Tag Archives: emtek group

Vidio Bags Follow on Funding Worth of 663 Billion Rupiah from Sinarmas Group, Grab, and Others

Vidio recently announced a $45 million (over 663 billion Rupiah) funding from several strategic investors. The largest amount was provided by Sinarmas Group, PT Dian Swastika Sentosa (DSSA) through its subsidiary PT DSST Mas Gemilang (DSST). Other investors also participated, including Grab LA Pte Ltd (Grab), and PT Ekonomi Baru Investasi Teknologi (EBIT), a subsidiary of the Bali United football club.

For the record, DSSA is one of the shareholders in DANA (PT Elang Andalan Nusantara). Previously, DANA was operating under the Emtek Group.

This is Vidio’s follow on funding after securing fresh funding of $150 million from Affinity Equity Partners in October 2021. Previously, Vidio was entirely owned by Emtek Group under Surya Citra Media (SCM).

The entrance of Sinarmas Group marks an open door for Vidio to collaborate strategically with its portfolios, such as Smartfren and MyRepublic. Along with its new investors, Vidio aims to drive growth and strengthen its position as a leading local OTT.

Vidio’s CEO, Sutanto Hartono said, the company is to increase its commitment to users by continuously adding the best premium content with this new fund, as well as improving the features and quality of the platform.

“Aside from an exclusive Premier League airing in August and the World Cup in November, we will also be more aggressive in releasing local original series and quality soap operas to entertain streaming audiences in Indonesia,” he said, Tuesday (14/6).

Investors also delivered their statements. DSSA’s Director Daniel Cahya said this investment is the starting point for sustainable collaboration between the Sinarmas Group and the Emtek Group. It is also a positive act for the group, including Smartfren, MyRepublic, and other DSST digital investments, with Vidio as the content provider.

“Being the most preferred partner of Vidio is an honor for us. This collaboration is expected to bring added value, and the Sinarmas Group is fully committed to building an integrated digital ecosystem. Therefore, we are very welcome to the strategic partnership with Vidio,” Daniel said.

Meanwhile, Grab Indonesia’s Country Managing Director, Neneng Goenadi said, Grab and Emtek Group have an aligned vision that Indonesia’s bright digital era should be enjoyed by the entire society. OTT is a sector that has experienced rapid development in the country, especially since the pandemic and the shifting focus of the entertainment industry from linear channels to OTT and streaming will continue in the next few years.

“We are pleased to be able to strengthen the strategic partnership that has been established with the Emtek Group through investment in Vidio. As the largest OTT platform in Indonesia, Vidio has a very broad reach, and we see the potential for solid synergies between the Grab and Vidio ecosystems. Together with Emtek Group, Grab will present more digital solutions with positive impacts for society and the environment in Indonesia,” Neneng said.

The Milestones

According to a report from Media Partner Asia, in the first quarter of 2022, Vidio rules on top of the table for the OTT platform based on monthly active users (MAU) and total minutes streamed. The company continues to add to its content catalog in the field of sports and claims to be the most complete in Indonesia.

The list starts from the 2022 FIFA World Cup Qatar, English Premier League, Indonesian Football League (Liga 1, Liga 2, and Liga 3), UEFA Champions League and UEL, NBA, European Football League (Serie A, La Liga, Ligue 1) , FA Cup, Formula One, Indonesian professional volleyball league (ProLiga), Indonesian Basketball League (IBL), Women’s Tennis Association (WTA), and a wide selection of other premium sports content. Not only that, Vidio continues to actively release original content of up to three titles every month.

On a separate occasion, in an interview with DailySocial.id, Vidio’s Managing Director, Monika Rudijono said that until the closing of Q4 2021, Vidio had experienced an increase in the number of MAU reaching 62 million subscribers. Among its user base, 2.3 million of them are paid users. “Vidio closed Q1 2022 with 1.9x growth in paid subscribers compared to Q1 2021,” she added.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Platform OTT lokal Vidio mengumumkan pendanaan tambahan sebesar $45 juta (lebih dari 663 miliar Rupiah) dari Grup Sinarmas, Grab, dan EBIT

Vidio Peroleh Investasi Tambahan 663 Miliar Rupiah dari Grup Sinarmas, Grab, dan Lainnya

Vidio mengumumkan pendanaan sebesar $45 juta (lebih dari 663 miliar Rupiah) dari beberapa investor strategis. Investasi terbesar diberikan oleh Grup Sinarmas, yakni PT Dian Swastika Sentosa (DSSA) melalui entitas anaknya PT DSST Mas Gemilang (DSST). Investor lain yang turut berpartisipasi, antara lain Grab LA Pte Ltd (Grab), PT Ekonomi Baru Investasi Teknologi (EBIT), entitas anak klub sepak bola Bali United.

Sebagai catatan, DSSA merupakan salah satu pemegang saham di DANA (PT Elang Andalan Nusantara). Sebelumnya, DANA berada di bawah naungan Emtek Group.

