Platform top-up game dan produk digital besutan Bukalapak, Lapakgaming, mengumumkan rebranding bisnis. Hal ini disebut sebagai upaya mempertegas posisi sebagai salah satu penyedia layanan top-up game dan produk digital terkemuka di Indonesia.
Mengusung tagline “Dijamin Aman, Garansi 10x Lipat,” rebranding ini juga ditandai dengan peluncuran logo baru dan tampilan situs yang lebih segar. Hal ini diharapkan bisa menjadi wajah dan simbol transformasi Lapakgaming ke depannya.
AVP Gaming Bukalapak Hendi Huang dalam keterangan resmi, Senin (10/7), menyebutkan, “rebranding ini kami rancang sesuai dengan semangat para gamer. Mereka cenderung identik dengan passion and full energy, jadi kami ingin mewakilkan semangat mereka lewat rebranding Lapakgaming ini.”
Lapakgaming diluncurkan secara resmi pada Juni 2020. Selain memberi kemudahan bagi para gamer untuk top-up atau membeli keperluan in-game item dengan mudah dan murah, Lapakgaming juga menjamin keamanan produk dengan menawarkan garansi 10x lipat jika terjadi kendala dalam proses pembelian.
Selama tiga tahun beroperasi, platform ini mencatat pertumbuhan bisnis yang cukup signifikan. Sepanjang 2022 saja, Lapakgaming berhasil mencatatkan pertumbuhan trafik hingga lebih dari 200 persen. Kenaikan ini sejalan dengan meningkatnya jumlah transaksi dan pendapatan perusahaan yang mencapai lebih dari 100 persen.
Pertumbuhan bisnis ini juga didukung berbagai keunggulan yang disuguhkan platform ini, seperti jaminan produk dengan harga termurah, sistem keamanan transaksi yang sudah terjamin, metode pembayaran yang beragam, serta jumlah kategori game yang terus bertambah. Tersedia berbagai jenis game populer, mulai dari Mobile Legends, Free Fire, PUBG Mobile, Genshin Impact, dan lainnya.
Marketplace produk gaming
Industri game di Indonesia disebut telah bertumbuh pesat dan konsisten sejak beberapa tahun terakhir. Hal ini terlihat jelas dari makin banyaknya jumlah gamer yang kini tidak hanya dinikmati oleh para amatir saja, tetapi juga para profesional yang menjadikannya sebagai mata pencarian utama.
Menurut laporan data.ai, Indonesia mencatatkan jumlah unduhan game mobile sebanyak 3,45 miliar sepanjang 2022. Dari segi transaksi, terjadi peningkatan yang juga cukup signifikan. Tercatat para gamer Indonesia menghabiskan sekitar $370 juta untuk game mobile saja, angka ini bertambah sekitar $50 juta dari tahun sebelumnya.
Sejalan dengan jumlah gamer yang meningkat, jumlah transaksi pembelian produk-produk terkait juga meningkat. Hal ini juga sudah dilirik oleh pemain e-commerce tanah air, seperti Shopee, Tokopedia, dan Bukalapak yang telah resmi mengakuisisi platform online marketplace itemku pada 2021.
itemku sendiri merupakan bagian dari Five Jack, didirikan pada 2014. Selain 500 Startups, mereka juga mendapatkan dukungan pendanaan dari Bon Angels Venture Partners. Platform ini menyediakan layanan marketplace yang memungkinkan pengguna untuk melakukan jual-beli aset permainan digital. Mereka juga menjual berbagai voucher untuk akses premium ke sebuah game.
Di samping itu, ada juga situs pembelian item dan voucher game Codashop yang sudah hadir secara global di 30 negara, tersebar di Afrika, Amerika, Asia, hingga Rusia, dan Mongolia. Codashop menyediakan ragam metode pembayaran, mencakup potong pulsa (direct carrier billing/DCB) dan gerai offline (Alfamart, Indomaret, dan agen TrueMoney).
Seiring pertumbuhan industri gaming yang belum akan redup dalam waktu dekat, marketplace untuk produk gaming dan hiburan digital diproyeksi akan semakin banyak. Beberapa nama pemain lainnya yang juga menawarkan layanan serupa untuk para konsumen gamers adalah UniPlay, Dunia Games, Garuda Voucher Indonesia, UniPin, JuraganCash, UPoint.ID.
Bagi para pecinta game atau gamers mungkin sudah tidak asing lagi dengan istilah esports. Esports kini menjadi industri yang sedang booming, terutama untuk anak muda.
Tentu saja, dengan semakin banyak perhatian pada kegiatan inu semakin banyak bakat baru yang bekerja di lapangan. Ada banyak peluang karir di esports, dan bukan hanya sebagai atlet.
Nah, kami telah menyusun rangkuman mengenai esports dan prospek karirnya di bawah ini.
Mengenal Esport
Esports dapat digambarkan sebagai dunia yang kompetitif, diikuti oleh para atlet yang menyukai game. Kompetisinya sendiri melibatkan berbagai kelompok dan kalangan di seluruh dunia yang tertarik dengan level game multiplayer seperti Fortnite, Overwatch, Dota2 dan sejenisnya.
Meski diperbolehkan mengikuti suatu kelompok dan kalangan yang berbeda, esport sendiri juga memiliki standar profesional. Hanya mereka yang sudah memiliki riwayat pertandingan video game yang baik yang diterima.
Misalnya seperti liga sepak bola profesional, namun jika ada segregasi gender dalam kompetisi olahraga, hal ini tidak berlaku untuk esport.
Setiap kelompok dalam olahraga dapat dicampur antara laki-laki dan perempuan, meskipun seiring berjalannya waktu semakin banyak pemain perempuan mulai memasuki industri video game.
Jenis Esports
Esports sendiri dapat dibagi berdasarkan genre game dan developer game.
Menurut The Game Haus, game berbasis olahraga yang populer saat ini adalah:
• MOBA (Multiplayer Online Battle Arena), seperti Dota 2, League of Legends, dan Mobile Legends
• RTS (Real-Time Strategy), seperti Starcraft
• FPS (First Person Shooter), seperti CS:GO, Valorant, dan Call of Duty
• Fighting Games, seperti Tekken dan Mortal Kombat
• MMORPG (Mass Multiplayer Online Role Playing Games), seperti Final Fantasy dan World of Warcraft
• Sports, game-game seperti FIFA, eFootball (PES), NBA 2K, hingga NFL Madden
Sedangkan menurut developer game, ada dua jenis esports yaitu:
• Developer yang tidak aktif menyelenggarakan turnamen untuk game yang mereka buat menyerahkan sepenuhnya kepada komunitas selama mereka meminta izin, seperti Microsoft dan Nintendo.
