Tag Archives: Enteprise

Laporan Transformasi Digital Indonesia

Laporan DSResearch: Tren Inovasi dan Transformasi Digital di Korporasi 2020

Korporasi selalu dihadapkan dengan tantangan bisnis yang dinamis yang disebabkan oleh banyak faktor. Mulai dari kebiasaan konsumen yang berubah, relevansi produk/layanan, hingga disrupsi teknologi dari pemain baru. Kondisi tersebut membuat perusahaan harus gesit menyusun langkah-langkah transformatif kaitannya dengan strategi, model bisnis, tatanan organisasi, hingga digitalisasi.

Kondisi tersebut tentu juga dialami para korporasi di Indonesia. Untuk melihat bagaimana para perusahaan di Indonesia mengagendakan transformasi, DSResearch menyusun laporan bertajuk Laporan Transformasi Digital Korporasi 2020. Di dalamnya peneliti melakukan wawancara lebih dari 20 narasumber dari perusahaan berskala besar, baik di posisi C-Level maupun Mid-Level.

Adapun perusahaan yang disurvei dipilih lima sektor berbeda meliputi perbankan, keuangan non-perbankan, telekomunikasi, transportasi dan pariwisata, serta FMCG. Beberapa perusahaan tersebut termasuk BCA, Bank Mandiri, Zurich Insurance, Telkom, XL Axiata, Blue Bird, Garuda Indonesia, HM Sampoerna dll.

Selain membahas mengenai tren transformasi bisnis terkini, laporan ini banyak menampilkan studi kasus proses transformasi dari perusahaan-perusahaan yang menjadi narasumber. Peneliti menggunakan tiga komponen identifikasi untuk menemukan pola-pola transformasi yang dilakukan, meliputi komitmen pemangku kebijakan, perjalanan inovasi, dan produk inovasi; dibungkus dengan kerangka kerja yang relevan untuk pengukuran.

Berikut ini beberapa poin menarik yang dirangkum dalam laporan:

  • Di tingkat korporasi, penempatan transformasi bisnis difokuskan untuk dua hal, yakni peningkatan pangsa pasar atau pelayanan konsumen; dan pengembangan produk atau aset bisnis. Dimulai dari meningkatkan sumber daya yang sudah dimiliki, dilanjutkan dengan eksplorasi dan membuka peluang-peluang baru.
  • Covid-19 memberikan pukulan untuk beberapa jenis bisnis, utamanya di sektor transportasi dan pariwisata. Namun beberapa celah masih bisa dioptimalkan dengan baik, misalnya untuk bisnis logistik. Sementara untuk sektor lain seperti perbankan, pandemi menjadi momentum untuk adaptif dengan implementasi teknologi.
  • Di sektor perbankan, beberapa tahun terakhir kegiatan transformasi mengarah pada realisasi “open banking platform”. Pendekatan digital juga terus dimaksimalkan untuk meningkatkan pengalaman pengguna yang lebih baik. Kolaborasi dengan fintech juga makin dioptimalkan – misalnya dengan membuka layanan API untuk diintegrasikan oleh para pengembang aplikasi.
  • Perusahaan telekomunikasi di Indonesia tidak lagi hanya terpaku pada bisnis utama mereka, tapi juga mulai banyak mengeksplorasi peluang lain khususnya terkait layanan OTT. Namun tidak sedikit yang gagal. Pendekatan kolaboratif akhirnya dipilih dengan membentuk CVC, lab inovasi, atau program akselerasi.
  • Perusahaan FMCG sudah merasakan adanya disrupsi, namun kebanyakan belum memiliki komitmen yang serius untuk melakukan transformasi digital. Ditandai dengan tidak adanya roadmap digital atau sumber daya khusus yang disiapkan untuk mengarah ke sana. Mereka merasa masih cukup mengandalkan kanal-kanal distribusi yang sifatnya “terbuka”, seperti dengan menghadirkan lapak di platform online marketplace.