Pengumuman ini merupakan tambahan pendanaan yang diterima Vidio, setelah memperoleh dana segar sebesar $150 juta dari Affinity Equity Partners pada Oktober 2021. Sebelumnya, Vidio dimiliki sepenuhnya oleh Emtek Group di bawah Surya Citra Media (SCM).

Masuknya Grup Sinarmas, menandai terbukanya kesempatan bagi Vidio untuk berkolaborasi strategis dengan portofolio di bawahnya, misalnya Smartfren dan MyRepublic. Bersama investor-investor barunya, Vidio berambisi dapat mendorong pertumbuhan dan memperkuat posisinya sebagai OTT lokal terkemuka.

CEO Vidio Sutanto Hartono mengatakan, dengan dana baru ini perusahaan akan meningkatkan komitmen kepada pengguna dengan terus menambah konten-konten premium terbaik, serta meningkatkan fitur dan kualitas platform.

“Selain penayangan Liga Inggris di bulan Agustus dan Piala Dunia di bulan November secara eksklusif, kami juga akan lebih agresif lagi merilis local original series dan Vidio Sinetron berkualitas untuk menghibur penonton streaming di Indonesia,” katanya, Selasa (14/6).

Para investor turut menyampaikan pernyataannya. Direktur DSSA Daniel Cahya mengatakan, investasi ini menjadi gerbang awal dari kolaborasi yang berkesinambungan, antara Grup Sinarmas dan Grup Emtek. Sekaligus menjadi langkah positif bagi grup, termasuk Smartfren, MyRepublic, dan investasi digital DSST lainnya, dengan Vidio sebagai content provider.

“Menjadi most preferred partner dari Vidio merupakan kebanggaan bagi kami. Kolaborasi ini diharapkan akan membawa nilai tambah, dan Grup Sinarmas berkomitmen penuh untuk membangun ekosistem digital yang terintegrasi. Oleh karena itu, kami menyambut baik strategic partnership dengan Vidio,” kata Daniel.

Sementara itu, Country Managing Director Grab Indonesia Neneng Goenadi menyampaikan, Grab dan Emtek Group punya visi selaras bahwa era digital Indonesia yang cerah harus dapat dinikmati seluruh lapisan masyarakat. OTT sebagai kategori yang telah mengalami perkembangan pesat di tanah air, terutama sejak pandemi, dan tren pergeseran fokus industri hiburan dari linear channel ke OTT dan streaming akan terus berlanjut dalam beberapa tahun ke depan.

“Kami senang dapat mempererat kerja sama strategis yang telah terjalin dengan Emtek Group melalui investasi di Vidio. Sebagai platform OTT terbesar di Indonesia, Vidio memiliki jangkauan yang sangat luas, dan kami melihat potensi sinergi yang solid untuk ekosistem Grab dan Vidio. Bersama Emtek Group, Grab akan menghadirkan lebih banyak solusi digital dengan dampak positif untuk masyarakat dan lingkungan di Indonesia,” tutur Neneng.

Pencapaian Vidio

Menurut laporan dari Media Partner Asia, pada kuartal I 2022, Vidio menjadi platform OTT posisi teratas berdasarkan pengguna aktif bulanan (monthly active user/MAU) dan total durasi menit streaming (minute streamed). Perusahaan terus menambah katalog kontennya di bidang olahraga dan diklaim sebagai terlengkap di Indonesia.

Daftarnya mulai dari Piala Dunia FIFA 2022 Qatar, English Premier League, Liga sepak bola Indonesia (Liga 1, Liga 2, dan Liga 3), Liga Champions UEFA dan UEL, NBA, Liga sepakbola Eropa (Serie A, La Liga, Ligue 1), FA Cup, Formula One, Liga bola voli profesional Indonesia (ProLiga), Liga Bola Basket Indonesia (IBL), Women’s Tennis Association (WTA), dan ragam pilihan konten olahraga premium lainnya. Tak hanya itu, Vidio terus aktif merilis konten original hingga tiga judul setiap bulannya.

Secara terpisah, dalam wawancara bersama DailySocial.id, Managing Director Vidio Monika Rudijono mengatakan hingga penutupan Q4 2021 Vidio telah mengalami peningkatan jumlah MAU mencapai 62 juta pelanggan. Di antara basis penggunanya, 2,3 juta di antaranya adalah pengguna berbayar. “Vidio menutup Q1 2022 dengan pertumbuhan pelanggan berbayar 1,9x dibandingkan Q1 2021,” imbuhnya.

 

East Ventures and EMTEK Invest to the Real Estate Project NFT Developer

Fraction, a Hong Kong and Bangkok-based fintech startup, announced $3 million (nearly 43 billion Rupiah) pre-series A round led by East Ventures. Also participated in this round  EMTEK Group, Thakral Limited, V Ventures, and other regional investors.

