Tag Archives: Eka Himawan

Startup energi terbarukan Xurya mengungkapkan rencana untuk masuk ke area residensial sebagai langkah ekspansi memperluas adopsi pemanfaatan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS)

Xurya Berencana Masuk ke Instalasi PLTS Atap untuk Area Perumahan

Startup energi terbarukan Xurya mengungkapkan rencana untuk masuk ke area residensial. Ini dijadikan  langkah ekspansi memperluas adopsi pemanfaatan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) secara lebih masif. Sebelumnya perusahaan menjangkau segmen bisnis di lintas industri untuk melakukan instalasi PLTS Atap, dengan total 86 proyek yang telah beroperasi.

“Xurya berkomitmen untuk terus berinovasi dalam mendukung industri dan ekonomi hijau di Indonesia, tidak menutup kemungkinan bahwa ke depannya Xurya berencana untuk ekspansi bisnis instalasi PLTS Atap di sektor residential,” terang VP Marketing Xurya George Hadi Santoso saat dihubungi DailySocial.id.

Sayangnya ia tidak bersedia merinci kapan rencana tersebut dapat terealisasikan. Namun secara terpisah dalam wawancara bersama media, Co-founder dan CEO Xurya Eka Himawan sudah memberikan sinyal positif terkait ekspansi perusahaan ke segmen di luar B2B.

“Sampai sekarang masih di perusahaan-perusahaan, tapi kami memang tidak menutup kemungkinan [..] dan kami pasti akan melebar ke sektor pemerintahan dan masyarakat,” kata Eka.

Kompetitor terdekatnya, sudah sudah masuk ke segmen residensial, misalnya SolarKita dan SUN Energy. SolarKita mengklaim 80% penggunanya adalah kaum residensial, tersebar di Jabodetabek, Surakarta, dan Bali.

Menurut George, tidak hanya ekspansi ke segmen baru, pihaknya juga akan ekspansi pengguna B2B-nya ke luar Pulau Jawa agar semakin banyak industri yang menggunakan PLTS Atap. Dalam mendukung rencana tersebut, saat ini perusahaan telah membuka kantor cabang di Medan, Semarang, dan Surabaya.

Pencapaian Xurya

Dikutip secara terpisah dari keterangan resmi, Xurya memaparkan pencapaiannya sepanjang tahun lalu. Diklaim perusahaan berhasil memproduksi lebih dari 589,7 juta kWh energi bersih yang efektif menangkal sebanyak 548,4 juta kg CO2, serta membuka lapangan pekerjaan hijau untuk 1.792 orang.

Dalam rangka mendukung target pencapaian bauran energi nasional dari Energi Baru Terbarukan (EBT) sebesar 23% pada 2025, disebutkan bahwa Xurya telah melakukan lebih dari 100 proyek instalasi PLTS Atap di Indonesia, dengan rincian 86 proyek yang telah beroperasi dan 32 proyek lainnya yang masih dalam tahap konstruksi.

Menurut Eka, kebijakan dan arahan pemerintah mengenai penggunaan PLTS Atap untuk industri menjadi salah satu faktor terjadinya kenaikan permintaan instalasi.

“[..] Apa yang telah dicapai Xurya selama ini merupakan wujud keberhasilan kerja sama antara berbagai pihak yang menjadi semangat perusahaan untuk terus berkembang. Ke depannya, Xurya berkomitmen untuk dapat terus hadir dalam mengakomodasi dan berkontribusi dalam perkembangan industri hijau di Indonesia,” tutup Eka.

Pada Oktober 2022, perusahaan mendapat tambahan pendanaan Seri A dari perusahaan raksasa asal Jepang Mitsui & Co. dan PT Surya Semesta Internusa Tbk sebesar $11,5 juta atau setara Rp172,6 miliar.

Sebelumnya, putaran ini pertama kali diumumkan pada Desember 2021 sebesar $21,5 juta dari East Ventures (Growth Fund), Saratoga, Schneider Electric, dan New Energy Nexus. Dengan demikian, total perolehan untuk putaran tersebut sebesar $33 juta atau setara Rp501 miliar.

Sebelum menggelar putaran seri A, Xurya memperoleh pendanaan tahap awal dari SEACEF, dana yang dikelola oleh Clime Capital). Dana tersebut didedikasikan untuk mempersiapkan bisnis energi bersih mendapatkan investasi skala besar.

