan demand dapat terpenuhi sesuai roadmap. JaPang kini telah bekerja sama dengan 10 rice milling unit (RMU), 3 rumah patok ayam, dan 2 kandang telur.

Selain itu, JaPang juga akan bekerja sama dengan penjamin komoditas (off-taker) untuk jangka panjang, baik dari BUMN maupun sektor swasta. Pada komoditas beras misalnya, produksi penggilingan padi oleh mitra RMU hanya untuk JaPang. Penambahan jumlah RMU juga akan bergantung dari milestone JaPang ke depan.

“JaPang tak hanya membidik sebagai pemimpin di pasar commodity trading, tetapi juga menjadi market maker. Kenapa memperkuat sisi upstream? Siapa pun yang bisa lock suplai di upstream, bisa menjadi market maker. Itu yang kami lakukan, baik itu beras, ayam, atau telur. Semoga bisa tercipta kestabilan harga dan jaminan ketersediaan,” ujarnya.

Token komoditas JaPang

Upaya JaPang untuk memperkuat pasokan dari sektor hulu dalam dua tahun ke depan menjadi langkah strategis untuk merealisasikan pengembangan token komoditas (commodity token) di 2024. Pengajuan lisensi ke Bappebti dan peluncuran token ini juga dilakukan secara bertahap sambil mengikuti perkembangan regulasi terkait.

Menurut Japang, commodity token justru memiliki underlying operation yang nyata dibandingkan dengan aset kripto, seperti Bitcoin atau Ethereum. Dalam kasus ini, JaPang fokus pada rantai pasok komoditas bahan pokok sebagai underlying. Token ini dapat menjadi salah satu cara bagi masyarakat yang tidak punya akses layanan keuangan untuk mencari modal usaha.

“Kami harap dapat menjadi yang pertama [meluncurkan token komoditas di Indonesia] karena kami sudah ada konsep dan kriteria. Staple food akan menjadi salah satu faktor utama kami menciptakan tokenomic. Apabila terwujud, ini bisa menjadi game changer di staple food. Kita tidak lagi bicara social commerce atau grocery karena harganya akan bergantung pada commodity token itu,” tambah Ivan.

Token komoditas bukanlah hal baru. Di 2017, ada sebuah proyek penggalangan dana bernama Bananacoin (BCO) yang diinisiasi pengembang asal Rusia untuk perkebunan pisang di provinsi Vientiane, Laos. Mengacu sejumlah sumber, harga BCO dipatok senilai $0,50 pada Initial Coin Offering (ICO). Untuk memastikan BCO bernilai, setiap token mengacu pada harga satu kilogram pisang di pasar.

“Sebelum masuk ke tokenomic, kami harus mencapai beberapa hal, termasuk target 10%. The closer we get there, ini akan menjadi kekuatan dalam proposal bahwa underlying kami sudah bisa represent komoditas supply chain, sehingga kami–bukan menentukan harga–berpartisipasi pada index pricing itu sendiri. Ini akan membuat stablecoin bisa di-exchange,” tutur Edison Tobing.

Sustainable Web3

Lebih lanjut, Ishara menuturkan sejak setahun terakhir Gayo Capital tengah mengeksplorasi potensi bisnis, terutama agritech, yang dapat dibawa ke jenjang Web3. Pihaknya mulai mengubah tesis investasinya di mana fokus utama tetap pada sektor impact. Namun, pihaknya membatasi investasi startup di sektor hulu yang modelnya masih tradisional.

“Di Gayo Capital, we will still focus on our part which is impact. Namun, kami ingin melihat portfolio mana yang sekiranya punya benang merah untuk kami embark ke Web3. That’s why our new investment thesis kita namai Sustainable Web3,” ungkapnya.

Menurutnya, JaPang siap melangkah menuju sustainable Web3 karena memiliki model bisnis yang baik dan bermain pada rantai pasok komoditas yang banyak dikonsumsi orang Indonesia. Baik beras, ayam, dan telur, punya trading cycle yang sangat tinggi atau bisa mencapai empat kali perputaran di pasar per minggu, per bulan, hingga per tahun.