This fundraising is in line with the Thailand’s ICO Portal License (subject to activation approval) from the Securities and Exchange Commission of Thailand (SEC). In addition, the previous plans to offer partial ownership (fractional ownership) of some of Thailand’s iconic real estate assets in the first quarter of 2022 through an end-to-end fractional ownership platform powered by NFT and blockchain.

In the earlier seed round, Fraction was backed by several well-known ventures, both from the technology and conventional finance industries, including SINGHA Ventures, John Wylie’s Tanarra Capital, and Skystar Capital Indonesia.

Fraction was founded by Eka Nirapathpongporn, an ex-Director and Partner in  Lazard, a New York-based global financial advisory and asset management firm. And Shaun Sales, a seasoned tech entrepreneur. Fraction creates access to wealth creation by enabling partial and digital asset transactions for people to own or trade, starting with world-famous iconic real estate projects.

With Fraction’s plug-and-play platform, individuals and companies can invest, sell, and partially manage ownership from small stakes in city condominiums, beachfront inns, or artworks, also to manage personal funds, assets and investors.

“Removing barriers and providing equal access to opportunities to achieve wealth for all has become an urgent global issue. We are pleased to be a pioneer in implementing NFT and a decentralized Ethereum digital solution to partially manage ownership of multiple assets,” Nirapathpongporn said in an official statement, Monday (17/1).

He continued, “From now on, we can enable financial inclusion that allows small investors to participate in attractive  asset classes that weren’t accessible before. Fraction has great opportunities where the real estate token market estimated to be worth US$80 trillion and we are delighted to be at the forefront of this new wave of finance and blockchain technology convergence.”

East Ventures’ Co-founder & Managing Partner, Willson Cuaca showed his gratitude to be part of Fraction’s vision to create access to investment capital currently reserved for limited community.

“However, we are getting excited about the huge growth of this platform; making digitization and partial ownership of real-world assets an easy day-to-day activity. Real estate is the first asset class and we look forward to supporting Fraction as it evolves into multiple asset classes and jurisdictions,” said Willson.

The products

With the ICO license obtained from Thai’s authorities, companies can link offline assets such as real estate to non-fungible tokens (NFT), digitize them, and offer a small portion to interested communities. “We share ownership of this NFT, and this ownership token is offered to investors. Therefore, it is an asset-backed proprietary token,” the Co-founder and CEO, Eka Nirapathpongporn was quoted by Tech in Asia.

Fraction prints an NFT with a “real world legal link” to a property. These tokens will consist of different exchangeable tokens, or fractions, with each representing a portion of the property. Furthermore, the token will be listed through IFO with a fractional ownership equivalent to a partial ownership of the actual real estate asset. Fraction can be traded between investors.

“Now you can […] legally own part of this villa – maybe 1% of it – instead of having to pay $5 million to buy the whole thing,” he added.

In its journey, Fraction has developed an integrated platform that includes, i) Digitalization and integrated fractional asset ownership, ii) Initial Fraction offering to investors (IFO). Also, iii) Fraction token trading platform on secondary market among investors, iv) All services to accommodate end-to-end experience.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Fraction, startup fintech berbasis di Hong Kong dan Bangkok, mengumumkan perolehan dana pra Seri A sebesar $3 juta dalam yang dipimpin East Ventures, diikuti EMTEK Group

East Ventures dan EMTEK Suntik Pendanaan Startup Pengembang NFT Proyek Real Estat

Fraction, startup fintech berbasis di Hong Kong dan Bangkok, mengumumkan perolehan dana sebesar $3 juta (hampir 43 miliar Rupiah) dalam putaran pra-seri A yang dipimpin oleh East Ventures. Turut diikuti oleh EMTEK Group, Thakral Limited, V Ventures, dan jajaran investor regional lainnya.

Pengumpulan dana ini sejalan dengan penerimaan ICO Portal License Thailand (bergantung atas persetujuan aktivasi) dari Securities and Exchange Commission of Thailand (SEC). Juga rencana yang telah diumumkan sebelumnya untuk menawarkan kepemilikan secara parsial (fractional ownership) dari beberapa aset real estat ikonik di Thailand pada kuartal I 2022 melalui platform fractional ownership end-to-end yang didukung oleh NFT dan blockchain.

Dalam putaran tahap awal yang digelar sebelumnya, Fraction telah didukung oleh beberapa nama terkenal, baik dari industri teknologi maupun keuangan tradisional, termasuk SINGHA Ventures, Tanarra Capital milik John Wylie, dan Skystar Capital Indonesia.

Fraction didirikan oleh Eka Nirapathpongporn eks-Direktor and Partner Lazard, firma penasihat keuangan dan manajemen aset global berbasis di New York. Dan Shaun Sales, seorang pengusaha berpengalaman di bidang teknologi. Fraction membuka akses ke penciptaan kekayaan untuk semua orang dengan memungkinkan transaksi aset secara parsial dan digital untuk dimiliki maupun diperdagangkan, dimulai dengan proyek real estat ikonik yang terkenal di dunia.

