Chongqing Major telah selesai dengan Team Secret yang jadi juaranya. Ini berarti Dota Pro Circuit akan kembali bergulir dengan kompetisi lainnya. Mengutip Liquidpedia Dota 2, kompetisi lanjutan DPC 18-19 adalah StarLadder Season 6, yang merupakan kompetisi Minor. Walau sebenarnya sudah ada sistem Dota Pro Circuit (DPC), antusiasme penyelenggara pihak ketiga ternyata tidak menurun walau mereka masuk golongan kurang beruntung dan tidak mendapat status Major/Minor.
Salah satunya penyelenggara yang cukup berani adalah ESL, yang akan gelar ESL One Katowice 2019 Februari ini. Kompetisi ini, serta kota Katowice, memang sudah sejak lama menjadi tradisi bagi ESL, sang penyelenggara kompetisi esports terbesar dan tertua. Dota 2 Major mungkin terdengar baru bagi Katowice, namun kota di negara Polandia ini sudah lama jadi saksi bisu akan munculnya jagoan-jagoan di jagat kompetitif Counter Strike: Global Offensive.
Kota Katowice sendiri merupakan salah satu kota besar di selatan negara Polandia. Kota ini juga jadi salah satu kota bersejarah bagi ESL, karena merupakan kota pilihan untuk gelaran esports terbesar mereka yaitu Intel Extreme Masters atau IEM; yang mana juga jadi gelaran CS:GO Major.
Walau ESL Katowice sudah diselenggarakan bertahun-tahun, namun Dota baru dipertandingkan di Katowice sejak tahun 2018 lalu. Tahun lalu kompetisi ini mendapat porsi Major sendiri dalam DPC, namun sayangnya porsi tersebut sepertinya diberikan kepada komunitas Dota Tiongkok pada tahun ini, lewat Chongqing Major 2019.
Tanpa kehadiran status DPC bukan berarti ESL Katowice jadi kurang greget. Terbukti para tim profesional Dota 2 yang bertanding dalam kompetisi ini tetap mereka para tim besar di jagat kompetisi Dota 2. Ada 12 tim Dota terbaik dari berbagai belahan dunia turut bertarung di ESL One Katowice dengan memperebutkan hadiah total $300.000 (sekitar Rp4,2 Miliar).
🇵🇱⚙️ #ESLOne Katowice teams: ██████████ 100%! Who will you support?
Bukan cuma dari segi tim yang bertanding saja, baru-baru ini ESL juga telah mengumumkan para talenta berbakat yang akan mengisi dan turut meramaikan acara ini. Mereka adalah para caster, analis, host, yang akan membuat ESL One Katowice ini jadi semakin menarik.
Para talent yang mengisi acara ini adalah para bintang yang selama ini selalu menghiasi keseruan dari jagat kompetitif Dota 2, seperti Toby ‘Tobiwan’ Dawson, Alan ‘Nahaz’ Bester, Paul ‘Redeye’ Chaloner, Jorien ‘Sheever’ Van Der Heijden, dan masih banyak lagi.
ESL One Katowice 2019 kembali hadir di Spodek Arena, Katowice, Polandia. Kompetisi ini akan berlangsung pada bulan Februari nanti, dari tanggal 22 – 24 Februari 2019.
Perusahaan minyak Shell bekerja sama dengan Riot Games dalam seri kompetisi liga League of Legends di Eropa (LEC). Kerjasama Shell dengan esports ini terbilang baru, mengingat ini adalah kali pertama industri pertambangan terjun ke esports.
Sebelumnya, pemain dari brand non-endemiclainnya memang sudah lebih dulu melek esports seperti Mercedes-Benz, kripik Pringles, ataupun produk Indofood. Kerjasama antara Shell dengan Riot Games, juga menjadi unik karena Shell mendapat porsinya tersendiri dalam acara League of Legends European Championship (LEC 2019).
Porsi penampilan Shell dalam LEC sendiri adalah dalam sebuah segmen replay selama pertandingan yang disebut sebagai “Baron Power Play Presented by Shell V-Power”. Cara penyajian sponsor seperti ini terbilang baru untuk jagat esports, namun bukan sesuatu yang asing di dalam dunia olahraga. Kalau kamu pernah menonton liga bola basket Amerika, NBA, kamu mungkin pernah melihat juga satu segmen tertentu (seperti replay, istirahat paruh babak, highlight momen keren) yang diisi oleh para sponsor.
