Dalam satu minggu terakhir, ada beberapa kabar menarik terkait ekosistem esports. Salah satunya adalah keputusan Cloud9 untuk membuat tim Valorant khusus perempuan. Selain itu, BREN Esports baru saja memenangkan Mobile Legends Professional League Philippines.
Cloud9 Buat Tim Valorant Khusus Perempuan
Cloud9 bekerja sama dengan perusahaan telekomunikasi Amerika Serikat AT&T untuk membentuk tim Valorant perempuan pertama. Salah satu tujuan mereka adalah untuk membuat industri esports menjadi lebih inklusif. Tim Valorant khusus perempuan ini akan tampil dalam turnamen Valorant resmi pertama dari Riot Games, First Strike.
“Di esports, Anda bermain menggunakan mouse dan keyboard, berbeda dengan olahraga tradisional,” kata Senior Marketing VP, Cloud9, Kristen Salvatore dalam wawancara dengan GamesBeat. “Hal itu berarti, siapa saja bisa ikut serta, tak peduli apa gender mereka, kekuatan fisik mereka, atau latar belakang budaya mereka.”
Berdasarkan Momentum Worldwide, 29% fans esports merupakan perempuan. Namun, menurut WomenInGames.org, 71% responden mereka mengungkap, representasi perempuan di dunia gaming dan esports masih sangat kurang. Salvatore merasa, tren ini harus berubah. Dia juga percaya, mendukung perempuan di ekosistem esports akan menguntungkan mereka di masa depan.
BREN Esports Memenangkan MPL-PH
BREN Esports berhasil memenangkan liga Mobile Legends Professional League Philippines (MPL-PH). Mereka memang tampil sangat mendominasi dalam musim ini. Sepanjang musim, mereka hanya pernah kalah satu kali. Di babak quarterfinal dan semifinal, mereka berhasil mengalahkan musuh mereka dengan skor 3-0. Di babak final, BREN Esports bertemu dengan Omega PH, dapat masuk ke babak final untuk pertama kalinya. Untuk bisa masuk ke babak final, Omega PH harus mengalahkan Blacklist International dan Execration.
Pada pertandingan pertama, BREN Esports dapat mengalahkan Omega dengan mudah. Mereka dapat mengalahkan Omega dalam waktu kurang dari 12 menit. Namun, pada pertandingan kedua, Omega berhasil membalikkan keadaan dan menang dengan skor 13-2. Pada game ketiga, BREN kembali menang dengan skor 16-3. Mereka juga memenangkan game keempat. Pada pertandingan kelima, Omega berhasil menang, memaksa BREN untuk pertanding ke babak keenam.
Di babak keenam, BREN berhasil menang dari Omega PH 10-4 dan membawa pulang trofi MPL-PH, seperti yang disebutkan oleh VP Esports.
Epic Esports Selenggarakan EPIC League Dota 2
Penyelenggara turnamen Epic Esports Events mengumumkan, turnamen online EPIC League Dota 2 akan dimulai diadakan pada minggu ini. Menggantikan OMEGA League musim kedua, EPIC League akan mempertemukan tim-tim terbaik di kawasan Eropa dan CIS (Commonwealth of Independent States). Babak kualifikasi terbuka dari EPIC League akan diadakan pada 29-30 Oktober 2020 sementara babak kualifikasi tertutup akan diadakan pada 3-11 November 2020. Sayangnya, belum diketahui siapa saja yang akan diundang ke babak kualifikasi tertutup tersebut.
Baik turnamen untuk kawasan Eropa maupun CIS akan terbagi ke dalam dua divisi. Pertandingan divisi pertama dari EPIC League akan diadakan pada 12 November-5 Desember 2020. Sementara babak playoff akan diselenggarakan pada 8-13 Desember 2020. Secara total, turnamen divisi pertama menawarkan hadiah sebesar US$500 ribu. Beberapa tim yang sudah dipastikan akan berlaga di divisi pertama antara lain Virtus.pro, Natus Vincere, Alliance, Team Liquid, Nigma, Vikin.gg, OG, dan Team Secret, lapor The Esports Observer.