Xurya Confirms the Series A Funding Worth of 308 Billion Rupiah Led by East Ventures and Saratoga

Xurya renewable energy startup announced a $21.5 million (approximately 308 billion Rupiah) series A funding round led by East Ventures (Growth Fund) and PT Saratoga Investama Sedaya Tbk (Saratoga). The confirmed value was much bigger than what we’ve been informed in December 2021, at $14 million.

Schneider Electric and New Energy Nexus Indonesia, Xurya’s former investors, also participated in the round. Last year, New Energy Nexus Indonesia finalized its investment in five renewable energy companies. Meanwhile, Schneider Electric, through Schneider Electric Energy Access Asia (SEEAA) made its investment debut to Indonesia’s renewable energy startup, Xurya.

Xurya will allocate the fresh funds to continue the construction of Rooftop Solar Panel which has tripled in the past year, technology development, and human resources, therefore, efforts to accelerate the clean energy transition can be immediately executed.

“We appreciate the support and trust given by investors, partners and customers to assist us in accelerating the transition to new renewable energy in Indonesia since Xurya was founded three years ago,” Xurya Daya Indonesia’s Managing Director, Eka Himawan said in an official statement, Wednesday (1/12).

East Ventures’ Managing Partner, Roderick Purwana said, “East Ventures believes in the essential of investing in the right companies, not only for profit, but also to provide social and environmental impact. As one of the pioneers of VC applying an ESG approach to investment, we are very pleased to be able to support the Xurya team from the very beginning of their journey to create a clean and sustainable energy revolution in Indonesia, and protect the earth.”

Saratoga’s President Director, Michael Soeryadjaya added, “This investment is a good opportunity for Saratoga to strengthen support in the New & Renewable Energy (EBT) technology sector, which is now one of the government’s priority.”

He said, Rooftop Solar Panel (PLTS) can provide a solution for the clean, environmentally friendly and sustainable energy in Indonesia. The growth of Rooftop PLTS capacity is rapidly significant in the last three years, it proves the NRE technologyis getting higher demand.

As one of the government-supported initiatives, Saratoga can help accelerate the government’s efforts to achieve the NRE mix target of up to 23% by 2025 and 31% by 2050.

Until the end of 2021, Xurya has operated 57 Rooftop Solar Panel and is currently building in 38 other locations from various industries and businesses, such as manufacturing companies (food and beverage, consumer goods, agriculture, automotive, steel, building materials, textiles, etc), cold storage, hotels, and shopping centers across Jakarta, Banten, West Java, East Java, Central Java, Lampung, South and North Sumatra, and South Sulawesi.

Xurya products

Xurya Daya Indonesia (Xurya) offers several products, including solar-based energy solutions, which applied to building roofs. Aside from installation and equipment, the company also develops an application to facillitate owners in managing energy easier.

In addition, Xurya also pioneered the no-investment method to switch to solar power with a monthly fee model. In its implementation, it is a one-stop solution, Xurya will help from the design process, equipment selection, licensing, construction to the selection of financing products for solar electricity customers.

Eka said in tan interview, “Amid the slowdown in PV mini-grid investment, we believe that commercial and industrial customers have become a bright spot for electricity investors in Indonesia, not only in terms of profit, but more importantly from a climate impact perspective.”

Eka admits that consumer education is one of the toughest challenges. Because there are many companies and individuals who do not understand solar panels and many have the wrong idea about the electrical stability of PLTS. “The main target this year is to expand its business throughout Indonesia to offer go green solutions to more companies.”

The opportunity for Rooftop PLTS development in Indonesia is very large, exceeding its potential capacity of 200 thousand megawatts. Currently, the cost of Rooftop PLTS components is lower than other renewable energies, but this market has not been fully utilized so that less than 150 megawatts have been installed throughout Indonesia.

