Grup Modalku (dikenal sebagai Funding Societies di Singapura, Malaysia, dan Thailand) mengumumkan pembelian kembali Program Kepemilikan Saham oleh Karyawan atau Employee Stock Option Plan (ESOP) senilai $16 juta atau setara 229,3 miliar Rupiah. Aksi korporasi ini menyusul putaran pendanaan seri C+ senilai $294 juta atau 4,21 triliun Rupiah yang diperoleh Februari lalu.
Pengumuman kali ini juga menandai keempat kalinya Modalku menerbitkan kebijakan ESOP karyawan dan mantan karyawan perusahaan.
Disampaikan dalam keterangan resminya, Co-founder Funding Societies & CEO Modalku Indonesia Reynold Wijaya mengungkap bahwa SDM menjadi kunci utama perusahaan. Pihaknya ingin memberikan apresiasi kepada tim yang berdedikasi dan memberikan kontribusi positif dalam mewujudkan visi perusahaan, yakni memberdayakan UMKM di Indonesia dan Asia Tenggara.
“Sebelum putaran seri C+, Grup Modaku mencatat tingkat pengurangan karyawan terendah serta tingkat kebahagiaan/kepuasan tertinggi sejak perusahaan berdiri. Terlepas dari dampak Covid-19, kami telah mengambil langkah-langkah nyata untuk mengapresiasi tim kami melalui berbagai inisiatif termasuk komunikasi internal, pembelajaran dan pengembangan karyawan, serta ESOP,” ungkapnya.
Sebagai informasi, kebijakan ESOP dirancang untuk menciptakan inklusivitas dan kesetaraan di lingkup perusahaan. Kebijakan ini berlaku bagi karyawan dan mantan karyawan yang memenuhi syarat.
Bagi karyawan Modalku yang memenuhi syarat, mereka akan mendapatkan ESOP setiap 2 tahun masa kerja di perusahaan. Modalku juga menawarkan sebesar 50% dari total gaji tahunan dalam pembagian ESOP bagi karyawan baru yang memenuhi syarat.
Para karyawan dan mantan karyawan berhak untuk menjual saham mereka tanpa potongan pada harga saham seri C+ kepada investor yang masuk dibandingkan dengan potongan 20% di industri pada umumnya. Namun, mereka juga dapat memilih untuk mempertahankan atau mengubah ESOP pribadi menjadi saham sehingga dapat menjadi pemegang saham secara efektif.
Berdasarkan data perusahaan, para karyawan dan mantan karyawan telah menguangkan saham ESOP senilai $3,5 juta atau setara Rp50,1 miliar.Terdapat lebih dari 120 karyawan dan mantan karyawan yang telah menerima hadiah uang tunai dari pembelian kembali saham ini sejak berdirinya Grup Modalku.
“Target kami selanjutnya adalah meningkatkan kenyamanan lingkungan kerja bagi karyawan yang juga orang tua. Beberapa langkah yang telah kami ambil adalah menyediakan tunjangan keluarga yang lebih baik dan membuka kesempatan untuk posisi paruh waktu dengan jam kerja yang lebih fleksibel,” ujarnya.
Pendanaan seri C+
Sebagaimana diberitakan sebelumnya, Grup Modalku memperoleh pendanaan seri C+ senilai $144 juta (sekitar 2,06 triliun Rupiah) yang dipimpin oleh Softbank Vision Fund 2, dengan partisipasi dari VNG Corporation, Rapyd Ventures, EDBI, Indies Capital, Ascend Vietnam Ventures, dan investor sebelumnya, seperti Sequoia Capital India dan BRI Ventures.
Selain itu, perusahaan juga mendapatkan fasilitas pinjaman terbaru sebesar $150 juta (sekitar 2,15 triliun) dari lembaga keuangan di Eropa, Amerika serikat, dan Asia.
Dari pendanaan terbaru tersebut, sebanyak $16 juta atau sekitar Rp229 miliar akan digunakan untuk mendanai pembelian kembali saham (ESOP). Selain itu, pendanaan ini juga akan digunakan untuk memperkuat posisinya sebagai pemimpin pendanaan digital dalam skala regional. Pihaknya akan mengelola pengeluaran serta meningkatkan layanan B2B Payments bagi UMKM di Asia Tenggara dalam rangka menjadi neobank.