Sementara itu, pertandingan divisi kedua akan diadakan pada 11 November-1 Desember 2020. Dan babak playoff dari divisi kedua akan diselenggarakan pada 8-13 Desember 2020. Turnamen divisi kedua ini menawarkan total hadiah yang jauh lebih kecil, hanya US$50 ribu.
Team Secret Sedang Cari Tim di Filipina
Team Secret berencana untuk melakukan ekspansi ke Filipina. Mereka telah membuat grup Facebook resmi untuk menjangkau para fans esports di Filipina. CEO Team Secret, John Yao, telah membuat post di grup tersebut, menanyakan tim apa yang para fans inginkan dari Team Secret. Di Filipina, dua game esports yang populer adalah Mobile Legends dan Tekken 7, lapor Egg Network.
Team Secret didirikan pada 2014. Ketika itu, mereka dikenal sebagai tim all-stars Dota 2. Pada awalnya, mereka memang dikenal berkat tim Dota 2 mereka. Namun, sekarang mereka juga punya tim yang berlaga di game esports lain, seperti Counter-Strike: Global Offensive, Rainbow Six Siege, Street Fighter V, Tekken 7, dan PUBG Mobile. Walau dikenal sebagai tim asal Eropa, Team Secret juga punya tim PUBG Mobile Malaysia dan Filipina.
Arena of Valor International Championship 2020 Siap Digelar
Tencent dan Garena kembali menggelar Arena of Valor Championship. Turnamen ini akan diselenggarakan pada 19 November-20 Desember 2020. Total hadiah yang ditawarkan mencapai US$500 ribu. Juara pertama membawa pulang US$200 ribu, juara kedua SU$110 ribu, dan juara ketiga US$70 ribu.
Turnamen AIC 2020 akan dimulai dengan group stage, yang menggunakan format double round-robin. Sementara babak playoff akan menggunakan format single elimination. Menurut laporan Indosport, tim asal Vietnam, Team Flash berhasil memenangkan AIC 2019. Sayangnya, tahun ini, mereka tidak bisa ikut serta karena mereka terlibat dalam skandal pada Juli 2020 dan terkena sanksi berupa larangan bermain selama satu tahun.
Dignitas meluncurkan platform baru bernama _FE untuk mengembangkan ekosistem esports perempuan. Dalam tiga bulan ke depan, _FE akan meluncurkan berbagai program untuk mendukung atlet esports dan kreator konten perempuan, baik yang masih ada di tingkat pemula serta amatir, maupun yang sudah menjadi profesional.
Salah satu program tersebut adalah diskusi rutin untuk membahas tentang berbagai isu yang dihadapi oleh perempuan di dunia gaming. Selain itu, _FE juga akan membuat situs yang berisi konten gaming perempuan, jadwal kompetisi esports perempuan, serta artikel tentang para perempuan di dunia gaming. Melalui _FE, Dignitas juga akan mengadakan seminar edukasi virtual bagi perempuan yang tertarik untuk masuk ke dunia esports, baik sebagai pemain profesional atau streamer, maupun sebagai orang-orang yang bekerja di balik layar, seperti analis merek atau manajer media sosial.
Beberapa program lain yang _FE adakan antara lain menyelenggarakan kompetisi untuk gamer perempuan, membangun komunitas di Discord, membuat merek pakaian khusus gamer perempuan, mengadakan acara di markas Dignitas di Los Angeles dan New York, serta merekrut pemain profesional dan kreator konten baru.
Inisiatif _FE akan akan dipimpin oleh Heather “sapphiRe” Garozzo, Vice President of Talent, Dignitas. Garozzo tak hanya pernah menjadi juara Counter-Strike: Global Offensive World Champion, dia juga memiliki pengalmaan hampir 20 tahun dalam dunia esports, broadcast, marketing, dan manajemen talenta. Dia juga merupakan satu-satunya perempuan yang pernah masuk dalam Hall of Fame milik Esports Insider.