• Developer yang aktif mengatur dan membuat turnamen untuk game yang mereka buat dan mengizinkan komunitas untuk menyelenggarakan turnamen mereka sendiri seperti B. Riot Games, Valve Corporation, dan Activision Blizzard.
Tujuan Diadakannya Esports
Tentunya jika dilihat dari segi finansial, tujuan dari eSports tidak jauh berbeda dengan liga dan event olahraga pada umumnya. Salah satunya untuk mempromosikan game-game para developer agar semakin banyak dikenal orang, maka Esports juga dijadikan sebagai sponsor atau promosi untuk beberapa produk, seperti promosi olahraga pada umumnya.
Namun, jika kita melihatnya dari sudut pandang para pemain itu sendiri, tujuan esports adalah untuk membangkitkan dan membuat para pemain tetap tertarik dengan game yang mereka ikuti. Karena dengan cara ini, pemain akan lebih bersedia untuk mendukung keberadaan game tersebut agar terus eksis dan berkembang lebih baik dengan setiap pembaruannya.
Peluang Karir Esports
Esports terus berkembang, membuat peluang karir bagi para atlet dan pelatih menjadi tidak terbatas.
Kamu dapat mengejar karir sebagai streamer, manajer, atau analis jika kamu memahami game dengan baik.
Tentunya personality kamu dan seberapa baik kamu berinteraksi dengan audiens adalah hal yang perlu kamu perhatikan, terutama jika kamu ingin menjadi atlet esports. Jika kamu berkarir sebagai seorang pemain, kamu dapat menerima penghasilan dari sponsor, gaji dari tim, dan hadiah saat kamu memenangkan turnamen.
Selain itu, bonus dan hadiah penonton dapat bervariasi, terutama jika kamu melakukan streaming.
Itulah penjelasan mengenai esports hingga peluang karir dari kegiatan ini. Semoga kamu sukses menjadi atlet esports sejati.
Startup pengembang game lokal Anantarupa Studios mengumumkan penutupan pendanaan tahap awal senilai $3 juta (lebih dari 47 miliar Rupiah). Putaran ini dipimpin oleh Oriza Greenwillow Technology Fund, VC asal Singapura.
Dana segar akan digunakan untuk mempercepat ekspansi regional Lokapala, gim MOBA (Multiplayer Online Battle Arena) lokal yang dibuat Anantarupa, dan menyiapkan pengembangan IP/konten Lokapala. Penandatanganan investasi ini difasilitasi oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif RI sebagai bentuk dukungan penuh pemerintah terhadap industri gim dan kekayaan intelektual nasional.
Dalam keterangan resmi, Managing Partner Oriza Greenwillow Technology Fund Loh Wai Keong menyampaikan, Anantarupa Studios mengembangkan karakter-karakter dalam Lokapala berdasarkan kesatria legendaris dalam berbagai kekayaan sejarah dan budaya di Indonesia dan Asia Tenggara. Para kesatria legendaris ini akan beresonansi dengan kuat bersama para pemain di sini dan membentuk koneksi secara emosional maupun kultural.
Menurutnya, konten gim Lokapala yang unik dapat menjadi IP unggulan dalam industri konten lain yang selalu membutuhkan konten-konten baru, seperti komik, animasi, film, medium bercerita lainnya, serta merchandising dan gamifikasi konten edukasi.
“Seluruh sektor ini tentunya akan membentuk kekuatan ekonomi kreatif baru yang berbasis IP bagi Indonesia dan wilayah Asia Tenggara lainnya, serta mampu membuka lapangan pekerjaan baru bagi para milenial.” ucapnya.
CEO Antarupa Studios Ivan Chen mengatakan, dalam ekosistem esports, mata rantai bisnisnya terpusat pada komoditas utama, yaitu gimnya. Pihaknya melihat Lokapala sebagai IP Indonesia punya potensi besar untuk menembus pasar global.
“Untuk itu kami juga mempersiapkan pengembangan IP Lokapala dengan berkolaborasi bersama sektor lain untuk memproduksi komik, animasi, film, musik, dan merchandising. Kami berharap Lokapala dapat membawa IP Indonesia ke tingkat yang lebih tinggi,” kata Ivan.
Potensi bisnis gim
Ivan melanjutkan, mengutip dari data yang ia peroleh, industri gim adalah industri konten atau IP terbesar di dunia yang mampu menyumbang transaksi hingga Rp3.200 triliun pada 2022. Jumlah ini tiga kali lebih besar daripada industri film di dunia. Menurut riset, sebanyak 61% dari total transaksi industri gim seluler mencapai $136 miliar di 2022, meningkat 170% lebih cepat dari pertumbuhan industri secara menyeluruh.
Potensi tersebut menarik sejumlah pemodal ventura ternama yang berkomitmen untuk berinvestasi sebesar Rp12 triliun di 2023 untuk industri gim di Asia Tenggara. Oleh karenanya, industri gim diharapkan mampu memperoleh porsi investasi yang signifikan di antara negara Asia Tenggara lainnya.
Ivan berambisi bahwa Lokapala punya peluang besar untuk menguasai pasar Asia Tenggara, mengingat 90% pemain gim di regional ini memainkan gim esports. Bahkan, beberapa negara di Asia Tenggara mulai mengembangkan wisata esports sebagai program pariwisata di negaranya karena esports menjadi medium komunikasi bagi generasi muda, melintasi batasan-batasan budaya dan bahasa.
Saat ini, Anantarupa Studios sedang mempersiapkan uji server untuk kawasan Asia Tenggara, serta mengembangkan beberapa mode gim dan fitur baru, seperti Battle Pass dan inter-regional matchmaking untuk mengakomodasi para pemain lintas negara.
Lokapala adalah IP dari Anantarupa Studios dan dipublikasi oleh Dunia Games dan Upoint Games. Gim esports bergenre MOBA 5v5 ini mengutamakan strategi dan kerja sama tim dengan sentuhan budaya nusantara. Adapun Anantarupa Studios didirikan oleh Ivan Chen dan Diana Paskarina pada 2011, berfokus pada pengembangan bisnis custom game, AR, VR, dan layanan B2B lainnya.
Visi perusahaan adalah menjadi leading IP developer di Indonesia, dengan mengangkat kekayaan warisan budaya Indonesia dan memperkenalkan ke pasar global. Pada 2018, perusahaan bertransformasi menjadi perusahaan gim dengan genre MOBA. Timnya telah mencapai lebih dari 80 orang.
Perusahaan label rekaman dan manajemen artis Trinity Optima Production (TOP) mengumumkan investasi ke perusahaan esports PT Generasi Tangguh Luar Biasa atau GPX (Generation of Power and Xtraordinary). Investasi strategis dengan nominal dirahasiakan ini dilakukan melalui anak usaha TOP, yakni Trinity Optima Plus (TOP+).
