Startup aquatech eFishery memperkenalkan bisnisnya di India, eFishery Aqua Techworks Private Limited, setelah merampungkan uji coba komersial sejak Maret 2023. eFishery India mampu menjangkau lebih dari 1.000 hektar kolam milik pembudidaya dan mendistribusikan 3.000 metrik ton pakan.
Pencapaian positif ini membuat perusahaan terus berambisi memperluas jangkauan operasional ke lima negara bagian lain di India hingga akhir 2024. Selain India, eFishery juga melirik peluang di satu atau dua negara di wilayah Asia dan Amerika Latin dalam satu tahun mendatang, sembari terus menjalankan ekspor produk udang ke luar negeri.
Strategi ini juga berfokus untuk melihat variasi pasar yang menawarkan ekosistem komprehensif kepada pembudidaya, menciptakan model koperasi digital lengkap dengan akses untuk pakan ikan dan udang berkualitas tinggi, teknologi Internet of Things (IoT), SOP produksi, dan jaminan pembelian (off-take), guna memberdayakan serta mengembangkan potensi pembudidaya.
“Dimulai dengan India, kami bangga dengan kemampuan eFishery mengerahkan potensi kekuatan akuakultur secara global melalui teknologi buatan Indonesia, dengan rata-rata peningkatan pendapatan pembudidaya mencapai dua hingga tiga kali lipat,” kata Co-founder dan CEO eFishery Gibran Huzaifah dalam keterangan resmi, Kamis (14/12).
Pihaknya menyadari potensi dan nilai industri akuakultur India, baik secara ukuran dan struktur, memiliki kemiripan dengan Indonesia, yang didominasi oleh pembudidaya level kecil dan menengah. Memosisikan sebagai mitra, para kontributor utama ketahanan pangan lokal dan regional India dapat berkontribusi lebih baik untuk menghasilkan sumber protein berkelanjutan yang dapat diakses oleh masyarakat global.
India dengan populasi 1,4 miliar jiwa memiliki tingkat konsumsi seafood hingga 60-70%. Tingginya konsumsi ini berpengaruh pada industri akuakultur yang bernilai lebih dari $15 miliar, dan memiliki Compound Annual Growth Rate (CAGR) >8% selama tiga dekade terakhir.
Hal ini menggambarkan besarnya potensi industri akuakultur di India. Namun, di tengah besarnya potensi tersebut, pembudidaya kecil dan menengah di India masih menghadapi berbagai tantangan, seperti lemahnya akses ke pasar, skema harga yang tidak konsisten dan tidak menguntungkan, skema pembayaran yang selalu terlambat, serta kurangnya informasi dasar manajemen budidaya dari sisi tata cara, teknologi, maupun inovasi.
Menyadari hal tersebut, eFishery berupaya memberdayakan pembudidaya agar dapat mengambil keputusan secara cepat berdasarkan informasi dan data. Fokusnya adalah mengoptimalkan praktik budidaya dan meningkatkan hasil panen secara keseluruhan.
International Expansion Lead eFishery Neil Wendover menjelaskan komitmen perusahaan untuk meningkatkan profitabilitas pembudidaya di setiap negara sasaran ekspansi. Menurutnya, tujuan bisnis eFishery tetap berfokus untuk menyelesaikan masalah para pembudidaya dan meningkatkan profitabilitas dengan mendorong produktivitas dan efisiensi operasional.
“Kami tidak mengurangi keuntungan mereka, tetapi justru menggandakan hasilnya,” imbuhnya.
eFishery India memulai operasinya di Andhra Pradesh, negara bagian India yang menyumbang 35% dari total produksi akuakultur nasional. Timnya terdiri dari 50 karyawan lokal, yang memiliki pemahaman mendalam tentang kultur setempat. Dukungan dari lembaga pemerintah dan pemasok bahan baku berperan penting dalam mengatasi tantangan unik sektor akuakultur India yang sangat berpotensi namun masih terfragmentasi.
“Kami senang bahwa upaya strategis kami telah membuahkan hasil. Di India, kami berada di jalur yang tepat untukmencapai pertumbuhan 10x lipat, selaras dengan target bisnis ekspansi internasional kami.”
“Kolaborasi dengan eFishery telah membawa perubahan besar bagi kolam budidaya kecil kami. Solusi dan dukungan inovatif mereka telah meningkatkan efisiensi dan mendorong keberlanjutan operasi budidaya kami secara keseluruhan. Bantuan berkelanjutan dari eFishery juga memastikan panen yang sukses, sehingga dapat mencegah perlunya panic harvest karena kendala finansial” kata Ch. Veera Nageswar Rao, pembudidaya ikan dari Distrik Kakinada di India, dan juga mitra eFishery.
Didirikan di Bandung pada 2013, eFishery telah mendisrupsi industri akuakultur Indonesia dengan menawarkan digital autofeeder berbasis IoT. Inovasi ini bertujuan untuk meningkatkan akuntabilitas, efisiensi, dan kenyamanan dalam usaha budidaya ikan. Teknologi berbasis data yang dimiliki eFishery menggunakan sensor untuk memantau dan mengoptimalkan pemberian pakan, kesehatan ikan, dan kualitas air sekaligus meminimalkan limbah.
Sebagai startup unicorn pertama di industri akuakultur global, langkah strategis eFishery ke India sejalan dengan komitmen perusahaan untuk mengatasi masalah kelaparan di dunia.
“Kehadiran kami di India merupakan langkah penting dalam strategi ekspansi internasional kami. Dengan fokus pada teknologi dan solusi berbasis data, eFishery memimpin transformasi value-chain akuakultur dan berkontribusi terhadap kesejahteraan ekonomi para pembudidaya,” tutup Gibran.
eFishery meresmikan kehadirannya di India dengan badan hukum eFishery Aqua Techworks Private Limited. Informasi ini pertama kali disampaikan oleh Co-founder dan CEO eFishery Gibran Huzaifah dalam unggahannya di platform X.
“Setelah berada dalam stealth mode selama 12 bulan terakhir, hari ini [26/10] kami secara resmi meluncurkan operasi kami di India. Yang membuat saya bersemangat adalah bagaimana kami meningkatkan keuntungan petani per m2 sebanyak 16 kali lipat di sini. Dampak yang lebih besar untuk menyelesaikan masalah kelaparan dunia,” tulisnya.
Dikonfirmasi oleh DailySocial.id, Gibran membenarkan bahwa perusahaan sudah meresmikan kehadirannya di Indonesia. “Yes [sudah publik], tapi belum resmi terkait info detail dan etc-nya,” kata Gibran.
Kantor pusat eFishery India berada di kota Kakinada, Andra Pradesh. Andra Pradesh merupakan negara bagian di wilayah pesisir selatan India dengan terluas ketujuh dan terpadat kesepuluh di India. Menurut Gibran, Kakinada adalah tempat produksi ikan terbesar di India yang menyuplai 85% dari total produksi.