Sebagai informasi, Grup Modalku, Funding Societies, merupakan platform pendanaan bagi UMKM di Asia Tenggara yang memiliki lisensi di Singapura, Indonesia, Thailand, Malaysia, dan saat ini juga beroperasi di Vietnam. Di Indonesia, Modalku menawarkan pinjaman hingga Rp2 miliar bagi para UMKM yang kesulitan dengan modal bisnis.
Berdasarkan data terakhir, Grup Modalku telah menyalurkan pinjaman UMKM sebesar $2 miliar dan mendanai lebih dari 4,9 juta transaksi di Asia Tenggara dalam 6 tahun.
Singapore-based legaltech startup Qapita announced $15 million (over 213 billion Rupiah) series A funding led by East Ventures through Growth Fund and Vulcan Capital. Participated also in this round NYCA and previous investors, including MassMutual Ventures, Endiya Partners, and several angel investors, including Alto Partners, partners from Northstar Group and K3 Ventures.
Previously, Qapita raised $5 million in the Pre-Series A round and $2.25 million in the seed round, respectively in April 2021 and September 2020. The company has raised a total of $22.25 billion in funding since it was founded.
Qapita is a legaltech company that helps private companies such as startups to manage company’s record of share ownership structures (known as capital tabulations/cap tables) and employee share ownership plans (ESOPs). The startup was founded in September 2019 by CEO Ravi Ravulaparthi, COO Lakshman Gupta, and CTO Vamsee Mohan.
The three of them saw an opportunity to digitize and make the private capital market more efficient. The founders come from diverse professional backgrounds with more than 20 years of experience working as bankers, investors and technologists in South and Southeast Asia.
Qapita’s Co-founder & CEO, Ravi Ravulaparthi explained that the fresh funds will be used to expand its operations in Indonesia, including to strengthen its client base in Singapore and India. He said, Indonesia is one of the fastest growing private markets in the world. It is now a good time to build operating systems and transaction rails for private enterprise ownership in the region.
“It is related to the use of technology to increase transparency, access, efficiency, and liquidity in the private market. This platform will also empower Indonesian startup employees in terms of company ownership. The Qapita team is very grateful to our shareholders and partners in Indonesia who have supported this effort,” Ravulaparthi said in an official statement, Wednesday (6/10).
The Qapita team has grown from 7 people, twelve months ago to around 65 people, today in Singapore and India. Qapita’s operational scope is now spread across three countries, India, Indonesia and Singapore.
The reason is said that these three areas have companies identify opportunities to use technology as it gathers three main trends. It includes the rapid growth in various startups, the expansion of several venture capital, and the financial digitalization.
Qapita predicts the private securities value in the region will exceed $1 trillion-$1.5 trillion (with 200-250 unicorns) in the next few years and scalable digital solutions will be critical for the ecosystem to thrive. Qapita equity management software solves problems related to HR (ESOP), finance and fundraising issues for private companies, investors, shareholders and employees.
Qapita’s marketplace enables secondary transactions for stakeholders. Qapita estimates that more than USD 150 billion of equity will require various liquidity solutions.
Ravulaparthi continued, the company plans to add more products to its platform with this funding round, not only to provide solutions for private companies and startups, but also investors, shareholders and employees.
“Qapita also plans to facilitate liquidity solutions through digital marketplaces that enable transactions for companies between their investors and employee stakeholders.”
East Ventures’ Co-founder & Managing Partner, Willson Cuaca stated his enthusiasm to invest more in Qapita to build an operating system for the private market in the region. “Qapita can be a liaison network between private companies, their employees, shareholders and investors in all matters relating to equities. The startup ecosystem in Indonesia and other regions is growing rapidly,” he said.
ESOP trend in Indonesia
Casting for skilled talent is an important task for startups, but retaining talented staff is another big challenge. High salaries and benefits are the traditional way to retain talent. However, this strategy does not always work, especially when the startup faces competition from other, bigger and more established startups.
In the ESOP, the employer allocates a varying number of company shares to each qualified employee, depending on the salary scale or other aspects. ESOPs usually come with a vesting period, during which employees are prohibited from selling shares.
Each employee’s stock is held in the company’s ESOP trust until the employee retires, leaves the company, or is allowed to sell their shares. Once fully entitled, the company can “buy back” shares from employees, either in its entirety or periodically through liquidity or buybacks.
The plan was created to increase employees dedication to achieve positive results for the startup, as the value of their shares will increase along with the value of the company. By owning shares in the company, employees are less likely to leave, thus potentially reducing employee turnover rates for startups.
