Tag Archives: equity

rasio utang terhadap modal

Apa Itu Debt to Equity Ratio? Ini Pengertian dan Rumus Hitungnya!

Debt to equity ratio (DER) menjadi salah satu tolok ukur bagi perusahaan untuk dapat dikatakan sebagai perusahaan yang sehat. Arti sehat di sini dilihat dari perspektif keuangan internal perusahaan tersebut.

Istilah DER dapat juga disebut sebagai pengukuran rasio utang terhadap modal. DER dinilai penting untuk diketahui dan dipahami oleh para pengusaha, agar dapat mengoptimalkan keuangan perusahaannya.

Pada umumnya, DER juga digunakan dalam laporan keuangan perusahaan yang dipublikasikan ke publik, sehingga menjadi gambaran bagi investor dan pihak-pihak berkepentingan lainnya untuk melihat kemampuan keuangan perusahaan.

Lantas, apa itu DER? Berikut penjelasannya.

Pengertian Debt to Equity Ratio (DER)

Debt to equity ratio (DER) atau pengukuran rasio utang terhadap modal adalah sebuah rasio keuangan yang membandingkan jumlah hutang dengan ekuitas. Jumlah hutang dan ekuitas yang digunakan untuk operasional perusahaan, harus memiliki jumlah yang proporsional.

Selain itu, DER juga dikenal sebagai rasio leverage atau rasio pengungkit. Rasio pengungkit ini merupakan rasio yang digunakan untuk mengukur suatu investasi yang terdapat di perusahaan.

DER sendiri berguna untuk mengukur posisi keuangan dari suatu perusahaan. Kemudian, nantinya, dapat menentukan apakah perusahaan tersebut memiliki prospek yang sehat atau tidak.

Rumus Hitung Rasio Utang terhadap Modal

Bicara terkait manfaat rasio utang terhadap modal atau DER, perlu diketahui juga cara perhitungannya, sebelum dapat merasakan manfaatnya. Ada pun cara menghitung DER, dapat dimulai dengan mengetahui rumus, sebagai berikut:

debt to equity ratio

Dari rumus tersebut, perlu diketahui penjelasan lebih terkait hutang dan ekuitas yang menjadi dua komponen penting dalam menghitung DER, sebagai berikut:

  • Hutang

Hutang merupakan kewajiban yang harus dibayarkan perusahaan secara tunai kepada pihak pemberi utang, dalam jangka waktu tertentu. Jika dilihat dari jangka waktu pelunasannya, hutang sendiri terbagi menjadi kewajiban lancar, kewajiban jangka panjang dan kewajiban lainnya.

Kewajiban lancar atau utang lancar adalah utang yang sifatnya berjangka pendek. Biasanya berupa utang perusahaan yang berhubungan dengan operasional perusahaan. Misalnya: utang kepada supplier, utang pembelian barang produksi, hingga gaji karyawan.

Sedangkan, kewajiban jangka panjang adalah utang yang jatuh tempo lebih dari satu tahun ke depan atau di luar periode operasi normal. Jenis utang ini dinilai berisiko bagi perusahaan, sebab nominalnya besar dan berbunga.

  • Ekuitas

Ekuitas merupakan hak miliki perusahaan atas aset atau aktiva perusahaan yang merupakan kekayaan bersih. Dihitung dengan jumlah aset dikurangi dengan hutang. Ekuitas terdiri dari setoran pemilik perusahaan dan sisa laba ditahan.

Cara Menghitung Rasio Utang terhadap Modal pada Laporan Keuangan

Galih Taufiqurrahman, Naula Kamila, Syifa Alsakina dari Mecapan / Mecapan

Fokus Aplikasi Mecapan Jembatani Penyedia Jasa Kecantikan dan Konsumen

Makin maraknya tren layanan jasa kecantikan saat ini, melahirkan beragam konsultan kecantikan hingga make-up artist di tanah air. Melihat peluang tersebut, startup lokal yang menyasar sektor tersebut mencoba hadir menawarkan platform yang menyeluruh yaitu, Mecapan.