GPX sendiri merupakan tim esports sekaligus perusahaan talent management dan entertainment. Pendirinya adalah mantan pro player di skena kompetisi Mobile Legends Professional League (MPL), yakni Eko Julianto (Oura), Yurino Putra Angkawijaya (Donkey), dan Steven Kurniawan (Marsha).
Dalam keterangan resmi yang disampaikan hari ini (11/10), CEO TOP Yonathan Nugraha menyampaikan perusahaannya tengah mengarah ke transformasi, salah satunya dengan mengembangkan ekosistem hiburan yang komprehensif di Indonesia. “Guna menuju ke arah itu, kami ingin masuk ke beragam sektor yang strategis dan tentunya punya value jangka panjang, salah satunya industri esports,” kata dia.
CEO GPX Eko Julianto menyampaikan apresiasinya kepada TOP+ atas investasi strategis ini. Bagi dia, kolaborasi strategis yang tepat dengan bisnis berpengalaman seperti TOP tentunya berperan penting dalam manajemen klub. “Ke depan, harapannya tim GPX bisa semakin profesional dalam mengelola bisnis internal dan eksternal juga, tidak hanya sebagai pemain,” ucap Eko.
Juru Bicara Muda Pengurus Besar Esports Indonesia (PB ESI) Yudistira Adipratama mengatakan, terdapat sekitar 465 juta penonton esports di seluruh dunia, angka ini naik 6,7% dari tahun sebelumnya. Di Indonesia saja, terdapat lebih dari 53 juta gamers dengan mayoritas usia berada di kelompok generasi muda.
Saat ini tercatat sejumlah perusahaan, mulai dari startup sampai perusahaan blue chip sudah menjajaki peluang bisnis di industri esports, baik sebagai sponsor maupun investor. Misalnya, Grup Djarum melalui perusahaan venture capital GDP Venture yang kini memegang saham untuk Indonesian Esports Premier League (IESPL), selaku penyelenggara Piala Presiden Esports.
Rencana sinergi kedua perusahaan
Kedua perusahaan akan saling bersinergi untuk menciptakan nilai tambah di industri esports. Menurut Direktur TOP+ Dwi Santoso, keahlian perusahaan turut disumbangkan untuk membesarkan GPX dan komunitasnya, selaras dengan core bisnis utamanya yang bergerak di artist management.
“Misalnya, saat melakukan rekrutmen pemain dan talent, pengelolaan perusahaan, aspek legal, dan good governance practice. Ke depan, kami akan menyelenggarakan event Talent Hunt dan juga turnamen berbasis komunitas yang menarget setidaknya 50 tim peserta dari seluruh Indonesia,” kata Dwi.
Dwi menambahkan, keputusan untuk masuk ke bisnis esports adalah bagian dari strategi agar tetap relevan di kalangan generasi muda. GPX sendiri dinilai punya pengaruh besar. “Banyak talenta baru yang tumbuh dengan melihat permainan Oura, Donkey, dan Marsha yang berkali-kali menang di liga esports dunia. Ketiga founder juga menyalurkan visi misi yang cocok dengan TOP+ lewat GPX, yaitu bisnis yang jujur dan talent oriented.”
Potensi bisnis esports tidak hanya terbatas pada kompetisi, lantaran yang terlihat jelas di mata konsumen adalah ketika ada kompetisi dan figur para roster (pemain), sukses mendorong brand masuk ke sana. Tapi di luar itu juga menawarkan banyak area yang bisa digarap untuk dimaksimalkan melalui penguatan ekosistem.
Saat ini area pendapatan dari esports terbagi ke dalam beberapa segmen, antara lain sponsor, iklan, merchandise, streaming, hak siar, publikasi, hingga kemungkinan cross sector brand extension. Pihaknya sudah lama melakukan pemetaan ini agar setiap talent dan partner yang dikelola punya daya saing dan nilai jual tinggi untuk karya atau skill mereka. “Termasuk untuk GPX, banyak rencana kolaborasi konten dan program di media digital yang masih kita eksplor,” pungkasnya.
Platform game dan turnamen Mobile Premier League (MPL) mengumumkan penutupan operasional di Indonesia, sehubungan itu juga merumahkan karyawan yang bekerja di Indonesia. Selain itu, seiring dengan penyesuaian bisnis, perusahaan memberhentikan 10% dari total karayawan keseluruhan. Seperti diketahui, MPL adalah startup asal India yang saat ini sudah memiliki kehadiran di sejumlah negara Asia Pasifik, Amerika Serikat, dan Eropa.
Informasi ini dikonfirmasi langsung oleh perusahaan melalui akun Instagram-nya yang diunggah kemarin (30/5). “MPL Indonesia menginformasikan bahwa saat ini kami sudah tidak beroperasi dan tidak menerima pengguna baru. Terima kasih atas dukungan pemain dan semua pihak,” ujar MPL Indonesia.
Sebelumnya, informasi ini pertama kali diberitakan oleh Inc24. Pihak MPL pun juga telah memberikan konfirmasinya atas keputusan tersebut. Disebutkan pemutusan kerja ini terjadi di divisi streaming. Karyawan akan menerima paket pesangon lengkap beserta tunjangan lainnya.
Secara terpisah mengutip dari Moneycontrol, pendiri MPL Sai Srinivas dan Shubh Malhotra mengatakan bahwa selama beberapa bulan belakangan ini kondisinya begitu rumit. Target pertumbuhan tidak sesuai yang diharapkan. Pasar saat ini menghargai pertumbuhan yang menguntungkan dengan segala cara.
“Sudah waktunya untuk membuat keputusan sulit untuk menyebarkan kembali sumber daya kami di bagian lain dari bisnis untuk memastikan kesehatan dan kesuksesan jangka panjang kami sebagai perusahaan,” ujar perwakilan perusahaan dalam email.
Kabar ini begitu mengejutkan. Pasalnya, MPL mengakuisisi platform streaming GamingMonk pada April 2021. Sebagai bagian dari transaksi, MPL menyerap seluruhnya tim GamingMonk. Disinyalir, sebagian besar karyawan yang terkena PHK ini berasal dari GamingMonk, setelah lebih dari setahun sedikit pasca kesepakatan.
Para pendiri juga menjelaskan alasan keluar dari Indonesia dalam email tersebut. Menurut mereka, MPL melihat profil pengembalian yang hanya sebagian kecil dari apa yang mereka harapkan, meskipun telah berinvestasi dalam jumlah banyak untuk operasional di Indonesia.
PHK ini terjadi delapan bulan setelah MPL mengumpulkan $150 juta dalam putaran pendanaan yang membuat MPL menyabet posisi sebagai unicorn di India.