Apart from Xurya, there are already several startups engaged in this segment. Some of those are Warung Energi, Weston Energy, Forbetric, Erenesia, Khaira Energy, and Syailendra Power. Most work on the potential of solar power.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Startup energi terbarukan Xurya mengumumkan perolehan pendanaan Seri A sebesar $21,5 juta yang dipimpin oleh East Ventures (Growth Fund) dan Saratoga

Xurya Konfirmasi Pendanaan Seri A 308 Miliar Rupiah Dipimpin East Ventures dan Saratoga

Startup energi terbarukan Xurya mengumumkan perolehan pendanaan seri A sebesar $21,5 juta (sekitar 308 miliar Rupiah) yang dipimpin oleh East Ventures (Growth Fund) dan PT Saratoga Investama Sedaya Tbk (Saratoga). Nilai yang dikonfirmasi ini lebih besar dari informasi yang DailySocial.id terima pada Desember 2021 sebesar $14 juta.

Schneider Electric dan New Energy Nexus Indonesia, investor sebelum dari Xurya, turut berpartisipasi dalam putaran tersebut. New Energy Nexus Indonesia pada tahun lalu telah menyelesaikan investasinya di lima perusahaan energi terbarukan. Sementara, Schneider Electric, melalui Schneider Electric Energy Access Asia (SEEAA) melakukan debut investasinya di startup energi terbarukan di Indonesia kepada Xurya.

Xurya akan mengalokasikan dana segarnya tersebut untuk melanjutkan pembangunan PLTS Atap yang telah tumbuh hingga tiga kali lipat sepanjang tahun lalu, pengembangan teknologi, dan sumber daya manusia agar upaya akselerasi transisi energi bersih bisa segera terealisasi.

“Kami mengapresiasi dukungan dan kepercayaan yang diberikan oleh para investor, partner, dan customer untuk membantu kami dalam mempercepat transisi energi baru terbarukan di Indonesia sejak Xurya berdiri tiga tahun lalu,” ujar Managing Director Xurya Daya Indonesia Eka Himawan dalam keterangan resmi, Rabu (12/1).

Managing Partner East Ventures Roderick Purwana mengatakan, “East Ventures percaya pentingnya berinvestasi di perusahaan yang tepat, tidak hanya untuk mengejar profit, tapi juga memberikan dampak sosial dan lingkungan. Sebagai salah satu pelopor VC yang menerapkan pendekatan ESG dalam investasi, kami sangat senang bisa mendukung tim Xurya sejak awal perjalanan mereka dalam menciptakan revolusi energi yang bersih dan berkelanjutan di Indonesia, serta melindungi bumi.”

Presiden Direktur Saratoga Michael Soeryadjaya menambahkan, “Investasi ini merupakan kesempatan yang baik bagi Saratoga untuk memperkuat dukungan di sektor teknologi Energi Baru & Terbarukan (EBT) yang kini menjadi salah satu sumber energi prioritas yang akan dikembangkan oleh pemerintah.”

Menurutnya, Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap dapat memberikan solusi bagi tersedianya energi bersih, ramah lingkungan, dan berkelanjutan di Indonesia. Pertumbuhan kapasitas terpasang PLTS Atap sangat pesat dalam tiga tahun terakhir, ini membuktikan bahwa kebutuhan terhadap industri teknologi EBT semakin tinggi.

Sebagai salah satu inisiatif yang didukung pemerintah, Saratoga dapat membantu mempercepat upaya pemerintah dalam mencapai target bauran EBT hingga 23% pada 2025 dan 31% pada 2050.

Hingga akhir 2021, Xurya telah mengoperasikan 57 PLTS Atap dan saat ini sedang membangun di 38 lokasi lainnya dari berbagai industri dan bisnis yang semakin beragam, seperti perusahaan manufaktur (makanan dan minuman, consumer goods, pertanian, otomotif, baja, bahan bangunan, tekstil, dll), cold storage, hotel, hingga pusat perbelanjaan yang tersebar di Jakarta, Banten, Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, Lampung, Sumatera Selatan dan Utara, serta Sulawesi Selatan.

Produk Xurya

Xurya Daya Indonesia (Xurya) memiliki beberapa produk, meliputi solusi energi berbasis surya, yang diaplikasikan pada atap bangunan. Selain jasa pemasangan dan perangkat, perusahaan juga mengembangkan platform aplikasi untuk memudahkan pemilik aset melakukan pengelolaan energi.

Selain itu, Xurya juga mempelopori metode no investment (tanpa investasi) untuk beralih ke tenaga surya dengan model biaya bulanan. Dalam implementasinya, solusi mereka berbasis satu pintu, Xurya akan membantu dari proses design, pemilihan equipment, perizinan, konstruksi sampai dengan pemilihan produk pembiayaan untuk listrik surya pelanggan.