“Kami mendekatnya ke pembudidaya, bukan ke tech talents. Sekarang 90% yang kami kerjain di India di ikannya sih,” ucapnya.
Proyek pilotnya juga sudah dilakukan selama 12 bulan sejak September 2021. Beberapa waktu lalu, Gibran sempat menjelaskan alasannya untuk masuk ke India tak lain karena industri akuakultur di sana punya banyak kesamaan dengan Indonesia. Di antaranya, petani ikannya sama-sama dimulai dari skala kecil dan pangsa pasarnya juga mirip, sekitar $9-10 miliar per tahunnya.
Lokasi petani di sana terpusat di satu lokasi yang luasnya mirip dengan Pulau Jawa. Sekitar 85% produksi nasional berasal dari lokasi tersebut. Juga, produktivitas pembudidaya India baru setara 1/5 dari Indonesia. Artinya, pembudidaya Indonesia lebih piawai menggunakan teknologi baru.
“Jika kita bawa teknologi [eFishery] untuk menaikkan produktivitasnya, dampak yang diberikan akan lebih besar. Belum lagi dampak ke sektor lainnya, seperti konsumsi ritel.”
Kondisi di atas berbanding jauh dengan negara tetangga Indonesia, seperti Thailand dan Vietnam. Di kedua negara tersebut, industri akuakulturnya didominasi oleh pemain besar yang pada akhirnya membuat para pembudidayanya untuk menempel ke magnet tersebut.
Setelah India, perusahaan akan mencari kandidat berikutnya. Namun pihaknya tidak ingin terburu-buru saat ekspansi. “Konsepnya one country at the time biar fokus, mau lihat impact-nya bagaimana, karena kita pengennya sustainable. Enggak banyak negara sekaligus, lalu tutup ketika gagal.”
Sejak berdiri di Indonesia pada 2013, perusahaan telah menjaring lebih dari 200 ribu pembudidaya ikan dan petambak udang dengan 1,1 juta kolam aktif yang tersebar di 280 kota dan kabupaten di seluruh Indonesia.
Hingga 2022, perusahaan telah memfasilitasi 1,1 triliun transaksi penjualan ikan air tawar dan 1,12 triliun transaksi penjualan udang. Bila dinominalkan, setara dengan Rp8 triliun total transaksi penjualan ikan dan udang, serta Rp4 triliun total transaksi penjualan pakan ikan dan udang.
Kontribusi terbesar disumbangkan dari Jawa Barat dengan persentase hampir 40%. Sementara untuk ekspor, disebutkan angkanya mencapai 20 juta kilo per bulannya untuk 10 komoditas di eFishery ke Amerika Serikat dan Tiongkok.
Solusi finansialnya, Kabayan, telah didukung oleh belasan perusahaan finansial, seperti Bank OCBC NISP, Amartha, Investree, dan Kredivo. Total dana yang disalurkan mencapai Rp1,07 triliun untuk 24 ribu pembudidaya ikan dan petambak udang. Realisasi program Kabayan meningkat 2,5 kali tiap tahunnya, memungkinkan pembudidaya bisa mendapat akses ke dukungan finansial sampai dengan Rp45 juta per orang.
Produk pertama eFishery, eFeeder, merupakan alat pemberi pakan ikan otomatis, mampu mempercepat siklus panen hingga 74 hari dan meningkatkan efisiensi pakan hingga 30%. Produk ini telah melewati berbagai peningkatan fitur hingga yang terbaru mencapai versi ke-5, dilengkapi dengan komponen yang lebih cepat, pintar, dan kuat untuk mendukung pembudidaya yang lebih produktif dan efisien.
Startup aquatech eFishery membeberkan sejumlah rencana besar pada 10 tahun mendatang, bertepatan pada hari jadinya yang ke-10 pada hari ini (11/10). Hilirisasi, ekspansi negara, dan ekspor panen adalah beberapa rencana besarnya.
“10 tahun kemarin kita sudah dibantu banyak pihak, 10 tahun ke depan butuh lebih banyak bantuan. Kita akan masuk ke bisnis consumer (D2C) jadi akan banyak berinteraksi [dengan konsumen akhir], selama ini kita sudah masuk di hulu,” ucap Co-founder dan CEO eFishery Gibran Huzaifah.
Terkait hilirisasi, perusahaan akan masuk ke lebih banyak gerai modern dan tradisional untuk mendistribusikan langsung produk hasil panen udang dan ikan dari para pembudidaya ke konsumen akhir, di bawah brand baru milik eFishery. Pengurusan nama merek sedang diurus perizinannya. Nantinya merek tersebut akan digunakan untuk menjual di pasar domestik maupun global.
Baru-baru ini perusahaan bekerja sama dengan AEON Store untuk menyuplai produk udang beku berkualitas premium ke gerai supermarket mereka di Alam Sutera. Udang beku eFishery sudah dikupas dan dibersihkan sehingga dapat langsung diolah. Kesegarannya juga terjamin karena diproses secara bertanggung jawab dan dibekukan langsung sesaat setelah dipanen dari tambah bersertifikat, tanpa bahan pengawet, dan pewarna tambahan.
Sebelum masuk ke konsumen akhir, perusahaan sebenarnya sudah bekerja sama dengan bisnis horeca dan menjadi supplier untuk menu-menu seafood yang mereka jual melalui solusi eFresh. Platform tersebut menghubungkan langsung calon pembeli dengan pembudidaya terdekat dari lokasi mereka. Informasi stok dijamin akurat dan selalu diperbarui.
“Udang yang ada di Indonesia itu kualitasnya enggak baik karena sisaan, yang bagus-bagus sudah buat ekspor. Strategi kami lebih B2B dengan model horeca karena kita sudah kuasai supply, tapi butuh penyerapan dalam volume yang cukup besar juga,” tambah Co-founder dan CPO eFishery Chrisna Aditya.
Untuk membesarkan bisnis ekspor, perusahaan akan membidik pasar Tiongkok dengan menjual hasil panen udang, setelah sukses ekspor di Amerika Serikat. Kemudian, berencana menambah ekspor ikan nila ke kedua negara tersebut, bersamaan juga menambah incaran negara lainnya, seperti Singapura, Malaysia, kawasan Eropa dan Timur Tengah.
“Alasannya jelas karena [konsumsi ikan] domestic market di Indonesia itu low value added, jadi harus ke luar [negeri] karena kesempatannya lebih besar. Kita ingin ikan nila dan ikan lele seperti salmon yang bisa meng-global dan bersaing di pasar global.”