Dengan platform plug-and-play milik Fraction, setiap orang dan perusahaan kini dapat melakukan investasi, menjual, dan mengelola kepemilikan secara parsial mulai dari saham kecil di kondominium kota, penginapan tepi pantai, atau karya seni hingga mengelola dana pribadi, aset, dan investor.

“Menghilangkan hambatan dan memberikan akses yang sama ke berbagai peluang untuk mencapai kekayaan bagi semua orang telah menjadi isu global yang mendesak. Kami senang menjadi pelopor dalam menerapkan NFT dan solusi digital Ethereum terdesentralisasi untuk mengelola kepemilikan atas banyak aset secara parsial,” ujar Nirapathpongporn dalam keterangan resmi, Senin (17/1).

Dia melanjutkan, “Mulai dari sekarang, kami dapat mengaktifkan inklusi keuangan yang memungkinkan para investor kecil untuk berpartisipasi dalam kelas-kelas aset menarik yang tidak dapat diakses sebelumnya. Peluang pertumbuhan untuk Fraction sangatlah besar, di mana pasar tokenisasi real estat diperkirakan akan bernilai US$ 80 triliun dan kami senang dapat berada pada garis terdepan gelombang baru konvergensi keuangan dan teknologi blockchain.”

Co-founder & Managing Partner East Ventures Willson Cuaca mengungkapkan kegembiraannya karena telah menjadi bagian dari visi Fraction untuk menciptakan akses ke investasi modal yang saat ini hanya diperuntukkan untuk segelintir orang saja.

“Namun kami semakin bersemangat akan peluang pertumbuhan yang besar dari platform ini; membuat digitalisasi dan kepemilikan rasa parsial akan aset dunia nyata menjadi aktivitas sehari-hari yang mudah. Real estat adalah kelas aset pertama dan kami berharap dapat mendukung Fraction seiring dengan perkembangannya menjadi beberapa kelas aset dan yurisdiksi,” kata Willson.

Produk Fraction

Dengan lisensi ICO yang diperoleh dari otoritas Thailand, perusahaan dapat menautkan aset offline seperti real estat ke non-fungible token (NFT), mendigitalkan mereka, dan menawarkan sebagian kecil dari mereka kepada pihak yang berkepentingan. “Kami membagi kepemilikan NFT ini, dan token kepemilikan ini ditawarkan kepada investor. Oleh karena itu, ini adalah token kepemilikan yang didukung aset, ” Co-founder dan CEO Eka Nirapathpongporn seperti dikutip dari Tech in Asia.

Fraction mencetak NFT yang memiliki “tautan hukum dunia nyata” ke sebuah properti. Token ini akan terdiri dari token yang dapat dipertukarkan yang berbeda, atau fraksi, dengan masing-masing mewakili sebagian dari properti. Kemudian, token tersebut didaftar melalui IFO dengan kepemilikan pecahan yang setara dengan kepemilikan sebagian dari aset real estat yang sebenarnya. Fraction dapat diperdagangkan di antara investor.

“Sekarang Anda dapat […] secara legal memiliki bagian dari vila ini – mungkin 1% darinya – daripada harus membayar US$5 juta untuk membeli semuanya,” tambah dia.

Dalam perjalanannya, Fraction telah mengembangkan platform terpadu di dunia yang meliputi, i) Digitalisasi dan kepemilikan aset secara fraksi yang terintegrasi, ii) Penawaran fraksi perdana kepada para investor (Initian Fraction Offering/IFO). Kemudian, iii) Platform perdagangan token fraksi pada pasar sekunder di antara para investor, iv) Seluruh layanan untuk mengakomodasi pengalaman end-to-end.

Emtek Group Sells Stake of KlikDokter to Kalbe Farma

Healthtech company KlikDokter is now fully owned by Kalbe Farma after taking 23.81% shares from Emtek Group’s subsidiary, PT Kreatif Media Karya (KMK). Since the beginning, Kalbe, through PT Karsa Lintas Buwana (KLB), has been the major shareholder of 76.19% in KlikDokter when Emtek entered in 2016.

According to the disclosure on IDX, the transaction was completed on September 30, 2021, worth of IDR 62.5 billion. PT Medika Komunika Teknologi (MKT) which is the owner of KlikDokter service approved the decision to sell all shares or a total of 1,000 series B shares owned by KMK, each of 999 series B shares to KLB and 1 share to PT Hexpharm Jaya Laboratories (HJ) .

After the exchange, the latest composition is KLB with 99.98% ownership as follows, a total of 1000 series A shares or the equivalent of 23.81%; a total of 3,199 series B shares or the equivalent of 76.71%; and HJ with 1 share of series B or the equivalent of 0.02%.

Kalbe Farma’s Corporate Secretary, Lukito Kurniawan Gozali said that corporate actions were carried out to increase capital in the context of developing business in the future. “KMK has no affiliation and/or conflict of interest with the company [Kalbe Farma],” he wrote.