MPL didirikan pada tahun 2018 oleh Srinivas, Kiran G, dan Malhotra, MPL adalah platform esports dan turnamen. Platform ini menawarkan lebih dari 70 game di berbagai kategori, seperti olahraga fantasi harian, kuis, permainan papan, esports, dan game kasual di aplikasinya. Startup ini melayani lebih dari 90 juta pengguna di seluruh India dan AS.
Baru-baru ini, MPL berkelana ke penerbitan game dengan peluncuran Mayhem Studios dan masuknya ke pasar Amerika Serikat dan Eropa. Pendiri menyebutkan bisnis MPL di sana memiliki pendapatan positif dalam waktu sembilan bulan sejak diluncurkan.
Oleh karenanya, perusahaan akan fokus untuk mencapai netralitas EBITDA, sambil fokus pada pasar global utama. Untuk mendukung ambisi tersebut, pada September 2021, MPL mengumpulkan dana baru sebesar $2,3 miliar dipimpin oleh Legatum Capital, dengan partisipasi dari Sequoia, SIG, RTP Global, Go-Ventures, Moore Strategic Ventures, dan lainnya.
MPL Indonesia
Sebelumnya, MPL Indonesia dipimpin oleh Ridzki Syahputera sebagai VP & Country Head. Melalui situs dan aplikasi MPL, pengguna di Indonesia dapat menikmati dua kategori permainan, yakni casual game dan fantasy sport game. “Setiap game yang ada lebih mengedepankan kemampuan pemain ketimbang keberuntungan, sehingga di MPL pengguna benar-benar harus berlatih dan mengasah kemampuannya,” ujar Ridzki.
Sementara terkait kontes, ada beberapa tipe yang dapat diikuti. Mulai dari turnamen, head-to-head battle (satu lawan satu dengan tingkat keahlian yang sama), battle arena (mirip satu lawan satu tapi dengan jangka waktu tertentu, pemenang dihitung dari berapa kali mereka mendapatkan juara dari sesi yang diikuti), dan mega contest (turnamen dengan waktu dan hadiah yang lebih besar).
“Rata-rata MPL menyediakan 1600 kontes per hari. Teknologi kami pada dasarnya bisa untuk memfasilitasi turnamen esports dengan skala besar dengan dukungan 24 jam,” imbuhnya dalam wawancara bersamaDailySocial.id.
Setiap pemain yang berminat untuk gabung di suatu sesi akan dikenakan biaya. Di dalam sesi tersebut ada hadiah tertentu dari nominal yang dikumpulkan – di beberapa acara juga disediakan hadiah dari sponsor. Pengguna juga dapat menukarkan poin (berlian) yang didapat melalui fitur MPL Mall untuk ditukarkan dengan berbagai voucher yang disediakan.
Diklaim, pertumbuhan pengguna MPL secara keseluruhan telah mencapai 85%, pandemi juga mendorong peningkatan basis pengguna. Sejak Maret tahun lalu, ada peningkatan 55% dalam game play dan 7 kali lipat jumlah pengguna. Tapi pandemi juga menghadirkan banyak tantangan bagi perusahaan.
“Ada dampak positif di beberapa metrik, tapi ada yang terganggu juga di metrik lain. Misalnya akibat purchasing power yang menurun. Banyak pengguna yang tetap bermain untuk alternatif hiburan di masa pandemi, tapi daya beli mereka turun. Maret s/d April 2020 menjadi puncaknya kami merasakan dampak yang cukup signifikan terhadap deposit rate di platform,” jelas Ridzki.
VCGamers is a social commerce platform for gamers. The company recently announced to reach a $20 million valuation or equivalent to 287.4 billion Rupiah. Previously, in mid-2021, VCGamers has secured a $2.6 million seed funding or equivalent to 37.3 billion Rupiah, led by BEENEXT and Rans Ventures – the venture capital unit owned by celebrities Raffi Ahmad and Nagita Slavina.
A number of angel investors participated in the funding, including Ari Fadyl (Google APAC’s executive) and Jerry Soer (VP of Collab Asia).
“VCGamers aims to become an all-in-one home and platform for gamers, and to provide economic empowerment for small businesses and entrepreneurs in the gaming ecosystem. We are fully committed to building a platform that can serve the needs of all gamers in Indonesia and the region,” the Co-Founder & CEO, Isya Sony Subrata said .
Isya founded VCGamers along with Hartanto, Ibnu Anggara, and Wafa Taftazani. Wafa recently announced his new startup Upbanx has received $5.2 million and currently participating in the Y Combinator program. He was previously known as the founder of Modal Rakyat and also an angel investor for several startups.
After the funding, VCGamers will accelerate product development, grow the business, and plan to expand into Southeast Asia. VCGamers is currently under PT Sotta Teknologi, with its headquarter in Bekasi, West Java.
Currently they offer services through a web platform. The game players can buy and sell various items/assets/currencies used in a gaming ecosystem. Developed as a hub, VCGamers allows users to connect with each other, including hosting events such as tournaments or creating an esports team.
Entering the NFT ecosystem
Furthermore, VCGamers will enter the Web3 game. Today (07/1) they will conduct a debut offering for the VCG token which will later become one of the transaction support assets in the social commerce. In addition, VCG is designed to revive the NFT gaming ecosystem, including for trading game items and assets. Its total supply reaches 100 million, operating on top of the Binance platform.
A social commerce-based approach is considered relevant to animate transactions in the gaming business.It is due to many items are obtained by individuals – and can be traded to other users. VCG can provide support for a better transaction process, especially if it succeed in penetrating the regional market – especially for cross-border transactions which is more affordable.
In the area of asset and gaming item marketplace, VCGamers is not a solo player. There is also itemku which is also Bukalapak’s subsidiary. The market value of the gaming industry in Indonesia is projected to reach 24.4 trillion Rupiah last year. It is projected to continuously increase as more mature business models are applied to the business ecosystem — particularly driven by the development of esports businesses.
– Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian
VCGamers merupakan sebuah platform social commerce untuk pemain game. Baru-baru ini mereka mengumumkan telah mencapai valuasi $20 juta atau setara 287,4 miliar Rupiah. Sebelumnya pada pertengahan tahun 2021 lalu, VCGamers membukukan pendanaan awal senilai $2,6 juta atau setara 37,3 miliar Rupiah yang dipimpin oleh BEENEXT dan Rans Ventures — unit usaha modal ventura milik selebriti Raffi Ahmad dan Nagita Slavina.
Sejumlah angel investor turut berpartisipasi dalam pendanaan tersebut, di antaranya Ari Fadyl (eksekutif Google APAC) dan Jerry Soer (VP Collab Asia).
“Tujuan VCGamers adalah menjadi rumah dan platform all-in-one bagi para gamer, dan untuk memberikan pemberdayaan ekonomi bagi usaha kecil dan pengusaha di ekosistem game. Kami berkomitmen penuh untuk membangun platform yang dapat melayani kebutuhan semua gamer di Indonesia dan regional,” ujar Co-Founder & CEO Isya Sony Subrata.