Aplikasi Mecapan merupakan end-to-end mobile management untuk jasa kecantikan, yang terdiri dari dua aplikasi yang berbeda, yaitu Mecapan untuk pelanggan dan Mecapan for Business untuk penyedia layanan kecantikan (beauty service provider). Aplikasi Mecapan sendiri menggabungkan penyedia jasa kecantikan home service dan beauty parlor dalam satu aplikasi.

Kepada DailySocial, CEO dan Co-Founder Mecapan Naula Kamila menyebutkan, memanfaatkan penetrasi smartphone yang tinggi di tanah air, aplikasi Mecapan kemudian diluncurkan.

“Pada tahun 2016 saya dan kedua teman saya Syifa Alsakina dan Galih Taufiqurrahman membicarakan suatu masalah yang kerap terjadi di sekitar kami. Pada saat itu kami merasa bahwa hingga saat ini, orang-orang di sekitar kami, terutama wanita, tidak memiliki kesempatan atau akses yang sama dalam memperoleh perawatan kecantikan yang mereka butuhkan.”

Ditambahkan oleh Naula, saat ini masih ada persoalan terkait dengan keterbatasan yang dimiliki oleh para pemilik jasa kecantikan untuk menyebarkan dan mempromosikan nilai jual yang mereka miliki, sehingga menyulitkan konsumen untuk menemukannya.

Cara kerja Mecapan

Pengguna dapat memanfaatkan berbagai fitur utama yang dimiliki aplikasi Mecapan, di antaranya discovery, online booking, dan scheduling. Fitur tersebut memungkinkan pengguna untuk melakukan request booking terhadap layanan jasa kecantikan yang sesuai dengan kebutuhan dan budget mereka. Mecapan juga dilengkapi dengan fitur filter berdasarkan lokasi, harga, rating dan review hingga berdasarkan besaran diskon yang diberikan oleh penyedia jasa kecantikan.

“Sejak awal 2018, penyedia jasa kecantikan atau beauty provider yang bergabung dengan Mecapan terus bertambah. Saat ini Mecapan telah menggaet lebih dari 500 beauty provider dari 12 kategori kecantikan yang datang dari berbagai kalangan, mulai dari UKM maupun bisnis yang besar dengan variasi harga yang luas di area Jabodetabek,” kata Naula.

Untuk strategi monetisasi yang diterapkan, Mecapan menerapkan Booking Fee kepada penyedia jasa kecantikan, untuk setiap transaksi yang berhasil dilakukan melalui aplikasi Mecapan.

“Di tahun 2018 ini, Mecapan memiliki target untuk membantu perempuan dapat dengan mudah mengakses jasa kecantikan dan bisa menjembatani penyedia jasa kecantikan dengan konsumen di Indonesia. Mecapan akan terus melakukan pengembangan fitur-fitur yang terdapat dalam aplikasi hingga memperluas area Mecapan ke kota-kota besar lainnya di Indonesia,” kata Naula.

Didanai oleh investor asal Malaysia

Untuk mengembangkan bisnisnya, Mecapan mendapatkan dana segar senilai RM300,000 dan menarik perhatian dari 20 investor melalui kampanye crowdfunding equity (ECF) oleh ATA Plus. Ata Plus sendiri adalah operator blockchain-enhanced yang memiliki ijin resmi dan berbasis di Malaysia. Melalui kampanye ECF, Mecapan secara langsung mendapatkan dua mitra investor strategis, yaitu Midana Capital dan Ant Internet yang nantinya akan mengakselerasi ekspansi dari Mecapan di regional dan meningkatkan teknologi.

Dalam rilisnya Co-Founder dan Director Ata Plus Kyri Andreou mengungkapkan, keberhasilan kampanye ECF Mecapan dan efeknya terhadap pertumbuhan startup saat ini.

