Tag Archives: Edy Sulistyo

Goplay Everywhere

GoPlay Ganti Identitas Menjadi Everywhere.id

GoPlay memperkenalkan Everywhere.id sebagai identitas barunya, menggantikan nama mereknya saat ini. Identitas tersebut menandai langkah awal GoPlay sebagai perusahaan independen pasca-lepas kepemilikannya dari induk usaha PT GoTo Gojek Tokopedia Tbk (IDX: GOTO).

“Sejak awal, visi kami tidak berubah. Kami ingin mendukung kreator konten di Indonesia, membantunya mendapat lebih banyak panggung dan meningkatkan pendapatan mereka. Brand Everywhere.id akan lebih lanjut memperkuat posisi kami [di industri kreatif],” ungkap CEO Everywhere.id Edy Sulistyo dalam kesempatan wawancara dengan DailySocial.id.

Edy juga memperkenalkan Everywhere.id sebagai produk terbarunya menggantikan video-on-demand yang selama ini menjadi poros bisnis perusahaan. Everywhere.id menawarkan live stage secara O2O2O (online to offline to online) bagi kreator dan pemilik bisnis di segmen Horeka. Adapun, Edy menyebut bahwa GoPlay telah meninggalkan bisnis video-on-demand sejak beberapa tahun lalu.

Sebagai konteks, beberapa waktu lalu CEO GoTo Patrick Walujo menyatakan akan melepas bisnisnya di bidang hiburan. “Kami sedang proses untuk keluar dari bisnis hiburan karena bukan lagi inti dari strategi kami, dan kami akan terus mencari peluang untuk mendivestasi aset non-inti lainnya,” demikian kata Patrick dalam salinan Earning Call Kinerja 2Q23 pada Selasa (15/8).

GoTo memiliki lini bisnis hiburan yang terdiri dari platform streaming on-demand GoPlay di bawah entitas PT Produksi Kreasi Anak Bangsa, serta platform ticketing management service Go-Tix di bawah entitas PT Global Loket Sejahtera.

Berdasarkan informasi yang kami himpun, GoPlay dan Go-Tix diketahui tidak lagi bernaung di bawah Grup GoTo sejak Agustus 2023. DailySocial.id mencoba mengonfirmasi hal ini ke manajemen GoTo, tetapi pihaknya menolak berkomentar. Dari pantauan di Keterbukaan Informasi Bursa Efek Indonesia (BEI), belum ada pengumuman divestasi GoTo di bisnis hiburan.

Ide awal Everywhere.id

Edy bercerita bagaimana pandemi Covid-19 membawa dampak positif terhadap perilaku masyarakat Indonesia, baik dalam memproduksi maupun mengonsumsi sebuah konten. Selama pandemi, kreator melatih kemampuan berbicara dan membekali diri dengan peralatan dalam mendukung produksi konten. Ini membuat kualitas kreator kini menjadi lebih siap pasca-pandemi.

Hanya saja, ungkapnya, muncul tantangan baru seiring dengan kembalinya aktivitas luar ruang. Sejumlah kreator di daerah sulit mendapat pekerjaan karena keterbatasan geografis. “Situasi ini memicu terjadinya oversupply kreator di sejumlah kota. Kreator daerah terhalang kondisi geografis, ada ketimpangan. Pain point kami clear, membantu mereka dapat panggung,” ujar Edy.

Melihat tantangan tersebut, muncul ide untuk mengembangkan sebuah teknologi yang memungkinkan kreator, seperti penyanyi, pemain alat musik, hingga instruktur olahraga, untuk tampil secara real-time dengan konsep O2O2O. “Bagaimana kita bisa buat kreator tampil di mana-mana secara online dan offline tanpa dibatasi oleh kondisi geografis,” tuturnya.

Keluarannya ada dua; sistem operasi PlayOS dan perangkat playbox untuk menampilkan tayangan dari kreator. Edy menjelaskan, PlayOS adalah sistem operasi yang dikembangkan sendiri, memakai engine bawaan platform GoPlay dan dimodifikasi kembali. PlayOS dapat dipasang di berbagai perangkat lain dengan ukuran layar variatif, seperti TV atau proyektor.

Sementara, playbox memungkinkan kreator untuk tampil secara live dari lokasinya. Playbox dapat dipasang di restoran, kafe, atau tempat lainnya. Edy menegaskan bahwa kualitas tayangan dapat tetap optimal meski di kawasan dengan koneksi 3G sekalipun. “Perangkat ini kami manufaktur sendiri karena teknologi di belakangnya sangat kompleks,” tambahnya.

DailySocial.id berkesempatan menyaksikan langsung playbox Everywhere.id yang telah dipasang di food court sebuah mal Jakarta Selatan. Bentuknya menyerupai pendingin ruangan berukuran tinggi dan besar. Playbox menampilkan penyanyi yang tampil secara live. Audiens di mal dan penyanyi dapat saling berinteraksi dua arah layaknya video call lewat ponsel. Layar playbox memiliki fitur scan yang memungkinkan audiens request lagu, juga ada fitur virtual gift semacam tip.

Model bisnis

Karena modelnya B2B2C, skema tarif paling dasar adalah playbox Everywhere.id dapat disewa/pinjam oleh pemilik bisnis. Jadi tidak ditujukan ke end-user langsung. Everywhere.id menawarkan tarif variatif kepada penyewa yang ingin mengadakan penampilan atau acara tertentu. Ambil contoh, penampilan musik.

Tarif paling dasar adalah Rp150 ribu-Rp200 ribu per hari di mana pemilik bisnis dapat menghemat biaya hingga 85% dari tarif yang biasa dikeluarkan untuk menyewa musisi. Sebagai disclaimer, persentase ini bisa bervariasi karena biaya penampilan musisi di setiap kota/daerah berbeda-beda. Ada juga paket 30 hari dengan biaya Rp5 juta.

“Kalau pemilik venue mengeluarkan biaya lebih murah, ini memungkinkan mereka untuk lebih sering menyewa musisi. This is the best use case of the true sharing economy karena menguntungkan semuanya. Kami ingin mendukung industri kreatif Indonesia supaya kreator bisa meningkatkan pendapatan. Kami meyakini, apabila mereka sudah punya pendapatan yang layak, mereka tidak perlu lagi membuat konten yang bersifat skandal atau sensasional. Otomatis konten yang dihasilkan positif,” kata Edy.

Menurut Edy, belum ada layanan sejenis Everywhere.id di Indonesia maupun di luar negeri, sehingga ia dapat menempatkan posisinya sebagai pelopor penyedia playbox untuk kreator. Kendati tak ada kompetitor sejauh ini, ia mengaku belum menemukan tantangan tertentu untuk melakukan benchmark. “Sejauh ini kami belum menemukan layanan seperti ini, makanya kami ingin mencari benchmark supaya bisa belajar.”

Produk Everywhere.id dikatakan telah beroperasi sejak beberapa bulan lalu, dan mendapat traksi positif dari pengguna. Ia mengaku ada kenaikan pendapatan, trafik, dan loyalitas pelanggan yang diperoleh pelaku bisnis dengan menggunakan produk Everywhere.id. Selanjutnya, Everywhere.id tengah menjajaki kemitraan dengan segmen korporasi.

Application Information Will Show Up Here
Goplay Studio

GoPlay Rilis Aplikasi “GoPlay Studio” Permudah Kreator Peroleh Penghasilan

GoPlay, layanan live streaming interaktif dari Gojek, memperkenalkan aplikasi “GoPlay Studio” untuk permudah konten kreator berkreasi secara mandiri dan memaksimalkan berbagai fitur interaktif seperti gameshow, live-shopping, virtual gift, dan lainnya.

CEO GoPlay Edy Sulistyo menerangkan, seiring perjalanan GoPlay pihaknya menerima banyak permintaan untuk menjadi kreator di platformnya. Untuk itu, GoPlay Studio disempurnakan dengan fitur swakelola yang mudah digunakan, sehingga semakin banyak kesempatan dapat diraih para kreator, termasuk kreator pemula.

Sebagai platform Professional-User-Generated Content (PUGC) yang mematuhi aturan konten positif di Indonesia, GoPlay akan melakukan proses review, validasi, dan persetujuan bagi setiap calon kreator dalam waktu maksimum 72 jam. Setelah itu, para kreator dapat menggunakan aplikasi GoPlay Studio secara mandiri.

“Sejak diluncurkan tahun 2019, GoPlay berkomitmen mendukung penuh para pembuat konten supaya bisa menjangkau audiens lebih luas lagi. Komitmen ini tidak berubah seiring penguatan fokus GoPlay pada konten live streaming yang interaktif dan dapat dinikmati bersama teman dan keluarga,” terangnya dalam keterangan resmi, Selasa (16/11).

Aplikasi ini hadir, lantaran saat ini konten kreator sudah menjadi profesi, bukan sekadar hobi atau pekerjaan sampingan. Salah satunya lewat fitur virtual gift, salah satu konten kreator GoPlay mampu mengumpulkan pendapatan lebih dari Rp10 juta dari sebuah sesi live streaming. Peluang tersebut harus bisa dimanfaatkan oleh kreator melalui berbagai inovasi GoPlay, sehingga mereka bisa dapat penghasilan yang memadai dari konten.