“Konsep untuk membuat _FE telah ada sejak awal 2017, ketika Dignitas merekrut tim khusus perempuan, yang bertanding dengan nama Dignitas FE,” kata Garozzo pada GamesBeat. “Perempuan yang bekerja di Dignitas, baik sebagai pemain profesional, streamer, maupun eksekutif, sangat tertarik untuk mendukung gamer perempuan muda.”
Lebih lanjut, Garozzo berkata, “Semua pekerja perempuan Dignitas pernah berbagi pengalaman mereka di dunia gaming dalam diskusi di berbagai universitas. Tahun ini, kami ingin bisa membagikan pengetahuan kami dan memberikan dukungan kami pada komunitas gaming dalam lingkup yang lebih luas.”
Saat ini, tim perempuan Dignitas terdiri dari lima orang. Tim yang berlaga di CS:GO dan Valorant itu dipimpin oleh Emmalee “Emuhleet” Garrido, yang pernah memenangkan CS:GO World Champion dua kali. Dia merupakan salah satu perempuan paling sukses di dunia esports. Empat anggota tim Dignitas FE lainnya adalah Amanda “rain” Smith dari Kanada, Kiara “milk” Makua dari Hawaii, Melisa “Theia” Mundorff dari AS, dan Juliana “showliana” Maransaldi dari Brasil.
Dignitas juga memiliki dua kreator konten perempuan, yaitu Hercurlyse dan artStar. Hercurlyse merupakan bintang TikTok dengan 20 ribu pengikut baru setiap bulannya. Sementara Carolyn “artStar” Noquez pernah dua kali menjadi Female World Champion sebelum memutuskan untuk menjadi streamer di Twitch.
Dalam olahraga tradisional, kebanyakan kompetisi dipisahkan berdasarkan gender. Salah satu alasannya karena secara fisik, perempuan dan laki-laki memang memiliki kemampuan yang berbeda. Mengingat saat bermain esports para atlet “hanya” harus menatap layar dan menggerakkan mouse atau menyentuh layar smartphone, Anda mungkin berpikir, tidak ada perbedaan signifikan antara performa laki-laki dan perempuan. Namun, benarkah begitu?
Performa Pria dan Perempuan, Apakah Berbeda?
Saat ditanya apakah ada perbedaan antara performa atlet esports perempuan dan pria, Shena Septiani, Digital Marketing Manager, Bigetron Esports berkata, “Menurut saya, perbedaan mekanik dipengaruhi oleh hormon. Keseimbangan estrogen dan progesteron pada perempuan menjadi kunci tentang bagaimana otak dan emosi bekerja.”
Estrogen adalah hormon seks yang lebih dominan pada perempuan. Memang, pria juga memiliki hormon estrogen, hanya saja, tingkat estrogen pada perempuan lebih tinggi dari pria. Fungsi hormon tersebut pada perempuan dan pria juga berbeda. Begitu juga dengan hormon progresteron. Perempuan dan pria memang memiliki hormon tersebut, tapi dalam kadar dan fungsi yang berbeda. Pada perempuan, progesteron memengaruhi siklus menstruasi, kehamilan dan embriogenesis.
“Kedua hormon itu membuat perempuan sulit untuk fokus pada waktu-waktu tertentu,” ujar Shena. “Namun, di situlah pentingnya latihan rutin dan kedisplinan. Buktinya, di Bigetron, ada BTR Alice yang tergabung dalam Bigetron Red Aliens, divisi PUBG Mobile.”
Sayangnya, tidak banyak tim esports yang mencampur pemain pria dan perempuan. Hal itu disebabkan oleh beberapa hal, menurut Kresna, Project Manager Women Star League. Salah satunya adalah karena kemungkinan, perempuan lebih merasa nyaman bermain dengan sesama perempuan. Begitu juga dengan para pemain laki-laki.
“Selain itu, juga ada anggapan bahwa para pemain perempuan itu kurang pintar dalam bermain game,” ujar Kresna. “Ya bebanlah, ya merepotkanlah, dan lain-lain. Hal itu yang membuat laki-laki cenderung membuat tim bersama pemain laki-laki juga.” Padahal, menurut Kresna, anggapan itu tidak benar. Dia percaya, keberadaan turnamen esports khusus perempuan dapat membantu untuk menghapus stigma tersebut.