Masuk ke India
Gibran melanjutkan, terkait perkembangan rencana ke India akan segera diresmikan pada awal tahun depan. Perusahaan tersebut akan menjadi anak perusahaan dari eFishery yang dijalankan oleh tim lokal dan didukung orang Indonesia yang ditugaskan untuk bekerja di sana.
“Sudah komersial pilot selama 12 bulan dari September 2021. Kuartal I akan diresmikan.”
Setelah India, perusahaan akan mencari kandidat berikutnya. Namun pihaknya tidak ingin terburu-buru saat ekspansi. “Konsepnya one country at the time biar fokus, mau lihat impact-nya bagaimana, karena kita pengennyasustainable. Enggak banyak negara sekaligus, lalu tutup ketika gagal.”
Alasan pihaknya memilih India karena industri akuakultur di sana punya banyak kesamaan dengan Indonesia. Di antaranya, petani ikannya sama-sama dimulai dari skala kecil dan pangsa pasarnya juga mirip sekitar $9 miliar-$10 miliar per tahunnya. Di sisi lain, lokasi petani di sana terpusat di satu lokasi yang luasnya mirip dengan Pulau Jawa. Sekitar 85% produksi nasional berasal dari lokasi tersebut.
Juga, produktivitas pembudidaya India baru setara 1/5 dari Indonesia. Artinya, pembudidaya Indonesia lebih piawai menggunakan teknologi baru. “Jika kita bawa teknologi [eFishery] untuk menaikkan produktivitasnya, dampak yang diberikan akan lebih besar. Belum lagi dampak ke sektor lainnya, seperti konsumsi ritel.”
Kondisi di atas berbanding jauh dengan negara tetangga Indonesia, seperti Thailand dan Vietnam. Di kedua negara tersebut, industri akuakulturnya didominasi oleh pemain besar yang pada akhirnya membuat para pembudidayanya untuk menempel ke magnet tersebut.
Koperasi bertenaga blockchain
Di saat yang bersamaan, perusahaan memperkenalkan resmi beroperasinya Koperasi Multi Pihak Tumbuh Bersama Pembudidaya, yang menggandeng Kementerian Koperasi dan UKM. Disebutkan ini adalah koperasi digital pertama di Indonesia yang memberikan kemudahan dan manfaat yang lebih besar bagi para pembudidaya ikan dan petambak udang dari hulu hingga hilir.
Turut hadir pula, Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki. Dia mengapresiasi terkait pendirian koperasi ini. Menurutnya, dari suatu kegiatan ekonomi produksi yang melibatkan banyak pihak itu memang paling cocok dengan koperasi multipihak.
“Artinya sirkular ekonominya jadi lebih optimum dimanfaatkan untuk memperbesar seluruh pihak yang terlibat di dalamnya. Jadi ini sangat bagus dan saya kira akan lebih memperkuat ekosistem bisnis di Fishery dan oleh karena itu kami juga mendorong dan men-support ekosistem ini karena ini melibatkan para peternak peternak kecil dan ini menyebar di berbagai digital,” ujar Teten.
Koperasi ini ditenagai dengan teknologi blockchain yang mengintegrasikan ekosistem eFishery untuk permudah proses hilirisasi pembudidaya yang telah tergabung sebagai anggota koperasi. Pada praktiknya nanti, berbagai aktivitas koperasi dapat diakses langsung oleh para anggota melalui smartphone.
Chrisna menjelaskan, secara semangat dan desain eFishery itu sama seperti koperasi, yang ingin tumbuh bersama dengan para anggotanya. Makanya, sedari awal perusahaan tidak menyebut para pembudidaya ini sebagai pengguna eFishery melainkan anggota. Dengan ekosistem close-loop yang sudah dibangun, diharapkan dampak yang dihasilkan dari koperasi ini jauh lebih besar ketimbang koperasi pada umumnya yang skalanya masih mini-mini.
Gibran menambahkan, blockchain dan koperasi itu ibarat seperti Web0 dan Web3 karena keduanya sama-sama menganut konsep desentralisasi (close loop). “Tapi Koperasi ini di-leverage dengan blockchain agar para anggotanya bisa naik kelas, saling bertransaksi di dalamnya, bangun data untuk market global karena kan ada traceability yang bisa terlihat dan tidak bisa terganti.”
Selain meresmikan koperasi, perusahaan juga meluncurkan yayasan bernama eFishery Foundation. Perusahaan menegaskan komitmennya untuk memberikan kontribusi dan dampak positif yang lebih besar serta berkelanjutan terhadap aspek sosial, edukasi, budaya, dan lingkungan, khususnya pada industri akuakultur.
Perusahaan juga akan terus memanfaatkan teknologi untuk terus mengoptimalkan kolaborasi multi-pihak, sehingga dapat mempermudah pembudidaya untuk memperkuat ketahanan pangan melalui produk akuakultur, serta mengurangi emisi karbon.
Kinerja perusahaan
Sejak 2013, perusahaan telah menjaring lebih dari 200 ribu pembudidaya ikan dan petambak udang dengan 1,1 juta kolam aktif yang tersebar di 280 kota dan kabupaten di seluruh Indonesia. Disebutkan, valuasi perusahaan mencapai $1,3 miliar menjadikannya sebagai startup aquatech dengan valuasi terbesar sedunia.
Hingga 2022, perusahaan telah memfasilitasi 1,1 triliun transaksi penjualan ikan air tawar dan 1,12 triliun transaksi penjualan udang. Bila dinominalkan, setara dengan Rp8 triliun total transaksi penjualan ikan dan udang, serta Rp4 triliun total transaksi penjualan pakan ikan dan udang. Kontribusi terbesar disumbangkan dari Jawa Barat dengan persentase hampir 40%.
Sementara untuk ekspor, disebutkan angkanya mencapai 20 juta kilo per bulannya untuk 10 komoditas di eFishery ke Amerika Serikat dan Tiongkok.
Solusi finansialnya, Kabayan, telah didukung oleh belasan perusahaan finansial, seperti Bank OCBC NISP, Amartha, Investree, dan Kredivo. Total dana yang disalurkan mencapai Rp1,07 triliun untuk 24 ribu pembudidaya ikan dan petambak udang.
Produk pertamanya, eFeeder, alat pemberi pakan ikan otomatis, mampu mempercepat siklus panen hingga 74 hari dan meningkatkan efisiensi pakan hingga 30%. Di sisi lain, realisasi program Kabayan meningkat 2,5 kali tiap tahunnya, yang memungkinkan pembudidaya bisa mendapat akses ke dukungan finansial sampai dengan Rp45 juta per orang.
Hasil riset Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia pada tahun 2022 juga menemukan bahwa ekosistem eFishery berkontribusi sebesar Rp3,4 triliun atau setara 1,55% terhadap PDB sektor akuakultur Indonesia.