Selain Isya, VCGamers turut didirikan Hartanto, Ibnu Anggara, dan Wafa Taftazani. Wafa sendiri baru-baru ini juga mengumumkan startup barunya Upbanx yang telah mendapatkan pendanaan investor $5,2 juta bebarengan dengan keikutsertaannya ke dalam program Y Combinator. Ia juga sebelumnya dikenal sebagai pendiri Modal Rakyat dan menjadi angel investor di sejumlah startup.
Pascapendanaan ini, VCGamers akan mengakselerasi pengembangan produk, menumbuhkan bisnis, dan merencanakan ekspansi ke Asia Tenggara. VCGamers sendiri bernaung di bawah PT Sotta Teknologi, memiliki markas pusat di Bekasi, Jawa Barat.
Saat ini mereka menjajakan layanannya melalui platform web. Di sana para pemain game dapat membeli dan menjual berbagai item/aset/mata uang yang digunakan dalam sebuah ekosistem permainan game. Dikembangkan menjadi sebuah hub, VCGamers juga memungkinkan antarpengguna untuk saling terhubung, termasuk untuk mengadakan sebuah acara seperti turnamen atau membuat tim esports.
Masuki ekosistem NFT
Rencana berikutnya yang akan segera dimatangkan, VCGamers akan masuk ke permainan Web3. Hari ini (07/1) mereka akan melakukan penawaran perdana untuk token VCG yang nantinya akan menjadi salah satu aset penunjang transaksi di social commerce milik mereka. Selain itu VCG juga didesain untuk menghidupkan ekosistem NFT game di dalamnya, termasuk untuk memperjual-belikan item dan aset game. Total suplainya mencapai 100 juta, berdiri di atas platform Binance.
Pendekatan berbasis social commerce juga dinilai relevan untuk menghidupkan transaksi dalam bisnis game. Pasalnya item-item game memang banyak didapat oleh individu –dan dapat diperjual-belikan kepada pengguna lain. VCG dapat memberikan dukungan untuk proses transaksi yang lebih baik, apalagi jika nantinya VCGamers berhasil menembus pasar regional – khususnya untuk transaksi cross-border yang lebih terjangkau.
Di ranah marketplace aset dan item game sendiri VCGamers tidak sendiri, sejumlah pemain telah masuk di kawasan ini. Salah satunya itemku yang saat ini menjadi anak perusahaan dari Bukalapak. Nilai pasar industri game di Indonesia diproyeksikan telah mencapai 24,4 triliun Rupiah pada tahun lalu. Diproyeksikan akan terus meningkat seiring dengan model bisnis yang makin matang diaplikasikan pada ekosistem bisnis tersebut — khususnya didorong perkembangan pebisnis esports.
Tahun 2021 telah menjadi saksi atas kembalinya olahraga otomotif seiring dunia mulai pulih secara perlahan dan hidup berdampingan dengan pandemi yang masih berkelanjutan, namun ini sama sekali bukan berarti minat terhadap sim racing jadi menurun. Pada kenyataannya, minat terhadap sim racing terus meningkat seiring dengan semakin banyaknya event dunia nyata yang menggelar versi virtualnya demi membantu menyempitkan celah antara realita dan virtual lebih lagi. Selain meningkatnya popularitas kompetisi dan cabang-cabang baru, 2021 juga menandai awal dari sebuah standar baru di sim racing dengan teknologi yang di tahun-tahun sebelumnya pernah dianggap tidak aksesibel dan tidak praktis.
Pertumbuhan dalam keberagaman
Ada banyak sekali liga/kompetisi balap virtual tahun ini. Hampir semua seri global di dunia nyata kini punya salinan virtualnya, di antaranya F1 Esports, Le Mans Virtual, GT World Challenge eSports. Pabrikan mobil seperti Toyota, Porsche, Lamborghini dan BMW, dan merek-merek seperti Michelin (ban) dan Logitech (periferal gaming) menggelar kompetisinya sendiri-sendiri yang dapat diikuti oleh semua orang dari seluruh dunia.
Namun salah satu kejutan terbesar adalah pertumbuhan dari kompetisi-kompetisi di cabang Drifting. Tidak seperti kebanyakan cabang balap mobil lainnya, Drifting tidak dinilai berdasarkan waktu lap ataupun posisi. Sebagai gantinya, ada tim juri yang mengevaluasi para partisipan berdasarkan garis-garis, sudut, dan sedekat apa mereka dengan mobil lain sebagai pengejar.
IDDS (Indonesian Digital Drift Series) mengadakan seri terbesarnya tahun ini dengan diikuti oleh partisipan-partisipan internasional, dan dengan Andika Rama Maulana sebagai juara kelas PRO2 tahun ini. Berkat kesuksesan IDDS, harapannya adalah kita bisa melihat lebih banyak ajang drift digital yang digelar di region Asia, bersamaan dengan kawasan-kawasan lain yang mungkin ikut membuka pintu buat partisipan internasional.
Di tempat lain, Assetto Corsa Competizione tampaknya menjadi judul favorit baru bagi banyak kompetisi dan liga. Di samping balap sprint biasa, semakin banyak penyelenggara yang melirik aspek endurance dari judul tersebut. SRO Motorsports Group (yang bertanggung jawab atas GT World Challenge Esports) mengadakan kompetisi untuk seri Sprint dan Endurance. Dengan update konten yang ditambahkan ke game secara berkala tahun ini dan penyempurnaan yang terus diterapkan pada aspek handling dan performa mobil, ACC sepertinya bakal terus melanjutkan momentumnya di tahun 2022, dengan kabar seputar kemungkinan adanya kelas baru mobil-mobil GT yang mendapat izin dari SRO.
Sim racing di Olimpiade
Tahun ini juga menandai pertama kalinya sim racing muncul di sebuah event resmi di Olimpiade. Sebagai bagian dari Olympic Virtual Series, e-racer dari berbagai penjuru dunia diberi kesempatan untuk bertanding dalam event bergengsi ini melalui platform Gran Turismo Sport.
Kompetisi berlangsung sengit seiring para partisipan mencoba menyelesaikan satu lap sempurna di Tokyo Expressway South Inner Loop menggunakan mobil GR Supra Gr.3 demi memenuhi kualifikasi untuk Olympic Virtual Series, dengan hanya beberapa posisi yang tersedia untuk Asia. Empat pembalap dari Asia berhasil lolos kualifikasi, yakni Takuma Miyazono (JPN), Stanford Chau (HKG), Nathayos Sirigaya (THA) dan Taj Aiman (MYS). Pada akhirnya, Valerio Gallo (ITA) muncul sebagai pemenang kompetisi.