Tidak disebutkan berapa banyak kreator yang sudah bergabung di GoPlay. Namun sejumlah nama besar live streamer seperti Jessica Iskandar, Gracia Indri, Aurellie Hermansyah, Nila Sari, Citra Kirana, Rezky Aditya, Aqeela, Rassya Hidayah, Frislly Herlind, JKT48, dan lainnya sudah bergabung di GoPlay.

Edy melanjutkan, tidak hanya untuk konten kreator, para penonton GoPlay juga dapat menemukan berbagai konten live show berdasarkan kategori, konten yang saat ini sedang live, terjadwal, recorded, hingga konten dari para top streaming. Selain itu, penonton bisa mem-follow kreator favorit mereka sehingga mereka tidak ketinggalan saat sesi live streaming.

“Di samping itu, penonton dapat bergabung dalam grup chat komunitas yang memiliki preferensi konten serupa, sehingga dapat lebih dekat dengan konten favorit, mendapatkan update konten terbaru lebih awal, hingga mengikuti kuis dan giveaway khusus.”

Edy menutup, “Selama setahun terakhir ini, kami melihat interaksi antara penonton dan kreator sangat intens dalam GoPlay. Para penonton aktif membahas berbagai konten yang mereka senangi. Membawa tema “meet new people, find amazing content, discover your community”, penonton tidak hanya mudah menemukan konten, tetapi juga teman hingga komunitas baru sesuai preferensi.”

Sejak pandemi, GoPlay menyeriusi segmen live streaming yang tinggi peminat namun belum terlayani secara maksimal oleh platform yang ada saat ini. GoPlay Live didesain dengan teknologi sedemikian rupa untuk menekan delay agar dapat menyajikan live stream secara real time. Pasalnya, live stream itu erat kaitannya dengan interaksi langsung antara penonton dengan host sehingga apabila ada delay tentu pengalaman tersebut tidak akan maksimal. Pengalaman tersebut masih menjadi hambatan bagi platform live stream yang hadir saat ini.

GoPlay mencatat tayangan live show interaktif berhasil menarik antusiasme pengguna. Jumlah live show meningkat secara signifikan hingga 10 kali lipat sepanjang kuartal I 2021. Pertumbuhan tersebut seiring dengan jumlah kreator konten yang meningkat hingga 100% dibandingkan tahun lalu. Salah satunya, konten GoPlay Live Original bersama JKT48, bernama JKT48 Live Show berhasil menarik penonton hingga lebih dari 4 ribu orang.

Pencapaian dari GoPlay ini tercermin dengan laporan dari App Annie. Jumlah jam yang dihabiskan pada aplikasi mobile video streaming di Indonesia pada kuartal IV 2020 mencapai 8,33 miliar jam. Angka tersebut naik hampir dua kali lipat dari periode yang sama di tahun sebelumnya sebesar 4,94 miliar jam. Konsumen juga dipercaya akan mengunduh lebih dari satu hingga rata-rata 9,5 aplikasi streaming, seiring dengan minat mereka untuk terus mencari hiburan baru di aplikasi selama berkegiatan di rumah.

Pangsa pasar live streaming dalam e-commerce

Selain untuk kebutuhan hiburan, live streaming kini menjadi pendekatan baru dalam berjualan online. Tiongkok menjadi negara terdepan untuk inovasi ini. Menurut laporan 2020 China’s E-commerce Livestreaming Ecology, seperti yang disajikan oleh Statista, memproyeksikan streaming e-commerce akan menjadi komponen utama dari seluruh industri e-commerce.

Selama tiga tahun ke depan, analis industri Tiongkok memperkirakan penjualan langsung akan tumbuh lebih jauh. Pandemi kemungkinan menyebabkan percepatan yang signifikan untuk pasar ini dengan proyeksi 10,2% dari total pasar e-commerce untuk tahun 2020, 15,2% untuk 2021, dan 20,3% untuk 2022.

Asia Tenggara juga mengalami pertumbuhan serupa di pasar live commerce. Sebuah survei regional oleh iKala mengungkapkan popularitas live commerce meningkat di seluruh Asia Tenggara. “Social commerce tumbuh dengan mantap, tetapi dikombinasikan dengan pandemi dan penutupan mal dan toko fisik, telah mempercepat adopsi live commerce di seluruh Asia Tenggara – sebuah tren yang akan tetap ada,” kata CEO iKala Sega Cheng.

Adopsi live streaming yang terakselerasi kini menjadi alat untuk pemasaran dan penjualan sebagian besar dikaitkan dengan meningkatnya minat bisnis dalam teknologi live streaming. Namun, faktor lain yang berkontribusi terhadap peningkatan adopsi ini adalah kemudahan melakukan live streaming.

Jika kita melihat beberapa aplikasi e-commerce populer di Indonesia, seperti Shopee atau Bukalapak, secara rutin mereka mengagendakan kegiatan live streaming (baik di dalam platform atau di media sosial) dalam mengiringi momen-momen tertentu, misalnya saat pesta belanja online. Secara khusus aplikasi mereka juga dibubuhi dengan kapabilitas untuk menampilkan sesi tersebut, dilengkapi fitur interaktif untuk konsumen.

Konten promosi berbasis video sangat diminati oleh pengguna layanan e-commerce / Sales Layer

Menurut survei di Amerika Serikat yang dipublikasikan Sales Layer menunjukkan tren mengesankan tentang sumbangsih konten berbasis video untuk kegiatan promosi. Dari sisi konsumen, 96% calon pembeli terbantu penjelasan video untuk mempelajari tentang produk yang dibeli. Sementara 85% pebisnis juga mulai memanfaatkan alat berbasis video untuk meningkatkan pemasaran dan penjualan mereka.

Di sisi lain, bisnis juga ditawarkan oleh pendekatan pemasaran berbasis influencer atau oleh selebriti media sosial melalui konten-kontennya. Di ranah ini, beberapa startup juga menyajikan alat untuk menghubungkan talenta dengan pemilik brand. Dari catatan DailySocial.id, sejauh ini ada beberapa platform yang aktif di pasar Indonesia, di antaranya Pongo Indonesia, Partipost, Raena, AnyMind, Hiip, Verikool, Socialbuzz — bahkan secara khusus Gojek juga menggandeng platform Allstars untuk memberikan opsi pemasaran serupa bagi mitranya.

Application Information Will Show Up Here
Metrik pada Startup

Serba-Serbi Menentukan Metrik pada Startup

Metrik menjadi sebuah standar bagi pelaku startup dalam mengukur pencapaian bisnisnya. Tentu saja, startup wajib memiliki metrik agar dapat memahami bisnis yang mereka jalankan dan menentukan strategi bisnis ke depan.

Dalam webinar bertajuk “Measurements & Metrics“, CEO GoPlay Edy Sulistyo berbagi perspektif dan pengalaman menariknya dalam menggeluti bisnis konten on-demand di Indonesia. Edy yang sudah lama berkarir di dunia media entertainment ini mengungkap serba-serbi metrik di dunia startup.

Selengkapnya, simak rangkuman menarik yang dipaparkan Edy pada rangkaian sesi program akselerator ActCelerate yang diselenggarakan oleh MCash, SiCepat, dan DailySocial.id ini.

Menentukan metrik

Metrik “Bintang Utara” atau acap disebut “North Star” banyak digunakan oleh pelaku startup sebagai patokan bagi perusahaan untuk mencapai target bisnisnya. Ibaratnya one single metric.

Setiap vertikal bisnis startup punya metrik berbeda, tidak ada satu pun yang sama. Misalnya, bisnis e-commerce bisa jadi berpatokan pada Money Transaction User (MTU) atau Daily Transaction User (DTU). 

Pada kategori bisnis lain, bisa juga metriknya mengacu pada Monthly Active User (MAU) dan Daily Active User (DAU), atau DAU to MAU ratio untuk mengukur stickiness setiap pengguna. Semua itu kembali lagi tergantung pada jenis produk, bisnis, maupun visi-misi yang ditentukan startup. 

Lalu, kapan waktu yang tepat untuk menentukan metrik? Tentu saja sejak awal membangun bisnis. Ini menjadi penting untuk mengetahui tujuan apa yang ingin dicapai. Jika ingin mencapai suatu target, caranya dapat diterjemahkan melalui metrik. 

Metrik yang dicari investor

Edy memetakan tiga kategori metrik besar yang diincar investor. Pertama, metrik berbasis transaksi. Investor melihat pentingnya metrik berbasis transaksi untuk melihat seberapa sustainable sebuah bisnis, apakah dapat menghasilkan pendapatan atau EBITDA positif. 

Kedua, ada investor yang menyukai metrik berbasis MTU dan DTU. Umumnya, metrik ini digunakan pada produk dengan model berlangganan (subscription). Dengan metrik ini, investor dapat mengetahui seberapa banyak pengguna yang menggunakan layanan per hari atau bulannya.

Ketiga, DAU to MAU ratio. Bagi investor, metrik ini sangat penting karena dapat menunjukkan kualitas sebuah produk. “Ini menjadi honest metric tetapi sebetulnya sulit dijalankan. Biasanya, metrik ini wajib bagi startup yang sudah masuk tahapan seri E ke atas,” paparnya.