The ESOP is becoming a method that is being used gradually in Southeast Asia for small startups to attract and retain talent. In Indonesia, on Ravulaparthi’s observation, this concept is just getting popular. While in India, it has been implemented since the last three years.
A joint survey conducted by Monk’s Hill Ventures and recruitment platform Glints found that in Southeast Asia, equality is a common compensation for C-level staff and other executive-level employees, yet not limited to junior or mid-level employees. The survey stated that less than 32% of participants were compensated in the form of equity. The preference for cash payments is the main reason for the low proportion.
– Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian
Startup legaltech asal Singapura Qapita mengumumkan perolehan pendanaan seri A sebesar $15 juta (lebih dari 213 miliar Rupiah) yang dipimpin East Ventures melalui Growth Fund dan Vulcan Capital. NYCA dan para investor terdahulu, meliputi MassMutual Ventures, Endiya Partners, dan beberapa angel investor, termasuk Alto Partners, para mitra dari Northstar Group dan K3 Ventures, turut berpartisipasi dalam putaran ini.
Sebelumnya, Qapita mengumpulkan dana sebesar $5 juta di babak Pra-Seri A dan $2,25 juta di tahap awal, masing-masing pada April 2021 dan September 2020. Perusahaan telah mengumpulkan total pendanaan sebesar $22,25 miliar sejak pertama kali berdiri.
Qapita adalah perusahaan legaltech yang membantu perusahaan tertutup seperti startup untuk mengelola pencatatan struktur kepemilikan saham perusahaan (dikenal sebagai tabulasi permodalan/cap table) dan rencana kepemilikan saham karyawan (ESOP). Startup ini didirikan pada September 2019 oleh CEO Ravi Ravulaparthi, COO Lakshman Gupta, dan CTO Vamsee Mohan.
Mereka bertiga melihat peluang untuk melakukan digitalisasi dan membuat pasar modal privat lebih efisien. Para pendiri berasal dari latar belakang profesi yang beragam dengan pengalaman lebih dari 20 tahun bekerja sebagai bankir, investor, dan ahli teknologi di Asia Selatan dan Asia Tenggara.
Co-founder & CEO Qapita Ravi Ravulaparthi menjelaskan, perusahaannya akan menggunakan dana segar ini untuk perluasan operasionalnya di Indonesia, termasuk memperkuat basis kliennya di Singapura dan India. Menurutnya, Indonesia adalah salah pasar swasta dengan pertumbuhan tercepat di dunia. Sekarang merupakan waktu yang tepat untuk membangun sistem operasi dan rel transaksi untuk kepemilikan perusahaan swasta di wilayah ini.
“Hal ini berkaitan dengan pemanfaatan teknologi untuk meningkatkan transparansi, akses, efisiensi, dan likuiditas di pasar swasta. Platform ini juga akan memberdayakan karyawan startup Indonesia dalam hal kepemilikan perusahaan mereka. Tim Qapita sangat berterima kasih kepada para pemegang saham dan mitra kami di Indonesia yang telah mendukung dalam upaya ini,” ucap Ravulaparthi dalam keterangan resmi, Rabu (6/10).
Tim Qapita telah berkembang dari 7 orang, dua belas bulan yang lalu menjadi sekitar 65 orang, pada hari ini di Singapura dan India. Cakupan operasional Qapita kini tersebar di tiga negara, yakni India, Indonesia, dan Singapura.
Dia beralasan di tiga wilayah ini perusahaan mengidentifikasi peluang untuk menggunakan teknologi karena terjadi pertemuan tiga tren utama. Yakni, pertumbuhan pesat dalam jumlah startup, ekspansi jumlah modal ventura, dan digitalisasi keuangan.
Qapita memperkirakan nilai sekuritas swasta di wilayah ini akan melebihi $1 triliun-$1,5 triliun (dengan 200-250 unicorn) dalam beberapa tahun ke depan dan solusi digital yang terukur akan sangat penting bagi ekosistem tersebut untuk berkembang. Perangkat lunak manajemen ekuitas Qapita memecahkan masalah yang berkaitan dengan SDM (ESOP), masalah keuangan dan penggalangan dana untuk perusahaan swasta, investor, pemegang saham, dan karyawan.
Marketplace dari Qapita memungkinkan transaksi sekunder bagi para pemangku kepentingan. Qapita memperkirakan bahwa lebih dari USD 150 miliar ekuitas akan membutuhkan berbagai solusi likuiditas.