Dengan munculnya olahraga otomotif virtual di Olimpiade, tidak diragukan lagi ini juga bisa tampil di kompetisi olahraga regional di masa yang akan datang macam SEA Games.
Standar baru — Direct Drive terjangkau
Kemajuan terbesar di sim racing tahun ini mungkin bisa ditinjau dari kian terjangkaunya harga setir berteknologi direct drive. Pada tahun-tahun sebelumnya, setir direct drive dibanderol di kisaran $1.000 hanya untuk wheel base-nya saja. Harga ini dinilai tidak praktis buat rata-rata sim racer ataupun mereka yang kompetitif namun tidak mampu membeli peralatan semacam itu.
Yang tadinya sebatas candaan April Mop rupanya menjadi sebuah konsepsi yang nyata, dengan pengumuman CSL DD baru dari Fanatec yang wheel base-nya dihargai cuma $349,95. Setir baru ini dirancang untuk menggantikan CSL Elite yang menggunakan sistem belt drive. CSL DD awalnya kompatibel dengan PC dan Xbox, menjadikan para pengguna PlayStation bertanya-tanya apakah mereka juga bakal kebagian jatah. Bocoran foto tersebar tidak lama setelah perilisan CSL DD, akan tetapi para pembalap PlayStation rupanya tidak perlu menunggu terlalu lama mengingat GT DD PRO diluncurkan pada Desember 2021, dengan desain wheel base yang hampir identik seperti milik CSL DD, namun dengan dukungan PlayStation dan PC. Kedua wheel base menerima respons yang sangat positif dari para pengguna sekaligus ulasan-ulasan.
Merek terkemuka lain juga ikut menyusul jejak Fanatec dengan menyediakan lebih banyak setir direct drive yang lebih terjangkau, Thrustmaster akan membuat pengumuman sebelum akhir tahun, sementara bocoran foto mengindikasikan kemungkinan adanya penawaran dari Logitech. Pemain baru seperti Moza dan merek familier seperti Simagic mulai menawarkan setir direct drive di harga yang lebih terjangkau. Cuma perkara waktu sebelum setir direct drive menjadi standar baru buat sebagian besar, atau malah semua setir balap bertipe force feedback. Mungkin dalam 2-3 tahun, setir berbasis belt drive bakal berada di tingkatan termurah dari setir force feedback.
Prediksi tahun 2022 (dan seterusnya)?
Saat artikel ini ditulis, masih terlalu dini untuk menyebutkan apa yang bisa kita harapkan tidak hanya di 2022, tapi juga di tahun-tahun berikutnya, terlepas dari game-game yang diumumkan untuk tahun depan.
Gran Turismo 7 dijadwalkan rilis pada Maret 2022, sementara seri terbaru Forza Motorsport diharapkan nantinya dengan detail baru mengenai model handling yang diungkap dalam sebuah wawancara baru-baru ini. Kedua game ditujukan untuk pasar gamer konsol, yang diperkirakan bakal memiliki audiens besar dengan banyak event dan kompetisi yang menyusul pasca peluncuran keduanya.
Assetto Corsa 2 diduga tidak akan muncul sebelum 2024 seperti yang diumumkan pada tahun ini, akan tetapi Assetto Corsa Competizione diperkirakan bakal mendapat lebih banyak pembaruan dalam waktu dekat, yang akan semakin menambah variasi balapan dalam game ini terlepas dari absennya dukungan modding. Iracing juga memamerkan sistem cuaca dinamis baru mereka tahun ini dan diperkirakan bakal siap pada 2022.
Seri IndyCar juga akan memiliki judul game-nya sendiri di tahun 2023 dari Motorsport Games, akan tetapi jika melihat respons buruk yang diterima NASCAR 21: Ignition pasca perilisannya, pengembangnya akan memerlukan semua waktu dari sekarang untuk membuat game mereka berikutnya jadi lebih baik.
Sementara untuk perlengkapan sim racing, sulit menebak kejutan apa yang bakal hadir di tahun 2022. Perilisan setir BMW M4 GT3 besutan Fanatec menampilkan setir yang dapat dipakai di wheel base Fanatec sekaligus di mobil BMW M4 GT3 yang sesungguhnya. Mungkin di masa yang akan datang, kita bakal memiliki teknologi yang memungkinkan sim racer untuk memakai setir standar dari toko variasi mobil tanpa harus membongkar sejumlah komponen dari wheel base-nya.
2021 telah menjadi tahun yang sangat menyenangkan buat sim racing, dan kita hanya bisa menantikan lebih banyak kejutan di tahun 2022!
Artikel ini ditulis oleh tim konten dari Legion of Racers. Publikasi di Hybrid.co.id telah dengan izin, dan kami bekerja sama dengan Legion of Racers untuk menghadirkan berbagai artikel terkait Sim Racing.
Segala sesuatu yang bersifat digital pada dasarnya dapat diubah menjadi NFT (non-fungible token). Mulai dari gambar, GIF, audio, sampai video, semuanya bisa dikemas ulang menjadi aset NFT yang tercatat di blockchain secara permanen. Ini berarti NFT juga bisa dijadikan medium arsip yang ideal di samping sebatas instrumen investasi.
Menurut startup asal London yang menamai dirinya TKNZ (dibaca tokenz), NFT merupakan medium yang tepat untuk mengabadikan momen-momen paling berkenang di dunia esports dan gaming. Konsepnya kurang lebih mirip seperti yang ditawarkan NBA Top Shot, akan tetapi yang khusus diperuntukkan esports dan gaming ketimbang olahraga basket.
Kalau di NBA Top Shot kita bisa memiliki momen slam dunk dahsyat LeBron James, di TKNZ kita dapat memiliki momen fountain hook Dendi ataupun momen-momen clutch lain yang tak kalah legendaris di sepanjang sejarah esports dan gaming. Begitu kira-kira perbandingan sederhananya.
TKNZ sejauh ini memang belum merilis kartu-kartu memorabilia esports dan gaming ini — rencananya baru di tahun 2022 — namun yang pasti nantinya kartu-kartu tersebut bakal dibagi menjadi tiga kategori berdasarkan kelangkaannya: Rare (warna biru), Epic (warna ungu), dan Legendary (warna emas). Semakin langka, otomatis jumlah kartu yang tersedia semakin sedikit.
Kartu-kartu ini nantinya akan TKNZ jual dalam bingkisan acak (pack), dan setiap pengguna hanya diperbolehkan membeli hingga 3 pack dari setiap edisi (drop) guna menghindari monopoli. Kartu-kartu di dalamnya kemudian bebas kita perjual-belikan di marketplace.
Selain informasi tingkat rarity-nya, setiap NFT di TKNZ juga akan dibekali informasi-informasi tambahan yang berbeda-beda untuk setiap esports/game. TKNZ juga berencana memperkaya setiap NFT dengan metadata esports, semisal informasi event yang diambil dari database Liquipedia, demi memberikan konteks pada masing-masing NFT.
