Tag Archives: entruv

Esports PUBG Mobile: Antara TPP vs FPP dan Map Vikendi yang Ditiadakan

Diskusi seputar bagaimana PUBG, juga versi mobile-nya, dipertandingkan dan ditayangkan sepertinya masih menjadi diskusi hangat yang patut untuk dibahas. Saya jadi terpikir untuk kembali membahas ini setelah Tencent memutuskan untuk menghapus map Vikendi dari daftar map yang dipertandingkan di turnamen PMCO 2021 nanti. Berangkat dari sana, saya pun ingin membuka diskusi apakah format pertandingan PUBG Mobile sekarang sudah ideal?

 

Berbagai Kritik Ketika Battle Royale PUBG Menjadi Esports

Membincangkan esports PUBG Mobile terasa kurang lengkap tanpa berbicara bagaimana PUBG (PC) sendiri berangkat jadi esports. ESL Gamescom PUBG Invitational di tahun 2017 mungkin bisa dibilang sebagai bibit awal perkembangan PUBG menjadi esports. Sejak saat itu, turnamen demi turnamen pun muncul hingga PUBG Global Invitational pun hadir sebagai puncak esports PUBG pertama. Pada proses perkembangannya menjadi esports, banyak yang mengkritis soal kemunculannya.

Saya ingat sempat membaca beberapa artikel yang mengkritisi soal metode penayangan PUBG yang cenderung sulit karena banyaknya aksi yang bisa terjadi di dalam satu waktu. Ada juga yang mengkritisi soal format pertandingan PUBG yang cenderung membuat pertandingan jadi mudah ditebak. Ada juga yang mengkritisi soal PUBG yang bisa jadi mimpi buruk bagi operator turnamen esports karena harus menyediakan 64+ komputer di dalam satu turnamen LAN. Terlepas dari semua kritik, turnamen PUBG Global Invitational jadi pembuktian oleh sang pengembang dan berhasil menarik hampir 760 ribu peak viewers dengan total konsumsi hampir mencapai 9,2 juta jam.

Sumber Gambar: PUBG Esports Official
Panggung megah PUBG Global Invitational 2018. Sumber Gambar – PUBG Esports Official

PUBG Mobile pun mulai muncul ke permukaan pada Maret 2018 lalu. Mengikut kesuksesan pendahulunya, Tencent selaku penerbit PUBG Mobile pun mulai membangun ekosistem esports sedikit demi sedikit. Pada masanya, jenjang turnamen PUBG Mobile terbilang agak… acak-acakan. Bahkan, turnamen PUBG Mobile tingkat dunia ternyata sudah 4 kali berganti nama dari tahun 2018 sampai 2021 ini. Ada PMSC yang dimenangkan RRQ Athena di tahun 2018, lalu ada PMCO Global Finals yang dimenangkan Bigetron RA pada tahun 2019, kemudian berganti jadi PMWL East dan West di tahun 2020 kemarin, dan terakhir adalah PMGC 2020 yang sedang berjalan saat ini.

Tahun 2018 terbilang jadi masa eksplorasi bagi esports PUBG ataupun PUBG Mobile. Keduanya mencoba menghadirkan dua format pertandingan yaitu TPP (Third-Person Perspective) dan FPP (First-Person Perspective). Setelah satu tahun berjalan, dua game tersebut berpisah jalan dan menggunakan cara bertanding yang berbeda. Esports untuk PUBG di PC hanya mempertandingkan mode FPP saja sementara esports PUBG Mobile hanya mempertandingkan mode TPP saja.

Secara gameplay, PUBG di PC yang cenderung lebih realistis memang terbilang cocok menggunakan mode FPP yang imersif. Apalagi pemain game shooter di PC juga cenderung terbiasa bermain dengan sudut pandang first-person. Sementara pada sisi PUBG Mobile yang cenderung lebih arcade juga cocok menggunakan mode TPP. Apalagi juga mengingat kecilnya layar smartphone yang bisa membuat pemain kesulitan apabila dipaksakan berkompetisi dengan mode FPP; walaupun mode tersebut sebenarnya tersedia di dalam game.