Perusahaan berencana untuk mengembangkan berbagai inisiatif baru ke depannya, yakni Digital Ancho, Vibrio Counter, dan ShrimptGPT. Sedangkan untuk solusi finansial, bakal ada Kabayan Aset, Simpanen (Simpanan Hasil Panen), dan Asuransi.
Gibran Huzaifah was only a university student when he started a small business with a few catfish ponds. As the business grew, he managed to address several issues and find the opportunity to create solutions based on these problems. In 2013, Gibran, and Chrisna Aditya decided to execute their idea through eFishery.
The early days were quite challenging, the company needs to build the product, and introduce it, while simultaneously educating people about it. In order to achieve growth, eFishery must expand geographically, deploy teams on the ground, establish points, and build community centers. The approach feels more complex than it seems. They continuously and patiently nurture the market.
In the first half of 2023, the company announced that it has netted $200 million in Series D funding. It has entitled them to be Indonesia’s 15th unicorn and the first one in aquaculture or aquatech/fishtech. The company has transformed to be an all-in-one solution for the fish industry. They offer solutions from upstream to downstream, helping fish farmers to improve efficiency and effectiveness in their business.
DailySocial has an opportunity to discuss with the founder himself, Gibran Huzaifah, and absorb various insights. Our team has translates the interview below.
How do you see the Indonesian startup industry landscape today, compared to when you first founded eFishery?
When eFishery was founded in 2013, the startup industry was a real niche. It’s not even part of a public conversation. The competition was quite small and the players are very limited. The early unicorns were still in the early stage of funding. The VC industry was beginning to rise. Also, there were quite limited talents in the tech and digital industry.
In terms of aquaculture or fishtech, I think we’re the only player back then, even globally. Over the past ten years, there are more diverse innovations in this area, some worked and some failed. However, the ecosystem is getting mature nowadays, there are an estimated 50 to 60 players in the market, and each of them is still growing and offering various solutions in the fishtech industry.
Who was Gibran Huzaifah before eFishery? How was your first encounter with the startup industry?
I used to have catfish ponds, it’s a small business I started when I was a university student. In fact, I have no background in tech at all. However, I see the problem and the opportunity, and I discussed it with fellow business players in the industry. Then, the idea is finally come up and I decided to create the prototype myself, and it worked.
Also, the tech sector is rapidly growing at that time. There is some development in the consumer tech and inflection point. I used to create the prototype based on SMS with a Blackberry device. However, a year has changed many things. We used to only sell tech–based tools for fish cultivation until we finally see the huge potential and tried to ride the wave toward the tech solution.
Have you always wanted to be an entrepreneur? What do you think is the most essential quality for entrepreneurs, especially in this digital era?
First, they need to start with the problem, make sure it’s big enough, and focus on how to solve it. If we start with the problem, there must be a solution that sticks and eventually grows. Second, a continuous learning mentality. As an entrepreneur, in this dynamic industry, there is a possibility that the company will outgrow its founder, it’s best if we can learn and grow faster in order to keep up.
In terms of leadership, we need to have a vision and make sure to build a team that aligns with it. The company’s growth doesn’t rely solely on the founders. The most important thing is to hire the right person, deliver understandable direction, and build a winning team.
What really inspired you to create eFishery? What makes you believe this could be a big thing then?
When I created eFishery, what I did was basically solve problems I knew from my experience in fish cultivation. I hadn’t thought much of the industry, but I do care about the community. We did market validation just to know how big is the potential market. What makes us consistent? Because we focused on the problems and built solutions that reflect them, then we see how big is the market.
At that time, we already know that Indonesia held the biggest potential fish market, however, we’re only listed second in production. In terms of the fish market, Indonesia has big potential, but when executed right, I say it can be the biggest. As we start with something that has the biggest innate potential, eventually it will get bigger.
I created eFishery knowing many people underestimated me. At that time, poultry or other agricultural products were seen as more promising. However, I see the industry not only for its current potential but in the long run. I have a vision that in the future, people will eventually shift from catching fish to cultivating it.
When you created eFishery, do you have any experience in the startup industry? What kind of challenges do you find hardest to overcome?
The most challenging time is in the early days, especially to acquire customers. They’re not familiar with automation, they didn’t even use a smartphone. The business wasn’t savvy back then. We spent about the first 3 to 4 years educating the market. People might see eFishery grow rapidly in the last three years because they didn’t see the early struggle. It takes patience and dedication to consistently educate the market for 7 years.
We build the product, introduce it, then educate people about it. In order to achieve growth, we must expand geographically, deploy teams on the ground, establish points, and build community centers. The approach is complex. The growth model is not as simple as creating a platform and advertising it. It is geographically and culturally challenging.
eFishery has officially become the latest Indonesian unicorn. How do you feel? Do you think this kind of status can boost the growth of your business?
Honestly, I’m not that excited about the status. In fact, the funding is more likely to be a milestone we can celebrate. There aren’t many startups that can make it up here, and we did it with consistent hard work, innovation, and growth. We’ve been trying to create something, and the growth is finally visible.
However, I always told my team to beware of distractions, as the spotlight can blind your eyes and prevent you from seeing clearly. Unicorn never was the point, never was the goal. Just because we achieve some kind of status that is considered important, we shouldn’t lose the sense of what is really important.
The status only represents the valuation, and valuation is not the real representation of the company’s value. When we talk about funding and potential partners, that is when I’m most excited. There are many things to elaborate on, possible things. We also have plans to pursue an IPO, which has become a milestone target for the next few years.
Let’s elaborate more about your plans with the funding. How would you expand eFishery’s ecosystem? And how do you think it is going to impact the whole agri/aquaculture industry?
First, we’ll be focusing on expanding our ecosystem. We currently have around 150 thousand farmers, and we’re targeting to reach 1 million by 2025. For 7 years we are already focused on the upstream, currently, we are developing a downstream market channel. We already have farmers, lock the supply, and now it’s time to expand downstream. We need to reach the downstream market and create bigger value for farmers, therefore improving their standard of living.
Aside from that, the company is looking to expand outside the country. We care to replicate what we are doing here in other countries, currently, we have eyes for India. The country has a similar market, although they are bigger for the shrimp market. The characteristics of its farmers are also similar, independent, semi-intensive, and small. What’s interesting is India’s market is more concentrated in one are while Indonesia is a country with thousands of islands.
I find that many experienced startup founders are shifting to the investment industry. Are you getting intrigued with the investment scene and will follow their lead?
Personally, I invest in the idea that I think I would do myself if my plate is empty. It’s not some kind of diversification from my current company, but I’d likely back certain ideas that I want to see the realization of its solution. The thing is, even though when eFishery is getting mature and I started to think about starting something new, I wouldn’t be a full-time investor. I will always be a founder.
As a founder, how do you see the tech winter has impacted the startup ecosystem?