“Kampanye ECF memiliki potensi untuk bisa membantu startup memperluas jaringan, dengan demikian peluang yang ada semakin terbuka, berdasarkan inklusi yang unik dan crowd-at-large,” kata Andreou.

Cerita Menarik tentang Pembagian Ekuitas antar Founder Startup

Ada sebuah “curhatan” menarik yang kami temukan di situs tanya-jawab Quora dari seorang co-founder yang menceritakan kasus internal di startup yang didirikan, yakni berkaitan dengan pembagian ekuitas. Startup tersebut terdiri dari dua orang co-founder, anggap saja si A (co-founder yang menuliskan cerita di Quora) dan si B (rekannya). Si B menginginkan membagi ekuitas 65:35, yakni 65 persen untuk si B dan sisanya untuk si A. Lantaran merasa mendirikan startup dari nol secara bersama-sama, si A merasa ini tidak adil.

Namun dari yang diceritakan si A, ada beberapa hal yang menjadikan si B tetap ambisius untuk memiliki ekuitas mayoritas.  Pertama karena si B adalah seorang PhD (S3), sedangkan si A adalah seorang MSc (S2). Dari sisi pendidikan si B merasa lebih berpengalaman, oleh karenanya peran di startup si B menjadi CEO dan si A menjadi CTO. Yang kedua, si B berperan dalam mengembangkan bisnis dan kemitraan, sementara si A fokus pada pengembangan produk –bisa dikatakan bahwa produk yang ada sepenuhnya diprogram oleh si A, tapi yang menjual si B.

Si B beralasan, karena ia memiliki pendidikan yang lebih tinggi –keduanya sama-sama teknis—maka sebenarnya dia bisa melakukan apa yang si A lakukan. Dalih lainnya, berkat jaringannya yang kuat, si B dapat meyakinkan investor untuk menggulirkan dananya. Di titik ini, si A menyadari bahwa si B melakukan apa yang tidak ia bisa lakukan sebagai seorang engineer. Namun di sisi lain, apa yang ia kerjakan untuk produk seharusnya berimbang dengan hasil kemitraan yang selama ini didapat.

Dari cerita awal tersebut, diskusi pun dimulai. Ada beragam tanggapan, sehingga dapat ditarik beberapa pembelajaran dari kejadian tersebut.

Mendirikan startup adalah sebuah komitmen

Banyak yang menyayangkan kejadian ini, pasalnya terkait ekuitas sebenarnya menjadi sebuah diskusi “alami” yang sudah dibicarakan sejak awal –atau setidaknya sejak monetisasi bisnis mulai terlihat arahnya. Memang tidak ada prinsip khusus yang bisa diterapkan, karena kepemilikan bersifat sangat personal antar co-founder. Akan tetapi ketika startup sudah di titik “penggalangan dana” atau “revenue”, maka pembagian yang disepakati harus menjadi agenda awal untuk dijadikan komitmen bersama.

“Ekuitas sederhananya didasarkan pada yang telah dilakukan, bukan apa yang ingin dilakukan ke depan,” tulis seorang mengomentari.

Bisa jadi seperti itu, namun ada sebuah nilai yang kadang tidak bisa dihilangkan, yakni bersifat psikologis. Itu sangat berkaitan dengan bagaimana membangun spirit di dalam bisnis. Sangat tersirat, namun cukup berpengaruh, terlebih orang-orang tersebut menjadi penggerak penting dalam tubuh bisnis. Sebut saja si B menerima keputusan si A apa adanya, konsekuensinya ia tidak bahagia. Namun sebut saja si B menolak, bisa saja si A akhirnya memilih menemukan orang lain, startup pun retak.