KlikDokter is one of the oldest healthtech companies as it has been operating since 2008. KlikDokter’s initial product was a health information portal that focused on accuracy and updates from trusted sources. Moreover, develop features around health services – such as online consultations, medical devices, hospital directories, online drug recommendations, drug delivery, to online ordering, which is accessible through websites and applications.

Various healthtech startups

In terms of service, other healthtech players has offered similar solutions to KlikDokter. In Indonesia, KlikDokter competes with several players, such as Halodoc, Alodokter, SehatQ, GoodDoctor, and others. According to RevoU’s findings, the most popular health application in Indonesia is Alodokter, based on website and social media data.

Alodokter’s monthly website visitors reached 51.3 million, followed by Halodoc with 45.8 million and SehatQ with 18.4 million. Next, there is KlikDokter with 15.1 million visits and GoodDoctor with 656,500 visits.

Based on the number of followers on various social media platforms, Instagram for example, both Alodokter and Halodoc are the leaders compared to the other three. On Facebook and Twitter, KlikDokter is a health application with the number one followers in Indonesia with 4.1 million page likes and 69 thousand followers respectively.

Meanwhile, according to the findings of the Global Consumer Survey Statista, Indonesia is the third country with the largest users of telemedicine applications. During the pandemic, the demand for telemedical services is increasing as patients can easily connect with medical practitioners virtually. Therefore, this pandemic provides a great opportunity for telemedical services to grow bigger.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here
KlikDokter Kalbe Farma

Emtek Group Jual Saham KlikDokter, Kini Sepenuhnya Dimiliki Kalbe Farma

Perusahaan healthtech KlikDokter kini dikuasai sepenuhnya oleh Kalbe Farma pasca membeli 23,81% saham milik PT Kreatif Media Karya (KMK), entitas anak usaha Emtek Group. Sedari awal, Kalbe, melalui PT Karsa Lintas Buwana (KLB), adalah pemegang saham mayoritas sebesar 76,19% di KlikDokter sejak Emtek masuk pada 2016.

Menurut keterbukaan informasi di BEI, transaksi telah diselesaikan pada 30 September 2021 senilai Rp62,5 miliar. PT Medika Komunika Teknologi (MKT) yang merupakan pemilik layanan KlikDokter menyetujui keputusan penjualan seluruh saham atau sejumlah 1.000 lembar saham seri B milik KMK, masing-masing sejumlah 999 lembar saham seri B kepada KLB dan 1 lembar saham kepada PT Hexpharm Jaya Laboratories (HJ).

Setelah transaksi ini, komposisi kepemilikan saham terbaru adalah KLB dengan kepemilikan 99,98% saham dengan rincian, sejumlah 1000 lembar seri A atau setara 23,81%; sejumlah 3,199 lembar saham seri B atau setara 76,71%; dan HJ sejumlah 1 lembar saham seri B atau setara 0,02%.

Corporate Secretary Kalbe Farma Lukito Kurniawan Gozali menyampaikan, aksi korporasi dilaksanakan untuk peningkatan modal dalam rangka pengembangan bisnis/usaha ke depannya. “KMK tidak memiliki hubungan afiliasi dan/atau benturan kepentingan dengan perusahaan [Kalbe Farma],” tulisnya.

KlikDokter termasuk perusahaan healthtech tertua karena sudah beroperasi sejak 2008. Produk awal KlikDokter adalah portal informasi kesehatan yang fokus pada akurasi dan update dari sumber terpercaya. Kemudian, mengembangkan fitur seputar layanan kesehatan – seperti konsultasi online, alat kesehatan, direktori rumah sakit, rekomendasi obat online, pengiriman obat, hingga pemesanan online, yang dapat diakses melalui situs dan aplikasi.

Startup healthtech lainnya

Secara layanan, pemain healthtech lainnya juga menawarkan hal yang serupa dengan KlikDokter. Di Indonesia, KlikDokter bersaing ketat dengan pemain sejenisnya, seperti Halodoc, Alodokter, SehatQ, GoodDoctor, dan lainnya. Menurut temuan RevoU, aplikasi kesehatan yang paling populer di Indonesia adalah Alodokter, berdasarkan data situs dan media sosial.

Pengunjung situs bulanan Alodokter mencapai 51,3 juta kunjungan, kemudian disusul Halodoc dengan 45,8 juta kunjungan dan SehatQ dengan 18,4 juta kunjungan. Selanjutnya, terdapat KlikDokter dengan 15,1 juta kunjungan, dan terakhir ada GoodDoctor 656,500 kunjungan.

Berdasarkan jumlah followers di berbagai platform media sosial, misalnya di Instagram, baik Alodokter dan Halodoc adalah pemimpin dibandingkan ketiga lainnya. Di Facebook dan Twitter, KlikDokter merupakan aplikasi kesehatan dengan jumlah pengikut di Indonesia dengan angka masing-masing sebesar 4,1 juta page likes dan 69 ribu followers.