Ambil contoh, DAU sebuah layanan media entertainment berada di angka Rp100 ribu. Artinya, setiap harinya pengguna menghabiskan Rp100 ribu untuk konten. Apabila dikalikan selama 30 hari, kita akan mengantongi 3 juta unique user. Biarpun kelihatannya banyak, bagi Edy ini tidak menunjukkan hasil yang bagus karena tidak ada stickiness pengguna.

“Kalau ingin mencapai, misalnya, DAU to MAU ratio 20%, kita harus membuat 87% pengguna kembali lagi untuk spend besoknya. No amount of money yang bisa mengorkestrasikan itu. [Untuk mencapai ini] kita harus purely punya product-market fit,” tambahnya. 

Memitigasi kegagalan metrik

Setiap orang/divisi di perusahaan harus saling onboard dengan apa yang mereka kerjakan dan capai. Edy menilai, terlalu banyak metrik yang ingin dikejar akan menyulitkan startup dalam mencapai visi dan misinya. Apalagi kalau masing-masing divisi mengejar metrik yang berbeda. 

“Harus ada satu metrik yang matter the most. Memang semua metrik itu penting, tetapi tidak mungkin semua harus dicapai seluruhnya. Di kasus kami, biasanya kami adakan daily stand-up untuk saling mengetahui metrik apa yang ingin dikejar. Kan kalau berbeda jadi ketahuan. Selama semua tahu apa yang sedang dilakukan, ini dapat memitigasi kemungkinan gagal [sebuah metrik],” jelas Edy.

Tapi, ada pula kasus startup mengganti metriknya. Misalnya, startup beralih ke metrik ads-based karena MTU dianggap sudah tidak relevan dengan bisnisnya. Kemudian, berganti lagi ke DAU. Dengan catatan, semua ini dapat berubah tergantung pertumbuhan perusahaan, tahapan, dan arah bisnisnya di masa depan.

Menarik investor dengan metrik

Eddy menilai, melakukan comparable business menjadi salah satu strategi penting ketika mencari investor. Tujuannya adalah mengetahui posisi bisnis kita di industri, apakah ada yang jauh lebih besar dari bisnis yang kita jalankan, dan apakah ada kompetitor yang sampai ke jalur IPO.

“Jika tujuannya sampai ke IPO, mencari informasi soal kompetitor bisa membantu kita untuk menentukan valuasi. Misalnya, kompetitor kita melantai ke bursa. Kalau valuasi kompetitor dinilai dari sepuluh kali price to earning ratio, di sini kita dapat memperkirakan pendapatan atau valuasi bisnis kita,” ucapnya. 

Tak harus mencari studi kasus di perusahaan yang IPO, pelaku startup juga bisa menilik ke perusahaan private. Pembandingnya dapat dilihat dari sejumlah metrik, seperti GMV atau jumlah klien mereka.

Tapi perlu diteliti juga. Apabila kontribusi klien mencapai 50%, ini dapat menjadi red flag karena apabila kliennya berhenti, perusahaan dapat berpotensi kehilangan 50% pendapatannya. Bisa jadi ini pertanda bahwa bisnisnya belum product-market fit.

Jangan merekayasa metrik

Menurut Edy, ada saja pelaku startup yang merekayasa metrik demi meningkatkan valuasi atau memperoleh pendanaan dari investor. Baginya, hal ini tidak patut ditiru karena akan berbalik ke startup itu sendiri.

“Jangan sampai kita sengaja membuat metrik bohongan. Ketika mereka berhasil mengantongi valuasi dan pendanaan dengan nilai lebih besar, di sini your nightmare starts. Mendapat pendanaan bukan berarti selesai, justru semakin besar money yang diperoleh, semakin besar pula bebannya. Apalagi kalau raise money dengan valuasi di inflated number,” ungkapnya.

Edy mengatakan, startup punya runway terbatas dari pendanaan yang diterima sehingga kemungkinan besar mereka harus cari pendanaan baru lagi mengingat investor tidak suka dengan pertumbuhan bisnis yang lambat. Dari sini, masalah akan mulai muncul karena startup mau tak mau harus kembali merekayasa metriknya demi mencapai metrik yang lebih besar. Dengan kata lain, metrik bohongan ini tidak akan pernah ada habisnya.

Generasi baru angle investor Indonesia siap dengan risiko berinvestasi di startup / Depositphotos

Menyambut Generasi Baru “Angel Investor” di Indonesia, Siap dengan Risiko Tinggi Investasi Startup

Pentingnya peran serta angel investor terlibat dalam ekosistem startup, terutama saat tahap awal, tidaklah terbantahkan. Selain membantu startup itu sendiri, bagi investor berinvestasi ke startup tahap awal tergolong “masih murah”, sehingga “ramah budget”. Pesona ini belakangan menarik investor individu yang berlatar belakang sebagai founder startup.

Dalam laporan ANGIN bertajuk “Angel Investment Network 2020”, jumlah angel investor di Indonesia masuk dalam fase bertumbuh (growing), bersama dengan Filipina, Thailand, dan Vietnam. Adapun, Malaysia dan Singapura berada dalam fase dewasa (mature).

Impact Investment Lead ANGIN Benedikta Atika mengatakan, di segi kuantitas, kini angel investor terbagi menjadi dua kelompok: aspiring and new angel investors dan experienced angel investors. Untuk kelompok pertama, menurutnya, secara umum pihaknya melihat antusiasme dari individual untuk masuk sebagai angel investor pada tahap awal.

ANGIN sendiri turut merasakan jumlah angel investor yang bergabung ke dalam jaringannya meningkat hingga 40% dalam dua tahun terakhir. Tren tersebut diperkirakan akan semakin kuat ke depannya dengan lebih banyak mantan pengusaha (misalnya founder startup) yang lebih aktif dalam berinvestasi. Juga bergabung para profesional muda, diaspora, dan generasi berikutnya dari keluarga terkemuka.

“Sementara untuk experienced angel investors, terjadi pergeseran di mana angel investor yang lebih berpengalaman kini maju sebagai LP/menjadi fund manager. Maka mereka tidak lagi aktif lagi sebagai angel investor,” ucap Atika kepada DailySocial.

Dari sisi kualitas, dengan semakin banyak individu yang terjun, makin beragam pula bentuk dukungan yang lebih baik diberikan kepada para founder.

Saat ini ANGIN memiliki lebih dari 130 klien investor yang di dalamnya mencakup sekitar 80 angel investor individu dan sisanya investor institusi. Dari jumlah tersebut, ANGIN berhasil mengumpulkan lebih dari 200 investor tahap awal yang terlibat dalam pendanaan melalui jaringannya. Sejak ANGIN berdiri di 2014, secara akumulasi telah berinvestasi ke 60 startup.

Statistik ini menjadikan ANGIN organisasi jaringan angel investor terbesar di Indonesia. Di luar itu, terdapat ANGEL EQ (kini bernama ALTIRA) dan Angel.ID.

Dalam jajaran angel investor yang bergabung di ANGIN, terdapat investor institusi yang datang dari VC, keluarga konglomerat, korporat, impact investor, dan organisasi. Sementara dari kalangan individu, datang dari pengusaha, HNWI (High-Net-Worth-Individuals), dan figur publik. Sebesar 80% dari total klien ANGIN adalah orang Indonesia.

Di luar jaringan ANGIN, dalam catatan DailySocial, setidaknya dalam beberapa tahun belakangan mulai muncul nama-nama angel investor yang datang dari founder startup tersohor. Berikut daftarnya:

No

Nama Investor Posisi saat ini

Startup yang diinvestasikan

1 Arya Setiadharma CEO Prasetia Dwidharma Wallez (angel round, 11/2016)
2 Arip Tirta Co-Founder Urbanindo Bobobox, Evermos
3 Derianto Kusuma Co-Founder Traveloka AllSome Fulfillment (venture round, 8/19)
4 Reynold Wijaya Co-Founder Modalku Brick (tahap awal, 03/21)
5 Haryanto Tanjo Co-Founder MOKA Greenly (tahap awal, 7/21)
6 Edy Sulistyo Co-Founder Loket Undisclosed
7 Kevin Aluwi Co-Founder Gojek – LoveLocal, rebrand dari m.Paani (12/19)
8 Aldi Haryopratomo Co-Founder Mapan BukuWarung (seri A, 06/21)
9 Edward Tirtanata Co-Founder Kopi Kenangan – BukuKas,

– GudangAda,

– OtoKlix,

– Medigo (pra-Seri A, 12/20),

– Noice

*Pendanaan melalui  Kenangan Fund

10 Rohan Monga CEO Zenius – Zenius (Seri A, 10/19),

– Ula (tahap awal, 06/20)

12 Achmad Zaky Co-Founder Bukalapak – Eduka (tahap awal, 04/20),

– IDCloudHost (tahap awal, 03/21),

– Codemi (tahap awal, 10/20)

 

*Pendanaan melalui VC Init-6

13 Heriyadi Janwar EVP B2B Corp Solution Blibli – Printera,

– Job2Go,

– x0swab

14 Willy Arifin Co-Founder KoinWorks – BukuKas,

– Ula (tahap awal, 06/20),

– Dedoco (tahap awal, 07/21)

15 Christian Sutardi Co-Founder Fabelio BukuKas
16 James Pranoto Co-Founder Kopi Kenangan BukuKas
17 Filippo Lombardi Co-Founder Fabelio BukuKas
18 Sebastian Wijaya Serial investor x0swab
19 Alexander Rusli Serial investor Digiasia, dan 11 startup lainnya
20 Hendra Kwik Co-Founder Payfazz Payfazz, Shipper, Pahamify, Verihubs

 

*Pendanaan sebagai LP di Number

 

Dalam jaringan ANGIN

No

Nama investor

Posisi saat ini

  (Seasoned investor)
1 Shita Kamdani CEO Sintesa Group
2 Noni Purnomo Direktur Utama PT Blue Bird Tbk
3 Jefrey Joe Co-Founder & Managing Director Alpha JWC
4 Mariko Asmara CEO Ango Ventures
(New generation investor)
1 James Prananto Co-Founder Kopi Kenangan
2 Evelyn Grace Png Founder Sunflower Ventures Asia
3 Bianca Belnadia Lie Country Head Love, Bonito
Portofolio ANGIN Burgreens, Kitabisa.com, Siklus, Binar Academy, dan lainnya.