Co-Founder dijalin dari sebuah kerpercayaan

Kasus yang ada di atas juga dapat diartikan sebagai dampak dari ketidakpercayaan. Si B merasa dirinya mengerjakan lebih dari si A, sementara si A cukup ragu dengan apa yang sudah dilakukan untuk meyakinkan dirinya bahwa seharusnya berhak mendapatkan nilai ekuitas lebih. Namun dapat dilihat, bahwa si A dan si B mengerjakan sesuatu dari aliran berbeda, bisnis dan pengembangan. Ada dua kemungkinan, si A yang kurang percaya diri, si B yang tidak percaya penuh dengan si A, atau si B yang terlalu percaya diri. Sayangnya memiliki startup adalah sebuah harmoni antar co-founder.

“Percakapan ini terlambat, sudah jelas apa yang Anda lakukan harusnya mendapatkan pembagian 50/50, atau setidaknya jika sudah mulai berbicara dengan investor, bisa jadi 25/25, sisanya untuk putaran investasi,” tulis seorang lainnya dalam diskusi.

Sekali lagi, memilih co-founder adalah sebuah intrik personal. Oleh karenanya mungkin sering mendengar, bahwa seorang pendiri startup kesulitan untuk menemukan rekanan yang tepat untuk dijadikan co-founder. Umumnya selain memiliki pemahaman teknis tentang bidang bisnis yang berbeda –misal teknologi dan bisnis—hubungan co-founder lebih dari itu, karena ini tentang kepercayaan satu sama lain, dan bagaimana masing-masing dapat menghargai satu sama lain dengan peran yang berbeda.

Pencapaian bisnis harus selalu bisa terukur

Tidak bisa dimungkiri juga, kadang secara aktual kontribusi antar co-founder memang berbeda. Bisa jadi si A dan si B memang demikian, bahwa si B mengerjakan lebih banyak. Dari sini dapat dijadikan pembelajaran bahwa setiap pencapaian harus bisa diukur, karena pada dasarnya walaupun yang dikerjakan berbeda, tapi ada capaian yang dapat dinilai. Misalnya terkait produk, bisa dicocokkan dengan roadmap yang sudah didefinisikan, atau didasarkan pada analisis performa sistem. Sedangkan dari bisnis, bisa juga diukur dari ROI (Return of Investment) yang berhasil dikembalikan.

Dengan adanya capaian yang lebih terukur, akan lebih mudah penyelesaiannya jika terjadi debat tentang kepemilikan. Angka-angka tersebut setidaknya bisa menjadi justifikasi yang lebih absah untuk mendasari keputusan berdasarkan kinerja masing-masing co-founder. Terlepas dari itu semua, semangat membangun startup seharusnya ditanam sejak awal untuk menuai hasil sukses bersama untuk para pendirinya.

Pembagian Ekuitas Di Antara Founder Bisa Jadi Masalah Serius dalam Tubuh Startup

Pendiri startup dilatih untuk banyak memikirkan pertimbangan dan keputusan. Baik itu mengenai pasar, produk, dan beberapa hal krusial lain. Tapi setelah semua dilalui dengan baik, seolah-olah startup sudah memenangkan segalanya kesalahan pertama dan paling sering dilakukan para founder adalah pembagian ekuitas founder. Aspek-aspek seperti hubungan, peran, dan tanggung jawab dari masing-masing “The winning team” sering membuat goyang saat pembagian ekuitas. Bahkan jika tidak bisa menyelesaikan perkara pembagian ekuitas ini dengan baik-baik permasalahan ini bisa berubah menjadi masalah pribadi dan mengantarkan pihak-pihak yang berselisih hingga ke pengadilan.

Setiap startup tentu punya cara dan jalan masing-masing dalam menentukan pembagian ekuitas. Beberapa melakukan perjanjiannya di awal, sementara yang lain menunggu hingga saling mengenal satu sama lain. Beberapa tim melakukan proses perjanjian dengan sangat hati-hati, dan beberapa yang lain melakukan kesepakatan dengan cepat. Ada yang membaginya sama rata untuk setiap pendiri atau tim, ada juga yang membaginya sesuai dengan tanggung jawab atau sumbangsih yang diberikan masing-masing. Semua punya caranya masing-masing. Tak terkecuali sesama anggota keluarga.