Sementara itu hasil temuan Global Consumer Survey Statista, Indonesia adalah negara ketiga terbesar dengan jumlah pengguna aplikasi telemedis. Selama pandemi, permintaan layanan telemedis meningkat karena pasien dapat terhubung dengan mudah dengan praktisi medis secara virtual. Oleh karenanya, pandemi ini memberi ruang yang besar untuk layanan telemedis untuk berkembang lebih jauh.

Application Information Will Show Up Here
Bukalapak ingin membidik pasar di lwilayah-wilayah terkecil / Bukalapak

Bukalapak Berniat Melantai di Bursa AS dengan IPO Lokal sebagai Pendahulu

Tampaknya 2021 akan banyak diramaikan oleh rencana IPO dari sejumlah startup Indonesia. Setelah GoTo dan Tiket.com, baru-baru ini Bukalapak dikabarkan telah mengajukan permohonan untuk melakukan penawaran saham perdananya di Jakarta.

Berita ini sekaligus mengonfirmasi kabar Bukalapak yang sempat mempertimbangkan IPO beberapa waktu lalu. Namun, perwakilan Bukalapak, seperti diberitakan SCMP, menyebut pihaknya belum membuat keputusan apapun terkait hal ini.

Menurutnya, saat ini Bukalapak masih mencari peluang pertumbuhan dan akses permodalan. “Fokus kami adalah menemukan strategi yang tepat untuk menjadi perusahaan sustainable dan menciptakan value bagi mitra dan pengguna dalam jangka panjang,” ungkapnya.

Jika IPO ini terealisasi, aksi korporasi ini akan menjadikan Bukalapak sebagai salah satu startup teknologi besar pertama yang go public di Indonesia. Adapun, DailySocial telah mencoba mengonfirmasi kabar ini ke eksekutif Bukalapak, namun belum ada respons dari pihak terkait hingga berita ini diturunkan.

Jajaran investor Bukalapak

Sebagaimana dirangkum DealStreetAsia, saat ini ada tiga pemegang saham mayoritas yang menguasai sebesar 61,9% kepemilikan di Bukalapak, antara lain PT Kreatif Media Karya (31,9%), API (Hong Kong) Investment Limited (17,4%), dan GIC Singapore melalui Archipelago Investment Pte Ltd (12,6%).

Secara keseluruhan, terdapat total 47 pemegang saham di Bukalapak. Dari jumlah tersebut, sebanyak 13 pemegang saham menggenggam 90,46%. Sementara, 34 lainnya hanya memegang kepemilikan saham dalam jumlah kecil, termasuk Co-founder Bukalapak Achmad Zaky Syaifudin yang menguasai 5,8%, Muhamad Fajrin Rasyid sebesar 3,53%, dan Nugroho Herucahyono 2,78%.

Sekadar informasi, Kreatif Media Karya (KMK) adalah anak usaha bisnis digital dari PT Elang Mahkota Teknologi Tbk (EMTEK), perusahaan konglomerasi media dan teknologi milik Sariaatmadja. Ant Group selaku induk usaha Alibaba menguasai saham Bukalapak melalui API (Hong Kong) Investment Limited.

Baik EMTEK dan API, sama-sama mayoritas saham di platform uang digital DANA. Sebagai tambahan, API memiliki 45% saham DANA lewat anak perusahaan tidak langsung, yakni PT Elang Andalan Nusantara.

Lebih lanjut, beberapa investor menggunakan lebih dari satu kendaraan untuk berinvestasi di Bukalapak. Ambil contoh, Indies Capital Partners berinvestasi lewat dua perusahaan, yaitu Komodo Indigo Investment Ltd (0,51%) dan Komodo Opportunity Venture 1 Ltd (0,51%).

Kemudian, perusahaan ventura berbasis di AS 500 Startups mengalokasikan investasi melalui sejumlah dana kelolaan antara lain 500 Durians II LP, 500Durians LP, 500 Kimchi LP, 500 Startups III, dan 500 Startups IV LP.

Jika dirinci berdasarkan negara asal, tiga pemegang saham teratas Bukalapak terdiri dari Indonesia sebesar 50,96%, diikuti Hong Kong di urutan kedua sebesar 21,62%, dan Singapura 16,58%.

Listing AS lewat pendahulu jalur lokal

Bukalapak juga dilaporkan telah mengajukan listing proposal ke Bursa Efek Indonesia (BEI), dan diperkirakan dapat terealisasi pada awal Agustus. Untuk itu, platform e-commerce ini menunjuk Mandiri Sekuritas dan UBS AG Indonesia sebagai underwriter untuk listing di dalam negeri.

Sementara itu, Bukalapak juga menunjuk Merrill Lynch untuk mengeksplorasi peluang go public di Amerika Serikat (AS). Rencana IPO di Indonesia diyakini sebagai upaya awalan sebelum mendarat di bursa saham AS yang berpotensi terjadi melalui kendaraan Special Purpose Acquisition Company (SPAC).