Basically, there are things that triggered this tech winter, such as the surging interest rate. Macro economics become the scapegoat. Investors might prefer lending money that invest to companies with high returns but also high risk. However, the root cause is somehow the unsustainable growth of the business, distracted by different metrics, and many growth models turn out to be short-term. Therefore, the fundamental values are nowhere to be seen.
In the near future, when you have time to start something new, what do you think will be the next big thing?
I’m definitely biased. Agriculture becomes the first thing on my list since its problem is still very huge, also its solutions. When we have the right business model and product, the agriculture business can be a big thing. In general, there are also many things to do from upstream to downstream.
I also see some problems that maybe should’ve been solved by the government but it didn’t optimize. For example, there are some companies in waste management that are getting the spotlight. Also, there are emerging ideas that can draw interest in Indonesia, such as carbon credit. I think it can partly solve the environment and social local problems. Also, MSMEs are still a big issue, as no sustainable growth models that focused on the real problem are being developed to date.
Unit bisnis Bank Norinchukin, perusahaan pinjaman asal Jepang yang fokus menggarap sektor agrikultur segera menyuntik investasi senilai jutaan dolar AS ke unicorn aquatech pertama Indonesia, eFishery.
Dilansir dari Nikkei Asia, Norinchukin Capital akan menyalurkan investasi melalui dana kelolaan yang diluncurkannya pada Mei lalu, membidik startup di bidang pertanian, kehutanan, perikanan, dan dekarbonisasi. Aksi ini juga akan menjadi investasi global pertama Norinchukin Capital.
Sebagai catatan, ini bukan kali pertama eFishery memperoleh pinjaman dari institusi perbankan. Pertama dari Bank DBS Indonesia senilai Rp500 miliar berbentuk pinjaman jangka pendek (loan) pada Oktober 2022. Kedua, awal tahun ini Bank OCBC NISP menyalurkan pinjaman bilateral senilai Rp250 miliar.
Tahun ini eFishery resmi dinobatkan sebagai unicorn ke-15 Indonesia setelah mengumumkan perolehan pendanaan seri D senilai $200 juta atau lebih dari Rp3 triliun dipimpin oleh 42XFund, perusahaan manajemen investasi asal Uni Emirat Arab (UEA).
Di tengah krisis likuiditas dan perlambatan investasi yang terjadi di Indonesia, eFishery membuktikan solusi lokal yang digarap dengan benar dapat mewujudkan pencapaian besar. Setelah mencapai tonggak unicorn, juga melihat minat investor yang tinggi, perusahaan tengah mempertimbangkan untuk segera IPO dalam waktu 2-3 tahun ke depan.
Didirikan oleh Gibran Huzaifah, Muhammad Ihsan Akhirulsyah, dan Chrisna Aditya pada 2013, eFishery telah bertrasformasi menjadi layanan menyeluruh untuk industri perikanan. Mereka menyediakan solusi dari hulu ke hilir, mulai membantu pembudidaya ikan dan udang meningkatkan efektivitas tambak yang dimiliki, memasarkannya, hingga menghubungkan ke pelanggan akhir.
Ekosistem terintegrasi dari eFishery telah mendukung lebih dari 70.000 pembudidaya ikan dan petambak udang di lebih dari 280 kota/kabupaten di seluruh Indonesia.
Selain memperkuat pangsa pasarnya di Indonesia, eFishery dikabarkan mulai melirik pasar luar negeri. Awal 2022 lalu saat mengumumkan pendanaan seri C senilai $90 juta, mereka menargetkan ekspansi ke sepuluh negara akuakultur terbesar, seperti India dan Tiongkok.
Potensi industri perikanan
Sebagai negara maritim, Indonesia memiliki potensi industri perikanan yang besar yang memenuhi empat indikator pengukuran ketahanan pangan, antara lain harga pangan, ketersediaan pasokan, kualitas nutrisi, serta keberlanjutan dan adaptasi.
Hal ini diperkuat fakta bahwa Indonesia saat ini tercatat sebagai negara penghasil perikanan budidaya terbesar kedua di dunia dengan volume produksi 14,8 juta ton. Berdasarkan prediksi FAO, perikanan budidaya Indonesia akan tumbuh sebesar 26% pada 2030.
Berdasarkan data dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), hasil ekspor untuk produk perikanan sebesar USD4,56 miliar pada 2021, di mana 40% disumbang dari komoditas udang.
Sejalan dengan data Kementerian Kelautan dan Perikanan tersebut, Indonesia diprediksi dapat menjadi negara akuakultur terbesar dunia. Di Indonesia, sudah ada beberapa startup aquatech yang sudah beroperasi, termasuk Fishlog, JALA, DELOS, dan FisTx.
Startup akuakultur eFishery mengumumkan perolehan pendanaan seri D senilai $200 juta (sekitar 3 triliun Rupiah). Nominal yang diterima lebih besar dari pemberitaan sebelumnya pada Mei 2023. Pengumuman ini sekaligus mengonfirmasi status eFishery sebagai unicorn ke-15 dari Indonesia, karena disampaikan bahwa valuasinya sudah melebihi $1 miliar.
Perusahaan akan memanfaatkan dana segar ini untuk mengakselerasi targetnya dalam pengembangan komunitas pembudidayaan di Indonesia, serta meningkatkan transaksi pakan ikan dan ikan segar.
Putaran ini dipimpin oleh 42XFund, perusahaan manajemen investasi asal UAE, didukung oleh Kumpulan Wang Persaraan (Diperbadankan) (KAWP) yang merupakan perusahaan dana pensiun asal Malaysia, responsAbility Investments AG (Swiss), 500 Global, dan beberapa investor lainnya.
Investor awal seperti Northstar, Temasek, dan Softbank juga turut berpartisipasi dalam putaran pendanaan ini. Sementara itu, Goldman Saschs bertindak sebagai penasihat pendanaan secara eksklusif. Disebutkan investasi terbaru ini menunjukkan kepercayaan investor terhadap ekosistem akuakultur terintegrasi yang dimiliki eFishery.
“Saat ini perikanan budidaya adalah sektor dengan pertumbuhan tercepat di industri perikanan global. Dukungan strategis yang kami terima dari para investor akan membantu eFishery merevolusi seluruh industri, melalui integrasi pembudidaya ikan dan petambak udang skala kecil dengan ekosistem eFishery yang mencakup seluruh value chain bisnis budidaya perikanan,” ucap Co-founder dan CEO eFishery Gibran Huzaifah dalam keterangan resmi, Jumat (7/7).
Ekosistem terintegrasi dari eFishery yang meliputi marketplace pakan ikan serta udang, platform penjualan produk ikan dan udang segar secara B2B, serta akses keuangan bagi pembudidaya ikan, telah mendukung lebih dari 70.000 pembudidaya ikan dan petambak udang di lebih dari 280 kota/kabupaten di seluruh Indonesia.