Sementara itu, menurut Herry Wijaya, Head of Operation, Mineski Global Indonesia, saat ini, sebagian besar pemain esports perempuan lebih tertarik untuk menjadi influencer daripada menjadi pemain profesional. “Kalau saya boleh mengambil kesimpulan singkat tanpa riset, saya melilhat bahwa pemain perempuan ujung-ujungnya biasanya tidak menjadi pro player. Bahkan setelah menang turnamen esports khusus perempuan, mereka biasanya menjadi influencer,” ujarnya. “Saya tidak melihat ambisi untuk menggeser posisi pemain ternama di organisasi esports besar, seperti Rekt dari EVOS misalnya.”
Seberapa Penting Turnamen Esports Khusus Perempuan?
Menurut Rezaly Surya Afhany, Manager Esports di Telkomsel dan Head of Digital Games Product Management, turnamen esports perempuan cukup penting untuk diselenggarakan, baik oleh publisher maupun pihak ketiga. “Pendapat pribadi saya, ekosistem di industri game akan tumbuh secara organik dan jauh lebih sehat jika memerhatikan kebutuhan para lady gamers ini,” kata Rezaly saat dihubungi melalui pesan singkat. “Salah satunya melalui penyelenggaraan turnamen khusus perempuan.” Dia merasa, saat ini, jumlah turnamen esports untuk para gamer perempuan jauh lebih sedikit daripada turnamen untuk pria, mulai dari kompetisi tingkat grassroot sampai nasional.
“Beberapa publisher besar di Indonesia sudah lama turut mengembangkan ladies tournament, seperti Princess Cup, turnamen Arena of Valor dari Garena atau PINC Ladies, turnamen PUBG Mobile dari Tencent. Walaupun turnamen tersebut masih disajikan sebagai bagian dari pertandingan hiburan,” kata Rezaly. “Menurut saya, perlahan tapi pasti, pasarnya sudah kelihatan, baik dari tim yang ikut serta atau viewership. Selama turnamennya ada, para pro player perempuan ini akan berusaha untuk membentuk tim solid untuk berpartisipasi. Jadi, kualitas pertandingannya ya juga nggak kalah sengit dari pertandingan esports pria.”
Soal kemampuan, Kresna punya pandangan yang lain. “Kalau dari skill, menurut saya, para pemain perempuan belum sama dengan tim Mobile Legends Pro League. Mungkin, kalau dengan Mobile Legends Developmental League masih 50-50. Tapi, kalau dengan tim-tim di luar itu, para ladies yang ada di organisasi esports, skill-nya sudah selevel atau bahkan melebihi tim tersebut,” ujarnya.
Martin Yanuar, Manager Belletron punya pendapat yang sama dengan Kresna. “Menurut kami, skill antara pemain pria dan perempuan tidak akan sama. Karena para pemain perempuan cenderung lebih sulit untuk berlatih full-time,” ujarnya. “Kecuali kalau turnamen ladies memberikan hadiah yang setara dengan turnamen umum senilai ratusan juta.”
Memang, dari segi total hadiah, turnamen esports perempuan biasanya menawarkan hadiah yang jauh lebih kecil daripada turnamen umum yang diikuti oleh pemain pria. Misalnya, juara PINC mendapatkan hadiah sebesar Rp180 juta sementara pemenang PINC Ladies hanya mendapatkan Rp10 juta.
Sebagai bagian dari organisasi esports, Shena mengungkap harapannya, di masa depan, para penyelenggara turnamen esports akan memberikan hadiah yang sama besarnya dengan turnamen umum. “Walau sebenarnya, masalah ini tidak hanya terjadi di esports, tapi juga di dunia olahraga,” ujarnya. “Semoga saja ke depan, turnamen esports bisa lebih setara sehingga para pemain perempuan semakin beregenerasi menjadi lebih hebat lagi.”