Selain Bukalapak, startup lainnya juga tengah menjajaki upaya serupa lewat kendaraan perusahaan cek kosong atau SPAC, seperti Traveloka, GoTo, Grab, dan Ticket.com. Bahkan pemerintah telah memberikan lampu hijau dengan menyiapkan sejumlah relaksasi. Salah satunya adalah menerbitkan saham kelas ganda (dual class share).

Dengan upaya IPO sebagai upaya mencari akses permodalan, Bukalapak ingin membidik target pasar yang lebih luas, yaitu ke wilayah-wilayah pedalaman. Hal ini juga dilakukan untuk menghindari head-to-head dengan dua pesaing terbesarnya Tokopedia dan Shopee yang lebih banyak menguasai pasar di kota-kota besar atau metropolitan.

Bukalapak juga melihat peluang di mana sebanyak 70% retailer di Indonesia adalah toko yang dikelola keluarga. Untuk membidik segmen ini, mereka telah bermitra dengan 500 ribu warung di Indonesia.

Terlebih di situasi pandemi Covid-19, tak sedikit pelaku bisnis dan merchant di Indonesia yang terpaksa mengalihkan layanannya ke online demi mempertahankan bisnis. Sejumlah platform e-commerce mendapatkan keuntungan dari akselerasi digitalisasi ini.

Dengan strategi tersebut, Bukalapak ingin mengadaptasi taktik online-to-offline (O2O) yang digunakan raksasa e-commerce Alibaba Group dan Amazon kepada pasar yang lebih matang. Di sini, pelanggan memiliki pilihan untuk menjelajah di toko fisik yang dikombinasikan dengan penawaran dari platform digital.

Application Information Will Show Up Here

Behind the Participation of Local Conglomerates in Grab’s Pre-IPO

Grab has officially announced to go public on the United States stock exchange using SPAC in collaboration with Altimeter Growth Corp ($AGC). Although it is not fixed on the finalization process, the market currently shows a positive response.

It is proven by the participation of several conglomerates in Indonesia to for the pre-IPO. There are three Indonesian representatives interested in participating through PIPE (Private Investment in Public Equity), Djarum Group, Sariaatmadja Family (EMTEK Group), and Sinar Mas Group. In total there are 14 investors involved in PIPE.

Grab is targeting $ 39.6 billion (around Rp.580 trillion) valuation and raising $500 million fresh fund from $AGC and $4 billion through PIPE. A total $750 million poured as Altimeter’s commitment.

The arrival of the three local conglomerates deserves attention, as they are also affiliated with various digital businesses in the ecosystem. We tried to make the outline through the following mind map :

The figure above shows an interesting (indirect) relationship. Each of them can be said to be affiliated with digital business leaders in Indonesia today – even though they are also competing in the same market share.

Apart from its own service, Grab in Indonesia is affiliated with Ovo (supported by the Lippo Group) – the local unicorn Tokopedia also owned shares in the payment platform. Regarding payments, Grab also involved in LinkAja’s funding, which Gojek is also part of. It implies that both superapps provide a payment option from the service formerly known as TCash.

Recently, Grab (via H Holdings) also reportedly entered into Emtek through PMTHMETD, along with Naver. It stirs up the rumors of the merger between Ovo and Dana – especially since the disclosure of Emtek that is no longer Dana’s main shareholder. Since 2019, Grab has been one of the parties that encouraged the merger of the two payment platforms.

In the loop of three Indonesian conglomerates that have joined PIPE, Grab has several strategic attachments in supporting startups operating in Indonesia. On the other hand, with its competitors [including the Gojek-Tokopedia merger plan] some of the investors are crossing path.

The entrance of Djarum, Emtek and Sinar Mas in the Grab IPO comes with two perspectives. First, there is activity in corporations to take a deeper share in working on the digital economy in Southeast Asia. Second, it is not impossible if even greater consolidation between players will occur at a later date – previously Grab-Gojek had been rumored to merge before the IPO.

Market enthusiasm for the Grab IPO can also set a good precedent for similar exit initiatives for other unicorns and take the digital ecosystem – particularly in Indonesia – to the next level. The success of their exit [unicorn] can be interpreted as business maturity and open the door of opportunities for the next unicorn-to-be.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian
Gambar Header: Depositphotos.com

Grab PIPE Konglomerat Indonesia

Memaknai Bergabungnya Beberapa Konglomerat Lokal di Pra-IPO Grab

Grab telah resmi mengumumkan rencananya untuk go public di bursa saham Amerika Serikat menggunakan SPAC bekerja sama dengan Altimeter Growth Corp ($AGC). Kendati belum ada kepastian kapan proses persiapan akan selesai, sejauh ini pasar menyambut cukup baik inisiatif ini.

Salah satunya dibuktikan dengan minat beberapa konglomerat di Indonesia untuk berpartisipasi dalam penawaran pra-IPO. Ada tiga pihak dari Indonesia yang tertarik berpartisipasi melalui PIPE (Private Investment in Public Equity), yakni Grup Djarum, Keluarga Sariaatmadja (Grup EMTEK), dan Grup Sinar Mas. Secara total ada 14 investor yang terlibat dalam PIPE.