Selain itu, dalam laporan turut dirangkum tentang kultur organisasi, perjalanan inovasi, hingga inovasi teknologi dari tiap perusahaan yang menjadi narasumber, dilengkapi dengan contoh-contoh yang relevan. Selengkapnya, unduh laporan: Laporan Transformasi Digital Korporasi 2020 (versi Bahasa Indonesia) dan Corporate Digital Transformation Report 2020 (English version).


Disclosure: Dalam penyusunan white paper ini, DSResearch bekerja sama dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia (Kemkominfo)

Corporate Venture Capital as an Answer to the Disruption Era

In June 2010, UberCab has launched in San Fransisco for easier access to book a cab. Soon, the platform was getting popular in the area, although the fare was higher. Users are willing to pay more for efficiency.

Five months later, the company received seed funding worth $1.25 million from several investors. The brand changed into Uber following its decision to include other transportation besides taxi. In early February next year, Uber announced Series A funding of $11 million.

Settled with $60 million valuations, they finally had its grand launching in New York. The public expressed their enthusiasm with the new innovation, the big apple later become the early biggest market share in the US. Some taxi provider companies have issued an intervention, asking for the business legal.

In late 2011, Uber secured $32 million Series B funding, including Jeff Bezos. The international expansion begins, aimed at Paris. User’s feedback, on the fare and availability, has encouraged the company to release some variant products, including UberX for more affordable service.

Halfway to 2014, Uber made expansions to India and Africa. Along with the Series C investment worth of $258 million. Valuation exceeds $3.76 billion and the company is officially a unicorn. Next, they secured another investment worth of $1.2 billion in July 2016 and took the company to a decacorn valuation at $17 billion.

In brief, with the current business dynamics, including expansion, downsizing business, and follow on funding, they finally had an IPO in May 2019 in NYSE with a market capitalization reached $75.5 billion.

Based on the business journey, there are some points to be highlighted: (1) a rapid growth business, (2) disrupted business, (3) business with fantastic valuation growth.

“Disruption” term as a barrier

Uber business model is getting replicated by others, including Gojek with the local wisdom – in this case, ojek (two-wheeler) transportation. After running a business in a semi-conventional way since 2011, they finally launched the first app on the Android and iOS platforms on January 7th, 2015. It used to provide only transportation, instant courier and groceries.

Similar to Uber, the offered services are in high demand. Traction rise up now and then, as well as financial support from investors. It applies to the rejection issue, both the motorcycle taxi drivers and transportation companies had a hard time. Sometimes, the “pressure” comes from regulation, due to no legal umbrella to accommodate the business model, at that time.

It’s from the ride-hailing sector, the truth is new platforms (e-commerce, digital wallet, SaaS, online learning and so on) are created as a way to replace traditional businesses and it’s getting the hype as the increasing number of smartphone users in Indonesia. Suddenly the term “disruption” became the main topic in various news, public discussions, to scientific publications.

Some companies have passed the term and feel encouraged to follow the existing trends, in order to not be eliminated. In the end, the jargon “digital transformation” turned into a campaign. Businessmen massively go-digital, trying to adopt the latest technology to accelerate the business model. From the simplest as creating a social media account for marketing and applying the concept of data science to business.

Technology holds an important role in the disruption era. Moreover, it has the right medium to connect a service to its user, the computing devices – including smartphones. If not through the mobile apps, maybe the growth of Uber, Gojek, Tokopedia, Moka, Bridestory and other startups won’t be that fast.

Strategic partnership through investment

Some of the large companies with high demand in market share were made flustered by digital startups. As the few shopping centers said to be empty of visitors – and some reduce the number of outlets – after the booming e-commerce services in Indonesia. “Natural law” in business seems to start showing results: adapting or slowly dying.