Sementara itu, Eldo Wana Kusuma menambahkan inisiatif ini menjadi langkah besar untuk mendorong transparansi agrikultur di Indonesia. Apalagi pihaknya telah melihat sejumlah tantangan yang dialami pelaku agri di lapangan, salah satunya adalah kecurangan harga pada hasil panen petani oleh pihak ketiga.

“Kami melihat [commodity token] ini sebagai sustainable token, bukan yang bisa ‘digoreng’ sesuka hati. Commodity token tidak akan menggantikan fungsi P2P atau layanan inklusi keuangan. Idenya adalah [mendorong] transparansi harga komoditas. Token beras, misalnya, akan selalu diperbarui sesuai harga pasar di dunia. Real time.” Tutupnya.

Application Information Will Show Up Here
Menurut catatan OJK, jumlah pemain "fintech lending" terdedikasi di industri pertanian, peternakan, dan perikanan baru ada lima buah

Kredit Pertanian: Disukai Namun Disegani

Kredit pertanian di Indonesia punya margin yang seksi untuk digarap tapi riskan saat dijalankan. Hal ini sudah menjadi cerita lama buat perbankan yang masuk ke sektor ini. Ada begitu banyak isu yang membuat lembaga keuangan tidak berani terlalu dalam bermain di sektor ini.

Faktor gagal panen karena hama, cuaca buruk, dan risiko lain yang disebabkan manusia sendiri merupakan makanan sehari-hari. Meskipun risiko ini seharusnya bisa diatasi jika menggunakan asuransi, faktor kegagalan panen sama dampaknya dengan berkurangnya pasokan bahan pokok/komoditas: melonjaknya harga jual.

Hasil Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) 2016 yang melibatkan delapan ribu petani sebagai responden mengungkapkan, 15% petani sudah mengakses kredit bank dan 33% memperoleh bantuan dari Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri (PNPM) dan Kredit Usaha Rakyat (KUR). Mayoritas petani, sekitar 52%, masih mengandalkan modal sendiri, koperasi, kerabat, dan kembaga keuangan non-bank lainnya.

Ada empat faktor permasalahan program kredit pertanian bila melalui bank, yaitu pemberian kredit yang tidak tepat sasaran, subsidi bunga, prosedur yang birokratis, dan tingginya risiko moral hazard. Muara dari seluruh masalah tersebut adalah potensi gagal bayar yang tinggi.

Perbankan menjawabnya dengan menetapkan bunga yang tinggi karena tingkat pengawasannya yang berbeda, misalnya menaruh orang lapangan untuk memantau dan sebagainya. Pemerintah akhirnya “menginterupsi” dengan mengubah skema penyaluran KUR mulai awal tahun ini. Jadi lebih sederhana karena target utamanya adalah pelaku usaha mikro sudah memiliki usaha tapi belum bankable.

Syarat utamanya pengajuan KUR adalah calon debitur punya usaha produktif yang aktif minimal enam bulan, tidak sedang menerima kredit kecuali kredit konsumtif, dan tidak masuk dalam daftar hitam BI. Berikutnya calon debitur mencantumkan identitas diri, berupa KTP, Kartu Keluarga, NPWP, surat nikah/cerai, surat keterangan usaha mikro atau kecil yang sudah diterbitkan pihak berwenang, dan surat keterangan lunas dan cetakan rekening dari pinjaman sebelumnya.

Jumlah pemain fintech lending di sektor agritech saja masih terbatas. Menurut catatan OJK per Maret 2020, mereka adalah iGrow, iTernak, Crowde, TaniFund, dan DanaLaut.

Sumber : Unsplash
Sumber : Unsplash

Memanfaatkan kekosongan

Pemain fintech terjun ke segmen ini dengan mengumpulkan semua “keberanian” dan dibarengi mitigasi risiko yang sudah diukur matang-matang. Bentuk pendanaan yang mereka tawarkan umumnya berbentuk p2p lending, artinya ada pemberi pinjaman (entah individu atau korporasi) sebagai lender untuk disalurkan sebagai pembiayaan modal usaha ke petani yang sudah diverifikasi.