Terkait ketimpangan hadiah turnamen antara kompetisi pria dan perempuan, Rezaly merasa, selama pihak penyelenggara dan peserta merasa tidak keberatan dengan total hadiah yang diberikan, maka hal itu seharusnya tidak menjadi masalah. “Besar kecilnya hadiah biasanya digunakan sebagai salah satu cara untuk menarik tim berpartisipasi dalam sebuah turnamen,” katanya. “Jika semua pihak, yaitu penyelenggara dan peserta, merasa sepakat untuk berpartisipasi, maka besar kecil hadiah turnamen perempuan tak lagi relevan sebagai satu-satunya hal yang harus dikejar.”
Sementara saat ditanya apakah kecilnya total hadiah turnamen esports perempuan disebabkan oleh rendahnya minat penonton, Rezaly menjawab, “Bisa jadi, kurangnya minat dari partisipan atau jumlah menonton membuat penyelenggara atau pihak sponsor masih berpikir keras sebelum menyelenggarakan turnamen perempuan, karena ROI (Return of Investment) yang tidak sesuai dari segi pemasukan atau analitik.”
Daya Tarik Turnamen Esports Perempuan
Game dan esports adalah ranah yang identik dengan pria. Jadi, tidak heran jika kebanyakan penonton esports itu laki-laki. Menurut studi yang dilakukan oleh Interpret pada 2019, 70 persen penonton esports merupakan pria, sementara 30 persen sisanya perempuan. Kabar baiknya, jumlah fans esports perempuan terus naik dari tahun ke tahun.
Namun, Herry mengatakan, fakta bahwa sebagian besar audiens esports merupakan laki-laki justru membuat turnamen esports perempuan menjadi digemari. “Karena yang nonton kebanyakan pria, kalau yang bertanding perempuan, sudah pasti viewership akan tinggi, karena ada daya tarik dari lawan jenis,” ujar Herry. Rezaly mengatakan hal serupa. Audiens laki-laki juga senang untuk menonton turnamen perempuan, terutama jika ada pemain yang menjadi idolanya.
Sementara itu, Kresna mengatakan, turnamen khusus perempuan memang masih dapat menjaring penonton. “Tapi, memang tidak sebanyak MPL atau MDL, yang sudah berjalan lama,” ungkapnya. “Hal ini mungkin karena turnamen perempuan cenderung lebih baru dan tidak semua orang tahu.”
Herry berkata, Mineski memang memiliki rencana untuk membuat turnamen khusus perempuan di masa depan. Hanya saja, rencana tersebut mungkin tidak direalisasikan dalam waktu dekat. Pasalnya, jadwal turnamen esports saat ini sudah padat. Jika muncul turnamen baru, tidak tertutup kemungkinan, hal ini justru akan merusak keseimbangan yang sudah tercapai di ekosistem esports di Indonesia sekarang.
“Ada banyak hal yang harus dipikirkan jika kami mau membuat IP baru,” kata Herry. “Jadwal turnamen sudah banyak, bisa jadi justru rebutan jadwal. Dan hal itu tidak bijak. Kami lebih memilih untuk fokus pada turnamen yang sudah ada dengan meningkatkan kualitas turnamen tersebut.”
Kenapa Penyelenggara Mengadakan Turnamen Esports Perempuan?
Women Star League diadakan dengan dua tujuan, jelas Kresna. Pertama adalah untuk membentuk ekosistem esports bagi para pemain perempuan agar mereka bisa berkompetisi dan berkarir di dunia competitive gaming layaknya pria. “Biar para ladies juga tidak dipandang sebelah mata lagi dan bisa menunjukkan bahwa mereka punya skill yang sama dengan para laki-laki,” katanya.
“Yang kedua, dengan mengadakan turnamen esports perempuan, kami mau hal ini menjadi wadah bagi para ladies yang bingung untuk menyalurkan hobi dan bakatnya di dunia esports.Sedangkan untuk bermain bersama pria juga sulit,” ungkap Kresna. “Kami ingin, dengan adanya turnamen esports perempuan, maka akan semakin banyak pemain perempuan baru agar ekosistem esports perempuan di Indonesia menjadi semakin ramai.”