Dalam sebuah kesempatan wawancara, Eka mengatakan, “Di tengah perlambatan investasi PLTS utilitas, kami percaya bahwa pelanggan komersial dan industri telah menjadi titik terang bagi para investor ketenagalistrikan di Indonesia, tidak hanya dari perspektif keuntungan, tetapi lebih penting lagi dari perspektif dampak iklim.”

Dalam menyajikan produk-produknya, Eka mengakui bahwa edukasi konsumen menjadi salah satu tantangan terberat. Karena masih banyak perusahaan dan individu yang kurang paham mengenai solar panel dan banyak yang salah sangka mengenai stabilitas listrik dari PLTS. “Target utama tahun ini melakukan ekspansi bisnis ke seluruh wilayah Indonesia untuk menawarkan solusi go green ke lebih banyak perusahaan.”

Peluang pengembangan PLTS Atap di Indonesia sangat besar, melebihi potensi kapasitasnya yang mencapai 200 ribu megawatt. Saat ini biaya komponen PLTS Atap lebih rendah dibandingkan energi terbarukan lainnya, namun pasar tersebut belum dimanfaatkan secara maksimal sehingga baru terpasang kurang dari 150 megawatt di seluruh Indonesia.

Selain Xurya, di Indonesia sudah ada beberapa startup yang turut bermain di ranah tersebut. Beberapa di antaranya Warung Energi, Weston Energy, Forbetric, Erenesia, Khaira Energy, dan Syailendra Power. Sebagian besar menggarap potensi tenaga surya.

Startup Solar Panel Xurya

Xurya Dapatkan Pendanaan Lanjutan, Angin Segar untuk Startup Energi Terbarukan di Indonesia

Xurya Daya Indonesia (Xurya), startup lokal di bidang energi terbarukan baru saja mengumumkan perolehan pendanaan awal dari Clime Capital melalui inisiatif The Southeast Asia Clean Energy Facility (SEACEF). Pendanaan ini jadi yang kedua, akhir 2018 lalu mereka pernah bukukan investasi dari East Ventures dan Agaeti Ventures.

Produk Xurya meliputi solusi energi berbasis surya, yang diaplikasikan pada atap bangunan. Startup ini didirikan pada Juli 2018 oleh Eka Himawan, Edwin Widjonarko, dan Philip Effendy. Saat ini layanannya sudah dijajakan di sektor komersial dan industri di wilayah Jabodetabek, Jawa Timur, Palembang, dan Makassar.

Xurya akan mengalokasikan investasi ini untuk melanjutkan pipeline pembangunan PLTS (Pembangkit Listrik Tenaga Surya) Atap di bangunan komersial & industri yang saat ini telah mencapai 80 MWp.

Managing Director Xurya Daya Indonesia Eka Himawan mengatakan, “Di tengah perlambatan investasi PLTS utilitas, kami percaya bahwa pelanggan komersial dan industri telah menjadi titik terang bagi para investor ketenagalistrikan di Indonesia, tidak hanya dari perspektif keuntungan, tetapi lebih penting lagi dari perspektif dampak iklim.”

Dalam menyajikan produk-produknya, Eka mengakui bahwa edukasi konsumen menjadi salah satu tantangan terberat. Karena masih banyak perusahaan dan individu yang kurang paham mengenai solar panel dan banyak yang salah sangka mengenai stabilitas listrik dari PLTS.

“Target utama tahun ini melakukan ekspansi bisnis ke seluruh wilayah Indonesia untuk menawarkan solusi go green ke lebih banyak perusahaan,” tutup Eka.

Peluang pengembangan PLTS Atap di Indonesia sangat besar, melebihi potensi kapasitasnya yang mencapai 200 ribu megawatt. Saat ini biaya komponen PLTS Atap lebih rendah dibandingkan energi terbarukan lainnya, namun pasar tersebut belum dimanfaatkan secara maksimal sehingga baru terpasang kurang dari 150 megawatt di seluruh Indonesia.