Dengan pembedaan tersebut, dua game tersebut seolah berkembang menjadi dua dunia yang berbeda walau sebenarnya berasal dari satu IP (Intellectual Properties) yang sama. Walau begitu, perdebatan antara mode TPP atau FPP untuk esports PUBG Mobile sepertinya tidak berhenti sampai situ saja. Ketika PUBG berkembang menjadi esports dengan format liga, Tiongkok juga punya liganya sendiri yang diberi nama sebagai Peacekeeper Elite League. Peacekeeper Elite sendiri adalah nama game PUBG Mobile versi Tiongkok yang sudah di-rebrand dan diubah pada beberapa aspek agar menyesuaikan kebijakan pemerintah Tiongkok seputar konten kekerasan di game.

Liga Peacekeeper Elite League (PEL) dipertandingkan dengan menggunakan mode FPP. Bahkan berdasarkan dari beberapa informasi, Peacekeeper Elite League dipertandingkan dengan menggunakan Hardcore Mode yang artinya tidak ada indikator visual terkait suara langkah kaki atau suara tembakan di map, tidak ada kendali otomatis untuk looting, reload, ataupun membuka pintu. Kalau tim Peacekeeper Elite League hanya bertanding di Tiongkok saja, hal tersebut mungkin jadi tidak masalah. Namun demikian, tim-tim Peacekeeper Elite League ternyata juga turut bertanding di dalam turnamen PUBG Mobile tingkat internasional seperti PMWL ataupun PMGC 2020 yang sedang berlangsung.

Jadi sebenarnya bagaimana seharusnya PUBG Mobile dipertandingkan? Mari coba kita diskusikan dari aspek mode permainan dan map yang dipertandingkan.

 

Mode Untuk Esports, TPP atau FPP?

Diskusi soal TPP atau FPP sepertinya akan menjadi diskusi yang tidak kunjung habis dibahas dalam membicarakan esports PUBG Mobile. Pada ekosistem esports PUBG di PC, kebanyakan pihak akhirnya sepakat bahwa mode FPP menjadi mode yang cocok untuk esports. Namun pada sisi lain, dua mode ini sepertinya masih menjadi perbincangan jika kita bicara esports PUBG Mobile. Apalagi juga mengingat liga lokal Tiongkok yang ternyata bertanding dengan metode yang berbeda.

Menurut opini dari pengamatan saya pribadi, saya sebenarnya kurang setuju dengan mode TPP sebagai pertandingan esports PUBG Mobile. Ada beberapa alasan kenapa TPP masih kurang tepat dijadikan mode esports sampai sekarang.

Alasan pertama, kamera TPP memberi keunggulan lebih besar kepada pemain yang bertahan sambil bersembunyi. Dalam esports, urusan balancing mungkin akan selalu membuat sang developer pusing tujuh keliling. Makanya proses nerfing/buffing karakter atau keadaan di dalam permainan selalu ada demi mencapai keseimbangan yang terbaik. Sementara itu mode TPP untuk esports PUBG Mobile saya pikir cenderung tidak balance karena keunggulan yang didapat pemain bertahan cenderung lebih banyak dibanding pemain menyerang.

Pemain bertahan di mode TPP memiliki beberapa keunggulan. Satu yang pasti adalah bisa melihat pergerakan lawan tanpa harus memunculkan bagian tubuh apapun. Kalau deskripsi saya membingungkan, Anda mungkin bisa melihat screenshot yang saya tangkap dari cuplikan pertandingan PMSC 2018 lalu. Seperti yang Anda lihat, TTNAmit bersembunyi tapi masih bisa melihat pergerakan lawannya yaitu Zodk.

Sumber Gambar - YouTube Channel PUBG Mobile Esports.
Sumber Gambar – YouTube Channel PUBG Mobile Esports.

“Tapi semua orang bermain dengan mode TPP di pertandingan esports PUBG Mobile, berarti pertandingannya adil kan?”

Sayangnya tidak demikian. Anda yang sudah sering push rank hingga Conqueror tentu paham betul betapa sakitnya di “TPP” oleh musuh. Betapa horornya apabila melewati compound strategis tapi terlihat sepi-sepi saja. Padahal Anda bermain dengan TPP dan musuh Anda juga pakai TPP. Tapi kenapa musuh yang bertahan/bersembunyi bisa melihat Anda, sementara Anda yang menyerang/bergerak tidak bisa melihat mereka?

“Fortnite juga pakai TPP untuk esports. Berarti kamera TPP sebenarnya cocok-cocok saja untuk esports kan?”