Some retailers are trying to change their approach, for example, Matahari Department Store which finally released an e-commerce portal. Other shopping centers are starting to optimize application-based services, such as the GetPlus loyalty platform at Grand Indonesia. Its vision is to improve the customer experience. So far, the consumer sector is where the disruption impacted the most.

There are two options, to develop independently or collaborate with existing startups. Each option comes with implications. First, if you choose to build a digital foundation independently, you must invest in a variety of resources including infrastructure and experts. As for the second option, a strategic partnership can be one solution and most likely to be effective.

Digital transformation should be fast. Even technology is dynamically evolving. While corporate executives stay focused on improving the core business, they don’t think there’s enough time to create digital solution experiments. Digital products require some process in order to reach market-fit – research, market validation, and others.

Corporates can adjust the synergies with business vision of both. As for the companies in the financial sector, they can collaborate with fintech startups which appropriate to support business development. Companies in the insurance field can start cooperating with insurtech startups to increase the presence and easy access to public services.

After finding a suitable startup and they have proven product-market-fit, further cooperation is required for a more exclusive stage. One way is by giving investments – acquiring a few percent of ownership shares – to related startups. Furthermore, if this soon become a concern to the corporation, they can create a new venture capital sub-company.

Indonesian corporate venture capital

Corporate venture capital (CVC) usually takes form as a separate business unit (subsidiary) that is focused on channeling company investment funds to startups. It involves a strong team to do analysis and screening, in order to find startups that fit the company’s requirements.

CVC is getting popular in Indonesia, along with its achievements – both in terms of strategic partnerships to increase business or exit (IPO or acquired with a higher valuation value) as a mechanism for investors to get financial returns.

Daftar CVC di Indonesia

The investment focus is simple, each company explores the sectors with the highest potential to strengthen corporate lines. As an example, Central Capital Ventura from BCA, it’s targeting startups which provides access to financial convenience for consumers and businesses. The derivatives are quite diverse, ranging from credit platforms, financial technology supporting businesses, to insurance. Apparently, Astra International follows the rule, the company focuses on startups that empower automotive products, around transportation and logistics.

A bigger chance for growth-stage startups

After previously debuting with up to 3.5 trillion Rupiah managed funds. Recently, BRI has re-injected additional capital worth 500 billion Rupiah for BRI Ventures. In addition to increasing the portion of share ownership to 99.97%, it is expected to accelerate the subsidiary. Quite a fantastic number for a business kick-off in the new venture capital business.

Another CVC, Mandiri Capital Indonesia (MCI) has invested in 13 startups by the end of 2019. The CEO, Eddi Danusaputro said to have 50 billion Rupiah ready to be invested in other fintech startups. Their latest lead is the investment to the Halofina financial planning platform in the pre-series A.

The large value poured by corporations into the CVC is not random. From the existing trends, they are usually investing in startups at the growth stage. In this phase, startups are usually have proven the traction of the targeted market. As with Telkomsel Mitra Innovation (TMI), which was recently formed halfway to the end of last year, they made a debut investment to Kredivo’s series C.

A deeper approach was taken by the Telkom Group by establishing the Indigo Creative Nation’s integrated incubation and acceleration program. MDI Ventures is involved to invest in the startups graduated from the program.

More CVC to come

Although it’s not explicit, several companies reportedly participated as Limited Partners (LP) in venture capital. Acting as an LP means that they entrust the designated party to channel funds to the right startup, instead of forming their own team or subsidiary in processing investments from top to bottom.

Digital startups with the success story in demonstrating competitive value in the market and support for the current industry, are believed to attract more corporates involved in the ecosystem, specifically forming CVC. Aside from local case studies, overseas even world-class companies have also intervened in the ecosystem.

The latest news is that several other state-owned companies are also interested in forming a subsidiary in the field of venture capital. BNI and Pegadaian are said to be finalizing an investment strategy to strengthen the company’s business line.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Investasi ke startup dijadikan salah satu strategi transformasi digital perusahaan untuk tetap bisa kokoh di era disrupsi.

