Tag Archives: entrepreneurship skill

Untuk mengatasi isu kewirausahaan di Australia, Universitas Melbourne menciptakan program Master of Entrepreneurship

Bagaimana Australia Melatih Anak Muda Merintis Startup dari Bangku Kuliah

Jiwa kewirausahaan (entrepreneurship) bukanlah talenta yang sudah ada sejak lahir. Hal ini adalah sesuatu yang perlu dibangun sejak awal. Begitupun saat merintis startup, pengusaha perlu kesabaran dan keuletan yang ekstra agar perusahaan bisa tetap berkembang lebih jauh.

Kehadiran banyaknya startup di Indonesia bisa dikatakan sebagai suatu kelebihan yang patut dibanggakan. Namun yang perlu dipertanyakan apakah sebagian besar startup founder tersebut memiliki jiwa entrepreneurship yang bisa membuka lapangan pekerjaan?

Untuk menjawab pertanyaan ini, mungkin kita semua bisa berkaca dengan apa yang dilakukan Universitas Melbourne, Australia. Kampus ini membuat program Master of Entrepreneurship sebagai bagian dari program pascasarjana untuk Melbourne Business School dan Melbourne School of Engineering.

DailySocial dan beberapa media lain yang diundang Kedutaan Besar Australia untuk mengikuti Digital Indonesia Media Visit. Kami mendatangi kampus tersebut dan bertemu dengan Program Director Master of Entrepreneurship Colin McLead. Dia banyak menjelaskan perihal program ini dan bagaimana kondisi jiwa entrepreneurship terkini di Australia.

Kaya inovasi, minim jiwa entrepreneurship

Sebelum membuat program ini, McLead bercerita bahwa Australia memiliki inovasi yang termutakhir di dunia, di antaranya adalah Wi-Fi, Penicilin, Google Maps, mesin ultrasound, dan sebagainya. Dari berbagai survei yang digelar banyak lembaga, seperti World Economic Forum (WEF), menobatkan kampus di Australia menduduki peringkat keenam paling diminati sedunia pada 2014-2015.

Di saat yang bersamaan, Australia sedikit terbelakang dari segi komersialisasi bisnis. Bisa dilihat dari database The Global Entrepreneurship Monitor menyebut aktivitas entrepreneur menempatkan Australia ada di peringkat ke 44.

Ini menjadi masalah, karena menurut McLead, dari total pekerja, hanya 20% orang yang memiliki jiwa entrepreneurship. Dalam artian, hanya mereka yang mampu menyediakan lapangan pekerjaan baru untuk orang lain. Sementara 80% lainnya adalah self employment (wirausaha), mereka menciptakan bisnis baru dengan meniru usaha yang sudah ada.

Self employment itu tidak bagus karena hanya bisa copy model bisnis yang sudah ada, jadi jiwa inovasinya dan entrepreneurship-nya sangat kurang di Australia,” ucapnya, Senin (26/11).

Dalam membangun perusahaan itu butuh kemampuan soft skill dan hard skill yang semuanya tidak datang secara instan atau talenta yang ada sejak lahir. Menurut hasil survei yang ia kutip, melihat dari faktor pemicu, jiwa entrepreneurship itu lahir karena ada peluang pasar (17,7%), sumber daya manusia (14,1%), produk (13,6%), pemasaran (10,9%), dan R&D (7,8%).

Aada masalah klasik yang sering dihadapi, yakni dari sumber daya manusia (25,6%), peluang pasar (13,1%), likuiditas (10,7%), operasional manajerial (9,5%), dan manajerial C-level (7,7%).

Masalah tersebut memicu terjadinya lima ketakutan yang enggan dihadapi para pengusaha. Urutan pertama ditempati oleh likuiditas (16,4%), peluang pasar (14,4%), lingkungan kerja (14,4%), manajerial C-level (12,5%), dan SDM (11,5%).