Dari apa yang saya amati, ada satu perbedaan fundamental terbesar antara TPP versi Fortnite dengan TPP versi PUBG Mobile. Dalam Fortnite, setiap objek yang ada di medan pertarungan bisa dihancurkan. Senjata di game Fortnite juga sangat beragam. Mulai dari senjata yang umum seperti Rifle atau Machine-Gun sampai senjata-senjata peledak seperti bom ataupun basoka yang juga bisa menghancurkan tembok atau objek apapun.

Sementara pada PUBG Mobile, tidak ada satu pun objek di medan pertempuran yang bisa dihancurkan (kecuali pintu rumah). Jangankan tembok rumah, jerami yang ada di tengah lahan pertanian saja tidak hancur ataupun bergeser ketika ditembaki atau terkena ledakan granat.

Karena itu, bermain TPP di PUBG Mobile jadi sangat menguntungkan. Karena tembok/objek tidak bisa dihancurkan, maka risiko bagi pemain yang bertahan/bersembunyi jadi semakin kecil. Pemain yang bertahan tentu masih bisa dikalahkan dengan granat atau molotov. Namun terlepas dari itu, bertahan dengan kamera TPP di PUBG Mobile tetap cenderung lebih menguntungkan.

Dengan kondisi dan mekanik permainan yang ada, FPP sebenarnya terbilang jadi mode yang paling “fair” untuk esports PUBG Mobile. Dalam keadaan FPP, apa yang Anda lihat adalah posisi di mana Anda berdiri. Anda berlindung di balik tembok maka apa yang Anda lihat adalah tembok. Anda harus memunculkan tubuh Anda apabila ingin melihat ke mana musuh bergerak.

Karena hal tersebut, kondisi pemain menyerang dan pemain bertahan pun lebih adil. Pemain bertahan punya kemungkinan kalah yang lebih besar, karena ia hanya bisa mendengar suara langkah kaki saja tanpa bisa melihat posisi pasti pemain menyerang. Sementara pemain menyerang juga jadi lebih leluasa melakukan pergerakan tanpa harus takut terjebak kamera TPP sang lawan.

Saya juga menanyakan pendapat Head Coach Battle Royale Division dari AURA Esports yaitu Entruv. Pria bernama asli Alexander Putra tersebut pun setuju soal esports PUBG Mobile yang seharusnya menggunakan mode FPP. “Kalau ditanya esports PUBG Mobile seharusnya TPP atau FPP, gue setuju FPP. Karena mode FPP akan mengurangi elemen terpenting di Battle Royale yaitu luck. Lalu kalau ditanya apakah esports PUBG Mobile harus ikut Tiongkok yang pakai FPP Hardcore Mode, kalau menurut gue sih WAJIB!”

Terkait kelebihan TPP dan FPP, Entruv juga mengatakan. “Kalau TPP kelebihannya adalah penjualan skin akan naik dan para pemain casual sangat nyaman dengan mode ini. FPP memang sangat fair untuk kompetitif. Bahkan mungkin akan memunculkan meta baru yang harus dipelajari oleh setiap tim. Namun kekurangannya adalah tidak semua pemain mampu bermain FPP. Kekurangan mode FPP adalah bisa menyebabkan mual bagi beberapa pemain dan cenderung lebih sulit dipelajari oleh pemain casual.”

Pada akhirnya keadaan ideal yang diharapkan kadang memang tidak selalu berjalan sesuai dengan kenyataan yang ada. Seperti yang saya sebut di awal juga, PUBG Mobile mode FPP cenderung tidak nyaman dimainkan di mobile. Selain karena ukuran layar yang lebih kecil, pergerakan cepat secara terus menerus juga bisa memunculkan rasa motion sickness saat bermain dengan mode FPP bagi beberapa pemain. Namun memang, mode FPP terbilang adalah mode yang lebih ideal dari segi kompetitif karena cenderung lebih fair.

Di sisi lain, mode TPP cenderung lebih laku karena pemain jadi bisa melihat bentuk dari karakter yang dimainkan. Karena bisa melihat bentuk karakter, keinginan membeli skin pun jadi cenderung meningkat.

PUBG Mobile berhasil mengumpulkan pendapatan sampai dengan US$3 miliar pada Juli 2020 lalu. Kosmetik yang membuat penampilan makin apik tentu menjadi salah satu sumber pendapatan tersebut. Walau mode TPP cenderung kurang adil untuk esports, namun mode tersebut mau tidak mau terpilih untuk dipertandingkan karena menjadi mode yang paling sering dimainkan dan mudah diterima oleh segala macam gamers.