Ravulaparthi melanjutkan, dari putaran pendanaan ini, perusahaan berencana untuk menambah lebih banyak produk ke platform-nya yang tidak hanya memberikan solusi bagi para perusahaan swasta dan startup, tetapi juga kepada para investor, pemegang saham, dan karyawannya.
“Qapita juga berencana untuk memfasilitasi solusi likuiditas melalui pasar digital yang memungkinkan transaksi bagi perusahaan antara investor mereka dan para pemangku kepentingan karyawan.”
Co-founder & Managing Partner East Ventures Willson Cuaca menuturkan antusiasmenya dapat kembali berinvestasi di Qapita untuk membangun sistem operasi bagi pasar swasta di wilayah ini. “Qapita dapat menjadi jaringan penghubung antara perusahaan swasta, karyawan mereka, pemegang saham, dan investor dalam semua hal berkaitan dengan ekuitas. Ekosistem startup di Indonesia dan region lain tumbuh dengan pesat,” kata dia.
Tren ESOP di Indonesia
Perburuan talenta terampil adalah tugas penting bagi startup, namun mempertahankan staf berbakat adalah tantangan besar lainnya. Gaji dan tunjangan yang tinggi adalah cara tradisional untuk mempertahankan talenta. Namun strategi ini tidak selalu berhasil, terutama ketika startup menghadapi saingan dari startup lain yang lebih besar dan lebih mapan.
Dalam ESOP, pemberi kerja mengalokasikan sejumlah saham perusahaan yang bervariasi kepada setiap karyawan yang memenuhi syarat, tergantung pada skala gaji atau aspek lainnya. ESOP biasanya datang dengan periode vesting, di mana karyawan dilarang menjual saham.
Setiap saham karyawan disimpan dalam kepercayaan ESOP perusahaan sampai karyawan tersebut pensiun, keluar dari perusahaan, atau diizinkan untuk menjual saham mereka. Setelah sepenuhnya menjadi hak, perusahaan dapat “membeli kembali” saham dari karyawan, baik secara keseluruhan atau secara berkala melalui likuiditas atau pembelian kembali.
Rencana tersebut dibuat untuk meningkatkan dedikasi karyawan untuk mencapai hasil positif bagi startup, karena nilai saham mereka akan meningkat seiring dengan nilai perusahaan. Dengan memiliki saham di perusahaan, kemungkinan karyawan untuk keluar akan lebih kecil, sehingga berpotensi mengurangi tingkat turnover karyawan untuk startup.
Tren ESOP menjadi metode yang perlahan-lahan digunakan di Asia Tenggara bagi startup kecil untuk menarik dan mempertahankan talentanya. Di Indonesia sendiri, menurut Ravulaparthi, konsep ini baru mulai populer. Sementara di India sudah lebih dahulu menerapkannya sejak tiga tahun terakhir.
Sebuah survei bersama yang dilakukan oleh Monk’s Hill Ventures dan platform rekrutmen Glints menemukan bahwa di Asia Tenggara, kesetaraan adalah kompensasi umum untuk staf tingkat C dan karyawan tingkat eksekutif lainnya, tetapi tidak terbatas pada karyawan junior atau menengah. Survei tersebut menyatakan bahwa kurang dari 32% peserta diberi kompensasi dalam bentuk ekuitas. Preferensi untuk pembayaran tunai adalah alasan utama proporsi yang rendah.
Ketika ekosistem startup Indonesia berkembang dan mulai matang, perusahaan kini semakin membutuhkan talenta berkualitas tinggi untuk mendorong pertumbuhan. Namun, kurangnya talenta digital yang terampil telah menjadi masalah yang berkelanjutan di Indonesia. Bank Dunia memproyeksikan bahwa pada tahun 2030, negara ini akan menghadapi kekurangan 9 juta pekerja terampil dan semi terampil di sektor teknologi informasi dan komunikasi.
Laporan bersama e-Conomy SEA oleh Google, Temasek, dan Bain & Co. juga secara konsisten menunjukkan kekurangan bakat sebagai salah satu masalah utama yang mengganggu ekosistem digital Indonesia.
Perburuan talenta terampil adalah tugas penting bagi startup lokal, tetapi mempertahankan staf berbakat menjadi tantangan besar lainnya. Gaji dan tunjangan yang tinggi merupakan cara tradisional yang digunakan untuk memikat dan mempertahankan talenta. Namun, strategi ini tidak selalu berhasil, terutama ketika startup menghadapi saingan yang lebih besar dan lebih mapan.