Secara teknis, TKNZ menggunakan blockchain Flow (sama seperti NBA Top Shot), akan tetapi pengembangnya sudah punya rencana untuk mengintegrasikan TKNZ dengan Solana, Binance Smart Chain, Polygon, Polkadot, Enjin’s Efinity, dan WAX ke depannya.
Selagi menanti kehadirannya, Anda bisa mengklaim NFT gratis dari TKNZ dengan mendaftarkan email dan membagikan cuitan di Twitter.
In recent years, more and more non-endemic brands have decided to support esports players and esports organizations. One of the perks the esports sponsors usually receive is the installation of the company logo or name on the pro jersey.
Unfortunately, broadcasting esports matches is vastly different from traditional sports competitions. When you watch sports broadcasts, you can clearly observe the athletes and their jerseys. However, most esports matches usually only show in-game events, which of course does not include the player. Players are rarely highlighted, and so their jerseys are also not often displayed. To work around this problem, most companies looking to sponsor an esports team opt to use naming sponsorships. As a result, the company’s name will be integrated and clearly displayed in the team name.
The History of Naming Rights Contracts in Esports
By 2020, the esports industry’s revenue is estimated to be nearly $1 billion USD. Sponsorships and media rights contribute to almost 75% of this total revenue. Furthermore, for most esports organizations, sponsors often contribute to almost all of their income and finances. According to Gaming Street, on average, about 90% of an esports organization’s total revenue comes from sponsorships.
Of course, all these sponsoring companies have their own set of goals they want to achieve from the collaboration. Based on the study called Sponsorship in Esports, most companies that sponsor esports organizations usually seek long-term goals such as building a reputation among esports fans. Short-term goals like increasing sales are usually not the primary motive behind these esports sponsors.
Indeed, being an esports sponsor will boost their popularity among the millennials and Gen Z, which are the large majority of the demographic of esports followers. According to another study titled Sponsoring Esports to Improve Brand Image, one-third of esports fans will usually prefer and perceive sponsoring brands more positively over non-sponsoring ones. Considering that today’s esports audience approximately reaches 474 million, sponsorship companies can effectively attract 158 million potential customers into their business.
Generally speaking, there are four types of sponsorship: media sponsors, promotional sponsors, in-kind sponsors, and financial sponsors. Media sponsors deal with secure advertising for an event through television, newspapers, or digital channels (such as websites and blogs). Promotional sponsors are similar to media sponsors. However, promotional sponsors usually involve only a single person with a large network of followers rather than a whole media outlet.
In-kind sponsors are usually businesses which can provide goods or services. Beverage brands, for instance, can become an in-kind sponsor by providing drinks to the viewers, tournaments officials, players, etc. The last and perhaps the most common form of sponsorship is financial sponsorship. As the name implies, financial sponsors will provide direct financial support or funds for the tournament, event, or organization they sponsor.
As mentioned previously, one of the perks that esports teams can offer to their sponsors is displaying the sponsor’s logo or name on the players’ jerseys. But, of course, we already knew the limitations of this approach. Therefore, some companies prefer to become name sponsors (or sometimes called title sponsors) and combine their brand name with the esports team name. After all, the name of the esports team will always be mentioned and displayed in the esports competition broadcast. So, by becoming the naming sponsor of the esports team, companies can exponentially increase their exposure towards consumers — especially esports audiences. So far, there are several esports organizations that have signed naming rights contracts with brands, both endemic and non-endemic.
An example of an esports organization with a name sponsor is DAMWON Gaming, a South Korean organization that won the League of Legends World Championship in 2020. In December 2020, DAMWON announced its naming rights deal with Kia Motor starting in 2021, changing its team name to DWG MCH. DAMWON also introduced a new logo and jersey for their League of Legends team. Hyugho Kwon, Head of Korea Business Division in Kia Motors, explained that they wanted to “revitalize” the global esports ecosystem through the partnership with DAMWON. Kia Motors also wishes to promote and expose the brand to esports fans around the world.
Another esports organization that recently signed a naming rights contract is JD Gaming. The organization is part of the esports division of Jing Dong, an e-commerce company from China. The company that sponsored JD Gaming is Intel. The naming rights agreement, which lasts for two years, effectively changes JD Gaming’s brand name to JDG Intel Esports Club. Unfortunately, we have no information about the cost of purchasing JD Gaming’s name contract.
Team SoloMid (TSM) has also just signed a naming rights contract in early June 2021 with a cryptocurrency exchange company from Hong Kong called Future Exchange (FTX). The partnership between TSM and FTX is reported to last for 10 years and is valued at US$210 million. TSM now undergoes with the brand name of TSM FTX. Again, FTX conducted this partnership in the hopes of marketing the brand to the American public.
In Indonesia, there is also an esports team that has signed a naming rights contract. The esports organization is Aerowolf. In May 2019, Aerowolf announced that Genflix, a local video streaming platform, had officially become their naming sponsor and changed its brand name from Aerowolf Roxy to Genflix Aerowolf. Just like FTX and most other name sponsors, Genflix’s goal behind collaborating with Aerowolf is to increase its brand awareness, especially towards the younger esports audience.
Advantages and Disadvantages of Naming Rights Agreements
Every company wants to have a popular and good brand reputation. In the midst of intense competition, having a positive brand image can be a massive game-changer in terms of generating revenue. And, of course, sponsorship is an easy and effective method to boost a brand’s reputation. Thus, many companies today who look into marketing their brand towards the younger demography will more often than not turn into sponsorships in esports.
According to Winnan, sponsoring events and teams are currently the best option in esports sponsorships. However, out of all of the aforementioned types of sponsorships, which one should you pick if you are looking to be an esports sponsor?
Naming or title sponsorships does look like the best option. After all, we already discussed why naming rights contracts are considered a far more superior form of sponsorship in esports. Other than the increased exposure in tournament broadcasts, naming sponsorships usually have a higher chance of capturing the loyalty of the fans. In a book entitled The eSports Market and eSports Sponsoring, author Julian Heinz Anton Stroh states that most esports fans are aware that companies that sponsor their favorite teams have goals of their own self-interest, such as increasing sales. However, fans also know that the esports industry needs sponsors to survive, which is why they often appreciate and care deeply about the support that sponsors provide.
Various studies also show that fans still gladly welcome non-endemic brands (companies that are not related to esports or gaming) to support the competitive gaming scene. Although most esports followers do slightly prefer sponsorships from endemic brands, the study by Stroh shows that 70% of esports fans still hope that more and more non-endemic brands will enter the esports scene.
Being an esports sponsor does improve the brand image in the eyes of esports fans. However, several other factors also affect the company’s reputation in a sponsorship deal, such as the activation method used by sponsors, the target audience, and the products offered by the company.