Berdasarkan riset terbaru dari Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LD FEB UI), sepanjang 2022 eFishery mampu menyumbang Rp3,4 triliun atau setara 1,55% terhadap PDB sektor akuakultur Indonesia.
Gibran juga mengatakan dana dalam putaran ini akan digunakan untuk pengembangan komunitas pembudidaya ikan serta petambak udang dari eFishery yang menargetkan lebih dari 1 juta kolam budidaya di Indonesia pada 2025. Juga, untuk meningkatkan transaksi pakan ikan dan produk akuakultur segar di platform.
Pengembangan komunitas petambak sejalan dengan upaya eFishery untuk meningkatkan ekspor produk udang dalam negeri yang bebas kimia dan antibiotik, serta dapat ditelusuri sepenuhnya (traceable) ke pasar internasional, sekaligus mendekatkan konsumen dan petambak.
Para investor yang berpartisipasi dalam putaran ini turut menyampaikan pernyataannya. Salah satunya adalah Principal 42XFund Iman Adiwibowo menuturkan kepercayaannya dengan visi eFishery dan ketertarikannya untuk menjadi mitra kunci yang memberikan nilai tambah dan berkontribusi bagi pertumbuhan perusahaan.
“Kami percaya bahwa eFishery dapat terus berkontribusi mewujudkan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan, sekaligus berperan dalam melestarikan lingkungan di Indonesia, bahkan dunia,” kata Iman.
Didirikan di Bandung, Jawa Barat pada 2013, eFishery telah mendisrupsi industri akuakultur dengan menghadirkan solusi digital auto feeder berbasis Internet of Things (IoT) yang di desain untuk meningkatkan akuntabilitas, efisiensi, serta kenyamanan dari bisnis budidaya ikan.
Pendekatan teknologi eFishery yang berbasis data menggunakan sensor untuk mengukur pergerakan ikan dan akustik dari udang, mengoptimalkan pemberian makanan, serta kesehatan ikan dan kualitas air, sembari mengurangi limbah.
Selain eFishery sejumlah startup aquatech lain di Indonesia termasuk Fishlog, JALA, DELOS, dan FisTx. Mereka juga telah mendapatkan dukungan pendanaan dari pemodal untuk melancarkan penetrasi bisnisnya di industri perikanan/pertambakan di tanah air.
eFishery dikabarkan mendapatkan pendanaan baru di putaran seri D dengan nilai $108 juta (lebih dari Rp1,6 triliun) yang melontarkan perusahaan ke jajaran unicorn. Pertama kali dikabarkan DealStreetAsia, investor asal Abu Dhabi yakni G42 Global Expansion Fund memimpin putaran pendanaan, diikuti Softbank Vision Fund II dan Northstar Group. Sebelumnya rumor tersebut sudah beredar sejak awal Maret 2023 ini.
Menurut data yang kami peroleh dari Venture Cap, saat ini eFisehery telah menghimpun dana pihak ketiga senilai lebih dari $220 juta dengan valuasi terakhir lebih dari $1,3 miliar — menjadikan mereka sebagai startup unicorn ke-15 di Indonesia. Ini sekaligus menjadi uncorn pertama untuk lanskap aquatech.
Sebagai negara maritim, Indonesia memiliki potensi industri perikanan yang besar, yang mendorong sejumlah startup berusaha mendemokratisasi dan berinovasi di segmen ini. Selain eFishery sejumlah startup aquatech lain di Indonesia termasuk Fishlog, JALA, DELOS, dan FisTx. Mereka juga telah mendapatkan dukungan pendanaan dari pemodal untuk melancarkan penetrasi bisnisnya di industri perikanan/pertambakan di tanah air.
Startup yang didirikan oleh Gibran Huzaifah, Muhammad Ihsan Akhirulsyah, dan Chrisna Aditya pada 2013 ini telah bertransformasi menjadi layanan menyeluruh untuk industri perikanan. Mereka menyediakan solusi dari hulu ke hilir, mulai membantu pembudidaya ikan dan udang meningkatkan efektivitas tambak yang dimiliki, memasarkannya, hingga menghubungkan ke pelanggan akhir.
Selain memperkuat pangsa pasarnya di Indonesia, eFishery memang mulai melirik pasar luar negeri. Awal tahun 2022 lalu saat mengumumkan pendanaan seri C senilai $90 juta, mereka mengatakan target untuk melakukan ekspansi ke 10 negara akuakultur teratas, seperti India dan Tiongkok. Guna mendukung pertumbuhan ini, eFishery telah memiliki lebih dari 800 karyawan untuk mendukung semua lini bisnisnya.
Sejumlah institusi keuangan juga memberikan dukungan berupa kredit untuk memberdayakan layanan pembiayaan produktif di layanan eFisheryKu. Terbaru, Bank OCBC NISP menggelontorkan dana Rp250 miliar, menyusul Bank DBS Indonesia yang juga memberikan fasilitas serupa bernilai $500 miliar.
Simak juga bincang-bincang kami dengan CEO eFishery dalam sesi DSCussion:
Mendapatkan dana pinjaman berbentuk debt financing dari Bank OCBC NISP awal bulan Februari lalu, startup aquatech eFishery, dikabarkan tengah menggalang dana baru yang berpotensi menyematkan statusnya menjadi startup unicorn bervaluasi lebih dari 1 miliar dollar — yang pertama di luar sektor e-commerce, fintech, logistik, dan retail.
Dilansir pertama kali oleh DealStreetAsia, eFishery disebutkan sedang dalam proses finalisasi investasi senilai $150 juta (hampir 2,3 triliun Rupiah) yang dipimpin Khazanah Nasional Berhad, sovereign wealth fund milik Pemerintah Malaysia.
Menurut data yang kami miliki, eFishery secara total sudah mendapatkan dana investor senilai $115 juta (lebih dari 1,7 triliun Rupiah), dengan $90 juta di antaranya dikucurkan saat putaran pendanaan Seri C setahun lalu.
Sejumlah investor yang tak ingin disebutkan namanya menyebutkan memang eFishery sudah berada di ambang valuasi unicorn.
DailySocial mencoba untuk mendapatkan konfirmasi tentang hal ini, tetapi pihak eFishery menolak menjawab secara detail.
“Saat ini, kami sedang menjalankan bisnis seperti biasa sambil secara internal mengamati berbagai aspek yang perlu dikembangkan. Bila kami memiliki rencana atau informasi terkait hal terkait, akan kami informasikan segera.”