Fungsi dan peran angel investor

Belakangan jumlah VC yang turut berinvestasi dengan ticket size seperti angel investor mulai ramai, ada yang dimulai dari $25 ribu sampai $50 ribu. Kendati begitu, menurut Atika, mau bagaimanapun peran angel investor itu berbeda dengan VC dan tetap relevan dengan kebutuhan startup tahap awal.

Alasannya 1) angel investor memberikan dukungan di luar kapital, walaupun lebih banyak VC yang high-touch, tapi angel investor masih lebih fleksibel. Nilai tambah inilah yang membuat angel investor lebih unggul; 2) angel investor mempelopori dukungan kepada founder di sektor niche (misalnya less-tech enabled model, memiliki misi berdampak sosial) yang sering dianggap terlalu dini atau kurang menarik bagi investor pada umumnya.

Pernyataan Atika didukung penuh oleh Edy Sulistyo (CEO GoPlay) dan Heriyadi Janwar (EVP B2B Corp Solution Blibli). Keduanya adalah penggiat startup sekaligus angel investor.

Edy menyampaikan kehadiran sosok angel investor tidak hanya sebagai pendukung finansial perusahaan, tetapi juga sebagai validasi eksternal dan sosok pertama yang percaya dengan ide founder. “Hampir kebanyakan founder masih berhubungan baik dengan para angel investor yang juga menjadi mentor, tak hanya bagi perjalanan bisnis tetapi juga kehidupan mereka.”

Sepak terjang Edy sebagai angel investor dimulai sejak 2012, ia pun juga berkesempatan menjadi advisor untuk beberapa perusahaan dan startup yang didorong oleh motivasi besar untuk berbagi dan menumbuhkan ekosistem startup Indonesia.

Heriyadi menambahkan, mau bagaimanapun sosok angel investor itu tetap dibutuhkan karena kebanyakan startup tahap awal butuh dana tahap awalnya, untuk scale up dan validasi. Kondisi tersebut tidak berlaku apabila founder datang dari keluarga berada dan tidak memiliki limitasi kapital. “Ini sesuatu yang dibutuhkan, lagipula startup di Indonesia itu bukan tipe yang kalau butuh dana pinjam ke bank,” ucapnya.

Berinvestasi ke founder

Sumber: Depositphotos

Mengutip dari sebuah tulisan yang dibuat Arya Setiadharma di Asean Business, playbook angel investor di Asia Tenggara berbeda dengan negara maju yang ekosistemnya sudah jauh lebih matang dan peraturan yang mendukung (seperti aturan pasar tunggal di EU). Makanya, biasanya para angel investor di kawasan ini sudah akrab dengan kultur di pasar ASEAN. Hal tersebut juga berdampak pada lebih riskan risiko gagalnya.

Seringkali pula, angel investor menemukan diri mereka harus berurusan dengan founder baru yang belum memiliki pandangan 360 derajat terkait startup. Oleh karenanya, menurut Arya, ada tiga tanda bahaya yang harus segera diidentifikasi angel investor sebelum menimbulkan masalah di kemudian hari: kepemimpinan yang tidak stabil, tidak ada pengakuan persaingan, dan harapan yang tidak realistis.

“Jika Anda sebagai angel dapat meramalkan mimpi founder jadi kenyataan, patut bertaruh bahwa mereka dapat menggunakan kisah itu lagi nanti saat mengumpulkan lebih banyak modal dari investor lain. Ini mungkin terdengar terlalu sederhana, tetapi setidaknya dalam kasus saya, ini terbukti benar dalam banyak kesempatan,” kata Arya.

Edy turut menyampaikan bahwa investor itu berinvestasi ke founder adalah benar adanya, terlebih bagi startup tahap awal. Sebab pada fase ini, belum banyak hal yang bisa dilihat, sehingga alangkah penting untuk mendalami seluk beluk si founder dan timnya.

Perlu untuk menanyakan, siapakah dia, apa latar belakangnya, visi dan misinya, lalu bagaimana susunan tim founder dari startup, dan bagaimana mereka menjalankan bisnisnya. Hal tersebut perlu dilakukan untuk melihat kecocokan antara satu sama lain. Layaknya mencari pasangan hidup.

Edy merujuk pada pengalamannya terdahulu. Dia bilang, sebelum mengkaji hal-hal seperti model bisnis dan potensi pasar, penting untuk memahami “Masalah apa yang ingin founder selesaikan.”

“Karena saya percaya, apabila founder telah menemukan apa problem atau pain point bagi konsumen, product/services yang dia hasilkan akan jauh lebih kuat. Semakin kuat pain point dan passionate para founders dengan masalah tersebut, maka akan lebih baik, apabila mereka berhasil menghadirkan solusi yang dapat menjawab hal tersebut.”

Heriyadi ikut menambahkan, mengenal founder itu adalah filtering pertama sebelum ia memutuskan untuk berinvestasi ke startup. “Saya lebih suka kalau founder-nya sudah saya kenal. Tidak mau kalau tidak kenal sama sekali, minimal dalam jajaran founder-nya ada satu yang saya kenal. Atau saya dikenalkan dari jaringan saya sendiri,” katanya.

Filter berikutnya yang biasa ia lakukan adalah memahami seberapa besar ide bisnis tersebut bisa di-scale up dan seberapa besar pangsa pasarnya. “Kalau validasi market-nya terlalu besar atau kekecilan, menurut saya jadinya tidak realistis.”

Seluruh topik pertanyaan Edy dan Heriyadi ini akan terjawab dengan membaca pola pikir founder tersebut dan respons-respons yang diberikan. Apabila founder keras kepala, tidak mau cepat beradaptasi, akan susah untuk berkembang. Sebab, menurut Heriyadi, terjun ke startup itu artinya harus fleksibel.

“Sebab dari pendanaan angel investor ini runway-nya hanya cukup untuk 6 bulan-1 tahun, setelah itu harus melakukan raise funding lagi. Kalau tidak dapat funding dalam kurun waktu tersebut, kita harus tanyakan mereka akan bagaimana karena perusahaan harus tetap ada bisnis untuk cashflow,” tutur Heriyadi.

Ia juga menekankan suntikan dari angel investor tersebut, sebaiknya bukan untuk menggaji karyawan yang sudah ada. Investor harus tahu dana tersebut akan digunakan untuk apa saja. “Duitnya harus buat bikin produk, caranya dengan hiring orang produk dan sebagainya. Itu kasusnya kalau founder-nya bukan orang teknikal.”

Di tengah antusiasme hadirnya angel investor baru, Edy tetap menekankan bahwa investasi di sektor ini menghasilkan big-gain, pasti high-risk. Untuk itu, investasi di startup merupakan investasi jangka panjang yang benar-benar harus terukur. Khusus untuk startup tahap awal, kalkulasi yang bisa dilakukan adalah perlunya keterlibatan (hands-on) dengan melakukan mentoring dan diskusi secara intens.

“Karena pada tahap awal itulah kita masih berkesempatan memberikan arah jalan perusahaan, memberikan saran pengembangan produk berdasarkan pengalaman-pengalaman kita.”

Sementara itu, bagi Heriyadi, adalah investor perlu mendapat progress rutin terkait bisnis startup tersebut apakah sesuai dengan rencana awal atau tidak. Bila ada kendala, biasanya ia akan bantu dengan mengandalkan jaringan-jaringan yang sudah dibangun.

Terhitung Heriyadi telah berinvestasi untuk enam startup sebagai angel investor. Beberapa namanya adalah Printera, Job2Go, dan x0swab. Selain itu, ia aktif sebagai LP untuk fund yang dibuat sejumlah VC.

Risiko tinggi dan tantangan lainnya

Atika mengatakan, dengan lebih banyak investasi yang dikucurkan ke startup, pihaknya melihat bahwa mencari startup yang berkualitas tak lagi menjadi tantangan buat angel investor. Saat ini ada begitu banyak program kesiapan investasi, matchmaking, speed dating, dan acara startup yang membantu angel investor mendapatkan akses ke founder.