Terkait kerjasama ini, mengutip press release yang diterbitkan oleh The Esports Observer mengatakan, “kerjasama ini adalah langkah pertama Shell untuk masuk ke esports dan ke cabang game besar di Eropa, League of Legends. Kami bangga bisa berkolaborasi dengan mereka dan bisa bergabung dalam perjalanan untuk menciptakan hiburan serta nilai bagi penggemar esports di Eropa”.
Tambahan lain selain tampil dalam segmen “Baron Power Play” Shell juga akan memberikan berbagai hadiah in-game kepada para penggemar League of Legends. Beberapa contohnya seperti kode skin gratis atau promosi khusus untuk penonton League of Legends dengan bahasa Jerman.
Riot Games belakangan memang sedang bekerja keras untuk mengumpulkan partner untuk menyokong liga LEC. Sebelumnya mereka juga bekerja sama dengan Kia dan juga Alienware.
Nama LEC sendiri merupakan rebranding setelah sebelumnya kompetisi ini bernama EU LCS atau European League of Legends Championship Series. Liga kompetisi ini diikuti oleh berbagai nama besar di eropa seperti SK Gaming, Fnatic, G2, bahkan juga klub sepakbola Jerman, Schalke.
Berita mencengangkan datang pagi hari ini dari jagat kompetitif Dota 2 Internasional. Salah satu pemain legendaris asal Ukraina, Danil “Dendi” Ishutin, secara resmi pindah ke tim Tigers. Kepindahan Dendi terbilang tidak diduga, karena selama ini Dendi hampir tidak pernah bermain Dota di jagat kompetitif Dota SEA.
Belakangan Tigers memang sedang mencari pemain. Hal ini dilakukan setelah tim yang digawangi oleh Theeban “1437” Siva ditinggal oleh dua pemain terbaiknya yaitu Lai “Ahjit” Jay Son dan pemain kebanggan Indonesia Muhammad “InYourDream” Rizky. Pengumuman berita ini sendiri datang cukup tiba-tiba, bahkan mungkin tak ada yang menduga hal ini sebelumnya.
A long time rival to our players, now ally. Let’s welcome Danil "Dendi" Ishutin as the 5th member to join the Tigers family today! Bringing the team to a full roster. Fans of Tigers, we want to share this experience with you. Meet the new members of @tigers_dota . #roartigerspic.twitter.com/w75zbAg7yZ
Kehadiran Dendi ke dalam tim, melengkapi roster dari tim Tigers. Sebelum Dendi, Tigers mengumumkan kehadiran sang legenda jagat kompetisi Dota SEA ke dalam tim, Chai “Mushi” Yee Fung. Selama ini Mushi dan Dendi selalu menjadi rival dalam berbagai kompetisi Dota sejak dari zaman dahulu. Ibaratnya, Dendi menjadi jendral jagat kompetisi Dota regional CIS (Eropa Timur) sementara Mushi adalah jendral dari jagat kompetisi Dota SEA (Asia Tenggara).
Kehadiran Dendi tentu membuat Tigers makin menarik untuk disimak. Lebih menarik lagi, adalah melihat bagaimana nantinya perkembangan permainan dari satu-satunya pemain Indonesia yang tersisa di tim Tigers, Kenny “Xepher” Deo. Dengan kehadiran 3 pemain senior yang sudah banyak makan asam garam di kancah kompetisi Dota, yaitu Mushi, 1437, dan Dendi, tentunya kita berharap akan memberi banyak pengalaman berarti kepada Xepher.
Dengan ini maka lengkap sudah roster dari tim Tigers, berikut roster pemain tim Tigers setelah kehadiran Dendi.
David “MoonMeander” Tan
Kenny “Xepher” Deo
Chai “Mushi” Yee Fung
Theeban “1437” Siva
Danil “Dendi” Ishutin
Kalau melihat dari jajaran roster ini, kemungkinan besar Dendi akan tetap berada di dalam posisi andalannya yaitu midlaner. Hybrid memprediksi hal ini karena melihat empat pemain sisanya yang sudah punya role andalan masing-masing, MoonMeander di Off-lane, Mushi di carry, Xepher di 2nd Support, dan 1437 di Hard Support.