Dengan fokus awal di Indonesia, Vietnam, dan Filipina, SEACEF bertujuan untuk mempercepat revolusi industri energi yang sedang berkembang melalui penggunaan energi bersih. Mereka berfokus memberikan pendanaan pada pengembang teknologi dan model bisnis yang telah terbukti berdampak secara global seperti PLTS, PLTB, teknologi penyimpanan energi, e-mobility, teknologi DSM, solusi efisiensi energi, dan infrastruktur transmisi energi bersih.

 

Peluang startup di bidang energi

Menurut data yang dirangkum Kementerian ESDM, Indonesia memiliki potensi energi baru terbarukan yang skalanya cukup besar. Beberapa di antaranya:

  • Mini/mikro hidro sebesar 450 MW,
  • Biomasa sebesar 50 GW,
  • Energi surya sebesar 4,80 kWh/m2/hari,
  • Energi angin 3-6 m/det,
  • Energi nuklir 3 GW.

Pengembangannya terus diupayakan, lantaran sumber energi listrik berbasis fosil seperti gas, minyak bumi, batu bara memiliki keterbatasan dan akan habis. Beberapa negara maju seperti Tiongkok dan Jerman sudah lebih dulu memaksimalkan energi terbarukan tadi. Indonesia pun tampaknya mulai terbuka untuk turut mengadopsinya, bahkan sudah menargetkan pemanfaatannya bisa mengakomodasi 23% dari total kebutuhan energi di tahun 2025.

Selain Xurya, di Indonesia sudah ada beberapa startup yang turut bermain di ranah tersebut. Beberapa di antaranya Warung Enegri, Weston Energy, Forbetric, Erenesia, Khaira Energy, dan Syalendra Power. Sebagian besar menggarap potensi tenaga surya.

Pendanaan yang didapat Xurya bisa menjadi angin segar untuk ekosistem terkait – ada tesis investasi yang berhasil memvalidasi potensi dari bisnis tersebut. Karena berbicara tentang energi terbarukan, memang masih ditemui banyak kendala. Di seputar adopsi, konsumen diharuskan menggelontorkan investasi awal yang tidak murah, sementara dampak efisiensinya mungkin tidak bisa dirasakan secara instan.

Untuk itu, munculnya inovasi-inovasi produk yang lebih terjangkau menjadi ujung tombak penerimaan dan kemajuan bisnis energi terbarukan di Indonesia.

Indonesia adalah rumah untuk sumber energi terbarukan yang beragam. Sejumlah startup muncul mengambil kesempatan itu. Tenaga surya masih jadi andalan.

Menanti Gelombang Besar Startup Energi Baru di Indonesia

Listrik adalah urat nadi hidup manusia saat ini dan energi fosil adalah penunjang utamanya. Namun energi fosil tak akan bertahan selamanya dan eksplorasi energi alternatif akan terus terjadi. Pencarian energi yang bersih, murah, dan berkesinambungan adalah prinsip utama dari energi baru terbarukan (EBT) ini.

Dalam hal inilah negara-negara berkompetisi. Sadar akan ketersediaan energi fosil seperti gas, minyak bumi, batubara yang terbatas, pencarian energi baru menjadi tak terhindarkan lagi. Beberapa bahkan sudah berhasil mengadopsinya dalam skala besar seperti di Tiongkok dan Jerman. Indonesia pun perlahan mulai mengekor.

Indonesia sendiri sudah punya sejumlah pembangkit listrik non-fosil mulai dari tenaga air, bioenergi, surya, angin, hingga geotermal. Namun hingga 2019, bauran energi primer pembangkit listrik masih jauh didominasi oleh batu bara (60,50%) dan gas (23,11%). Kapasitas pembengkit listrik EBT sendiri menyumbang 10.157 Megawatt saja.

Kabar baiknya adalah jumlah tersebut selalu naik meski perlahan. Pemerintah sudah menargetkan sejak jauh-jauh hari untuk mencapai target bauran EBT sebesar 23% pada 2025 nanti. Tren menuju energi hijau inilah peluang yang ditangkap oleh startup new energy. Adopsi teknologi energi baru yang relatif perlahan di Indonesia diikuti dengan target pemerintah Indonesia menjadi sasaran empuk startup di sektor ini. Sejumlah pemain pun sudah bermunculan. Namun sebagaimana e-commerce pada awal dekade lalu, masih banyak pekerjaan rumah yang harus dituntaskan oleh pemain energi terbarukan dapat merengkuh pasarnya.