Modal Ventura Korporasi Jadi Cara Jitu Hadapi Disrupsi

Pada bulan Juni 2010, aplikasi UberCab diluncurkan di San Francisco untuk memudahkan masyarakat memesan taksi. Tak butuh waktu lama, platform tersebut populer di seluruh kawasan setempat, kendati tarif layanan yang dikenakan jadi lebih mahal. Pengguna mau membayar lebih untuk efisiensi yang didapat.

Lima bulan kemudian perusahaan mendapatkan pendanaan awal $1,25 juta dari sejumlah investor. Merek pun diubah menjadi Uber karena mengakomodasi jasa transportasi yang merangkul pengemudi di luar taksi. Februari awal tahun berikutnya, Uber umumkan pendanaan seri A $11 juta.

Mantap dengan valuasi $60 juta, mereka resmikan kehadiran di New York. Masyarakat antusias dengan layanan baru tersebut, bahkan di fase awal wilayah ini jadi pangsa pasar terbesar Uber. Beberapa perusahaan taksi mulai menyerukan penolakan keras, mempertanyakan legalitas bisnis.

Akhir tahun 2011, Uber amankan pendanaan seri B senilai $32 juta, termasuk dari Jeff Bezos. Ekspansi internasional pun dimulai, Paris jadi sasaran utama. Umpan balik dari konsumen, soal harga dan ketersediaan, membuat perusahaan merilis berbagai varian produk, termasuk UberX untuk opsi layanan terjangkau.

Pertengahan tahun 2013, Uber ekspansi ke India dan Afrika. Dibarengi dengan pendanaan seri C senilai $258 juta. Valuasi perusahaan tembus $3,76 miliar, resmi dapatkan gelar unicorn. Lalu Juli 2016 mereka dapatkan pendanaan baru lagi $1,2 miliar dan membawa perusahaan pada valuasi decacron $17 miliar.

Singkat cerita, dengan dinamika bisnis yang ada termasuk ekspansi, perampingan bisnis dan pendanaan lanjutan, pada Mei 2019 mereka melakukan IPO di NYSE dengan kapitalisasi pasar menyentuh $75,5 miliar.

Dari perjalanan bisnis tersebut, ada beberapa hal yang bisa digaris bawahi: (1) bisnis yang berkembang cepat, (2) bisnis yang mengganggu, (3) bisnis dengan pertumbuhan nilai fantastis.

Terminologi “disrupsi” jadi momok

Model bisnis Uber lalu banyak direplikasi, termasuk oleh Gojek dengan menyertakan kearifan lokal – dalam hal ini moda transportasi ojek. Setelah jalankan bisnis dengan cara semi-konvensional sejak tahun 2011, pada 7 Januari 2015 mereka perkenalkan aplikasi perdana di platform Android dan iOS. Waktu itu menyajikan layanan transportasi, kurir instan dan belanja.

Sama dengan Uber, layanan yang disajikan banyak diminati. Traksi melonjak tinggi dari waktu ke waktu, juga dukungan finansial dari investor. Pun demikian soal isu penolakan, baik oleh kalangan pengemudi ojek dan perusahaan transportasi, mereka juga sempat merasakannya. Bahkan beberapa kali mendapatkan “tekanan” regulasi, karena belum adanya payung hukum yang mengakomodasi model bisnis tersebut, waktu itu.

Itu baru dari ride-hailing, nyatanya masih terus bermunculan berbagai platform baru (e-commerce, digital wallet, SaaS, online learning dan lain sebagainya) yang coba menggantikan proses bisnis tradisional, juga mendapatkan sambutan luar biasa di tengah makin tingginya jumlah pengguna ponsel pintar di Indonesia. Sontak istilah “disrupsi” menjadi bahasan utama di berbagai pemberitaan, diskusi publik, hingga publikasi ilmiah.

