Produsen drone asal Perancis, Parrot, kembali meluncurkan drone anyar di pertengahan tahun 2021 ini. Dijuluki Parrot Anafi Ai, drone ini punya satu keunikan yang jarang sekali bisa kita temukan pada drone lain, yakni konektivitas 4G.
Dalam kondisi normal, Anafi Ai berkomunikasi dengan remote control-nya via sambungan Wi-Fi seperti biasa. Namun setiap 100 milidetik, sebuah microprocessor yang tertanam di dalam Anafi Ai akan menganalisis kualitas koneksi wireless-nya. Kalau koneksinya jelek, drone otomatis akan berganti ke jaringan 4G yang terenkripsi.
Modul 4G-nya sendiri diklaim mendukung 28 pita frekuensi yang berbeda, atau dengan kata lain, kompatibel dengan 98 persen dari semua frekuensi yang digunakan di seluruh dunia. Berkat konektivitas 4G, Anafi Ai pada dasarnya bisa dioperasikan dari jarak sejauh apapun. Satu-satunya hal yang bisa menghambat hanyalah regulasi tiap-tiap negara — oh, dan tentu saja kekuatan sinyal 4G itu sendiri.
Untuk spesifikasi kameranya, Anafi Ai mengemas sensor 1/2 inci beresolusi 48 megapixel dan lensa f/2.0 dengan sudut pandang seluas 73°. Resolusi video maksimum yang dapat direkam adalah 4K 60 fps, sedangkan yang diteruskan ke pilot adalah video 1080p 30 fps. Kamera ini menggantung pada gimbal 6-axis (3-axis mechanical, 3-axis electronic) yang bisa mendongak atau menunduk hingga 90°.
Kalau mau diklasifikasikan, Anafi Ai merupakan drone enterprise yang dioptimalkan untuk keperluan autonomous photogrammetry, di mana drone akan menjepret sejumlah foto dari suatu lokasi untuk kemudian digabungkan menjadi satu model 3D. Dalam menjalankan tugasnya, Anafi Ai mengandalkan sepasang kamera stereoscopic yang diposisikan di depan dan belakang untuk mendeteksi sekaligus menghindari rintangan secara otomatis.
Dari segi fisik, Anafi Ai tampak cukup berbeda dari Anafi orisinal yang dirilis tiga tahun silam, dengan wujud yang banyak terinspirasi oleh seekor serangga. Dalam posisi terlipat, Anafi Ai tercatat memiliki dimensi 304 x 130 x 118 mm, sedangkan bobotnya berada di kisaran 898 gram. Sertifikasi IPX3 berarti fisik Anafi Ai bisa tahan terhadap cipratan air.
Anafi Ai mampu melesat dalam kecepatan maksimum 57 km/jam, sedangkan baterainya punya daya yang cukup untuk waktu mengudara selama 32 menit dalam sekali pengisian. Parrot sejauh ini belum punya jadwal rilis yang pasti untuk Anafi Ai selain “babak kedua 2021”. Banderol harganya juga belum diinformasikan, tapi semestinya jauh dari kata murah jika melihat posisinya sebagai produk enterprise.
Dua tahun lalu, industri consumer drone kedatangan satu pemain baru yang cukup ambisius. Mereka adalah Skydio, dengan produk perdananya yang bernama Skydio R1, yang betul-betul mengedepankan kemampuan kendali otomatis sampai-sampai Skydio sengaja tidak merancang unit controller buatnya.
Namun Skydio R1 bukanlah tanpa kekurangan. Yang paling utama, harganya kelewat tinggi: $2.500. Kedua, kualitas kameranya jauh di bawah drone sekelas. Ketiga, dimensinya masih tergolong bongsor jika melihat tren drone dengan desain foldable yang populer dalam beberapa tahun terakhir.
Setahun berlalu, Skydio 2 datang membenahi kekurangan-kekurangan tersebut. Harganya jauh lebih terjangkau ($1.000), kualitas kameranya jauh lebih superior, dan fisiknya menyusut sampai sekitar 50%. Meski demikian, sebenarnya masih ada beberapa hal yang bisa ditingkatkan lebih jauh lagi, seperti misalnya desain dari drone itu sendiri, sebab Skydio 2 memang belum menganut tren foldable.
Kekurangan itu akhirnya mereka benahi tahun ini. Mereka baru saja memperkenalkan Skydio X2 sebagai varian alternatif dari drone generasi keduanya. Spesifiknya, Skydio menempatkan X2 sebagai portable drone untuk kebutuhan komersial, mulai dari ranah bisnis sampai militer. Kata “portable” itu perlu disorot mengingat X2 akhirnya mengusung rancangan foldable dengan empat lengan yang bisa dilipat ke dalam ketika sedang tidak digunakan.