Kesempatan

Target pemerintah mendapatkan 23% bauran energi primer dari EBT pada 2025 adalah kesempatan bagi para startup di bidang energi baru ini, terlebih konsumsi listrik selalu naik setiap tahun. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memproyeksikan konsumsi listrik di 2020 mencapai 1.142 kWh/kapita. Mereka juga mendorong pengembangan kendaraan listrik dan kompor listrik untuk menggenjot pencapaian yang sudah ada.

Tren dunia pun sedang bergerak ke arah sana. Berbagai inisiatif dilancarkan untuk mengurangi ketergantungan terhadap bahan bakar fosil. Jika Anda tinggal di London, mencari kompor berbahan bakar gas adalah mustahil. Membeli kendaraan bermotor di Eropa akan dilematis karena pajak dan parkirnya begitu tinggi. Di Tiongkok, pemerintah mengguyur industri mobil listrik dan penunjangnya dengan dukungan bernilai US$60 miliar.

Di saat yang bersamaan kesadaran masyarakat dunia akan perlunya energi bersih terus menguat. Krisis akibat perubahan iklim makin nyata dan dekat. Contoh paling mudah adalah banjir besar di wilayah Jabodetabek pada awal tahun ini. Sejumlah ilmuwan meyakini hujan ekstrem yang memicu banjir kala itu disebabkan oleh perubahan iklim. Energi bersih menjadi kian relevan dalam pengambilan kebijakan publik.

Ini artinya ruang bagi sektor energi baru untuk tumbuh masih terbuka lebar. Terlebih potensi energi alternatif di Indonesia beragam dan berlimpah.

Mereka yang sudah beroperasi

Jejak startup energi masih belum panjang di Indonesia. Jumlah pemainnya pun tak bisa dikatakan banyak. Salah satu dari secuil pemain tersebut adalah Xurya. Startup ini berdiri sejak 2018 dengan produk andalannya panel surya atap. Managing Director Xurya, Eka Himawan mengatakan posisi Indonesia yang berada di garis khatulistiwa merupakan peluang besar untuk bagi startup seperti mereka untuk memanen energi dari sinar matahari.

Menurut Eka, penggunaan panel surya sejauh ini juga yang paling memungkinkan untuk dijajakan ke pasar secara harga, pemasangan, dan pemeliharaan. Ini jauh lebih cepat ketimbang memilih energi alternatif lain seperti bayu atau geotermal.

“Untuk pasang panel surya, kita bisa survei hanya dalam waktu 10 menit bisa jadi proposal. Kalau [tenaga] angin saya butuh data selama setahun, untuk geotermal butuh waktu lebih lama lagi bisa sekitar lima tahun,” ucap Eka.

Di tempat lain, Warung Energi memulai bisnisnya dengan premis membuka akses energi terbarukan ke semua kalangan dengan harga terjangkau. Seiring jalan mereka menjadi jembatan bagi lembaga yang menggelar proyek pengembangan energi di pedesaan dan daerah terpencil.

Serupa dengan Xurya, produk andalan Warung Energi mengandalkan tenaga surya. Sistem yang mereka miliki ini menjadi solusi untuk rumah-rumah yang belum terjangkau listrik PLN dengan kisaran tenaga yang dapat dihasilkan sekitar 350 watt hingga 2.000 watt. Setahun kemarin Warung Energi sudah mengerjakan hingga 20 sistem yang tersebar di seluruh Indonesia.

Selain Xurya dan Warung Energi, ada beberapa pemain lain yang tercatat berkecimpung di sektor EBT ini. Weston Energy, Forbetric, Erenesia, Khaira Energy, dan Syalendra Power adalah di antaranya. Hampir semuanya baru melewati fase inkubasi dan akselerasi.

Harapan pada surya

New Energy Nexus Indonesia yang dua tahun terakhir aktif menggelar program inkubasi dan akselerasi startup bidang energi terbarukan mengatakan Indonesia memang masih berada di tahap awal.

“Baru beberapa tahun terakhir publik mulai peduli tentang isu perubahan iklim dan energi alternatif,” ujar Program Director New Energy Nexus Indonesia, Imam Diyanto.

Namun dari sekian produk dan inisiatif yang telah ada, tenaga surya masih menjadi primadona di atas segalanya. New Energy Nexus Indonesia yang dua tahun aktif menggelar inkubasi dan akselerasi untuk startup energi baru mengatakan setidaknya ada empat hal yang menyebabkan panel surya sebagai opsi energi terbarukan paling populer.