Namun, masalah utama yang terus menjadi isu adalah mengenai eksekusi (penataan kesepakatan/deal structuring, negosiasi, dan closing), termasuk di dalamnya mengenai struktur investasi (investment structure). Angel investor punya keterbatasan untuk berpartisipasi dalam kesepakatan dengan struktur tertentu.

Misalnya karena tempat tinggal mereka, terbatasnya akses/pengetahuan terhadap dukungan hukum atau alternatif badan hukum yang tersedia. Hal ini membuat angel investor tidak efisien untuk berinvestasi, terutama mengacu pada ticket size yang berukuran lebih kecil.

Dalam menyelesaikan isu tersebut, pihaknya didukung oleh Frontiers Lab Asia, saat ini sedang mengembangkan solusi untuk mengatasi masalah ini dan membuka peluang angel investor dapat berinvestasi di level Asia. “Kami sedang mengerjakan solusi yang dapat diskalakan untuk membuat angel investment lebih efisien dan relevan di seluruh wilayah.”

Isu ini juga dikemukakan Co-Founder Payfazz Hendra Kwik, yang kini juga terlibat sebagai LP dan Partner MAGIC. MAGIC adalah VC global untuk pendanaan tahap awal yang dikelola oleh sekelompok founder startup. Menurut Hendra, dirinya cenderung masuk sebagai LP daripada berinvestasi secara langsung karena ia ingin lebih terstruktur dan profesional.

“Jadi saya ingin mencegah [tidak profesional], semua harus profesional [proses pendanaannya],” kata Hendra.

Dalam melakukan pendanaan, ANGIN memiliki tiga lapisan penilaian ini sebelum dihubungkan ke angel investor yang masuk ke dalam jaringannya. “Kami memiliki kartu skor sendiri, tetapi selama peninjauan, kami pasti akan melihat orang-orangnya (misalnya motivasi, komitmen, kecocokan pendiri/pasar, dan struktur tim), kecocokan masalah/solusi, dan kecocokan produk/pasar.”

Hal lainnya yang masuk dalam proses analisis ANGIN adalah bagaimana memahami founder apakah cocok dengan minat dan selera risiko angel investor di ANGIN. Dengan profil yang beragam antar individu, cara tersebut memberikan proses analisa di ANGIN lebih kaya karena memberikan tambahan perspektif.

Arya melanjutkan, di tengah risiko yang lebih tinggi di ASEAN, para angel di kawasan ini dapat menggunakan kesepakatan awal untuk berinvestasi melalui instrumen SAFE (simple agreement for future equity) atau convertible notes.

Menurutnya, instrumen ini memberikan tingkat perlindungan jika startup mengalami penurunan karena kreditur diprioritaskan daripada pemegang saham, sambil menghasilkan saham ekuitas yang lebih besar jika startup berhasil dalam putaran pendanaan di masa depan.

“Sama seperti yang mereka lakukan dengan kelas aset lainnya, para angel harus berusaha seproduktif mungkin saat mendukung startup untuk mendiversifikasi risiko.”

Ia juga menyarankan agar angel investor jangan membatasi diri, melainkan bangun portofolio dari berbagai tema industri. Pilihan lainnya adalah coba bergabung dengan jaringan angel yang tepat dan co-invest dengan angel lainnya.

“Di atas segalanya, jangan berkecil hati ketika startup dalam portofolio Anda gagal, atau investasi tertentu tidak berjalan dengan baik. Angel perlu dipersiapkan untuk membuat banyak taruhan. Jika ini tidak sesuai dengan Anda, saran sederhana saya: jangan mencoba menjadi angel di ASEAN,” tutup Arya.


*Foto header: Depositphotos.com

Platform live streaming GoPlay Live mencatat tayangan meningkat secara signifikan hingga 10 kali lipat sepanjang kuartal I 2021 dan kreator konten naik 100%

Banyak Peminat, GoPlay Perkuat Fitur “Live Stream”

GoPlay menambah rangkaian fitur baru untuk perkuat platform live streaming “GoPlay Live” demi menjaring lebih banyak konten kreator lokal bergabung. Sejak diresmikan pada pertengahan tahun lalu, GoPlay Live diklaim mendapat antusiasme tinggi karena memiliki fitur interaktif yang tidak ditawarkan oleh platform sejenis.

CEO GoPlay Edy Sulistyo menjelaskan, dalam perjalanannya GoPlay hadir sebagai rumah bagi para konten kreator tanah air untuk berkreasi dan memasarkan karyanya secara lebih luas. Dukungan tersebut awalnya dihadirkan untuk para sineas perfilman melalui konten GoPlay Original dan kini diperluas ke ranah live show.

“Sejak pandemi kami menemukan banyak orang yang bisa menjadi konten kreator. Sebab, kami belajar bahwa komitmen untuk jadi wadah konten kreator itu tidak selesai di sineas saja, tidak boleh pandang bulu. GoPlay harus bisa ayomi lebih banyak para konten kreator lebih banyak lagi,” kata Edy dalam konferensi pers virtual, Jumat (9/4).

Sejumlah fitur interaktif yang diperkenalkan GoPlay Live, di antaranya Chat, Shout Out, Virtual gift, Polling, dan Live shopping. Fitur-fitur tersebut dapat mendorong para kreator untuk berinovasi menghadirkan topik-topik baru yang lebih seru dan menghibur.

Edy juga menekankan, teknologi di dalam GoPlay Live sudah dikostumisasi sedemikian rupa untuk menekan delay dan dapat menyajikan live stream secara real time. Pasalnya, live stream itu erat kaitannya dengan interaksi langsung antara penonton dengan host sehingga apabila ada delay tentu pengalaman tersebut tidak akan maksimal. Pengalaman tersebut masih menjadi hambatan bagi platform live stream yang hadir saat ini.

“Fitur-fitur interaktif ini dibutuhkan penonton live stream karena zaman sekarang orang tidak ingin hanya sekadar nonton saja. Mereka ingin interaksi langsung dengan host-nya dengan format tontonan yang belum pernah ada sebelumnya.”

Salah satu fitur yang banyak digunakan adalah virtual gift selama live streaming. Fitur ini dapat menjadi salah satu kanal kreator dalam monetisasi, karena penonton dapat memberikan apresiasinya kepada kreator dengan memberikan hadiah berupa saldo yang dipotong langsung dari akun GoPay.

“Kami juga melihat tren pendapatan para kreator konten terus meningkat seiring antusiasme pengguna yang semakin familiar dengan fitur virtual gift ini. Temuan ini sangat membesarkan hati kami karena dukungan para pengguna akan sangat membantu pertumbuhan industri live streaming di Indonesia.”

GoPlay mencatat tayangan live show interaktif berhasil menarik antusiasme pengguna. Jumlah live show meningkat secara signifikan hingga 10 kali lipat sepanjang kuartal I 2021. Pertumbuhan tersebut seiring dengan jumlah kreator konten yang meningkat hingga 100% dibandingkan tahun lalu. Salah satunya, konten GoPlay Live Original bersama JKT48, bernama JKT48 Live Show berhasil menarik penonton hingga lebih dari 4 ribu orang.

Pencapaian dari GoPlay ini tercermin dengan laporan dari App Annie. Jumlah jam yang dihabiskan pada aplikasi mobile video streaming di Indonesia pada kuartal IV 2020 mencapai 8,33 miliar jam. Angka tersebut naik hampir dua kali lipat dari periode yang sama di tahun sebelumnya sebesar 4,94 miliar jam. Konsumen juga dipercaya akan mengunduh lebih dari satu hingga rata-rata 9,5 aplikasi streaming, seiring dengan minat mereka untuk terus mencari hiburan baru di aplikasi selama berkegiatan di rumah.

Sepanjang tahun ini, GoPlay akan fokus membuat lebih banyak kerja sama dengan kreator lokal untuk membuat konten eksklusifnya di GoPlay Live yang bakal tayang secara rutin. Seperti, live streaming nonton bareng film indie, live music akustik, kelas memasak, review makanan GoFood, talkshow, dan lain-lain.

“Kami juga melakukan pendampingan secara bertahap untuk para kreator. Ada tim kreator yang ditugaskan khusus untuk bantu mereka, lalu ada studio yang bisa dipakai untuk live streaming,” pungkas Edy.

Selain platform live streaming interaktif, GoPlay juga menawarkan layanan video-on-demand berlangganan yang mencakup konten GoPlay Original, GoPlay Exclusive, galeri film independen GoPlay Indie dan galeri konten premium lainnya, serta GoPlay Rental (pay-per-view service).

Application Information Will Show Up Here
Melihat strategi dan proposisi konten dari Bioskop Online (Visinema), Nonton (MVP Group), dan KlikFilm (Falcon Pictures)

Percaya Diri, Rumah Produksi Rilis Layanan OTT Sendiri

Kepercayaan konsep “winner takes all” tidak selalu berlaku untuk semua bisnis digital. Pengaruh Netflix yang sudah terlanjur menguat di berbagai belahan dunia, tidak menyurutkan optimisme pemain lokal untuk terjun ke ranah yang sama.