Tim founder yang terdiri dari anggota keluarga nyatanya tidak lantas meringankan beban pembagian ekuitas ini. Justru karena ada ikatan darah di setiap individunya pembagiannya kemudian bisa menjadi sangat objektif. Negosiasi pun akan menjadi lebih alot karena satu sama lain sudah mengenal baik dari luar maupun dalam. “Adil” seolah menjadi sesuatu yang susah jika sudah mulai masuk ke ranah subjek. Tapi masalah pembagian ekuitas ini bukan tanpa solusi.

Selain profesionalisme yang dibutuhkan, khususnya untuk mengatasi negosiasi sesama anggota keluarga, profesionalisme juga diperlukan untuk masalah-masalah lain. Sisanya tinggal bagaimana kita membangun kepercayaan dan komunikasi dalam tim.

Masalah pembagian ekuitas sejatinya bisa diselesaikan dengan berbagai macam cara, mulai dari menjelaskan pada pembicaraan awal pembentukan startup dengan membuat sebuah perjanjian, atau duduk bersama untuk membagi sesuai porsinya masing-masing dengan komunikasi yang baik dan terbuka. Inilah mengapa perlu terjalin suasana yang kondusif dan komunikasi yang baik dalam tubuh startup.

Pro dan Kontra Investasi Ekuitas dan Pembiayaan Utang

Saat ini investasi ekuitas dan pembiayaan utang sudah banyak beredar di lingkungan startup dan investor. Kedua pilihan tersebut dilakukan oleh startup baru hingga startup yang sudah memasuki tahap penggalangan dana mulai dari seed sampai seri A. Tapi sebelum Anda memilih untuk mendapatkan pendanaan dalam bentuk ekuitas atau pembiayaan utang, ada baiknya untuk mengetahui pro dan kontra masing-masing investasi tersebut seperti yang ditulis oleh Shweta Saxena Singh.

Investasi Ekuitas

Pendanaan dalam bentuk investasi ekuitas biasanya banyak dipilih oleh startup baru. Kemudahan yang ditawarkan oleh ekuitas tentunya menjadi alasan utama mengapa pada akhirnya investasi ini menjadi pilihan, berbeda dengan pembiayaan utang yang cenderung lebih rumit dan membutuhkan kriteria tertentu. Masih terbatasnya akses startup baru terhadap investasi pembiayaan utang juga menjadi salah satu alasan mengapa investasi ekuitas menjadi pilihan.

Berikut ini adalah pro dan kontra jika startup mendapatkan investasi ekuitas:

Pro:

  • Tidak perlu khawatir untuk pengembalian uang. Ketika startup memutuskan untuk menerima investasi dalam bentuk ekuitas secara otomatis posisi founder dengan investor berada pada posisi yang sama atau setara. Masing-masing pihak akan mencari nilai tertinggi untuk melancarkan exit strategy. Rencana exit strategy ini bisa berupa penggalangan dana selanjutnya dengan valuasi yang lebih tinggi, akuisisi, atau IPO.
  • Pendanaan pada waktu yang dibutuhkan. Investor ekuitas biasanya akan memberikan kucuran dana ketika startup baru saja memulai perjalannya danbuth pendanaan untuk mengembangkan produk, menambah jumlah pengguna, memperluas jangkauan operasional, dan sebagainya.