Setelah kepergiannya dari tim Navi, Dendi terbilang tak banyak bicara soal masa depan yang akan ia rengkuh di kancah kompetisi Dota. Ia sempat bilang bahwa ia akan istirahat dari jagat kompetisi Dota, namun beberapa kali juga ia sempat terlihat bermain bersama Vega Squadron dengan kawan-kawannya.
Dengan ia bergabung di tim Tigers, sepertinya Dendi sudah mendapatkan kembali semangat jiwa kompetisinya, dan siap untuk kembali memperebutkan Aegis of Champions di tahun 2019 ini!
Pekan lalu kita melihat bagaimana perjuangan tim BOOM.ID dalam kompetisi Bucharest Minor, salah satu kompetisi yang masuk dalam rangkaian Dota 2 Pro Circuit2018-2019 (DPC 2019). Secara hasil, BOOM.ID mungkin belum bisa memenuhi ekspektasi para netizen bermulut tajam namun perjuangan mereka patut diapresiasi berkat kegigihan mereka untuk lolos ke kompetisi internasional.
Penasaran dengan sepak terjang mereka selama di Bucharest Minor, Hybrid mewawancara Brando Oloan, manajer tim Dota 2 BOOM.ID selama di Bucharest Minor kemarin. Bucharest Minor sendiri merupakan salah satu kompetisi bagian dari DPC 2019, yang tergolong sebagai kompetisi Minor.
Kompetisi Minor bisa dibilang seperti liga divisi 2 dalam jagat kompetisi Dota internasional. Jadi Bucharest Minor menjanjikan sang juara poin DPC untuk dapat lolos ke Dota 2 The International dan juga slot untuk menuju ke Major berikutnya; dalam hal ini adalah slot menuju Chongqing Major yang didapatkan oleh tim EHOME. Bisa melihat tim Indonesia menunjukkan kemampuannya di Bucharest, Hungaria, Brando mengaku benar-benar merasa senang dan bangga. Apalagi, lawan mereka ketika itu juga merupakan beberapa tim yang punya nama besar, OG contohnya tim juara TI 8 yang performanya sedang menurun belakangan.
Mereka memang sempat melakukan satu kesalahan yang membuat nama BOOM.ID menjadi sorotan di jagat kompetisi Dota internasional. Namun mungkin yang para khalayak Dota baik lokal maupun internasional tidak lihat, adalah bagaimana proses perjuangan mereka untuk sampai di sana.
Brando lalu menceritakan proses perjuangan mereka. Ia mengatakan bahwa para player BOOM.ID benar-benar disiplin dengan apa yang mereka lakukan, mulai dari latihan dan belajar dari setiap game. Tapi lagi-lagi, nyatanya bermain di panggung internasional tidak semudah dan sesederhana itu. Selain gameplay, mental memegang peranan penting di sana; seperti yang sudah sempat Hybrid bahas dalam artikel soal esports dan psikologi olahraga.
Salah satu yang unik dari kompetisi ini bagi BOOM.ID adalah kehadiran Mikoto sang wonderkid wajah baru jagat kompetisi Dota 2 Indonesia. Sepak terjang Mikoto sudah layaknya Topson dari tim OG, bedanya, Bucharest Minor yang jadi kompetisi internasional pertama bagi Mikoto. Tercatat, baru 2 tahun dia berkelana di jagat kompetisi esports. Walau singkat, Mikoto sudah menunjukkan potensi besarnya. Akhirnya berkat pembuktian yang ia lakukan, ia pun ditarik ke dalam tim BOOM.ID untuk menggantikan SaintDeLucaz yang rehat dari dunia kompetitif Dota.
Sebagai kompetisi internasional pertamanya, Brando mengatakan bahwa Mikoto ada perasaan nervous pada saat bermain di Bucharest Minor. “Soalnya turnamen pertama dia keluar negeri, ditambah ini juga Valve event kan” tambah Brando. Penasaran soal gameplay dan mekanik, menariknya Brando mengakui bahwa sebenarnya skill mekanik pemain Indo itu nggak kalah dari mereka yang punya jam terbang jauh lebih tinggi di jagat kompetitif Dota 2.