It is undeniable that the esports community is incredibly enthusiastic. If a sponsor can successfully “win the hearts” of esports fans, its brand will be vastly promoted on social media. Unfortunately, the enthusiasm of esports fans can also act as a double-edged sword. A slight fault or mistake in a sponsor’s message towards fans can spread bad reputation like wildfire. This fact also applies to naming rights contracts.
Naming rights contracts a form of partnership with the highest associativity since brand names are effectively combined together. Therefore, if either party is exposed to a scandal, the other will also be extensively affected. For example, if an esports team is caught in a cheating accusation, both the esports organization and the name sponsor will suffer from reputation damage.
The primary goal of name sponsor brands is often to get fans to associate their brand with the team. However, naming rights contracts sometimes don’t last long. And if the team name frequently changes, fans will eventually feel indifferent towards name sponsors. Another possibility that might occur is that fans will only remember the old name sponsor over new ones.
According to a Chron report, this exact scenario has occurred at Candlestick Park, the stadium of the San Francisco 49ers and San Francisco Giants. The stadium was initially named Candlestick Park in 1960. In 1995-2002, the stadium’s name was changed to 3Com Park. The name of the stadium changed again in 2004-2008 to Monster Park. However, today, most fans still associate the stadium name as Candlestick Park despite the two name modifications that took place. A simple solution to this problem that name sponsors can employ is to extend the name contract duration, similar to the partnership between TSM and FTX.
Naming rights partnerships are similar to company takeovers in the business world. Both of them have the potential to be profitable or yield extreme losses for both parties. A company acquisition or takeover is considered successful when the acquired company can contribute revenue greater than the initial purchase value. Take Facebook’s acquisition of Instagram in 2012 as an example. Although Facebook initially bought Instagram for $1 billion USD, Instagram today has more than 1 billion users and contributes over $20 billion to Facebook’s revenue each year.
However, startups or small companies do not always want to accept takeover offers. Sometimes, these companies may believe that they can independently grow into a business with a larger value than the acquisition price. An example of a company that resisted large corporate takeovers is Discord. Microsoft had offered $12 billion USD to acquire Discord. However, according to a Bloomberg report, Discord refused and instead look into the opportunity to go public in the future.
All these plus and minuses in company takeovers are also present in naming rights contracts. The deal between TSM and FTX, for instance, lasts for 10 years and is worth $210 million USD. Therefore, we can assume that the TSM brand is currently valued at $210 million USD. However, TSM might become more popular in the future, and their brand value might increase, favoring FTX. However, there is also a possibility that the performance and popularity of the TSM organization might decline over the next 10 years, which will cause FTX huge losses since their contract value decreases.
Naming Rights Contracts in Conventional Sports
Naming rights agreements are also a common occurrence in the conventional sports world. For example, several basketball teams in Indonesia have sold their naming rights to sponsors. One of these Indonesian basketball teams with a name sponsor is Satria Muda.
Since its establishment in 1993, Satria Muda has signed naming rights contracts with several brands. In 1997, Coca-Cola Company’s AdeS brand became the first name sponsor of this Jakarta-based basketball team. As a result, the team name was changed to AdeS Satria Muda. A year later, in 1998, the team name changed again to Mahaka Satria Muda after signing a deal with PT Abdi Bangsa Tbk owned by Erick Tohir. In 2004, BRI through BritAma became the next name sponsor of the Satria Muda team, altering the team name to Satria Muda BritAma. The Satria Muda headquarters was also named The BritAma Arena as a result of the agreement. However, in 2015, Satria Muda signed their last and current name sponsor with Pertamina. Along with this change, the basketball team’s name was changed to Satria Muda Pertamina.
Another national basketball team that also has a name sponsor is Amartha Hangtuah. When it was initially founded in 2003, the basketball team undergoes by the name Hangtuah and only modified it to Hangtuah Sumsel Indonesia Muda five years later. This name was used until 2019 when Amartha decided to become the name sponsor of HangTuah. After the partnership, the basketball team became known as Amartha Hangtuah.
Of course, not all sports teams are willing to sell the exclusive naming rights of their team. European football clubs, for instance, rarely sell the club’s naming rights and instead opt to sell the naming rights of their stadiums. For example, the Emirates airline bought the naming rights to Arsenal’s stadium in 2004. It is estimated that this 15-year contract between the two parties is worth £100 million. The deal also includes the installation of Emirates’ logo in the Arsenal player jerseys since the 2006-2007 season. Last year, Barcelona also just sold the naming rights of their stadium, Camp Nou, and donated the funds they receive to COVID-19 related charities.
The main reason why most top-tier football clubs almost never give up their naming rights is that their club name is already “too well-known” to people around the world. Their club names, in some sense, are considered to be formally established. In contrast to the relatively new esports teams, most European football clubs are more than 100 years old. Four famous clubs in the UK were founded before 1900: Arsenal in 1886, Liverpool in 1892, Manchester City in 1880, and Manchester United in 1878. Therefore, it is very unlikely that these clubs will surrender the longevity of their brand name to sponsors. And if they were to open up a naming sponsorship deal, the price that they would set would be incredibly expensive. Most sponsors can perhaps already get a reasonable amount of exposure in regular sponsorship agreements with football clubs and thus would never opt to become title sponsors even if there is an opportunity to do so.
Naming rights contracts are not limited to sports teams or esports organizations. Some companies are also willing to become naming sponsors of sports events or esports competitions. Toyota, for instance, became the naming sponsor of Thailand’s national football league called Toyota League Cup. In the realm of esports, Intel is undoubtedly one of the most well-known tournament name sponsors. Intel Extreme Masters and Intel Grand Slam are two examples of Intel-sponsored esports tournaments. In Indonesia, JD.id has also conducted a name sponsorship agreement with Yamisok’s esports league called the High School League. Like all other name sponsors, JD.id’s goal behind this partnership is to increase brand awareness among high school esports players and viewers
Conclusion
The world of business is full of intense competition as hundreds of brands try their best to win the market and rise to the top. One of the most effective methods for a company to beat its competitors is building a good brand reputation and image, which is why many of them opt to become sponsors of popular sports or esports teams.
Placing a logo or company name on a player’s jersey is one of the most basic forms of sponsorship in conventional sports or esports. However, companies can further increase their exposure by conducting a naming sponsorship deal with the organization. By becoming a name sponsor, fans will immediately associate the brand name with their favorite team. But, of course, name sponsorship agreements can have potential repercussions for both parties as well. If one of the sides is affected by an issue, the other might also be severely affected. Like all business decisions, there are always pros and cons that must be carefully considered. Nevertheless, when it comes to esports sponsorships, the current hot trend and deals are happening in naming rights agreements.
Featured image: Freepik. Translated by: Ananto Joyoadikusumo