Banyak perusahaan yang sudah melenggang sebelumnya merasa perlu untuk mengikuti tren yang ada, agar tidak tersingkir. Pada akhirnya jargon “transformasi digital” pun jadi ramai dikampanyekan. Pebisnis berbondong-bondong go-digital, mencoba mengadopsi teknologi terkini untuk mengakselerasi model bisnis. Dari yang paling sederhana seperti membuat akun media sosial untuk pemasaran, hingga menerapkan konsep ilmu data ke dalam bisnis.

Teknologi memiliki peran penting dalam disrupsi. Terlebih ia telah memiliki medium yang tepat untuk menghubungkan suatu layanan kepada penggunaanya, yakni perangkat komputasi – termasuk ponsel pintar. Jika tidak melalui aplikasi mobile, mungkin pertumbuhan Uber, Gojek, Tokopedia, Moka, Bridestory dan startup lainnya tidak secepat itu.

Kemitraan strategis melalui investasi

Banyak perusahaan besar yang sebelumnya moncer di pangsa pasar dibikin kalang kabut oleh startup digital. Sebut saja beberapa pusat perbelanjaan yang mengaku sepi pengunjung –dan sebagian mengurangi jumlah gerai—pasca booming layanan e-commerce di Indonesia. “Hukum alam” dalam bisnis tampaknya mulai tampakkan hasil: turut beradaptasi atau pelan-pelan mati.

Beberapa peritel mencoba mengubah pendekatan, misalnya Matahari Departement Store yang akhirnya merilis portal e-commerce. Pusat perbelanjaan lain mulai mengoptimalkan layanan berbasis aplikasi, seperti platform loyalty GetPlus di Grand Indonesia. Visinya pada peningkatan pengalaman pelanggan. Sejauh ini sektor consumer memang yang terlihat paling merasakan dampak disrupsi.

Pilihan memang ada dua, mengembangkan secara mandiri atau berkolaborasi dengan startup yang ada. Masing-masing punya implikasi. Pertama, jika memilih membangun pondasi digital secara mandiri, maka harus berinvestasi pada berbagai sumber daya termasuk infrastruktur dan pakar. Sementara untuk opsi kedua, jalinan kemitraan strategis dapat menjadi solusi, dan tampaknya jadi yang paling efektif untuk diadopsi.

Perubahan menuju ranah digital harus dilakukan secara cepat. Pasalnya teknologi itu sendiri berkembang sangat dinamis. Sementara eksekutif di korporasi harus tetap fokus pada peningkatan komoditas bisnis utamanya, merasa tidak punya waktu lebih untuk melakukan percobaan membuat solusi digital. Produk digital yang mencapai market-fit membutuhkan proses yang tidak sederhana – harus melakukan riset, validasi pasar, dan lain-lain.

Korporasi dapat menyesuaikan sinergi yang akan dibangun dengan visi bisnis yang dijalankan. Sebut saja untuk perusahaan di bidang finansial, mereka dapat merangkul startup fintech yang sesuai untuk mendukung pengembangan bisnis. Perusahaan di bidang asuransi, dapat mulai menggandeng startup insurtech untuk meningkatkan kehadiran dan kemudahan akses layanan ke publik.

Setelah menemukan startup yang sesuai dan mereka telah membuktikan product market-fit, selanjutnya dibutuhkan kerja sama untuk tahapan yang lebih eksklusif. Salah satunya dengan memberikan investasi –mengakuisisi beberapa persen kepemilikan saham—kepada startup terkait. Lantas jika inisiatif pengembangan kerja sama strategis ini menjadi perhatian khusus korporasi, pembentukan sub-perusahaan modal ventura dapat dilakukan.

Modal ventura korporasi di Indonesia

Modal ventura korpoarasi atau lebih dikenal dengan istilah corporate venture capital (CVC) umumnya berbentuk unit usaha terpisah (anak perusahaan) yang difokuskan untuk menyalurkan dana investasi perusahaan ke startup. Di dalamnya terdapat tim yang kuat untuk melakukan analisis dan penyaringan, guna menemukan startup yang sesuai dengan kebutuhan perusahaan.