Imam menyebut ketersediaan sinar matahari di hampir seluruh permukaan bumi membuat energi itu sebagai yang paling mudah dijangkau. Dari segi instalasi, panel surya juga jauh lebih mudah ketimbang instalasi alat-alat untuk pembangkit listrik energi hijau lain seperti tenaga angin yang membutuhkan baling-baling raksasa atau turbin untuk tenaga bayu.

“Perawatan solar photovoltaic (PV) tidak memerlukan teknologi khusus, orang biasa pun bisa melakukannya, sehingga populer dipasang di rumah-rumah. Permintaan yang tinggi, membuat skala produksi juga tinggi, sehingga biaya produksi bisa terus menurun,” ujar Imam dalam jawaban tertulisnya.

Kendala tersisa

Tapi tenaga surya pun bukan tanpa kendala. Memang dibandingkan sarana dan prasana pembangkit tenaga alternatif lain, panel surya lebih terjangkau dan mudah dipasang. Namun sejatinya bisnis panel surya ini masih menyisakan pekerjaan rumah bagi para pelaku industri.

Xurya yang bisnisnya menjembatani produsen panel surya dengan calon konsumen menyebut anggapan panel surya itu mahal masih cukup sering terdengar. Masalah lain yang tak kalah pelik adalah bisnis ini tidak membuahkan hasil dengan cepat.

Investasi besar harus berani dilakukan dengan asumsi balik modal agak lama. Xurya yang memperoleh pendanaan awal pada 2018 lalu mengaku hal ini sebagai tantangan utama dalam meyakinkan pihak pembiaya di bisnis panel surya.

“Sedikit bedanya ini dengan Modalku dan Investree misalnya, taruh uang di sana kan balik modalnya cepat, tiga bulan bisa balik. Kalau di sini balik modalnya 10 tahun jadi tidak mudah untuk investor awam masuk ke dalam bidang ini,” ucap Eka.

Butuh usaha lebih untuk memperkenalkan energi terbarukan, khususnya tenaga surya, ke pasar. Karena meskipun harga perangkatnya masih relatif mahal, biaya pemeliharaan panel surya sangat kecil sehingga bisa dikatakan meskipun investasinya besar di awal, pemilik tak perlu merogoh banyak uang lagi setelahnya.

“Contohnya sistem tenaga surya hanya membutuhkan pemeliharaan tahunan berupa pembersihan panel surya, sedangkan genset diesel akan membutuhkan bahan bakar setiap harinya dan pemeliharan mekanik (oli mesin, seal, bearing, dan lain-lain) setiap bulan,” ucap CEO Warung Angin Abdul Karim.

Terlepas itu semua, sektor ini diperkirakan akan terus tumbuh seiring waktu berjalan. Tren dunia beralih ke energi yang lebih efisien, ramah lingkungan, dengan suplai yang dapat terbarukan adalah karakter energi di masa depan.

Beberapa negara sudah membuka ruang lebar-lebar untuk perkembangan industri energi terbarukan sehingga bisnis yang berputar di sektor ini kian matang. Pemerintah pun punya visi yang jelas dengan target 23% kebutuhan nasional terpenuhi lewat EBT pada 2023 nanti. Dengan regulasi yang tepat, geliat startup di sektor energi terbarukan ini akan makin sibuk dalam beberapa tahun ke depan.

Moxy dan Bilna Merger Membentuk MoxyBilna

Mengawali tahun 2016, dua layanan e-commerce yang fokus pada perempuan dan keluarga mengumumkan penggabungan operasinya. Moxy, yang didukung Ardent Capital, dan Bilna mengumumkan merger kedua perusahaan menjadi MoxyBilna. Group CEO Moxy Jérémy Fichet menjadi Group CEO MoxyBilna, Co-Founder dan CFO Bilna Eka Himawan menjadi Group CFO, Co-Founder dan CEO Bilna Ferry Tenka menjadi Executive Chairman perusahaan baru dan memimpin operasional di Indonesia, sedangkan pemimpin operasional Moxy di Indonesia Andrew Senduk bakal menjadi Chief Revenue Officer.