TaniFund misalnya, entitas bagian dari TaniHub Group ini spesifik menyalurkan pinjaman ke para petani di proyek-proyek pertaniannya. TaniHub (e-commerce), TaniSupply (supply chain), dan TaniFund melengkapi rangkaian solusi end-to-end grup untuk para petani lokal.

Pembeda inilah yang sengaja dibentuk TaniHub Groub. TaniHub membentuk ekosistem menyeluruh buat petani dari sebelum mulai menanam hingga panen. Perusahaan akan menyerap seluruh hasil panen, dalam kualitas apapun, dengan harga yang sudah disepakati dari awal.

Hasil panen itu sepenuhnya dijual ke konsumen TaniHub, entah itu mitra b2b atau b2c (melalui platform e-commerce). Alhasil, petani tidak perlu pusing dengan risiko harus dihadapkan dengan tengkulak.

“Biasanya setelah pinjam dari tengkulak, petani itu bingung mau jual hasil panennya. Ujung-ujungnya mereka jual ke tengkulak yang ngasih harga sampai jatoh, akhirnya mereka rugi. Tapi kami 100% jadi off-taker, dari titik 0 sampai proses jual sudah masuk ke dalam ekosistem TaniHub. Petani hanya perlu memikirkan bagaimana meningkatkan kualitas dan mutu pertaniannya,” terang Direktur TaniFund Edison Tobing.

Dengan membentuk ekosistem demikian, TaniFund berhasil menekan laju kredit macet sampai di level 0,2% dan TKB90 100%. NPL tersebut, menurutnya, bukan karena gagal bayar, melainkan keterlambatan pembayaran karena perusahaan sudah melakukan mitigasi risiko dengan segala cara, sampai memanfaatkan jasa asuransi.

Lambat laun kebutuhan pendanaan di TaniFund semakin tinggi seiring terus bertambahnya jumlah petani yang tergabung. Meskipun demikian, hal ini belum dibarengi dengan banyaknya lender institusi yang bergabung. Baru ada dua yang berasal dari bank. Mayoritas pemberi dana di TaniFund adalah individu.

Edison mengatakan, bank itu rata-rata masih bersifat konvensional. Mereka selalu menanyakan kalau pinjaman seperti ini, jaminannya seperti apa. Dengan izin sebagai p2p lending, pihaknya tidak bisa memberikan jaminan apapun karena hanya bertindak sebagai platform yang mempertemukan peminjam dan pemberi pinjaman.

“Petani itu kenapa akhirnya bekerja sama dengan kami karena mereka gagal bekerja sama dengan bank. Karena bank memberikan funding dan mengharapkan funding balik.”

Salah satu proyek yang dibiayai TaniFund / TaniFund
Salah satu proyek yang dibiayai TaniFund / TaniFund

Dia melanjutkan, “Pada akhirnya yang kami lakukan hanya bisa memperkuat keyakinan mereka, mengajak ketemu langsung dengan petani yang kita bina. Untuk kepastian dana dibalikkan ke lender, kami akan langsung bayarkan ke bank, bukan petani karena kami sendiri kan ambil barangnya dari petani.”

Terkait kemungkinan TaniFund bila terhubung dengan KUR, Edison menyatakan ada beberapa faktor yang kurang memungkinkan. Pertama, program KUR yang berjalan saat ini banyak diarahkan untuk komoditas yang belum menjadi unggulan TaniHub saat masuk ke platform e-commerce-nya.

Ini akan menjadi masalah bila dipaksakan TaniFund. Misalnya pemerintah banyak mendorong petani jagung untuk mengambil KUR, sementara jagung saat ini bukan menjadi produk yang paling dicari konsumen TaniHub.

“Kami tetap jaga risiko karena setelah memberikan funding, kami ada kewajiban untuk menyerapnya. Sementara produk yang dijual itu bukan yang paling dicari konsumen kita.”