Seluruh survei di atas bermuara pada isu manajerial yang sebenarnya adalah esensi jiwa entrepreneurship saat membangun startup. Mengacu pada sistem manajemen startup tahap awal di Amerika Serikat, manajerial itu mengikat pada setiap unsur perusahaan, mulai dari perencanaan finansial, evaluasi finansial, SDM, perencanaan strategis, dan manajemen pengembangan produk.

Entrepreneurship itu bukan talenta unik, tapi adalah set keterampilan yang bisa diajarkan.”

Membiasakan diri menerima kegagalan

McLead menjelaskan program pascasarjana Master of Entrepreneurship ini lebih menitikberatkan pada unsur praktek daripada sisi teori saja. Ada 12 mata kuliah yang harus mereka ikuti.

Di semester pertama, mahasiswa akan mendapat lima seminar kuliah selama lima hari dalam seminggu. Belajar segala sesuatu tentang merintis startup, kemudian bertemu dengan para enterpreneur, pebisnis, dan investor.

McLead memastikan program pascasarjana ini berbeda dengan apa yang diterima apabila mengikuti inkubator atau akselerator. Pada dasarnya kedua program tersebut hanya bersifat jangka pendek dan memiliki fokus yang lebih spesifik.

Setiap mahasiswa akan memiliki mentor yang akan mendampingi setiap kegiatan mereka. Dalam satu tahun masa pendidikan, mahasiswa akan diajarkan belajar dari kegagalan dari setiap praktek yang mereka kerjakan.

Mmereka diwajibkan untuk membuat tiga startup dan belajar merintis dari ide awal hingga mapan. Bila satu gagal, belajar lagi untuk bentuk baru entah harus dari awal atau melakukan pivot bisnis. Sebab bagian tersusah adalah bagaimana meyakini orang untuk membeli produk yang dibuat.

“Tidak hanya itu dalam sesekali kami membuat mereka untuk memakai kostum yang tidak sesuai dengan pribadi masing-masing buat mencerminkan bahwa dunia startup itu penuh dengan ketidakpastian dan mereka harus terbiasa dengan itu.”

Kalau semua startup yang dibangun gagal, mahasiswa tetap bisa lulus dengan persyaratan dia belajar dari kesalahan. Sebab esensi yang ingin disampaikan, kampus adalah tempat untuk membangun keterampilan, bukan membangun startup yang sukses.

Jika startup yang dibangun sukses bisa menjadi titik lompatan untuk ditekuni lebih dalam agar bisa memberikan dampak buat masyarakat luas. Tentunya ada peluang mendapatkan investasi dari para VC atau angel investor yang tertarik.

“Sehingga ketika mereka masuk ke lapangan, ada harapan untuk merintis karir lebih cepat dan tidak melakukan kesalahan saat menghadapi masalah yang sama saat duduk di bangku kuliah.”

Program ini sudah berjalan sejak 2016 dan fokus mendidik kurang dari 40 orang tiap tahunnya. Salah satu startup jebolan Universitas Melbourne adalah MimicTec, bergerak di agritech membantu produktivitas hewan unggas dan kesejahteraan hewan di Australia.

MimicTec sudah beberapa kali mendapatkan pendanaan, terakhir senilai AU$200 ribu dari Accelerating Commercialisation and AusIndustries pada November 2017. Perusahaan kini bergabung dalam program Wade Inc dan masuk co-working studio di Wade Institute yang ada di dalam alumni Master of Entrepreneurship.

Untuk angkatan tahun ini, ada sebanyak 25 orang yang bergabung. Satu di antaranya adalah orang Indonesia. Dari situ mereka membuat 16 startup, namun hanya setengahnya yang memutuskan untuk menyeriusinya ke tahap lebih lanjut.

Tiga Tips Mengatasi ‘Wantrepreneurship’ Demi Berkarier sebagai Pemilik Startup

Dulu cita-cita terus di kewirausahaan dipandang menjadi hal yang sangat baik, karena dampak positifnya tidak hanya dirasakan untuk diri sendiri, melainkan orang di sekitarnya yang terlibat. Namun kini maknanya mulai bergeser, kendati banyak  wirausahawan yang menemui titik kesuksesan tertingginya. Ini menggiring banyak orang awam yang ingin mengikuti jejaknya, tapi hanya sekadar menjadi wantrepreneur.