Selain desain yang lebih ringkas, ada beberapa peningkatan lain yang X2 bawa dibanding sepupu versi consumer-nya. Dari segi kemampuan mengudara, X2 ternyata jauh lebih efisien, mampu beroperasi sampai 35 menit nonstop (Skydio 2 cuma 23 menit), dan jarak transmisi sinyalnya naik nyaris dua kali lipat menjadi 6,2 kilometer.
Kalau melihat wajahnya, tampak bahwa ia dibekali dua kamera utama. Satu merupakan kamera thermal FLIR Boson dengan resolusi 320 x 256 pixel yang diklaim 4x lebih tajam ketimbang kamera thermal milik DJI Mavic 2 Enterprise. Satu lagi adalah kamera biasa beresolusi 4K.
Kamera biasanya ini cukup istimewa, sebab ia dapat ditandemkan dengan enam kamera navigasi pada X2 dan guna mewujudkan fitur yang Skydio sebut dengan istilah “360 Superzoom”. Ya, X2 mampu menampilkan gambar 360 derajat sekaligus kemampuan zoom hingga sejauh 100x, semuanya lengkap dengan electronic image stabilization.
Berhubung drone ini bakal banyak digunakan untuk misi penyelamatan maupun tugas-tugas inspeksi lainnya, fungsionalitas tentu jauh lebih penting ketimbang kualitas visual. Kemampuannya menggambarkan keadaan di sekitarnya dari segala sudut (360°) sekaligus memperbesarnya secara ekstrem tentu bakal menjadi nilai jual ekstra di segmen drone komersial.
Setiap unit Skydio X2 datang bersama Skydio Enterprise Controller. Dari namanya sudah kelihatan bahwa remote ini ditujukan buat kalangan profesional, dan sesuai dengan keadaan di lapangan, kontrolnya sengaja dibuat agar mudah dioperasikan meski pengguna sedang memakai sarung tangan.
Selain diterbangkan secara manual, tentu saja X2 mendukung kapabilitas otonom yang sangat komprehensif, dan di sini fitur-fitur pengendalian serba otomatis itu bakal berjalan secara harmonis dengan kontrol manual. Contoh yang paling gampang, seorang pilot bisa menerbangkan X2 selagi memperhatikan bagian atasnya saja, dan X2 sendiri yang akan menghindari rintangan-rintangan di depannya.
Belum diketahui berapa harga yang ditetapkan untuk Skydio X2, tapi semestinya tidak akan lebih murah dari $1.000 (harga Skydio 2). Di Amerika Serikat, pemasarannya dijadwalkan berlangsung mulai kuartal keempat tahun ini.
DJI belum lama ini kembali menetapkan standar baru di segmen consumer drone lewat Mavic Air 2. Selang beberapa hari setelahnya, segmen enterprise drone pun juga ikut mereka kejutkan lewat DJI Matrice 300 RTK (M300 RTK).
Tidak butuh waktu lama bagi M300 RTK untuk mendarat di Indonesia. Lewat sebuah sesi webinar di Zoom, Halo Robotics selaku distributor resmi produk-produk DJI Enterprise di Indonesia, secara resmi memperkenalkan M300 RTK sekaligus seri kamera hybrid Zenmuse H20.
Ada banyak inovasi mencengangkan yang ditawarkan oleh quadcopter berwajah industrial ini, terutama saat disandingkan dengan seri kamera Zenmuse H20 tersebut. Namun sebelumnya, saya akan bahas lebih dulu beberapa peningkatan secara umum yang diusungnya dibanding pendahulunya, Matrice 210 RTK.
Yang paling utama adalah waktu mengudara yang lebih lama, tepatnya sampai 55 menit dalam sekali pengisian. Baterainya pun hot-swappable, yang berarti dapat dilepas-pasang dengan mudah tanpa harus membongkar drone. Pihak Halo Robotics tak lupa menjelaskan bahwa paket penjualan M300 RTK sudah mencakup battery station berwujud seperti koper yang bisa menampung dan mengisi ulang 8 unit baterai sekaligus.
Jarak maksimum transmisi videonya juga meningkat drastis menjadi 15 kilometer. Ya, sampai sejauh itu M300 RTK dapat meneruskan video 1080p ke pilotnya. Saking jauhnya, bukan tidak mungkin ada perbedaan cuaca antara titik terbang drone dan titik berdiri sang pilot. Namun konsumen tak perlu khawatir mengingat bodi M300 RTK secara keseluruhan tahan air dan debu dengan sertifikasi IP45.