“Kalau mekanik sih Indonesia nggak kalah ya, cuma gue akui memang kelemahan kita itu dari segi strategi dan META understanding aja ya,” jawab Brando kepada Hybrid. Terakhir, mencoba melihat sisi positif dari hasil yang didapat BOOM.ID selama Bucharest Minor kemarin, Brando mengatakan bahwa kompetisi ini merupakan pelajaran besar bagi BOOM.ID.
“Hard work get you further than anything, latihan terus, belajar terus, karena setiap hari, setiap game, setiap latihan pasti selalu ada yang bisa kita pelajari untuk menjadi yang lebih baik.” Jawab Brando menutup obrolan dengan Hybrid.
Sekali lagi selamat kepada BOOM.ID, yang sudah mencurahkan segala daya dan upaya agar dapat tembus sampai ke kompetisi tingkat Internasional. Meski mendapat hasil yang kurang memuaskan, namun hal ini tentu menjadi pelajaran besar yang bisa membuat jagat kompetisi Dota 2 Indonesia semakin hebat lagi ke depannya.
Tahun 2014 lalu, mobile gaming belum heboh seperti sekarang karena banyak faktor, teknologi salah satunya. Bahkan mobile gamers kerap didiskriminasi gamers secara umum, dianggap bukan gamers karena game mobile kebanyakan casual, tanpa ada kedalaman cerita, ataupun grafis megah.
Namun kala itu ada satu pengembang game andal bersatu padu dari berbagai latar belakang bekerja sama menciptakan Super Evil Megacorp (SEMC). Mereka menciptakan sebuah karya yang tak terpikirkan di masanya: sebuah game mobile dengan grafis memukau layaknya di konsol atau PC, sebuah game MOBA yang dimainkan bersamaan secara real-time bernama Vainglory.
Pada saat perilisannya, Vainglory segera menarik perhatian jutaan pasang mata. Bayangkan saja, game mobile yang ketika itu hanya game mengiris-iris buah ataupun berlari tanpa akhir sampai bosan mendadak berubah menjadi sebuah game yang begitu kompetitif.
Vainglory The First MOBA on Mobile
Kalau boleh jujur, Vainglory sebenarnya tidak bisa sepenuhnya dikatakan sebagai yang pertama, mengingat sudah ada game seperti Heroes of Order and Chaos besutan Gameloft. Namun satu hal yang saya sepakat dengan SEMC adalah bahwa Vainglory merupakan game MOBA mobile pertama dengan gameplay yang unik, kontrol intuitif, namun memiliki kedalaman mekanik yang cukup membuat pemain MOBA kompetitif jadi penasaran; atau bisa dibilang MOBA paling sempurna pertama pada masanya.
Rilis pertama tahun 2014, Vainglory pertama kali tampil dalam presentasi produk Apple iPhone 6. Presentasi tersebut segera memukau para pengguna smartphone karena secara grafis, Vainglory adalah game pertama yang berjalan secara 60 FPS, punya grafis detil, lengkap dengan efek particle dan animasi yang kompleks.
Game ini segera menjadi pusat perhatian, bahkan ketika itu salah satu Youtuber tersohor pun turut memainkannya. PewDiePie sempat bermain Vainglory dan mengunggahnya pada 1 Agustus 2015 lalu. Mengutip salah satu media teknologi ternama VentureBeat, Vainglory berhasil mencapai 1,5 juta pemain aktif bulanan pada 1 Juli 2015 saat baru dirilis.
Kesuksesan ini menggerakan Super Evil Megacorp ke langkah berikutnya. Mencoba meniru kesuksesan League of Legends dan Dota 2, mereka pun mencoba mengembangkan esports Vainglory.
Menjadi esport Mobile Pertama di Dunia dan Indonesia
Setelah menuai kesuksesan dari perilisan pertamanya di tahun 2014, Vainglory akhirnya mulai menjajaki dunia esport satu tahun berikutnya; tepatnya pada Mei 2015. Ketika itu mereka segera melakukan kerja sama dengan berbagai ekosistem dunia esports, ESL dan OGN Korea salah satunya.
Mengutip Fortune, lewat sebuah kompetisi liga lokal Korsel bertajuk Korean eSports league OGN Vainglory Invitationals pada bulan Juli 2015, Vainglory meraup penonton sampai dengan satu juta orang.