Setelah DailySocial membahas kepungan pemain OTT dari luar, global dan regional, ke Indonesia, kini ada tren menarik yang terjadi, yakni produsen konten yang terjun ke bisnis OTT. Sebagai produsen, tentu ada “bargaining power” dalam mendistribusikan kontennya, entah ke televisi, bioskop, atau platform OTT.

Namun belum “sreg” ternyata kalau belum punya platform sendiri karena platform petahana belum menjawab apa yang produsen konten inginkan. Dari pantauan DailySocial, sejauh ini ada tiga rumah produksi lokal yang merilis platform OTT sendiri.

Mereka adalah Visinema dengan Bioskop Online, MVP Group dengan Nonton, dan Falcon Pictures dengan KlikFilm. Seluruhnya masih seumur jagung dan terus berupaya menarik konsumen dengan konten-konten produksinya.

Celah kosong

President Digital Business Visinema Group Ajeng Parameswari menjelaskan, dari posisinya sebagai penikmat film ia merasa sudah lama mendambakan satu platform berisi film-film lokal berkualitas dengan mudah. Keluhan tersebut, juga terasa buat dirinya sebagai produsen film, bahwa akses mendapatkan konten seperti itu memang lebih susah dengan alasan komersial.

“Karena itu, lahirlah Bioskop Online yang merupakan perwujudan idealisme kami untuk menciptakan sebuah wadah yang mempertemukan penikmat film dengan film-film berkualitas,” tutur Ajeng kepada DailySocial.

Celah tersebut dari kacamata bisnis menjadi potensi yang besar, terutama jika dibandingkan antara jumlah populasi dengan jumlah layar bioskop saat ini. Berkat dukungan pertumbuhan film Indonesia, yang mana jumlah produksi film lokal dan jumlah penontonnya kian meningkat signifikan dalam beberapa tahun terakhir.

Bioskop Online punya optimisme tinggi bahwa mereka punya kesempatan untuk tumbuh dan memenuhi kebutuhan akses film Indonesia berkualitas bagi para penonton. Bioskop Online sendiri baru resmi dirilis pada 11 Juli 2020 di bawah badan hukum PT Bioskop Digital Indonesia. Situsnya baru bisa diakses situsnya melalui desktop dan mobile.

Bioskop Online secara spesifik baru menyajikan konten film, dari keluaran sendiri, seperti Keluarga Cemara dan Filosofi Kopi. Lalu, bekerja sama dengan rumah produksi independen yang mendapat banyak penghargaan dari berbagai festival ternama, diantaranya Siti, Mereka Bilang Saya Monyet, Ziarah, Istirahatlah Kata-Kata, Turah, dan masih banyak lagi.

Seluruh film tersebut dapat ditonton dengan konsep pay-per-view dengan biaya Rp5 ribu sampai Rp10ribu dan dapat disimpan hingga 2 hari. Metode pembayarannya juga sudah kekinian dengan memanfaatkan QRIS yang dapat menjangkau seluruh konsumen.

Keyakinan yang sama juga dicoba MVP (PT Tripar Multivision Plus), salah satu rumah produksi terbesar di Indonesia, saat merilis aplikasi Nonton pada awal tahun lalu. Nonton dijalankan oleh anak usahanya, PT Web Stream Indonesia.

Kekayaan konten MVP yang sudah diproduksi sejak dua dekade silam menjadi proposisi yang menarik untuk melawan OTT global dan regional. CEO MVP Group Amit Jethani menuturkan kekuatan inilah yang membuat Nonton berbeda.

“Kami berinvestasi di Nonton pada beberapa waktu yang lalu sebagai sarana untuk lebih memahami dunia OTT dan mendapatkan masukan langsung dari konsumen tentang tontonan yang mereka sukai. MVP memiliki salah satu perpustakaan konten terbesar di Indonesia dan sekarang kami menghadirkannya secara online,” ujar Amit.

Nonton memanfaatkan nuansa nostalgia untuk menarik penonton yang mencari alternatif tontonan lawas, dengan tayangan serial TV (sinetron) keluaran tahun 1990-an hingga 2000-an. Rata-rata tayangan ini tenar pada zamannya dan banyak disenangi penonton lokal.

Sinetron keluaran MVP yang cukup terkenal seperti Doa dan Anugerah (Krisdayanti dan Anjasmara), Dewi Fortuna (Roy Marten, Ayu Diah Pasha, dan Bella Saphira), Asmara (Dicky Wahyudi dan Tamara Blezynski), Melati (Desy Ratnasari), Janjiku (Paramitha Rusady dan Reynold Surbakti), dan masih banyak lagi dapat disaksikan kembali di layar ponsel.

“Kami memiliki banyak katalog serial TV yang hingga saat ini dicintai dan ditonton oleh banyak orang. Banyak pengguna kami lebih menyukai cerita dan akting dari serial lama kami.”

Ada lagi KlikFilm dari Falcon Pictures yang baru dirilis pada awal tahun ini. Mereka juga menayangkan film-film garapannya, termasuk dari Max Pictures dan Maxima Pictures. Sebagai pembeda lainnya, mereka juga menyediakan film-film hasil kurasi dari luar negeri yang tidak tayang di bioskop Indonesia dari Amerika Serikat, Eropa, dan Asia.

Seluruh tayangan tersebut dapat dinikmati dengan cara berlangganan secara mingguan seharga Rp10 ribu dipotong dari pulsa, redeem voucher, atau e-money. DailySocial mencoba menghubungi pihak KlikFilm untuk memberikan tanggapannya, namun hingga artikel diturunkan belum mendapatkan respons.

Ruh ada di konten original

Sebagai produsen konten, ketiga rumah produksi di atas kini punya jalur khusus untuk mendistribusikan hasil karyanya ke dalam platform-nya sendiri, sebelum disebar lisensinya ke platform OTT lainnya. Formula ini dibalik oleh pemain OTT dengan memperluas jaringan ke banyak rumah produksi agar mau kerja sama produksi konten original dan tayang secara eksklusif di platform-nya.

Strategi ini jadi lumrah dan banyak dipakai di industri mau di belahan negara manapun. Netflix termasuk yang paling giat memproduksi konten originalnya dengan menyediakan dana jumbo.

Bagi Ajeng, kondisi demikian adalah hal positif buat para penikmat Indonesia, sebab mereka akan punya semakin banyak pilihan film untuk dinikmati. Bagi produsen, hal ini mampu memicu untuk memproduksi lebih banyak konten berkualitas.

“Selain itu dengan banyaknya PH lokal atau OTT yang membuat konten original akan membawa kontribusi, baik bagi industri perfilman Indonesia dan diharapkan nantinya film Indonesia akan menjadi tuan rumah di negaranya sendiri.”

Dia melanjutkan, dari kacamata bisnis ini bukan menjadi kompetisi antara satu sama lain, melainkan dorongan untuk sinergi. Ia justru menyambut baik karena perusahaan terbuka untuk berkolaborasi dengan rumah produksi lain membuat konten bersama atau juga berkolaborasi dengan pihak lain untuk memajukan industri film Indonesia.

Yang terpenting saat ini adalah menghadirkan konten yang berkualitas dan berkontribusi membangun ekosistemnya. Ia percaya bahwa konten yang baik pasti akan menemukan penontonnya. “Dengan begitu banyak pemain di mana semua memiliki competitive advantage masing-masing, saya juga percaya konsep sinergi akan sangat relevan.”

Hal demikian juga diungkapkan Amit. Menurutnya, layanan OTT adalah bentuk baru dari televisi. Jumlah pemain OTT ke depannya akan semakin banyak dan masing-masing punya ruang untuk berkembang. “Anda harus memiliki visi jangka panjang dan perlahan pasti akan menemukan ceruk pasar Anda.”

Tantangan berikutnya adalah strategi retensi dan perusahaan harus mencari tahu konten mana yang paling terhubung dengan audiens masing-masing. “Kami tidak menganggap diri kami sebagai pesaing pemain regional karena kami juga memproduksi konten original untuk mereka. Kami hanya membawa katalog kami secara online dan bersiap untuk masa depan.”

Amit tidak menerangkan lebih jauh terkait pencapaian Nonton sejauh ini. Dia hanya menyebut Nonton memiliki 35 judul konten original yang setiap episode barunya secara rutin tayang setiap minggu. Tidak hanya sinetron, Nonton juga menambah variasi konten film lokal dan internasional ke dalam katalognya.

Seluruh konten di Nonton hanya bisa dinikmati dengan berlangganan secara mingguan sebesar Rp10 ribu atau bulanan Rp30 ribu. Metode pembayaran yang tersedia melalui Google Pay (kartu debit/kredit, pulsa, GoPay, voucher).

Pernyataan Amit tercermin dengan aksi strategis yang dilakukan oleh rumah produksi lainnya, yakni MD Pictures, yang bekerja sama dengan induknya MD Entertainment untuk memproduksi konten original yang didistribusikan khusus ke OTT rekanan, yakni WeTV, iflix, dan Disney+ Hotstar.

Ada 10 sampai 15 judul konten yang sudah masuk dalam tanggal produksi sampai awal 2021 mendatang. Fokus bisnis baru ini diharapkan dapat mengubah komposisi pendapatan perusahaan yang tertekan akibat pandemi.