Didirikan pada tahun 2013, eFishery dimulai sebagai proyek kecil untuk membantu petani lokal mengelola kolam ikan mereka dengan lebih efisien. Saat ini, perusahaan telah berkembang menjadi penyedia teknologi akuakultur terkemuka di Indonesia, dengan jumlah karyawan lebih dari 900 orang. Perusahaan tengah menjajaki potensi ekspansi ke India dalam waktu dekat.
Produk andalan eFishery adalah perangkat IoT (Internet of Things) yang terpasang di kolam ikan untuk memantau kualitas air dan level pakan secara real-time. Perangkat yang terhubung ke aplikasi seluler memungkinkan pembudidaya untuk memantau dan mengontrol kolam mereka dari jarak jauh, menyesuaikan pakan dan parameter air, dan menerima peringatan bila ada masalah atau anomali.
Timeline penggalangan dana
Pendekatan inovatif perusahaan terhadap akuakultur dan komitmennya terhadap keberlanjutan telah membantu perusahaan membangun reputasi yang kuat dan menarik pendanaan dari investor terkemuka lokal hingga asing.
Pada tahun 2013, eFishery mengumpulkan pendanaan putaran awal dari beberapa angel investor. Kemudian pada tahun 2016, eFishery mengumpulkan $2,5 juta dalam putaran pendanaan Seri A yang dipimpin oleh Aqua-Spark, dana investasi global yang berfokus pada akuakultur berkelanjutan. Dana tersebut kemudian digunakan perusahaan untuk meningkatkan produksi perangkat IoT dan memperluas operasinya di Indonesia.
Pada tahun 2018, eFishery mengumpulkan $4 juta dalam putaran pendanaan Seri B yang dipimpin Wavemaker Partners dan UOB Venture Management. Dana tersebut digunakan untuk mengembangkan produk dan layanan baru, termasuk aplikasi seluler untuk petani dan pasar untuk jual beli ikan dan udang.
Kemudian di tahun 2022, eFishery mengumpulkan $90 juta dalam putaran pendanaan Seri C. Dana segar tersebut digunakan perusahaan untuk memperluas operasinya di Indonesia dan mengembangkan teknologi baru untuk lebih mengoptimalkan operasi akuakultur.
Pada tahun 2022 eFishery mendapatkan pinjaman jangka pendek (loan) senilai Rp500 miliar dari Bank DBS Indonesia. Bagi DBS Indonesia ini adalah pinjaman pertama untuk sektor aquatech, sementara bagi eFishery adalah fasilitas pinjaman pertama dari bank.
Bank OCBC NISP menyalurkan pinjaman bilateral senilai 250 miliar Rupiah kepada PT Multidaya Teknologi Nusantara (eFishery). Ini merupakan kerja sama lanjutan setelah pemberian pembiayaan kepada pembudidaya eFishery melalui program KTA Cazhbiz OCBC NISP, yang disalurkan melalui layanan Kabayan eFishery, pada tahun lalu.
Saat dihubungi DailySocial.id, Co-Founder dan CEO eFishey Gibran Huzaifah mengonfirmasi pinjaman tersebut berbentuk debt financing. Melalui debt financing, perusahaan hanya berkewajiban melunasi utang berikut dengan bunga sehingga persentase kepemilikan saham dalam perusahaan tidak berkurang sedikit pun, tidak seperti equity financing yang lumrah di dunia startup.
eFishery akan memanfaatkan dana pinjaman tersebut untuk membiayai kebutuhan modal kerja dalam mendukung pertumbuhan penjualan dalam negeri dan peningkatan ekspor.
“Kerja sama pembiayaan ini bertujuan untuk mendukung eFishery untuk berinovasi secara berkelanjutan. Harapannya, Bank OCBC NISP dan eFishery dapat bersama-sama mendukung ketahanan pangan nasional melalui terwujudnya ekosistem akuakultur yang terintegrasi dan berkelanjutan,” terang Direktur Bank OCBC NISP Emilya Tjahjadi dalam keterangan pers, Selasa (7/2).
eFishery membangun ekosistem di mana para pembudidaya ikan dan udang dapat dengan mudah meningkatkan produktivitas, sekaligus menciptakan lingkungan yang lebih berkelanjutan, aman, dan adil.
Gibran menyampaikan pihaknya percaya bahwa kegiatan budidaya ikan dan udang menjadi solusi dalam peningkatan produksi perikanan sebagai sumber pangan, yang juga merupakan sumber utama protein hewani yang tidak hanya kaya nutrisi tetapi juga dapat diakses oleh semua kalangan.
“Dengan adanya suntikan dana dari Bank OCBC NISP, kami semakin optimistis untuk bertumbuh kembang bersama membangun ekosistem akuakultur dan berkontribusi secara signifikan dalam ketahanan pangan nasional, yang pada akhirnya akan memberikan dampak positif pada para pembudidaya ikan dan petambak udang,” katanya.
Latar belakang bank tertarik untuk memberikan fasilitas pinjaman ini dalam rangka mendukung new economy, sebuah konsep ekonomi yang menggambarkan aspek atau sektor ekonomi yang memproduksi atau menggunakan teknologi inovatif secara intensif menjadi faktor pendukung yang signifikan. Konsep ini diterapkan oleh eFishery yang fokus di sektor akuakultur.
Menurut Global Food Security Index (GFSI), ketahanan pangan Indonesia meningkat dari skor 59,2 di 2021 menjadi 60,2 di 2022. Sektor akuakultur turut berkontribusi di dalamnya, mengingat Indonesia saat ini tercatat sebagai negara penghasil perikanan budidaya terbesar kedua di dunia dengan volume produksi 14,8 juta ton, dan berdasarkan prediksi Food and Agriculture Organization (FAO), perikanan budidaya Indonesia akan tumbuh sebesar 26% pada 2030.
Pinjaman dari bank
Sebagai catatan ini adalah pinjaman kedua yang diterima eFishery. Pertama kali diperoleh dari Bank DBS Indonesia pada Oktober 2022. Nominal pinjamannya sebesar Rp500 miliar berbentuk pinjaman jangka pendek (loan).
Saat itu Gibran menyampaikan pertimbangan eFishery mengambil dana pinjaman dari bank ketimbang menggalang dana dari modal ventura. Alasannya, dana dari bank bila dihitung untuk jangka panjang, termasuk dana murah. Bila mengambil ekuitas, ada saham bernilai yang harus dilepas dari perusahaan buat investor. Yang mana, bila perusahaan bertumbuh dengan naik, untuk kembali membeli saham tersebut di kemudian hari, harga yang dikeluarkan lebih mahal daripada saat pertama dilepas.
Kondisi sebaliknya, bila menghitung dari pinjaman bank, justru biayanya lebih murah karena hanya melihat dari bunga yang harus dibayarkan. Terlebih itu, berhasil mendapat pinjaman dari bank membuktikan bahwa kini eFishery, sebagai startup aquatech berada di posisi yang berhasil dinilai bankable oleh bank. Baginya, saat ini eFishery berada dalam fase yang membutuhkan tidak hanya VC, tapi juga institusi finansial lain yang bisa mendukung bisnis bisa bertumbuh lebih cepat.