 

Map PUBG Mobile Untuk Esports, Haruskah Sanhok Juga Dihapuskan?

Selain soal TPP vs FPP, hal berikutnya yang juga diperbincangkan dalam pertandingan PUBG Mobile adalah map yang digunakan. Terakhir kali Tencent mengeluarkan keputusan menghapus Vikendi dari daftar map yang dipertandingkan untuk esports. Alasannya tidak dijelaskan, namun saya akan coba mengupasnya pada bagian ini.

Sebelum menuju pembahasan, patut diketahui bahwa PUBG Mobile punya 4 map, Erangel, Miramar, Vikendi, dan Sanhok.

Erangel dan Miramar adalah dua map awal di PUBG. Keduanya punya ukuran yang sama, yaitu 8×8 km. Vikendi dan Sanhok merupakan map yang tergolong paling baru dibanding yang lain. Dua map tersebut terbilang jadi percobaan PUBG Corp. untuk memberi variasi ke dalam game. Vikendi dan Sanhok punya ukuran yang lebih kecil, masing-masing adalah 6×6 km dan 4×4 km.

Sumber Gambar - Instagram @pubgmobile.esports.id
Sumber Gambar – Instagram @pubgmobile.esports.id

Normalnya satu game PUBG diikuti oleh sekitar 80 hingga 100 pemain. Namun untuk esports, jumlah pemain di dalam satu map dikurangi menjadi 64 pemain saja atau 16 tim berisi 4 pemain.

Kenapa jumlah pemainnya harus dikurangi? Seperti apa yang dikatakan oleh Entruv, faktor luck adalah faktor yang sebisa mungkin harus dikurangi (kalaupun tidak bisa dihilangkan) di dalam sebuah pertandingan esports. Semakin banyak pemain di dalam suatu map, maka akan semakin besar faktor keberuntungan di dalam pertandingan.

Kenapa demikian? Satu tim bisa jadi terpaksa berebut satu daerah dengan beberapa tim tersebut yang akan semakin meningkatkan faktor keberuntungan di dalam pertandingan karena berebut loot.

Baku tembak juga jadi sulit diprediksi karena ada kemungkinan diserang oleh pihak ketiga/empat/lima akan semakin besar. Karena hal tersebut, 64 orang di dalam map 8×8 km sejauh ini terbilang sudah cukup ideal. Masing-masing tim punya waktu yang cukup untuk looting dan merancang strategi rotasi untuk mendapat Chicken Dinner. Baku tembak dari beberapa pihak masih sangat mungkin terjadi tapi masih bisa diprediksi.

Lalu apa jadinya kalau 64 orang tersebut bertanding pada map yang berukuran lebih kecil? Tentu saja kemungkinan-kemungkinan seperti 100 orang di dalam map 8×8 km akan terjadi lagi. Karena hal tersebut Vikendi terbilang kurang cocok digunakan untuk esports PUBG Mobile.

Terkait hal tersebut, Entruv mengatakan: “Gue sangat setuju Vikendi dihapuskan dari map kompetitif PUBG Mobile karena tempo permainan di map Vikendi terbilang sangat lambat dan membosankan. Ditambah lagi bantingan circle juga terbilang sangat random sehingga pertandingan jadi sangat terpengaruh oleh faktor keberuntungan.”

Kalau Vikendi yang berukuran 6×6 km dihapuskan, lalu kenapa Sanhok tidak? Apakah Sanhok juga perlu dihapuskan demi mendapatkan pertandingan esports PUBG Mobile yang lebih fair? Entruv juga memberikan pendapatnya seputar hal tersebut. “Gue enggak setuju semisal Sanhok dihapus. Variasi 3 map tersebut sudah cocok supaya penonton tidak bosan. Hal tersebut juga mengingat map Sanhok yang ukurannya kecil dan tempo permainannya sangat cepat sehingga map tersebut jadi map yang paling menarik untuk ditonton sejauh ini.” Ucap Entruv.

Memang jika kita hanya melihat dari ukuran map saja, Vikendi jadi map yang ukurannya tanggung dan tidak berhasil menonjolkan karakteristik tertentu yang bisa dinikmati penonton. Sementara 3 map lainnya sudah punya ciri khas mereka masing masing.