Kontra:

  • Pendanaan beresiko kehilangan kontrol perusahaan. Biasanya kerugian yang akan dialami oleh startup jika mengambil investasi ekuitas adalah kehilangan 10-20 persen kepemilikan atas perusahaan terutama dalam tahap seed funding. Kemudian ketika akan mendapatkan pendanaan seri A, perusahaan kembali akan kehilangan kepemilikan sejumlah 15-25 persen.
  • Startup wajib memberikan laporan kepada investor. Hal kontra lainnya adalah kewajiban startup untuk menyampaikan laporan berkala kepada investor. Ini termasuk semua laporan finansial untuk uji coba produk hingga kegiatan kampanye di startup. Hal ini bukan hal mudah yang bisa dilakukan oleh pendiri pemula di tahap awal perjalanannya di dunia startup.

Pembiayaan utang

Ketika startup telah cukup matang menjalankan bisnisnya dan telah memiliki nilai valuasi yang cukup tinggi, pinjaman uang dari Venture Debt Capital Market secara otomatis bisa aktif. Biasanya startup yang bisa mendapatkan pembiayaan utang adalah startup yang berusia 2 – 4 tahun dan telah menerima pendanaan seri A dari private equity.

Terlepas dari dua kondisi yang disebutkan di atas, perusahaan bisa meningkatkan utang usaha ketika mereka memiliki beberapa kejelasan dalam cashflow dan proyeksi keuangan ke depannya. Perusahaan juga harus membayar kembali jumlah utang dalam masa waktu tertentu bersama dengan bunga.

Berikut ini adalah pro dan kontra yang bakal dialami startup ketika menerima investasi dalam bentuk pembiayaan utang:

Pro:

  • Tidak ada pencairan ekuitas. Perusahaan tidak perlu mencairkan saham ekuitas mereka untuk meningkatkan utang meskipun terdapat ekuitas surat perintah klausul dalam utang usaha yang memungkinkan pilihan dana utang usaha untuk berpartisipasi hingga 1-5 persen dari jumlah pinjaman dalam kasus putaran lain dari pendanaan atau akuisisi startup.
  • Pihak Venture Debt akan memberikan waktu kepada perusahaan untuk menaikan putaran pendaan berikutnya dari private equity investor (PE). Dengan demikian masing-masing pihak bisa melakukan negosiasi terkait dengan valuasi serta ketentuan yang terbaik ketika waktunya telah habis.

Kontra:

  • Perusahaan harus berjalan dengan stabil. Ketika startup tengah menjalani bisnis dengan pembiayaan utang, pastikan agar perusahaan bisa mendapatkan profit margin dan cash flow yang meningkat. Tapi, masa depan bisnis yang dijalankan tidak dapat diprediksi. Di sisi lain, utang harus terus dibayar berikut dengan bunga setiap bulannya. Jika startup gagal memenuhi tanggung jawab, bangkrut dan litigasi merupakan kenyataan yang harus dihadapi.
  • Meningkatkan tekanan pekerjaan. Menaikkan utang dapat memberikan tekanan ekstra pada perusahaan dalam hal beban bunga yang wajib dibayarkan di kisaran  15-30 persen. Namun, pilihan ini merupakan efek dari kepuasaan atas kepemilikian penuh perusahaan Anda.

Pada akhirnya seorang founder bertanggung jawab untuk melakukan persiapan dan siap menerima semua resiko ketika pendanaan dalam bentuk investasi ekuitas atau pembiayaan utang menjadi pilihan, tentunya berdasarkan pro dan kontra masing-masing yang telah diuraikan diatas.

Jenis-Jenis Permodalan (Bagian 2)

Di artikel sebelumnya, kami sudah membahas tentang jenis-jenis permodalan dalam praktiknya secara umum. Dengan perkembangan industri kreatif di Indonesia, di mana penyebaran informasi juga sudah semakin luas, para pelaku bisnis akan jauh lebih mudah mendapatkan informasi saat ini dibanding dua puluh tahun ke belakang. Terkait dengan hal tersebut, para pelaku bisnis terkadang memerlukan informasi yang lebih spesifik, yang dapat dikaitkan langsung dengan kegiatan bisnis mereka.