Praktik pembentukan CVC mulai populer di Indonesia, seiring dengan kesuksesan yang berhasil ditorehkan – baik dalam bentuk kemitraan strategis dalam rangka peningkatan bisnis ataupun exit (IPO atau diakuisisi dengan nilai valuasi yang lebih tinggi) sebagai mekanisme investor dapatkan keuntungan finansial.

Daftar CVC di Indonesia

 

Fokus investasinya pun mudah dibaca, masing-masing mendalami sektor yang berpotensi untuk memperkuat lini korporasi. Ambil contoh Central Capital Ventura besutan BCA, portofolio yang disasar startup yang memberikan akses kemudahan finansial bagi konsumen maupun bisnis. Turunannya cukup beragam, mulai platform kredit, teknologi pendukung bisnis finansial, hingga asuransi. Pun demikian Astra Internasional yang fokus pada startup yang memberdayakan produk otomotif, seputar transportasi dan logistik.

Porsi lebih untuk startup tahap berkembang

Setelah sebelumnya debut dengan dana kelolaan hingga 3,5 triliun Rupiah. Beberapa waktu terakhir BRI kembali menyuntik modal tambahan senilai 500 miliar Rupiah untuk BRI Ventures. Selain untuk meningkatkan porsi kepemilikan saham menjadi 99,97%, diharapkan mampu mengakselerasi anak perusahaannya tersebut. Angka yang fantastis untuk kick-off bisnis modal ventura baru.

CVC lain, Mandiri Capital Indonesia (MCI) telah berinvestasi ke 13 startup hingga akhir tahun 2019. CEO Eddi Danusaputro menyebutkan di tahun ini mereka masih punya amunisi 50 miliar Rupiah untuk diinvestasikan ke startup fintech lainnya. Terbaru mereka pimpin pendanaan pengembang platform perencanaan keuangan Halofina dalam putaran pra-seri A.

Nilai besar yang dikucurkan oleh korporasi ke CVC bukan tanpa alasan. Dari tren pendanaan yang ada, rata-rata mereka berinvestasi untuk startup di tahap berkembang (growth stage). Di fase ini startup biasanya sudah mampu membuktikan traksi dari ceruk pasar yang disasar. Seperti halnya Telkomsel Mitra Inovasi (TMI) yang baru dibentuk pertengahan tahun lalu, debut investasi pada putaran seri C Kredivo.

Pendekatan yang lebih mendalam dilakukan Telkom Group dengan membentuk program inkubasi dan akselerasi terpadu Indigo Creative Nation. MDI Ventures dilibatkan untuk mendanai startup yang dinyatakan lulus dari program tersebut.

Diproyeksikan akan makin banyak CVC

Meskipun tidak secara eksplisit mengumumkan keterlibatannya berinvestasi ke startup, beberapa perusahaan dikabarkan turut menjadi Limited Partner (LP) di  venture capital. Bertindak sebagai LP artinya mereka mempercayakan kepada pihak yang ditunjuk untuk menyalurkan dana ke startup yang tepat, alih-alih membentuk tim atau anak perusahaan sendiri dalam memproses investasi dari hulu ke hilir.

Startup digital yang berhasil tunjukkan nilai kompetitif di pasar dan dukungannya terhadap industri yang sudah berjalan, diyakini akan menarik perhatian lebih banyak korporasi untuk terlibat ke dalam ekosistem, khususnya membentuk CVC. Selain studi kasus dari dalam negeri, sebenarnya di luar negeri pun perusahaan kelas dunia juga sudah turun tangan ke dalam ekosistem.

Kabar terkini beberapa perusahaan milik negara lain juga tertarik untuk membentuk anak usaha di bidang modal ventura. Bank BNI dan Pegadaian disebut-sebut tengah matangkan strategi investasi untuk perkuat lini binsis perusahaan.