Orang-orang di golongan ini sepertinya hanya peduli dengan kehidupan mewah, akun sosial media yang penuh dengan gambar dari apa yang mereka sebut “kehidupan startup.” Esensinya bukan di situ. Masalahnya, wantrepreneurs tampaknya tidak peduli dengan bentuk kesuksesan yang akan mereka dapatkan nantinya. Sebaliknya, mereka hanya peduli dengan apa yang dimiliki sekarang ini.

Jika ingin membuktikan bahwa Anda bukan termasuk golongan wantrepreneur, artikel ini akan membahas tips apa saja yang perlu dilakukan untuk mengejar passion di dunia kewirausahaan.

Jika ingin sesuatu, segera wujudkan

Ada berapa banyak wantrepreneur yang menghabiskan seluruh waktunya untuk menciptakan produk, yang menurut mereka adalah hadiah terbesar bagi umat manusia, lalu kecewa dan mengeluh saat tidak ada yang membelinya?

Alih-alih melakukan itu, wantrepreneur justru hanya duduk-duduk saja dan melakukan hal-hal yang menurut mereka mudah. Padahal selayaknya jika membutuhkan sesuatu Anda harus melakukan apa pun untuk mewujudkannya.

Salah satu cara untuk mewujudkan target adalah menyusunnya dalam secarik kertas. Pertama, tuliskan tujuan Anda dan langkah paling logis yang bisa membawa Anda menuju ke tujuan tersebut. Jangan berpikir berlebihan.

Kemudian, untuk setiap tujuan tentukan kriteria utama dan usahakan tetap obyektif. Faktor terbaik adalah mempertimbangkan dari dampak dan peluang keberhasilannya. Ambil tiga sasaran teratas dan mulai membuat rencana untuk masing-masing.

Setelah itu, kerjakan rencana tersebut dan buat slot waktu untuk menyelesaikannya. Dalam posisi ini, sangat sulit untuk tidak multitasking. Ini bisa diakali dengan menerapkan sikap disiplin untuk tidak melakukan apa pun, selain pekerjaan yang sudah diplot oleh agenda sebelum waktunya selesai.

Berhenti meragukan setiap keputusan

Ada banyak orang yang menghabiskan banyak waktu untuk semaksimal mungkin sebelum perusahaan startupnya resmi berdiri, namun akhirnya gagal. Bahkan, sudah terlanjur gagal sebelum memulainya.

Setiap keputusan tertentu dirasa terlalu sulit, cobalah ingat bahwa keraguan tersebut terjadi karena Anda kurang pemahaman tentang segala konsekuensinya. Untuk itu luangkan waktu untuk melangkah mundur. Cobalah untuk memvisualisasikan aspek atas dan bawah untuk seluruh keputusan Anda. Serta jangan takut untuk menuliskan konsekuensi yang paling ekstrem.

Tidak mudah menyerah

Ketika wantrepreneur gagal, mereka dengan gampang akan menyerah. Sebab bagi mereka, menjadi pengusaha adalah pakaian yang dipakai, bukan menunjukkan siapa jati dirinya.

Hidup Anda akan banyak dihadang dengan berbagai tantangan saat memilih menjadi pengusaha. Ini adalah bagian yang membedakan Anda dengan wantrepreneur.

Banyak yang mengatakan menjadi pengusaha pada masa ini lebih mudah dibandingkan sebelumnya. Untuk beberapa aspek memang benar, tapi citra ini sudah melemahkan apa artinya menjadi pengusaha yang suka berpuas diri dan berwawasan luas. Untuk menghilangkan suara wantrepreneur yang mengejar gaya hidup seperti pengusaha, fokuslah pada hal yang terpenting dan berusahalah untuk mewujudkannya.