Sebelum memutuskan jenis permodalan mana yang akan digunakan di dalam kegiatan bisnis, ada baiknya Anda menganalisa terlebih dahulu di tingkatan mana bisnis Anda berada sekarang. Menurut Profesor Stefano Caselli dari Universitas Bocconi, secara garis besar, bisnis dibagi menjadi enam tingkatan:

1. Development Stage

Siklus kehidupan di dalam bisnis dimulai dari tahap pengembangan. Tahap pengembangan merupakan tingkatan di mana para founders mulai menciptakan dan mencoba mengembangan ide bisnis mereka. Para founders juga mulai mencari dan mengumpulkan para co-founders yang dapat bekerjasama dalam pengembangan bisnis.

2. Startup Stage

Tingkatan di mana kegiatan bisnis baru benar-benar dimulai. Di titik ini, para pelaku bisnis biasanya mulai memikirkan strategi bagaimana bisnis mereka bisa dikenal oleh publik, sampai akhirnya mendapatkan customer awal meraka.

3. Early Growth Stage

Tingkatan di mana bisnis mulai tumbuh. Operasional bisnis sudah mulai berjalan. SDM sangat berpengaruh besar di dalam tingkatan ini, bahkan bisa dibilang memiliki peran yang sangat krusial untuk memajukan suatu bisnis.

4. Expansion Stage

Tingkatan di mana bisnis mulai melakukan ekspansi. Laju ekspansi biasa dijadikan indikator kemajuan suatu bisnis. Contohnya seperti pembukaan cabang, penambahan layanan, dan sebagainya.

5. Mature Age Stage

Pada tingkatan ini, perkembangan bisnis sudah mulai stabil. Bisnis sudah memiliki arus kas yang positif. Di tingkatan ini, bisnis selangkah lebih dekat menuju tahap initial public offering (IPO).

6. Crisis or Decline Stage

Tingkatan yang paling mengerikan di dalam bisnis. Bisnis mulai memasuki masa krisis dan mengalami penurunan yang cukup signifikan. Suatu bisnis yang sudah berhasil melewati masa krisis, cenderung akan bertahan lama dibanding yang tidak pernah mengalami krisis.

Melihat kepada enam tingkatan di atas, sebenarnya setiap tingkatan memiliki karakteristiknya sendiri, yang mempengaruhi jenis-jenis permodalan yang dapat ditariknya.

Pada Development Stage dan Startup Stage, sumber permodalan biasanya didapatkan dari founder, co-founder, keluarga, angel investor, dan private equity. Ketika bisnis sudah memasuki Early Growth Stage, bisnis bisa mulai mencari sumber permodalan dari private equity dan perbankan.

Bisnis yang sudah memasuki Expansion Stage dan Mature Age Stage, dengan kondisi bisnis yang sudah jauh lebih stabil, sumber permodalan bisa didapatkan dari private equity, perbankan, bahkan melalui initial public offering (IPO).

Bisnis yang sedang mengalami masa krisis, atau Crisis or Decline Stage, pilihan akan kembali ke para pelaku bisnis, apakah mereka memutuskan untuk mempertahankan atau menjual bisnisnya. Dalam beberapa contoh kasus, para founder dan co-founder ada yang menyuntikkan modal kembali untuk mempertahankan kelangsungan bisnis. Bahkan, beberapa private equity cukup tertarik membeli saham suatu bisnis yang sedang mengalami masa krisis, dan memutuskan untuk melakukan restrukturisasi terhadap bisnis tersebut.

Setiap jenis permodalan yang tersedia memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Pada akhirnya, para pelaku bisnis selalu memiliki pilihan dari mana sumber permodalan mau didapatkan, tapi alangkah lebih baik untuk menganalisa terlebih dahulu di tingkatan mana bisnis Anda berada sekarang.

logo_klikkonsulKlikonsul adalah konsultan hukum dan bisnis di bidang ekonomi kreatif, termasuk teknologi informasi. Kami dapat menyusun kontrak, mengurus izin, mendirikan perusahaan, hingga membantu perencanaan bisnis. Informasi lebih lanjut dapat dibaca di http://klikonsul.com.