Misalnya, raksasa teknologi China ByteDance berhasil membajak lebih dari dua lusin karyawan dari kantor Facebook AS pada tahun 2019 dengan menawarkan kenaikan gaji 20%. Ini hanyalah salah satu contoh persaingan antar raksasa, tetapi juga menunjukkan bahwa startup yang lebih kecil akan kesulitan bersaing dengan nama besar dengan modal yang lebih besar.
“Startup harus bersaing untuk mendapatkan talenta dengan perusahaan yang matang. Saat ini, jika Anda adalah perusahaan digital swasta di Singapura, misalnya, Anda akan bersaing dengan Microsoft atau Facebook untuk talenta yang sama,” Ravi Ravulaparthi, salah satu pendiri dan CEO startup manajemen ekuitas Qapita, mengatakan kepada KrASIA. “Kalian akan saling membajak,” tambahnya.
Namun, sebuah metode perlahan-lahan menjadi acuan di Asia Tenggara bagi perusahaan rintisan kecil untuk menarik dan mempertahankan pekerja: rencana kepemilikan saham karyawan, atau ESOP, sebuah rencana tunjangan karyawan yang memberikan hak kepemilikan kepada pekerja di perusahaan.
Meskipun ESOP telah menjadi penawaran utama di ekosistem teknologi matang seperti di AS dan China, kesadaran akan pentingnya ESOP belum lama muncul di wilayah lain seperti India dan Asia Tenggara. ESOP telah digunakan oleh perusahaan regional untuk diferensiasi perusahaan dari pesaing dan mengamankan talenta yang tepat, kata Ravulaparthi.
Posisi ESOP di Indonesia
Dalam ESOP, pemberi kerja mengalokasikan sejumlah saham perusahaan yang bervariasi kepada setiap karyawan yang memenuhi syarat, tergantung pada skala gaji atau aspek lainnya. ESOP biasanya datang dengan periode vesting, di mana karyawan dilarang menjual saham. Setiap saham karyawan disimpan dalam kepercayaan ESOP perusahaan sampai karyawan tersebut pensiun, keluar dari perusahaan, atau diizinkan untuk menjual saham mereka. Setelah sepenuhnya menjadi hak, perusahaan dapat “membeli kembali” saham dari karyawan, baik secara keseluruhan atau secara berkala melalui likuiditas atau pembelian kembali.
Rencana tersebut dibuat untuk meningkatkan dedikasi karyawan untuk mencapai hasil positif bagi startup, karena nilai saham mereka akan meningkat seiring dengan nilai perusahaan. Dengan memiliki saham di perusahaan, kemungkinan karyawan untuk keluar akan lebih kecil, sehingga berpotensi mengurangi tingkat turnover karyawan untuk startup.
“Bukan hanya konsep keuntungan masa depan yang akan membantu merekrut talenta terbaik untuk bergabung dengan perusahaan pada tahap awal. Ini juga merupakan konsep ‘skin in the game‘, untuk menumbuhkan rasa memiliki karyawan akan perusahaan, karena ada kepentingan untuk meningkatkan nilai perusahaan,” kata Winnie Khoo, partner di perusahaan modal ventura berbasis di Singapura, Antler.
Ravulaparthi menjelaskan bahwa perusahaan teknologi India baru mulai menerapkan rencana ESOP dalam tiga tahun terakhir, sementara di Asia Tenggara, khususnya Indonesia, konsep tersebut baru mulai populer.
Salah satu faktor adopsi ESOP adalah meningkatnya kesadaran di kalangan pekerja teknologi tentang skema tersebut, Khoo menjelaskan. “Karyawan sekarang lebih sadar akan nilai ESOP dari exit atau secondaries yang telah terjadi, dan melihat langsung bagaimana hal itu membawa nilai moneter kepada karyawan lama,” tambahnya.
Perusahaan tahap awal juga dapat menggunakan ESOP untuk menarik talenta, bahkan ketika mereka tidak mampu membayar gaji tinggi, kata Khoo. ESOP juga merupakan strategi yang baik bagi perusahaan tahap lanjut untuk mempertahankan senioritas dan merekrut talenta asing. “ESOP dapat membantu mengurangi churn karyawan, dan untuk karyawan top, ESOP juga dapat digunakan sebagai sistem penghargaan selain bonus. Anda dapat mengeluarkan ESOP tidak hanya saat perekrutan tetapi terus menerus sepanjang hidup karyawan,” ujarnya.