Gibran juga menginginkan eFishery ke depannya dapat menjadi perusahaan-perusahaan taipan yang kini menjadi pemimpin di industri, yang dalam proses awalnya mengandalkan institusi finansial dalam mengembangkan bisnis.
“Sekarang kami berada di titik yang mature, skala bisnisnya besar, profit terlihat, risiko lebih mature, sehingga kita bisa tumbuhkan revenue di pasar yang predictable buat kita. Ini juga jadi bukti sebagai perusahaan yang dirasa sudah matang.”
PT Bank DBS Indonesia tengah aktif memperkuat portofolio strategisnya dengan pelaku startup. Salah satunya melalui pemberian fasilitas kredit untuk modal usaha (termasuk di salurkan lewat platform lending). Di sepanjang 2022, DBS Indonesia sudah beberapa kali memberikan pinjaman ke startup, yakni Kredivo, eFishery, dan terbaru Broom.
Beberapa waktu lalu, DBS Indonesia meresmikan perjanjian kerja sama fasilitas kredit kepada startup pembiayaan showroom mobil Broom sebesar Rp100 miliar. Perjanjian strategis ini diresmikan oleh Co-founder & CEO Broom Pandu Adi Laras dan Executive Director Institusional Banking Group Kevin Tanuwidjaja.
Pada Oktober, DBS Indonesia juga baru memberikan pinjaman jangka pendek ke startup aquatech eFishery sebesar Rp500 miliar. Kemudian di 2021, perusahaan memfasilitasi pinjaman ke Kredivo sebesar Rp2 triliun dengan skema joint financing. Ini merupakan peningkatan dari pinjaman sebelumnya sebesar Rp1 triliun dan Rp500 miliar untuk pendanaan awal Kredivo.
Langkah DBS Indonesia mulai aktif berkolaborasi dengan stratup dinilai sejalan dengan pertumbuhan ekonomi digital di Tanah Air. Mengacu laporan e-Conomy SEA 2022 oleh Google, Temasek, Bain and Company, nilai ekonomi digital Indonesia diproyeksikan mencapai $130 miliar di 2025 dengan CAGR 19%.
Kevin berujar, ini menjadi wujud komitmen perusahaan dalam menciptakan solusi perbankan yang lebih berdampak dan terjangkau bagi startup atau pelaku fintech. “Kami melihat industri startup punya potensi sangat baik dalam mendorong pertumbuhan ekonomi digital Indonesia,” ujar Kevin dihubungi terpisah oleh DailySocial.id.
Ia tak mengelaborasi lebih lanjut mengenai tesis investasi dan metrik yang digunakan. Namun, aspek kebutuhan, profil risiko, dan solusi terarah disebut sebagai faktor utama dalam menentukan kelayakan startup. Pihaknya juga mempertimbangkan rekam jejak finansial dan pendanaan startup.
“Kami berupaya menciptakan ekosistem yang cepat, andal, dan berkelanjutan dalam menyediakan solusi dan pengalaman sesuai prinsip kami ‘Live More, Bank Less’. Melalui kolaborasi strategis dengan startup dan ekosistemnya, kami ekspansi ke layanan fintech. Kami percaya dampak yang kami ciptakan dapat dirasakan di luar perbankan,” paparnya.
Lebih lanjut, pihaknya berupaya mengambil peran dalam pertumbuhan ekonomi digital dengan menggencarkan kegiatan dan advokasi berfokus pada masalah keberlanjutan dan memperhatikan isu environment, social, dan governance (ESG) seiring dengan komitmen DBS Group mencapai emisi nol bersih pada 2050.
Saat ini, DBS Group memiliki tiga pilar keberlanjutan sebagai dasar pemikiran, yakni Responsible Banking, Responsible Business Practice, dan Impact Beyond Banking.
Fasilitas kredit
Dalam keterangan resminya, Co-founder & CEO Broom Pandu Adi Laras mengungkap bahwa fasilitas kredit ini menjadi likuiditas tambahan yang akan mendukung pengembangan bisnis perusahaan. Adapun, dana tersebut akan dipakai untuk memperluas cakupan showroom mobil bekas di Indonesia.
“Fasilitas kredit ini akan mempercepat Broom untuk merangkul 5.000 showroom dan memperluas wilayah operasional di kota-kota besar lain di pulau Jawa hingga akhir 2022,” ungkap Pandu.
Sebelumnya, Broom telah memperoleh fasilitas kredit serupa dari beberapa lembaga keuangan lain di awal 2022. Selain itu, Broom juga memperoleh pendanaan pra-awal senilai $3 juta (lebih dari Rp43 miliar) yang dipimpin oleh AC Ventures, juga partisipasi Quona Capital dan beberapa angel investor, seperti pendiri Kopi Kenangan dan Lummo.
Sementara, Co-founder & CEO eFishery Gibran Huzaifah menilai fasilitas pinjaman dari bank lebih murah dalam jangka panjang dibandingkan menggunakan ekuitas yang mengharuskannya melepas saham bernilai ke investor. Sementara, jika perusahaan tumbuh baik, harga yang dikeluarkan bisa lebih mahal daripada saat pertama kali melepas [saham].
Sebagai informasi, ini menjadi kolaborasi perdana DBS Indonesia dan eFishery. Bagi DBS Indonesia, ini merupakan portofolio pinjaman pertama di sektor aquatech, sedangkan bagi eFishery adalah fasilitas pinjaman pertama dari bank sejak berdiri di 2013.
Di Indonesia, tampaknya belum banyak perbankan yang mau mengucurkan pinjaman kredit bagi modal usaha pelaku startup. Sejumlah faktor masih menjadi pertimbangan besar mengapa startup belum menjadi segmen potensial bagi bank.
Perbankan merupakan industri dengan regulasi ketat dan mengutamakan aspek manajemen dan profil risiko. Hal ini dilakukan untuk menekan atau mengendalikan risiko dalam produk yang ditawarkan, salah satunya penyaluran kredit.
Sementara, perusahaan rintisan dinilai belum dapat memenuhi sejumlah aspek di atas mengingat pelaku startup awal belum memiliki cash flow yang jelas, jaminan, rekam jejak finansial, dan kepastian pendapatan dari produk yang mereka kembangkan.
Berdasarkan laporan CB Insights, ada lima alasan teratas startup mengalami kegagalan di antaranya salah membaca kebutuhan pasar (42%), kehabisan dana (29%), susunan tim tidak sesuai (23%), kalah berkompetisi (19%), dan harga atau biaya tanggungan (18%).