Erangel terbilang jadi map default, sudah dikuasai oleh kebanyakan orang, dan punya ragam jenis baku tembak mulai dari sniping hinggak baku tembak jarak dekat di perkotaan. Miramar mungkin juga bertempo lambat, tapi pertarungan padang pasir berbukit dengan berbagai senjata laras panjang juga jadi hal yang menarik ditonton para penggemar esports. Sanhok mungkin agak menyebalkan bagi pemain, tapi ciri khas pertarungan tempo cepat penuh adrenalin adalah nilai yang paling menonjol dari map tersebut.

Lalu kalau bicara masalah circle, membahasnya mungkin akan agak rumit karena ada faktor RNG atau faktor random yang terlibat di sini. Karena saya cukup penasaran dengan apa yang dikatakan Entruv, saya pun akhirnya mencoba untuk melihat perbedaan bantingan circle antara Erangle, Miramar, dan Sanhok dengan Vikendi. Dari apa yang saya amati, ternyata apa yang dibilang Entruv soal bantingan circle yang random di Vikendi terbilang ada benarnya.

Circle di Vikendi. Sumber Gambar - Cuplikan Tayangan PMWL East Finals Day 4
Circle di Vikendi (pojok kanan atas) sedang bergerak dari fase 1 ke fase 2. Sumber Gambar – Cuplikan Tayangan PMWL East Finals Day 4
Circle di Erangel. Sumber Gambar - Cuplikan Tayangan PMWL East Finals Day 4
Circle di Erangel. Sumber Gambar – Cuplikan Tayangan PMWL East Finals Day 4
Circle di Miramar. Sumber Gambar - Cuplikan Tayangan PMWL East Finals Day 4
Circle di Miramar. Sumber Gambar – Cuplikan Tayangan PMWL East Finals Day 4
Circle di Sanhok. Sumber Gambar - Cuplikan Tayangan PMWL East Finals Day 4
Circle di Sanhok. Sumber Gambar – Cuplikan Tayangan PMWL East Finals Day 4

Saya mengambil sampel berupa perpindahan circle dari fase 1 ke fase 2. Erangel, Miramar, dan Sanhok memiliki pola yang sama. Pola tersebut adalah ukuran circle yang mengecil secara signifikan dan bantingan-nya yang cenderung sisi pojok.

Vikendi berbeda sendiri. Ukuran circle hanya sedikit mengecil saja ketika berpindah dari fase 1 ke fase 2. Bantingan circle Vikendi juga tidak terlempar ke pojok, melainkan menguncup ke bagian tengah. Pada saat berpindah dari fase 2 ke fase 3, polanya terbilang masih sama untuk Vikendi yaitu hanya sedikit mengecil dan tidak terlempar ke pojok.

Melalui pengamatan tersebut, mungkin memang benar bahwa pola circle di Vikendi cenderung beda dengan 3 map lainnya. Tapi kalau soal random, saya merasa pendapat Entruv mungkin ada benarnya mengingat jam terbang Entruv sebagai coach dan juga mantan pemain PUBG.

 

Akhir Kata…

Soal TPP atau FPP serta map mana yang cocok untuk dijadikan esports PUBG Mobile sebenarnya baru sebagian dari beberapa polemik lain yang juga tak kalah menarik untuk dibahas. Kita belum membahas apakah format pertandingan dengan poin sudah tepat untuk esports PUBG Mobile? Apakah poin yang diganjarkan sudah cukup seimbang untuk tim yang mengutamakan Chicken Dinner dengan tim yang bermain agresif mengutamakan Kill?

Konsistensi Tencent untuk terus mengevaluasi cara penyelenggaraan turnamen PUBG Mobile patut diapresiasi hingga sejauh ini. Satu hal yang juga patut diingat, PUBG adalah game Battle Royale pertama yang dipertandingkan sebagai esports.

Sepanjang sejarah perkembangan esports, pertandingan game biasanya hanya mempertandingkan dua pihak saja; entah dalam format 5vs atau 1vs1. PUBG dan PUBG Mobile menjadi game pertama yang mempertandingkan 16 tim di dalam satu map.

Seiring waktu dan evaluasi yang dilakukan, pertandingan PUBG Mobile sepertinya memang akan terus berubah dan berevolusi. Apakah perubahan akan menimbulkan ketidakpastian kepada perkembangan esports PUBG Mobile? Hal tersebut jadi mengingatkan saya kepada kata-kata seorang filsuf Yunani bernama Heraclitus yang mengatakan, “satu-satunya hal yang pasti adalah perubahan itu sendiri.”

Sumber Gambar Utama – androidauthority.com