Sebuah survei bersama yang dilakukan oleh perusahaan VC Monk’s Hill Ventures dan platform rekrutmen bakat manusia Glints menemukan bahwa di Asia Tenggara, kesetaraan adalah kompensasi umum untuk staf tingkat C dan karyawan tingkat eksekutif lainnya, tetapi tidak terbatas pada karyawan junior atau menengah. Survei tersebut menyatakan bahwa kurang dari 32% peserta diberi kompensasi dalam bentuk ekuitas. Preferensi untuk pembayaran tunai adalah alasan utama proporsi yang rendah.
KrASIA mengkonfirmasi dengan Grab, Gojek, dan Tokopedia bahwa mereka menawarkan ESOP untuk karyawan mereka. Namun perusahaan-perusahaan ini tidak menawarkan rincian tentang periode vesting, distribusi saham di antara pekerja, atau standar kelayakan.
Seorang karyawan senior di salah satu e-commerce unicorn Indonesia mengatakan bahwa dia telah bergabung dengan ESOP perusahaannya, dengan periode vesting dua tahun. “Itu merupakan hal yang baik, tetapi saya tidak berharap banyak. Kalaupun saya cairkan sekarang, jumlahnya tidak sebanyak gaji pokok saya, jadi tidak terlalu berpengaruh,” katanya, meminta KrASIA untuk tidak menyebutkan namanya atau perusahaan tempat dia bekerja.
Para pekerja lain melihat ESOP sebagai keuntungan yang menggiurkan. “Saya mengetahui ESOP di perusahaan teknologi tetapi tidak ditawarkan ketika saya mendapatkan pekerjaan ini. Namun, saya ingin menjadi bagian dari salah satunya. Saya pikir itu bisa berfungsi sebagai semacam tabungan atau investasi selain gaji dan tunjangan saya,” ujar perwakilan layanan pelanggan untuk startup hotel tersebut kepada KrASIA. Dia akan mempertimbangkan untuk pindah ke perusahaan lain yang menawarkan gaji dan tunjangan yang serupa atau sedikit lebih rendah tetapi dengan saham ekuitas di belakangnya.
Kurangnya kesadaran tentang ESOP di antara karyawan adalah salah satu masalah, kata Ravulaparthi. “Banyak pendiri mengatakan kepada kami bahwa memiliki ESOP itu baik, tetapi mereka harus menjelaskan nilai ESOP tersebut kepada karyawan mereka.”
“Terkait gaji sudah cukup dipahami. ESOP juga merupakan bentuk kompensasi, tetapi perlu dipahami oleh karyawan agar merasa istimewa menerima kompensasi tersebut,” tambah Ravulaparthi.
Pendiri juga perlu lebih memahami apa itu ESOP dan bagaimana menawarkan sistem ini kepada karyawan dengan sukses, kata Casper Peh, CEO dan pendiri platform manajemen ESOP yang didukung Antler, Svested.
“Saat ini, semua informasi tentang ESOP berpusat di AS, dan tidak banyak informasi online untuk wilayah ini. Dengan demikian, para pendiri sering tidak tahu bagaimana cara melakukannya, dan ada kesenjangan informasi yang sangat besar,” katanya. “Ini adalah situasi di mana para pendiri belum sepenuhnya mengerti dan, dengan demikian, tidak dapat menggunakan alat yang kuat ini untuk perekrutan yang berkualitas.”
Rencana selanjutnya
Indonesia saat ini memiliki lebih dari 2.000 startup yang beroperasi, menurut data dari Kementerian Komunikasi dan Informatika negara yang dirilis pada tahun 2020. Jumlah tersebut akan terus tumbuh karena nilai ekonomi digital negara tersebut diproyeksikan mencapai USD 125 miliar pada tahun 2025.
“Ekosistem startup Indonesia adalah salah satu yang tumbuh paling cepat. Karena ekosistem startup berkembang pesat, opsi ESOP akan tersedia,” ungkap Ravulaparthi.
Perusahaan modal ventura juga berperan dalam meningkatkan adopsi ESOP di antara perusahaan teknologi. Baik Khoo dan Ravulaparthi sepakat bahwa idealnya, sebuah perusahaan harus menyisihkan 10% dari cap table-nya untuk ESOP. “Dalam putaran investasi kami, kami sudah mewajibkan para pendiri untuk menyisihkan jumlah tersebut untuk ESOP,” kata Khoo.