Tak lupa juga gelaran Vainglory Premiere League diSeptember 2015 yang menawarkan total hadiah US$80 ribu dan diikuti oleh 12 tim dari empat kawasan (Amerika Utara, Tiongkok, Korea, dan Eropa) semakin melanggengkan Vainglory sebagai esport mobile games pertama dan terbesar di masanya.
Sementara itu Vainglory sendiri mulai memanas di Indonesia saat tahun 2017. Ketika itu ada Indonesia Games Championship 2017 dan Vainglory 8 Summer Championship Jakarta. Bahkan ketika itu Indonesia baru saja berbangga setelah lolosnya tim Elite8 ke jenjang internasional lewat Vainglory 8 Spring Championship Manila. Tak lupa juga ajang kumpul komunitas terbesar, Halcyon Gathering 2.0, ketika itu juga terjadi di Indonesia.
Gempuran MOBA Mobile Asia Timur dan Munculnya 5v5
Masih pada tahun 2017, esports Vainglory di Indonesia terbilang dibilang sedang panas-panasnya. Sayangnya, SEMC ketika itu seolah abai dengan gempuran MOBA Mobile asal Tiongkok yang berhasil mengambil hati banyak gamers di Indonesia. Tahun 2017 adalah tahun ketika Mobile Legends mendapatkan banyak perhatian gamers dan industri esports Indonesia.
Potensi esports Mobile Legends terlihat pertama kali saat kualifikasi dan acara utama Mobile Legends SEA Cup (MSC 2017). Event tersebut berhasil membuat venue jadi penuh sesak, yaitu di Gandaria City pada saat kualifikasi dan Mall Taman Anggrek pada saat acara Grand Final. Selain Mobile Legends, Garena Indonesia di sisi lain juga tengah mempersiapkan sesuatu.
Garena ingin merilis versi global dari MOBA yang selama ini jadi favorit banyak orang di Tiongkok sana, Kings of Glory. Game tersebut akhirnya rilis di Indonesia dengan nama Mobile Arena dan berganti menjadi Arena of Valor pada Agustus 2017 lalu. Kedua game ini segera menyedot perhatian banyak gamers karena grafis yang lebih enteng di smartphone orang Indonesia, gameplay yang lebih sederhana, dan mudah dipelajari oleh berbagai kalangan.
Vainglory Worlds 2017, SEMC akhirnya merilis Vainglory 5v5 yang segera memunculkan kontroversi di kalangan komunitas. Ada yang menganggap 3v3 terlalu bergantung pada skill individu yang membuat permainan jadi membosankan dan ada juga yang menganggap 5v5 menghilangkan ciri khas dari Vainglory. Hal ini pada akhirnya menciptakan sebuah dilema tersendiri bagi Vainglory.
Senjakala esport Vainglory di Tahun 2018
Berlanjut ke tahun 2018 yang sebenarnya menjadi kebangkitan MOBA Mobile dan mobile esports secara keseluruhan, bagaimana dengan Vainglory? Lucunya tahun 2018 malah jadi momen mati suri Vainglory esport secara global maupun Indonesia.
Secara global, esports Vainglory mulai gonjang-ganjing ketika banyak organisasi mundur. Tim seperti Gankstars, Cloud9, bahkan TeamSoloMid menutup divisi Vainglory mereka. Menanggapi kepanikan komunitas, FlashX pun angkat bicara terkait hal ini. Ia mengatakan bahwa memang Super Evil Megacorp memotong anggaran esport Vainglory yang akhirnya menciptakan permasalahan tersebut
Bagaimana dengan Indonesia? Untungnya berkat bantuan pihak ketiga, kancah kompetitif Vainglory Indonesia masih cukup hangat. Kaskus Battleground Season 1 mengisi kalender esports Vainglory awal tahun 2018. Lalu masuk pertengahan tahun akhir tahun, ada Vainglory Premier League Indonesia yang merupakan liga esports Vainglory yang diselenggarakan secara online oleh tim AGe Network. Lalu ditutup dengan perjuangan tim Elite8 di tingkat Asia dalam kompetisi WESG 2018.