Kedua, dari sisi legalitas, p2p lending memiliki ketentuan pinjaman maksimal per proyek sebesar Rp2 miliar. Sementara, program KUR ini per proyeknya menyalurkan kredit di atas angka tersebut. Masalah kedua ini menyambung ke masalah pertama, bahwa TaniFund akan kesulitan dalam menjual hasil panen ke platform-nya, sekaligus melanggar ketentuan regulator.

“Kita kebanyakan masuk ke petani menengah ke bawah yang lahannya di bawah empat hektar, tergantung jenis komoditas. [..] Kebutuhan beras di kami kemungkinan baru 2 ribu ton per bulan, sementara KUR itu serapannya luar biasa besar. Strukturnya harus kita siapkan dulu baru bisa engage [ke kementerian terkait].”

Hingga kini TaniFund telah menyalurkan pinjaman sebesar Rp129 miliar. Di tahun ini saja, perusahaan telah menyalurkan Rp42,19 miliar. Ditargetkan hingga akhir tahun angka ini dapat mencapai Rp90 miliar.

Sumber: Unsplash
Sumber: Unsplash

Jumlah pemain terbatas

Sebenarnya ada sejumlah pemain lain yang mendedikasikan dirinya sebagai platform fintech lending untuk pertanian, peternakan, atau akuakultur. Konsep yang mereka gunakan tidak jauh berbeda dengan TaniFund, yaitu melakukan pendampingan konsultasi sebagai bentuk pemberdayaan petani agar mereka paham cara menanam bahan pangan dengan baik dan mengelola keuangan dengan tepat.

Crowde, misalnya, menawarkan pinjaman modal bagi petani dengan skema setor hasil panen, yang bernama Gerakan Rakyat Petani (GARAP). Komoditas yang disasar adalah padi, jagung dan cabai. Besaran nilai setoran berbeda-beda, tergantung komoditas pertaniannya.

Setelah diberikan modal kerja, petani akan mengembalikan pinjaman dengan hasil panen menyesuaikan komoditas yang ditanam secara perlahan. Misalnya, untuk komoditas cabai yang dibudidayakan pada lahan dengan luas minimal 2.500 meter persegi (m2), petani harus menyetorkan hasil panen sebanyak 1,75 ton.

Sementara untuk komoditas padi, hasil panen yang harus disetorkan sebesar 5,7 ton di luas lahan minimal 10.000 m2. Apabila hasil panen petani melebihi patokan, hal ini akan menjadi hak petani. Inovasi ini bisa memperluas opsi petani dalam mendapatkan modal kerja.

Di luar segmen fintech, masih banyak pemain agritech lainnya yang menawarkan solusi untuk permasalahan yang berbeda-beda. Ada yang menyentuh ke unsur platform pengelolaan, IoT, hingga blockchain.

Satu segmen agritech yang paling banyak pemainnya adalah platform e-commerce yang menjual produk-produk hasil tani untuk kebutuhan sehari-hari. Tak terhitung berapa banyak pemain yang sudah menjadi pemimpin pasar, bahkan yang tiba-tiba pivot karena terdampak pandemi. Mereka mencoba peruntungan di kue yang sama.

Kue bisnis di industri ini memang besar. Perbankan sendiri belum mampu menyelesaikan kebutuhan pembiayaannya, sehingga peluang platform fintech di sektor ini masih sangat besar.

Cara platform fintech lending dalam memitigasi risiko di industri ini juga beragam. Selain memanfaatkan teknologi, ada yang mencoba menyalurkan pembiayaan lewat perantara, seperti koperasi yang dianggap lebih bersentuhan langsung dan mengerti kondisi para anggotanya. Model inilah yang diadopsi Mekar.

Meskipun demikian, pemain fintech lending masih memiliki keterbatasan dibandingkan bank, yakni ketersediaan dana. Pola channeling antara bank dan platform fintech lending dapat dilanjutkan pemanfaatannya untuk industri yang lebih luas.