Platform manajemen ekuitas seperti Svested yang berbasis di Singapura juga dapat membantu pendiri dan karyawan untuk memahami ESOP dengan lebih baik. “Mereka membantu pengusaha mengelola dan menjalankan ESOP, dan membantu memberikan informasi mengenai nilai mereka dengan lebih baik kepada karyawan. Pengetahuan tentang manfaat ESOP akan menjadi lebih umum, dan eksekusi oleh pendiri dapat lebih kuat dan fleksibel,” tambah Khoo.
Namun, Ravulaparthi mengatakan bahwa para pendiri juga harus memikirkan opsi likuiditas. Karyawan di perusahaan publik dapat mencairkan saham mereka kapan saja di pasar saham, tetapi situasinya tidak sama untuk pemegang saham perusahaan swasta. Tidak banyak perusahaan yang sering melakukan pembelian kembali atau peristiwa likuiditas, yang dapat mengakibatkan saham karyawan pada dasarnya menjadi “macet”. “Selain berkreasi, Anda juga harus memberikan kesempatan kepada karyawan untuk menjual pada waktunya, sehingga mereka bisa menghasilkan uang dari ESOP tersebut,” ujarnya.
Peh dan Ravulaparthi mengatakan bahwa di Asia Tenggara, periode vesting standar adalah tiga hingga empat tahun, meskipun beberapa perusahaan menawarkan periode yang lebih pendek yaitu dua tahun. Ke depannya, Peh mengatakan bahwa perusahaan harus mulai lebih sering memasukkan acara likuiditas untuk pemegang ESOP dalam putaran penggalangan dana.
“Misalnya, dari USD 50 juta yang terkumpul, sekitar 1 juta hingga 2,5 juta bisa digunakan untuk membantu cash out karyawan lama. Selain itu, bisa juga sebagai jalan bagi investor swasta atau angel untuk bergabung dalam putaran dan melakukan beberapa macam likuiditas untuk karyawan awal,” katanya.
Karena banyak perusahaan teknologi Indonesia mengincar penawaran umum perdana atau IPO, ini dapat membantu meningkatkan popularitas ESOP, Peh menambahkan. “IPO dapat berdampak positif karena banyak karyawan akan dapat menguangkan dan menghasilkan keuntungan finansial yang signifikan. Ini akan menjadi preseden yang baik dan meningkatkan nilai ESOP,” tambah Peh.
– Artikel ini pertama kali dirilis oleh KrASIA. Kembali dirilis dalam bahasa Indonesia sebagai bagian dari kerja sama dengan DailySocial
Employee Stock Option Program (ESOP) menjadi salah satu cara mendapatkan loyalitas karyawan. Program ini pada dasarnya membagikan porsi kepemilikan perusahaan, berbentuk saham, ke karyawan. Program ini sudah lazim digunakan perusahaan-perusahaan terbuka, pun demikian dengan startup. Hanya saja opsi ini masih belum populer di Indonesia karena beberapa hal.
CEO Davehunt International Indonesia David Wongso menjelaskan, ESOP merupakan salah satu monetary reward untuk menciptakan alignment antara financial objective company dan karyawan untuk longer term. ESOP biasanya cocok diberikan untuk skenario perusahaan yang bertumbuh sehingga ada potensial upside. Pria yang sudah bertahun-tahun mendalami industri HR ini menilai ESOP kurang tepat jika diterapkan pada industri yang sunset atau stagnan.
“Karyawan harus melakukan analisis, bila perusahaan menawarkan ESOP dengan membeli di harga tertentu. Apakah harga beli tersebut murah? Bagaimana potential upside-nya? Sebab kalau saham tersebut ternyata nyangkut ketika IDX anjlok atau pandemi seperti saat ini, maka uangnya terkunci dan malah rugi,” terang David.
Jika startup belum melakukan IPO, nilainya tentu tergantung pada valuasi. Semakin banyak investasi yang didapat pada pendanaan selanjutnya, semakin tinggi pula nilai saham. Perhitungan ini yang harus jadi pertimbangan, terlebih jika penawaran datang.
David memberikan pandangan bahwa ESOP penting dilakukan oleh perusahaan yang punya good governance.
ESOP di Startup
Salah satu persaingan di industri startup tidak hanya soal pasar dan pengguna, tetapi juga talenta. Perpindahan talenta dari satu startup ke startup lain tidak lagi menjadi hal yang baru. Ada istilah bajak-membajak talenta di kalangan startup.