Awalnya mayoritas pendapatan datang dari dari bioskop (sebesar 80%). Kini layanan OTT ditargetkan dapat mendongkrak pendapatan dan bisa menyumbang di angka 60%-70%. Adapun model bisnis yang dipakai adalah sistem penjualan lisensi kepada OTT.

Metode kolaborasi GoPlay

CEO GoPlay Edy Sulistyo turut memberikan tanggapannya terhadap tren OTT yang dirintis oleh rumah produksi. Pihaknya menyambut kehadiran para pemain VoD, termasuk yang berasal dari rumah produksi karena Indonesia memiliki potensi yang masih terbuka lebar. Terlebih, konsep “winner takes all” tidak berlaku dalam industri ini, mengingat masih banyaknya penonton di Indonesia yang belum terjangkau.

Yang terpenting bagi GoPlay adalah bagaimana setiap pelaku dapat berkontribusi ke ekosistem dengan menawarkan unique value proposition masing-masing, sehingga semua dapat sama-sama membangun industri perfilman dan kreatif di Indonesia.

“Semua ini tidak dapat dilakukan satu pihak, sehingga merupakan upaya yang harus dilakukan bersama-sama. Kita semua memiliki peran dalam mendorong pertumbuhan film Indonesia dan meningkatkan para pembuat konten lokal.”

Dalam praktiknya, GoPlay selalu memosisikan diri sebagai platform bagi para sineas untuk berkembang, tidak hanya menggaet sineas senior saja. Juga membuka kesempatan bagi talenta dan sutradara pendatang dengan potensi mereka. Sebab bagi perusahaan, tidak serta merta mengejar kualitas konten saja tapi juga memberikan dukungan untuk talenta lokal agar dapat memproduksi karya berkualitas.

“Berbagai dukungan kami berikan sejak sebuah konten dibuat, antara lain program Script Doctor GoPlay agar para sineas dapat menghasilkan karya dengan kualitas storytelling dan scriptwriting yang unggul.”

Selain itu, memberikan dukungan melalui pencarian dana maupun sponsor bagi sineas. Serta, berkolaborasi dengan rumah produksi sebagai partner untuk memastikan eksekusi produksi yang mengedepankan standar kualitas tinggi.

Edy mengaku GoPlay melakukan pendampingan dan terlibat langsung dari tahap ideation, proses kreatif, pre-production hingga post production sebagai Co-Producer.

“Walaupun pada dasarnya GoPlay adalah perusahaan teknologi bagian dari super app Gojek, tim internal konten kami beranggotakan para mantan pelaku industri perfilman dan VOD terjun langsung dengan pengalaman mereka di berbagai project film dan serial, baik di tingkat nasional maupun global.”

Metode kolaborasi demikian diterapkan pada seluruh konten GoPlay Original, baik film maupun serial. Salah satu yang terbaru adalah Jadi Ngaji yang baru dirilis awal Oktober ini. GoPlay bekerja sama dengan sutradara pendatang baru Muthia Zahra Feriani yang memboyong rumah produksinya Arseri.

Dari segi bisnis, Edy mengklaim bahwa ada strategi khusus yang membedakan GoPlay dengan VoD lain. Ada model pembagian pendapatan (revenue-sharing) yang diterapkan bersama pembuat konten dan rumah produksi, baik untuk konten GoPlay Original, GoPlay Exclusive, GoPlay Live, GoPlay Rental, maupun berbagai konten lokal lainnya.

Metode ini sebenarnya juga diterapkan pada bioskop dan terbukti sukses dengan pencapaian jutaan penonton pada film box office. “Kami percaya model revenue sharing dapat menjadi stimulus bagi para sineas untuk terus giat meningkatkan kualitas karya mereka, sehingga dapat memberi manfaat yang berkelanjutan bagi semua bagian dalam ekosistem perfilman,” tutup Edy.

GoPlay Live

GoPlay Live Diluncurkan untuk Mengakomodasi Kebutuhan Konten Interaktif

Pergeseran perilaku konsumen terhadap konsumsi media online di era pandemi ini telah mendorong GoPlay, platform video on demand dari Gojek, untuk meluncurkan inovasi terbarunya, GoPlay Live. Fitur ini akan menayangkan secara langsung (live streaming) berbagai program atau konten online dengan lebih interaktif.

Hal ini diakui oleh Edy Sulistyo, selaku CEO GoPlay, “Awalnya kita melihat shifting behavior dari pengguna yang mulai mencari konten daring. Diikuti dengan peningkatan jumlah event online […] dari sini kita coba cari cara bagaimana membuat online event yang bisa menghadirkan offline experience.

Pihaknya turut menyampaikan potensi konten online yang cukup besar selama pandemi ini. Menurut data yang didapat dari sister company, Loket.com, terjadi lonjakan penyelenggaraan online event yang mendominasi 96% dari total event. Hal ini sejalan dengan peningkatan jumlah pengguna GoPlay yang mencapai 10 kali lipat.

Belum lama ini, GoPlay juga telah mengamankan investasi secara independen.

Memperkuat kolaborasi

Memasuki tatanan baru di era pandemi ini, Edy memaparkan beberapa strategi perusahaan untuk beradaptasi dengan situasi saat ini. Salah satunya adalah dengan meningkatkan kolaborasi yang bisa mengoptimalisasi industri film Indonesia dan menunjang para sineas dalam distribusi karya mereka secara menyeluruh

Sejauh ini, GoPlay telah berkolaborasi dengan Gojek dan Citilink untuk beberapa paket produk (bundling). Selain itu, bersama Kemenparekraf menghadirkan festival film dan serial online pertama di Indonesia. Strategi kolaborasi ini dinilai sangat efektif untuk bisa meningkatkan engagement dengan pengguna sekaligus mendukung kampanye #Dirumahaja.

Sebelumnya, GoPlay telah memiliki beberapa kategori seperti GoPlay Original, Goplay Exclusive, dan Goplay Library dalam aplikasinya. Namun, seiring dengan peningkatan jumlah online event, fitur live streaming ini juga sebagai salah satu strategi untuk bisa melengkapi ekosistem yang ada serta turut membantu mereka yang terkena dampak pandemi di industri entertainment.

Mendukung sineas lokal

Beberapa fitur interaktif baru yang sudah bisa dinikmati meliputi (1) ShoutBox, untuk membantu pengguna dalam sesi tanya jawab dengan host/penyelenggara dalam sebuah sesi; (2) Public and Private Group Chat, yang memungkinkan para hadirin bisa berinteraksi satu sama lain layaknya ketika mengikuti event secara offline; (3) Live Shopping, untuk mempermudah pengguna membeli merchandise, souvenir, atau produk lain dari pembuat konten (atau event); serta beberapa fitur lainnya.

Selain fitur-fitur yang bisa menambah revenue para seniman/pembuat konten, terdapat juga proteksi DRM (Digital Right Management) untuk menghindari duplikasi konten serta mem akses kontrol yang eksklusif.

“Inovasi dan kreativitas content creator di Indonesia sangatlah tak terbatas. Melalui dukungan super app Gojek, pengembangan fitur GoPlay dalam kategori GoPlay Live juga tidak akan berhenti sampai di sini. Dalam waktu dekat, GoPlay Live akan menghadirkan fitur-fitur tambahan, seperti Interactive Trivia, Interactive Polling, Donation, Virtual Gift, dan masih banyak lagi bagi para pengguna,” sambung Edy.

Sementara itu, dari sisi content creator, penyelenggaraan online event ini menjadi salah satu yang bisa mendorong industri kreatif tetap bertumbuh di tengah hilangnya panggung offline mereka. Selain itu, akses daring yang tidak terbatas secara geografis dirasa bisa memperluas target audiens. Faktanya, sejumlah online event bahkan berhasil meraih penjualan lebih dari 5000 tiket. Penontonnya tidak hanya datang dari masyarakat lokal, namun juga dari beberapa negara tetangga.

“Hal ini membuat saya sangat exited dengan potensi online event ini. Selain tetap bisa menggunakan GoPlay untuk membantu para seniman tetap berkarya, kita juga melihat potensi post-pandemic. Dengan konsep yang ada, kita bisa membentuk hybrid model antara offline dan online event yang nantinya bisa mendapatkan revenue dari audiens yang lebih besar,” tambah Edy.

Saat ini Goplay Live juga telah terintegrasi dengan GoTix dan Loket. Untuk pengguna yang ingin menikmati pengalaman offline dalam event online secara lebih interaktif serta ingin lebih mengapresiasi content creator favoritnya bisa langsung membeli tiket yang tersedia di dua platform tersebut.

Application Information Will Show Up Here

GoPlay On Demand Video Platform Bags Independent Investment

GoPlay, the on-demand video platform in Gojek’s ecosystem today (8/6) announced the closure of its first funding round with an undisclosed value. This is independent funding, it means the investment is directed specifically to the core company instead of the parent company.

This is the first external funding announced by the Gojek group’s business unit. The concept is practically the definition of a spin-off, but GoPlay’s CEO Edy Sulistyo told DailySocial that GoPlay will remain part of the whole Gojek ecosystem.

Edy breaks down the news that every Gojek business unit with a different model must have a different business license because it has to adjust to the  Indonesian rule.