Grab menargetkan valuasi $39,6 miliar (sekitar Rp580 triliun) dan perolehan dana segar $500 juta dari $AGC dan melalui PIPE senilai $4 miliar. Senilai $750 juta di antaranya merupakan komitmen Altimeter.

Masuknya tiga konglomerat lokal tersebut layak menjadi perhatian, pasalnya mereka juga telah terafiliasi pada berbagai bisnis digital di ekosistem. Kami mencoba memetakannya melalui mind map berikut ini:

Peta di atas menunjukkan hubungan (tidak langsung) yang menarik. Masing-masing bisa dikatakan terafiliasi dengan pemimpin bisnis digital yang ada di Indonesia saat ini – kendati juga bersaing di pangsa pasar yang sama.

Selain mengoperasikan layanannya sendiri, Grab di Indonesia terafiliasi dengan Ovo (didukung konglomerat Grup Lippo) – unicorn lokal Tokopedia juga memiliki saham di platform pembayaran tersebut. Terkait pembayaran, Grab juga terlibat dalam pendanaan LinkAja, yang mana Gojek juga melakukan hal yang sama. Implikasinya di kedua superapp tersebut kini ada opsi pembayaran dari layanan yang dulunya bernama TCash tersebut.

Baru-baru ini Grab (via H Holdings) juga dikabarkan masuk ke dalam kepemilikan saham Emtek melalui PMTHMETD, bersama dengan Naver. Membuat rumor rencana merger antara Ovo dan Dana makin kencang – terlebih berdasarkan keterbukaan saat ini Emtek bukan lagi jadi pengendali induk Dana. Sejak 2019 lalu Grab memang menjadi salah satu pihak yang mendorong penggabungan bisnis kedua platform pembayaran tersebut.

Bersama tiga konglomerat Indonesia yang masuk ke PIPE, Grab memiliki beberapa keterikatan strategis dalam mendukung startup yang beroperasi di Indonesia. Di lain sisi, dengan para kompetitornya [termasuk rencana gabungan Gojek-Tokopedia] sebenarnya masih ada irisan sama di barisan investor.

Masuknya Djarum, Emtek, dan Sinar Mas di IPO Grab sejauh ini dapat dipandang dari dua sisi. Pertama, adanya geliat pada korporasi untuk ikut andil lebih dalam lagi menggarap ekonomi digital di Asia Tenggara. Kemudian yang kedua, bukan tidak mungkin jika konsolidasi antarpemain yang lebih besar lagi akan terjadi di kemudian hari – sebelumnya memang sudah beredar kabar Grab-Gojek akan merger sebelum IPO.

Antusias pasar terhadap IPO Grab juga dapat menjadi preseden baik untuk inisiatif exit serupa bagi unicorn lainnya dan membawa ekosistem digital – khususnya di Indonesia – beranjak ke tingkatan selanjutnya. Keberhasilan exit mereka [unicorn] dapat diartikan sebagai kematangan bisnis dan terbukanya peluang untuk regenerasi calon unicorn selanjutnya.


Gambar Header: Depositphotos.com

Emtek is No Longer DANA’s Largest Shareholder

In the public disclosure of fourth quarter of 2020, Emtek Group (Emtek) revealed that it is no longer the controlling shareholder of PT Elang Andalan Nusantara (EAN). Currently, Emtek only owns 49% of EAN’s shares, down from 55% in the previous quarter.

PT Kreatif Media Karya (KMK), a subsidiary of Emtek, has sold 6% of EAN’s shares to an unnamed third party, on December 30, 2020 for IDR76 billion. 

Therefore, the EAN information and its subsidiaries, including DANA and Doku, will no longer be included in Emtek’s financial reports. Previously, DANA-related information is accessible for public, including DANA user funds and total assets.

EAN is a joint venture company owned by Emtek and Alibaba. Alibaba previously owned 45% of the company shares. During 2019-2020, Alibaba (via API Hong Kong) issued debt securities for EAN worth $110 million (approximately 1.6 trillion) which had been extended from 12 months to 24 months.

KMK, in February, has issued a convertible loan for EAN worth IDR154 billion.

This April, Emtek announced a new fund worth 9 trillion Rupiah, with $150 million (2.18 trillion Rupiah) of which came from Naver Korea.

Recent updates

The loss of Emtek’s main shares in the EAN also impacts in Doku (PT Nusa Satu Inti Artha) to no longer have updates. Emtek previously owned 50% of Doku’s shares through PT Pariwara Digital Media (PDM). PDM is now consolidated under EAN.

Another update is the addition of Bukalapak shares through two stages. However, the percentage of Bukalapak shares owned by Emtek is currently (34.39%) down (diluted) compared to the previous year due to the Series G funding round. Bukalapak has at least two funding announcement, led respectively by Microsoft and Standard Chartered Bank.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here