Lebih lanjut mengenai aspek keselamatan penerbangan, M300 RTK dibekali sederet sensor di enam sisinya (depan-belakang, kiri-kanan, atas-bawah). Bukan cuma sensor visual saja, melainkan juga sensor ToF (Time of Flight) sehingga drone bisa mendeteksi berbagai objek di sekitarnya secara lebih akurat sampai sejauh 40 meter.
Nyaris semua komponen yang ada di dalam M300 RTK – inertial measurement unit, barometer, kompas, bahkan antena RTK (Real-Time Kinematic) – berjumlah dua, dan ini berguna demi memastikan drone tetap operasional meski ada satu komponen yang tiba-tiba rusak. Juga menarik adalah bagaimana M300 RTK disebut mampu melakukan pendaratan darurat dengan baik meski salah satu rotornya macet.
M300 RTK dapat dikendalikan oleh dua pilot sekaligus. Ini berguna dalam program pelatihan, sehingga pilot pelatih bisa langsung mengambil alih kendali saat pilot yang dilatih melakukan kesalahan. Dalam skenario lain, semisal untuk menginspeksi jaringan pipa gas yang luar biasa panjang, yang mungkin terlalu panjang untuk rute pergi-pulang drone dalam sekali pengisian baterainya, drone bisa lepas landas di titik A bersama pilot A, lalu mendarat di titik B bersama pilot B.
Modul kamera hybrid Zenmuse H20 Series
M300 RTK sanggup menggotong tiga modul payload sekaligus (dua di bawah, satu di atas), dengan catatan total beratnya tidak lebih dari 2,7 kilogram. Modul lama seperti Zenmuse XT2 dipastikan kompatibel, akan tetapi tandem sejati M300 RTK sebenarnya adalah Zenmuse H20 Series yang diluncurkan secara bersamaan.
Ada dua model yang ditawarkan: H20 dan H20T. H20 dibekali tiga sensor sekaligus: 12 megapixel dengan lensa wide-angle, 20 megapixel dengan 23x hybrid optical zoom, dan laser rangefinder dengan jarak maksimum 1.200 meter. H20T mengemas tiga sensor tersebut ditambah satu kamera thermal beresolusi 640 x 512 pixel 30 fps.
Duet M300 RTK dan Zenmuse H20 Series ini mewujudkan sejumlah fitur cerdas yang jujur membuat saya agak geleng-geleng kepala (tidak percaya) saat mendengar penjelasannya. Kita mulai dari yang paling sepele, yakni fitur PinPoint. Fitur ini memungkinkan drone untuk menandai subjek di tampilan kamera sekaligus merekam data lokasinya (koordinat) secara presisi.
Data lokasi ini bisa langsung dikirimkan ke tim darat sehingga mereka bisa langsung mengambil tindakan, sangat berguna dalam misi-misi penyelamatan. Selanjutnya ada fitur Smart Track, yang memungkinkan drone untuk mendeteksi dan mengikuti objek bergerak dari jarak amat jauh. Istimewanya, dua fitur ini bahkan bisa berfungsi di kegelapan berkat sistem night vision.
Namun fitur favorit saya adalah Live Mission Recording. Saat fitur ini diaktifkan, drone akan merekam seluruh input pengendalian, mulai dari tingkat ketinggian sampai koordinat titik terbangnya, tidak ketinggalan juga pengaturan kameranya. Selesai direkam, drone bisa mengulangi sesi tersebut secara identik.
Ini berguna saat hendak melakukan inspeksi rutin yang terkesan repetitif namun membutuhkan level presisi yang tinggi. Operator cukup melangsungkan inspeksi awalnya satu kali, kemudian sisanya biarkan drone berjalan secara otomatis di inspeksi kedua, ketiga, keempat dan seterusnya.
Tidak kalah menarik adalah fitur AI Spot Check, di mana pilot bisa menandai bagian dari foto yang diambil, dan selanjutnya drone dapat ditugaskan untuk mengambil gambar persis di bagian tersebut secara otomatis. Lagi-lagi sangat berguna untuk keperluan inspeksi rutin.
Saat ditanya mengenai harganya, pihak Halo Robotics menjelaskan bahwa DJI melarang publikasi harga produk enterprise-nya secara umum. Namun mereka memastikan bahwa harganya tidak berbeda jauh dari kisaran harga seri Matrice selama ini.