Herry ‘Herrboy’ Sudharma, sebagai salah satu shoutcaster dan penggiat esports Vainglory di Indonesia, angkat bicara soal problematika ini. Ia mengatakan memang salah satu masalah terbesar adalah perkara tingkat kesulitan Vainglory yang lebih tinggi dibanding MOBA mobile lainnya serta kebutuhan spesifikasi smartphone yang juga lebih tinggi. Hal tersebut membuat mobile gamers enggan mainkan Vainglory yang mana hal tersebut memberi efek domino kepada esport Vainglory.
Daniel “Deipno”Lam, salah satu caster senior Vainglory, juga turut menambahkan. Ia merasa bahwa senjakala Vainglory di tahun 2018 adalah akibat SEMC yang seperti salah langkah. Sejak tahun 2017 potensi playerbase Vainglory di Indonesia sudah terlihat jelas lewat Halcyon Gathering 2.0 yang dihadiri seribu orang. Namun alih-alih fokuskan pemasaran di pasar SEA terutama Indonesia, SEMC tetap bersikukuh untuk fokuskan pemasaran Vainglory di Amerika Serikat dan juga Eropa.
Dari sisi pemain, Heinrich ‘OfficialHein’ Ramli yang merupakan bintang Vainglory asal Indonesia dan salah satu yang paling berjasa menggerakkan esports Vainglory di sini, mengatakan bahwa tak bisa dipungkiri bahwa SEMC mengambil peran besar dalam redupnya esports Vainglory. Hein selaku atlet Vainglory serta pemilik tim Elite8 mengatakan ada komunikasi yang kurang lancar dari SEMC terhadap tim dan komunitas yang akhirnya membuat esport Vainglory di Indonesia jadi terbengkalai.
Vainglory Cross-platform dan Prediksi Masa Depan Esport Vainglory
Kemenangan Vainglory pada masanya adalah karena SEMC ketika itu mendorong kemampuan smartphone sampai maksimal, menciptakan game sekelas konsol atau PC yang bisa dimainkan dalam genggaman Anda. Akhir tahun 2018 ini, SEMC mencoba mengulang inovasi tersebut dengan mengampanyekan Vainglory X, MOBA cross-platform pertama yang akan bisa mempertemukan pemain mobile, PC, atau konsol dalam satu pertandingan.
Di Venture Beat, CEO SEMC Kristian Segerstrale mengatakan bahwa game multi-platform adalah masa depan gaming. Namun hal ini tentu mengundang tanda tanya dan keraguan besar karena kehadiran Vainglory di PC berarti akan membawa mereka ke dalam kompetisi bisnis yang lebih berat: menantang langsung dua raksasa MOBA PC yaitu Dota 2 dan League of Legends
Herrboy kembali angkat bicara soal prediksi cross-platform dan kembalinya kejayaan Vainglory di tahun 2019 baik secara player base maupun esports. Ia merasa bahwa hal ini kembali lagi bagaimana keputusan SEMC, apakah ia ingin mengembalikan esports Vainglory atau tidak. Mengingat Fortnite terbilang sukses dengan sistem cross-platform ini, mereka berhasil menciptakan player base yang besar walau tanpa kehadiran event esports internasional.
Sebab, bagaimanapun juga intinya, hal yang ingin dicapai SEMC adalah membuat Vainglory kembali dimainkan banyak orang. Terkait hal ini, saya sendiri sejujurnya cukup pesimis. Kenapa? Pertama, kehadiran Vainglory di PC tentu akan membuat SEMC harus berhadapan dengan dedengkot MOBA itu sendiri dan membuat persaingan jadi semakin berat.
Kedua, saya juga cukup setuju dengan apa yang selalu jadi opini komunitas dan apa yang dikatakan Deipno; bahwa SEMC selama ini terlihat kurang giat memasarkan Vainglory, terutama di pasar Asia dan SEA. Jika kehadiran cross-platform tidak diiringi dengan kegiatan pemasaran yang aktif, maka jumlah pemain Vainglory mungkin tidak bakal segitunya banyak berubah.
Bagaimana kalau secara esports? Melihat SEMC yang kini lebih fokus kepada pengembangan game Vainglory cross-platform, saya kembali pesimis dengan esports Vainglory di 2019. Sebab sekalipun kampanye Vainglory cross-platform berhasil meningkatkan jumlah pemain, jika SEMC tidak menghendaki kehadiran esports, maka mau tak mau kita harus kubur dalam-dalam harapan kita untuk bisa melihat kembali serunya aksi pemain Vainglory kelas wahid.