Empat Pertanda Buruk Anda Bukan Entrepreneur Sejati, Hanya Sekadar “Wantrepreneur”

Istilah entrepreneur sudah umum didengar, sebuah profesi yang membuat banyak pebisnis mandiri menelan ludah sendiri saat menghadapi ketakutan dan risiko saat menjalani bisnisnya sendiri. Berbeda dengan “wantrepreneur” yang konotasinya sedikit lebih negatif.

Seorang wantrepreneur pada dasarnya adalah orang yang ingin menjadi entrepreneur, banyak membicarakan ini itu dan mimpi memiliki bisnis tapi tidak pernah benar-benar mengikuti rencana mereka. Bila diringkas, wantrepreneur itu selalu mencari alasan apapun kondisinya. Di sisi lain, entrepreneur itu membangun bisnis.

Jika Anda ingin menghilangkan title wantrepreneur dan benar-benar ingin membangun bisnis, maka Anda harus hilangkan kebiasaan buruk yang bisa merusak aspirasi bisnis Anda.

Artikel ini akan membahas lebih jauh pertanda buruk dari wantrepreneur apa saja yang perlu Anda hilangkan untuk menjadi pengusaha sejati. Berikut rangkumannya:

1. Banyak berbicara, tidak akan aksi

Ketika memulai bisnis, sangat mudah untuk berandai-andai ide muluk tanpa melakukan tindakan nyata. Daripada melamun, lebih baik Anda ambil langkah nyata untuk merealisasikan mimpi.

Anda fokuskan pada item penting apa saja yang perlu Anda lakukan untuk membangun bisnis. Ini lebih baik daripada memikirkan semua potensi-potensi yang bisa Anda lakukan.

Kemudian, lakukan validasi ide dengan mencari konsumen pertama Anda sesegera mungkin. Tidak ada gunanya menyimpan ide bagus untuk diri sendiri, segera jual produk atau layanan cemerlang untuk hadir di pasaran.

2. Terlena dengan konten media sosial

Terlalu banyak membaca artikel di media sosial yang memberi tahu Anda betapa pentingnya media sosial sebagai kunci kesuksesan bisnis, akan membuat Anda jadi terlena.

Anda akan melupakan kunci penting bahwa media sosial bukanlah strategi pertumbuhan dan menggunakan setiap media sosial setiap hari tidak akan membuat bisnis jadi hancur. Lagipula, menghabiskan ongkos untuk beriklan di media sosial tidak akan berhasil bila Anda tidak memiliki produk yang valid dan dibutuhkan oleh pasar.

Daripada Anda tersedot di ranah media sosial, cobalah batasi berbagai distraksi terutama selama jam kerja. Buatlah rencana untuk merilekskan diri, jika perlu jelajahi situs favorit Anda.

Anda juga perlu membuat jadwal membalas email dan usahakan tidak perlu menjadi orang yang multi tasking. Dengan demikian Anda akan tetap fokus mengerjakan pekerjaan dan meminimalisir terjadinya kesalahan.

3. Mendengarkan ucapan semua orang

Melalukan profesi yang kurang umum seperti pemilik usaha seringkali menjadi buah bibir di kalangan Anda. Daripada membiarkan banyak suara dan negatif menginfeksi semangat kewirausahaan Anda, abaikan saja. Orang yang sebaiknya Anda dengarkan adalah konsumen Anda sendiri.

Kendati demikian, untuk memahami peran kecerdasan emosional demi kesuksesan bisnis, mendengar suara negatif dapat membantu Anad fokus pada hal-hal yang perlu diperbaiki.

4. Menunggu waktu “tepat”

Anda akan selalu bisa menemukan alasan bagus untuk menunda impian Anda dalam tiap harinya. Menjadi entrepreneur itu membutuhkan banyak keberanian dan keberanian itu menuntut tindakan, bahkan bila waktunya tidak terasa 100% benar.

Satu-satunya cara untuk mencapai visi Anda adalah dengan mencobanya, belajar dari kesalahan, dan terus bekerja. Begitu Anda mengambil langkah pertama yang menakutkan itu, Anda sudah mulai membantu momentum, membuat setiap tindakan ke depannya berturut-turut jadi lebih mudah.