Salah satu topik menarik yang dibawakan di sesi World Conference of Creative Economy (WCCE) di Nusa Dua Bali, beberapa waktu lalu adalah soal pentingnya pengembangan ekosistem esports bagi pasar Indonesia.
Dalam paparannya Chief Marketing Officer GDP Ventures Danny Oei Wirianto menyebutkan bahwa Indonesia merupakan pasar potensial bagi pertumbuhan esports. Pasalnya Indonesia memiliki 34 juta gamer dan esports sendiri telah menjamur di Tanah Air.
Indonesia berpeluang untuk menciptakan ekosistem yang kuat mengingat nilai bisnis esports di dunia mencapai $1,1 miliar di 2018 dan diperkirakan naik menjadi $1,3 miliar di 2019.
Ini belum termasuk nilai industri game secara keseluruhan yang nilainya mencapai $10 miliar. Salah satunya disumbang dari penjualan aksesori game, seperti mouse dan headset. Apabila digarap dengan serius, ekosistem akan tercipta karena ada perputaran rantai bisnis dari game publisher, player, brand, hingga audiensi.
“Esports dapat bantu membangun ekosistem game development. Ini adalah multi billion business, tidak cuma game saja ada aksesoris game, komputer, gadget. Sayang, belum banyak perusahaan involve di Indonesia karena masih menganggap Esports sebelah mata,” ujar Danny.
Danny, yang juga menjadi Penasihat Indonesia E-Sports Premier League (IESPL), menilai Indonesia perlu membentuk liga esports sendiri untuk memperkuat ekosistem dan membangun bisnis yang sustainable. Liga nasional juga penting untuk menghindari ketergantungan dengan game publisher.
“Kita mau buat our agent league sendiri, that’s our goal. Tapi ini step by step karena beberapa negara belum punya their own league yet. They don’t have league, we’re the first one. Lagipula, saat ini yang ada kan hanya tim yang main di turnamen kecil, semua dikontrol sama game publisher, tapi tidak ada yang obyektif,” jelas Danny.
Ditemui pada kesempatan sama, Menteri Komunikasi dan Informatika Rudiantara sejak awal menegaskan bahwa pemerintah di era digital mulai menyesuaikan diri menghadapi perubahan, yakni menjadi fasilitator dan akselerator. Dalam hal ini, ia menilai esports tidak perlu punya aturan khusus.
“Bukan regulasi, yang harus dilakukan adalah [menjadi] self-regulatory organization. Jadi pemain esports ini bikin kebijakan sendiri, bicara dengan saya, nanti saya fasilitas. Pemerintah memberikan koridor saja, jangan terlalu detail,” papar Rudiantara kepada DailySocial.
Menjadi self-regulatory organization, menurutnya menjelaskan bahwa industri digital memiliki dinamika yang sangat cepat. Apabila esports diatur, pemerintah dinilai akan repot dalam menetapkan sebuah kebijakan.
“Pemerintah ingin menjadi less regulator, dan menjadi fasilitator. Di dunia digital itu, hari ini ada apa, besoknya bisa berubah. Tidak mudah itu menetapkan aturan.” tambahnya.
Mendorong daya saing game lokal untuk ajang esports
Danny mengungkapkan bagaimana cara agar game lokal dapat dipertandingkan di ajang esports, yakni meningkatkan kualitas dari berbagai aspek, termasuk dalam hal pemasaran.
“Kita bisa bikin game tetapi tidak jago dalam memasarkannya,” ungkap Danny.
Ia menilai bahwa pengembang game lokal belum serius dalam merancang business plan yang baik. “[Mengembangkan game] itu requires a lot of money untuk marketing, hire script writer, story liner, story board yang bagus. Jadi tidak menggampangkan, saya lihat banyak game yang asal jadi,” lanjutnya.
Selain itu, menurutnya Indonesia minim game publisher yang bagus, dan kalaupun ada masih bisa dihitung dengan jari. Ia menilai Indonesia membutuhkan lebih dari sepuluh game publisher agar dapat saling berkompetisi.
Ia berharap misinya mengembangkan ekosistem esports dapat membantu nurture game publisher di Indonesia lebih baik. Dengan audiens yang lebih luas, ini akan mendorong game publisher untuk mengambil pangsa pasar lebih besar.