“Independent PT [GoPlay] has existed since the day it’s founded because it requires different permits. […] [Nevertheless] we are always part of the Gojek ecosystem,” he said, Monday (6/8).

The funding round was led by ZWC Partners and Golden Gate Ventures. Other investors involved were Openspace Ventures, Ideosource Entertainment, and Redbage Pacific.

Edy said that the capital fund obtained is to be focused on developing GoPlay technology to reach more users in Indonesia. Content creators are also expected to use GoPlay to distribute their work to wide markets.

He further said Indonesian content creators needed more platforms to be able to show their talent and work. While at the same time, more and more Indonesian mobile users demand fast and easy access to local content.

The great potential can’t be performed by the cinema industry alone and he is trying hard to close the gap between the needs and availability of quality content through technology.

“We are proud that investors can acknowledge GoPlay’s mission. We are working hard to develop technology and improve GoPlay features over the past year. Therefore, now is the time to embrace partners with deep expertise in the industry to spur our growth,” he said in an official statement.

Some investors in this round also made their statements on this occasion. ZWC Partner’s Founding & Managing Partner, Patrick Cheung said, “We are very happy that Gojek and GoPlay acknowledge the added value ZWC Partners can provide in developing GoPlay, such as our resources, networks, also knowledge and experience in the Chinese market.”

Ideosource Entertainment CEO (subsidiary of NFCX) Andi Boediman added, “Looking at today’s growth and demand for streaming content, we believe that the Indonesian content market has the potential to reach $1 billion in the next three years.”

For the record, Ideosource Entertainment and GoPlay, through GoStudio, have collaborated several times for creating content for the big screen.

Since it was first released in September 2019, GoPlay is claimed to have been reached by hundreds of thousands of mobile users inside and outside the Gojek ecosystem. This platform has given consumers exclusive access to hundreds of locally produced films and serials.

Currently, GoPlay has developed its technology with the Cast feature from application to television using Chromecast devices for Android and AirPlay for Apple.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Pendanaan GoPlay Gojek

Platform Video on Demand GoPlay Dapatkan Investasi secara Independen (UPDATED)

GoPlay, platform video on-demand dari Gojek hari ini (8/6) mengumumkan penutupan putaran pendanaan perdananya dengan nilai dirahasiakan. Pendanaan ini bersifat independen, artinya investasi dialirkan secara khusus ke perusahaan, tidak melalui induk perusahaan.

Pendanaan dari pihak eksternal ini adalah yang perdana diumumkan unit bisnis grup Gojek. Konsepnya masuk ke definisi spin off, tetapi CEO GoPlay Edy Sulistyo kepada DailySocial memastikan bahwa GoPlay akan tetap menjadi bagian dari ekosistem Gojek secara keseluruhan.

Edy menjelaskan setiap unit bisnis Gojek dengan model yang berbeda pasti memiliki izin usaha yang berbeda karena harus menyesuaikan dengan aturan yang berlaku di Indonesia.

“PT sendiri [GoPlay] sudah ada sejak awal berdiri karena punya izin yang berbeda. [..] [Meskipun demikian] kami selalu ada di dalam ekosistem Gojek,” ujarnya, Senin (8/6).

Putaran pendanaan dipimpin oleh ZWC Partners dan Golden Gate Ventures. Investor lainnya yang turut terlibat adalah Openspace Ventures, Ideosource Entertainment, dan Redbage Pacific.

Edy menuturkan bahwa dana modal yang didapatkan akan difokuskan untuk mengembangkan teknologi GoPlay agar semakin banyak bisa dijangkau lebih banyak pengguna di Indonesia. Kreator konten pun diharapkan bisa memanfaatkan GoPlay untuk mendistribusikan hasil karya mereka kepada lebih banyak orang.

Lebih lanjut dia mengatakan, para kreator konten Indonesia membutuhkan lebih banyak platform untuk dapat menunjukkan bakat dan karya mereka. Sementara di saat yang sama, semakin banyak pengguna ponsel Indonesia yang menginginkan akses ke lebih banyak konten lokal secara cepat dan mudah.

Potensi besar ini belum bisa dijawab oleh industri bioskop dan dia berusaha keras untuk menutup kesenjangan antara kebutuhan dan ketersediaan terhadap konten berkualitas melalui teknologi.

“Kami bangga bahwa investor dapat melihat misi yang hendak GoPlay capai. Kami bekerja keras untuk membangun teknologi dan menyempurnakan fitur-fitur GoPlay selama setahun terakhir ini. Sehingga, sekarang saatnya untuk merangkul para partner yang memiliki keahlian mendalam di industri untuk memacu pertumbuhan kami,” katanya terpisah dalam keterangan resmi.

Sejumlah investor yang masuk dalam putaran ini juga menyampaikan pernyataannya dalam kesempatan ini. Founding & Managing Partner ZWC Partners Patrick Cheung mengatakan, “Kami sangat senang bahwa Gojek dan GoPlay memperhitungkan nilai tambah yang dapat ZWC Partners berikan dalam pengembangan GoPlay, yaitu sumber daya, jaringan, serta pengetahuan dan pengalaman kami di pasar Tiongkok.”

CEO Ideosource Entertainment (anak usaha NFCX) Andi Boediman menambahkan, “Melihat pertumbuhan dan permintaan akan konten streaming dewasa ini, kami percaya bahwa pasar konten Indonesia berpotensi untuk mencapai $1 miliar dalam tiga tahun ke depan.”

Sebagai catatan, Ideosource Enterntainment dan GoPlay, melalui GoStudio, sudah pernah beberapa kali berkolaborasi untuk pembuatan konten untuk layar lebar.

Sejak pertama kali dirilis pada September 2019, diklaim GoPlay telah dijangkau oleh ratusan ribu pengguna ponsel di dalam maupun di luar ekosistem Gojek. Platform ini telah memberikan akses eksklusif bagi konsumen ke ratusan film dan serial yang diproduksi secara lokal.

Saat ini GoPlay telah mengembangkan teknologinya dengan fitur Cast dari aplikasi ke televisi dengan menggunakan perangkat Chromecast untuk Android dan AirPlay untuk Apple.

Update: kami menulis ulang tentang konsep spin off antara GoPlay dan Gojek

Application Information Will Show Up Here
GoPlay Gojek

Gojek Resmi Luncurkan Platform “Video on Demand” GoPlay

Gojek akhirnya resmi memperkenalkan GoPlay, platform video on demand yang menayangkan film dan serial. Penggunaannya memakai sistem berlangganan dengan dua opsi harga senilai Rp89.000 dan Rp99.000.

GoPlay sejatinya sudah meluncur secara terbatas dua bulan lalu. Namun dengan peluncuran ke publik kali ini, GoPlay menegaskan serius menjamah bisnis video on demand.

“Kami ingin jadi wadah bagi sineas sehingga dapat memakai GoPlay menjadi alat distribusi karya mereka ke publik yang lebih luas,” ucap CEO GoPlay Edy Sulistyo.

Edy menolak menyebut jumlah video yang tersedia di GoPlay. Akan tetapi ia mengklaim saat ini sudah ada ratusan jam konten berupa film dan serial yang dapat diakses di platform tersebut.

Beberapa di antaranya adalah konten original buatan GoStudio. GoStudio sendiri adalah divisi tersendiri di bawah GoPlay yang bertugas memproduksi konten.

Film dan serial seperti Buffalo Boys, Aruna & Lidahnya, Filosofi Kopi The Series, Kata Bocah The Show adalah contoh film dan serial yang diproduksi oleh GoStudio ini. Dalam waktu dekat konten original itu pun akan ditambah tiga serial baru yakni Tunnel, Saiyo Sakato, dan Gossip Girl Indonesia.

“Kita bekerja sama dengan rumah produksi. Gojek kan expertise di teknologi dan distribusi, jadi kita berharap kerja sama dengan rumah produksi yang lebih expert dalam membuat film berkualitas,” imbuh Edy.

GoPlay mengaku tak punya target berapa banyak konten yang akan mereka sediakan di platform. Sebagai gantinya, ia mengundang sineas lokal lain untuk berkolaborasi untuk memproduksi film atau serial untuk GoPlay. Mulai hari ini aplikasi GoPlay sudah dapat diunduh di PlayStore dan AppStore.

Data dari Pusbang Film Indonesia menyebutkan jumlah penonton Indonesia terus meningkat dari tahun ke tahun. Dalam tiga tahun jumlah penonton film di Indonesia bergerak dari 100,6 juta (2016) ke 108,2 juta (2017) dan menjadi 129,5 juta (2018).

Kendati begitu, akses penonton ke film lokal masih jadi persoalan. Hal ini terlihat dari jumlah penonton film lokal yang selalu jauh tertinggal dari film luar negeri. Riset yang sama menunjukkan film lokal hanya dipilih 36 persen total penonton bioskop di Indonesia.

GoPlay mengklaim kondisi pasar yang demikian melatarbelakangi tujuan mereka sebagai jembatan penonton agar lebih mudah mengakses film-film produksi dalam negeri.

Resminya kehadiran GoPlay ini meramaikan pelaku video on demand di Indonesia baik yang lokal maupun regional seperti MNC Now, Maxstream, BlibliPlay, iflix, Viu, dan Hooq.

Application Information Will Show Up Here