Cara Terbaik Berbagi Ekuitas dengan Co-Founder

Kendala ini kerap dihadapi oleh pendiri startup saat menentukan bagaimana pembagian ekuitas yang pas diberikan kepada Co-Founder. Dari beberapa tips yang ada, Michael Seibel dari Y Combinator mencatat belum ada tips yang benar-benar sesuai dengan kenyataan yang ada.

Berikut ini adalah beberapa alasan mengapa akhirnya seorang Founder memutuskan untuk memberikan ekuitas yang tidak sesuai dengan Co-Founder.

  • Saya (Founder) yang memiliki ide awal dari perusahaan
  • Saya (Founder) telah melakukan pekerjaan selama waktu yang cukup lama sebelumnya
  • Kesepakatan ini bersifat mutual
  • Saya (Founder) sudah melakukan pekerjaan sejak awal jauh sebelum Co-Founder saya datang
  • Saya (Founder) jauh lebih berpengalaman dari Co-Founder
  • Saya (Founder) telah melakukan penggalangan dana dengan nominal yang fantastis sebelum Co-Founder saya bergabung

Yang perlu ditegaskan disini adalah jika Anda sebagai Founder tidak bisa secara bijak memberikan jumlah ekuitas yang sesuai dan pas untuk Co-Founder Anda, artinya secara jelas Anda tidak percaya dengan kemampuan dan loyalitas dari Co-Founder.

Empat tips berikut ini, yang dirangkum DailySocial, bisa Anda jadikan acuan ketika waktunya untuk memberikan ekuitas kepada Co-Founder di perusahaan rintisan yang Anda miliki.

Dibutuhkan waktu 7 hingga 10 tahun membangun perusahaan yang hebat

Jumlah variasi yang terbilang kecil dalam waktu satu tahun pertama bukanlah menjadi patokan dari perbedaan ekuitas dalam nominal yang besar antara Founder dan Co-Founder untuk kurun waktu 2 hingga 10 tahun mendatang.

Ekuitas yang lebih = motivasi lebih

Bukan menjadi rahasia lagi kenyataannya adalah banyak startup yang mengalami kegagalan. Semakin tinggi motivasi para Founder, semakin besar peluang menuju kesuksesan. Adalah menjadi hal yang percuma jika Anda memberikan jumlah ekuitas yang besar namun tidak ada motivasi atau keinginan dari Co-Founder untuk bergerak maju.

Hargai kemampuan dan keberadaan Co-Founder

Saat ini banyak Founder startup yang merasa semua produk yang ada hingga keberhasilan penggalangan dana yang telah dilakukan sepenuhnya adalah pekerjaan yang telah mereka lakukan dan menghiraukan peranan dari Co-Founder hingga tim. Keputusan diterima atau tidaknya produk Anda oleh investor, sebagian besar berpengaruh dari bagaimana Anda memperlakukan tim, terutama Co-Founder.

Keberhasilan startup sepenuhnya dalam hal eksekusi, bukan hanya ide

Yang perlu diingat adalah menjadi hal yang penting untuk bisa memberikan ekuitas yang sesuai kepada Co-Founder, karena dalam prosesnya Co-Founder dan anggota tim yang akan bergerak maju bersama Anda (Founder) demi memajukan perusahaan. Co-Founder dan tim lainnya adalah bagian dari kehidupan Anda sehari-hari yang akan menanggung beban disaat kesulitan dan akan berbagi kebahagiaan disaat kesuksesan. Bagikan ekuitas secara bijak, karena perjalanan yang panjang masih harus ditempuh dan dijalani bersama.