Di Silicon Valley, banyak startup yang pada akhirnya menawarkan program ESOP untuk “menahan” talenta terbaik mereka, sekaligus menumbuhkan rasa memiliki yang bisa memotivasi karyawan bekerja secara maksimal.
Per tahun 2017, National Center for Employee Ownership (NCEO) Amerika memperkirakan ada 7.000 ESOP dengan 14 juta karyawan yang terlibat. Selain ESOP, ada sekitar 2000 program profit sharing di Amerika yang diaplikasikan untuk membagi keuntungan dengan karyawan.
Di Indonesia, beberapa perusahaan memang sudah menerapkan ESOP. Di sebuah startup unicorn misalnya, mereka memberikan jatah ESOP yang ditentukan vested setiap 4 tahun dengan pembagian 25% tiap tahun (dengan jumlah saham jatah yang tidak fixed). Saham yang dimiliki (seharusnya) bisa dijual di secondary market setelah vested. Startup unicorn yang lain juga ada yang menerapkan strategi mirip. Meskipun demikian, para pegawai cenderung masih menahan jatah mereka, tidak mencoba menjualnya, karena menganggap valuasi bakal lebih tinggi lagi.
Mendesain rencana kepemilikan saham bagi karyawan tidaklah mudah. Ada beberapa pertimbangan dan perhitungan penting yang harus dilalui untuk menentukan alokasi saham yang disiapkan untuk karyawan, co-founder, dan jajaran manajemen.
Seperti kita ketahui bersama, startup adalah perusahaan yang tumbuh dengan cepat. Ukuran anggota tim bisa naik beberapa kali lipat hanya dalam hitungan tahun. Menentukan kapan program ini dijalankan akan menjadi hal mendasar sebelum rencana ini dijalankan, termasuk rencana vesting.
Yang juga perlu diperhatikan adalah mekanisme bagaimana karyawan bisa mencairkan saham yang diberikan. Jika perusahaan tidak memiliki rencana IPO, bagaimana mekanisme buyback saham dan semacamnya.
Saya berbincang dengan Bhisma, salah satu pegawai sebuah startup di Indonesia. Ia percaya bahwa ESOP mampu memberikan efek yang baik bagi karyawannya, terlebih jika ESOP diberikan murni sebagai penghargaan mereka yang memiliki kinerja cemerlang selama masa bekerja.
“Untuk perusahaan rintisan, di mana situasi kerja dan sistem kerja mungkin masih belum sempurna, ESOP dapat mendorong karyawan untuk semakin giat dan aktif memberikan kontribusi. Namun yang perlu dilihat adalah manajemen harus dengan cermat melakukan penyaringan terhadap siapa saja karyawan yang dimungkinkan untuk mengikuti program ESOP ini. Tujuannya adalah agar ESOP bisa tepat sasaran dalam konteks mengajak karyawan menumbuhkan rasa kepemilikan yang berimbas pada peningkatan performa perusahaan,” jelas Bhisma.
Permasalahan dengan ESOP
Menerapkan ESOP bukan perkara mudah. Program ini membuat struktur modal menjadi lebih kompleks. Belum lagi perhitungan lain terkait pajak dan komposisi saham.
Hal menjadi kompleks ketika karyawan yang mendapatkan jatah saham memutuskan untuk keluar. Jika sudah melakukan IPO, karyawan bisa langsung menjual sahamnya di bursa saham, namun jika masih bersifat privat, perusahaan harus menyiapkan dana untuk membeli kembali saham tersebut. Di Indonesia sendiri OJK sudah mengeluarkan aturan mengenai Pembelian Kembali Saham Yang Dikeluarkan Oleh Perusahaan Terbuk melalui POJK Nomor 30 /POJK.04/2017. Aturan tersebut mengatur segala sesuatunya terkait pembelian kembali saham oleh perusahaan terbuka.
Permasalahan ESOP ini juga timbul dari sisi karyawan. Nilai saham pada dasarnya mengikuti nilai perusahaan. Semakin maju perusahaan semakin tinggi nilai sahamnya. Sebaliknya, ketika karyawan menyimpan ESOP sebagai bagian dari rencana pensiun namun perusahaan bangkrut — hal ini bisa menjadi bencana.
Di Indonesia, ESOP belum jadi pilihan utama para startup untuk mengikat karyawannya. Dibandingkan pilihan financing, konsep ESOP dianggap belum memberikan manfaat secara riil.