Kuatnya cengkeraman layanan e-commerce besutan Rocket Internet berdana besar di Asia Tenggara, seperti Lazada dan Zalora, membuat sejumlah layanan e-commerce lainnya berkonsolidasi untuk menjadi pesaing tangguh. MoxyBilna adalah salah satunya.

MoxyBilna dibentuk didasari kesamaan pangsa pasar. Bilna yang awalnya menyasar pasar ibu dan anak kini melebar ke pasar barang kebutuhan keluarga. Moxy sendiri adalah layanan e-commerce yang fokus ke produk perempuan, termasuk di dalamnya produk untuk anak dan bayi. Moxy, sebelumnya bernama WhatsNew, diluncurkan di Indonesia sekitar 7 bulan lalu.

Secara statistik, perempuan di kawasan ini adalah pendorong utama kegiatan belanja online, dengan 63% melakukan browsing produk dan layanan setidaknya sekali sehari, sedangkan 49% kini memilih berbelanja online ketimbang offline. Setiap laporan dan survei soal e-commerce di Indonesia selalu menempatkan produk perempuan di urutan teratas untuk segmen produk paling dicari.

Dalam pernyataannya, Fichet mengatakan, “Kemitraan ini akan membuat MoxyBilna pemain e-commerce terdepan di kawasan [Asia Tenggara]. Posisi dan jejak Bilna yang kuat di Indonesia, dipadukan dengan kekuatan Moxy di ekosistem e-commerce produk perempuan di Thailand dan Indonesia bakal membentuk entitas serius yang menjadi ‘tujuan belanja perempuan #1 di Asia Tenggara’.”

Tenka menambahkan, “Dengan langkah ini, kami telah menggandakan daya beli dan volume transaksi, secara bersama membentuk skala ekonomi yang jauh lebih berarti dan memudahkan kami menawarkan hal yang lebih baik untuk konsumen kami. Dengan menjadi entitas bersama, kami sekarang memiliki posisi yang baik di Thailand dan Indonesia untuk mengakselerasi pertumbuhan dan ekspansi [ke negara lain] dalam waktu 18 bulan.”

Setelah merger, operasional Moxy di Indonesia akan dipegang oleh Bilna, sementara platform dan operasional Bilna bakal menjadi benchmark bagi ekspansi grup ke negara lain. Kantor Bilna di Jakarta akan menjadi pusat operasional MoxyBilna dan kami mendapatkan konfirmasi tidak bakal terjadi layoff akibat merger ini karena mereka sedang ekspansi besar-besaran.

Bilna telah dua kali mengumumkan perolehan pendanaan, yang terakhir sekitar dua tahun yang lalu, dan disebutkan Co-Founder Facebook Eduardo Saverin juga berinvestasi ke layanan ini. Ferry Tenka sendiri merupakan Co-Founder Disdus yang diakuisisi Groupon dan menjadi Groupon Indonesia.

Di tahun 2016 ini, tren konsolidasi bakal menjadi bumbu menarik perkembangan ekosistem startup yang lebih solid, baik untuk pasar Indonesia maupun pasar Asia Tenggara secara umum.

Di Tahun Pertama Bilna Raup Dua Juta Konsumen Dengan Rata-Rata 400 Ribu Rupiah Per Transaksi

Hari ini Bilna merayakan ulang tahunnya yang pertama. Selama satu tahun ini, awak Bilna melakukan kontemplasi, dan mencatat banyak sekali perkembangan dan pertumbuhannya. Pada perayaan ulang tahun pertamanya ini, awak Bilna membuka hasil riset pasarnya.

Continue reading Di Tahun Pertama Bilna Raup Dua Juta Konsumen Dengan Rata-Rata 400 Ribu Rupiah Per Transaksi

Toko Perlengkapan Bayi Bilna Targetkan 1000 Produk Baru Tiap Bulannya

Dalam perayaan hari ulang tahun pertamanya hari ini (27/2/14) di The Kasablanka, Jakarta, Bilna menggelar acara Media & Merchant Gathering. Ajang ini diselenggarakan sebagai bentuk apresiasi terhadap berbagai pihak yang dianggap telah mendukung Bilna selama ini seperti konsumen, merchant, dan media.

Continue reading Toko Perlengkapan Bayi Bilna Targetkan 1000 Produk Baru Tiap Bulannya