Sama seperti Kresna, Rezaly mengatakan, tujuan penyelenggara seperti Dunia Games (yang ada di bawah Telkomsel) mengadakan turnamen esports perempuan adalah untuk menumbuhan ekosistem esports perempuan. Hal ini pada akhirnya akan membuat industri esports menjadi semakin bernilai.
“Kami percaya, turnamen khusus perempuan akan memunculkan banyak gamer perempuan berprestasi, sehingga akan ada lebih banyak engagement, viewership, lebih banyak produksi konten, dan lebih banyak lowongan pekerjaan baru,” kata Rezaly. “Kami ingin agar ekosistem esports perempuan terbentuk dan bisa berkembang, sama seperti acara olahraga, baik di tingkat nasional maupun global. Dalam acara olahraga tradisional, kan ada perlombaan khusus untuk perempuan. Nah sama seperti itu. Esports kan juga cabang olahraga yang mendapatkan medali, siapa tahu, nanti juga akan juga ada untuk perempuan.”
Namun, Roma tidak dibangun dalam semalam. Begitu juga dengan ekosistem esports perempuan. Untuk mengembangkan ekosistem esports perempuan agar sejajar dengan scene esports untuk pria saat ini diperlukan waktu yang cukup lama. Herry memperkirakan, waktu yang diperlukan untuk mengembangkan ekosistem esports perempuan akan memakan waktu sekitar tiga tahun. Dengan syarat, turnamen esports perempuan diadakan secara rutin. Idealnya, ada dua turnamen setiap tahun.
Kepercayaan diri Herry bukannya tidak beralasan. Dia bercerita, pada awal kemunculan esports Mobile Legends, juga tidak banyak tim dan pemain profesional yang memang mumpuni. “Pada tahun 2017, hanya ada dua tim Mobile Legends yang punya performa baik, yaitu Saint Indo dan Elite8 Esports,” katanya. “Namun, kini, MPL memiliki delapan tim dengan performa yang selevel.” Dia percaya, hal serupa juga bisa terjadi pada ekosistem esports perempuan.
Kesimpulan
Dunia esports memang sudah semakin berkembang. Sayangnya, perempuan masih menjadi kaum minoritas di industri tersebut. Jika dibandingkan dengan jumlah pemain profesional pria, jumlah pemain perempuan jauh lebih sedikit. Tak hanya itu, turnamen esports perempuan juga biasanya menawarkan hadiah yang lebih kecil. Untungnya, ada berbagai pihak yang tetap tertarik untuk menyelenggarakan turnamen esports perempuan.
Keberadaan turnamen esports perempuan bisa menjadi ajang bagi para lady gamers untuk unjuk gigi. Dan jika turnamen tersebut diadakan secara rutin, tak tertutup kemungkinan, ekosistem esports perempuan bisa menjadi sama berkembangnya dengan scene esports pria.
Esports kini tengah menjadi fenomena global. Menurut Newzoo, industri esports akan bernilai lebih dari US$1 miliar pada 2020. Tiongkok akan menjadi pasar esports terbesar pada 2020 dengan nilai pasar US$385,1 juta. Dengan semakin populernya esports, semakin banyak pula orang di Tiongkok yang menerima esports sebagai olahraga dan tak lagi heran ketika seseorang memutuskan untuk meniti karir sebagai atlet esports.
Sayangnya, diskriminasi gender masih terjadi di dunia esports. Li “VKLiooon” Xiaomeng, pemain perempuan pertama yang memenangkan Hearthstone World Championship, berbagi cerita tentang diskriminasi yang dialami. Dia bercerita, kehadirannya dalam sebuah turnamen Major pernah dipertanyakan oleh seorang pemain laki-laki, yang menganggap bahwa pemain perempuan seharusnya tidak ikut turnamen esports.
Melalui Zhihu, situs serupa Quora di Tiongkok, Li juga menceritakan masalah lain yang dia hadapi sebagai pemain profesional perempuan. Dia mengatakan, kemampuannya pernah dipertanyakan oleh pemain laki-laki yang telah dia kalahkan. Tak hanya itu, dia juga terkadang mendapatkan ejekan tentang tubuhnya. Di dunia online, sejumlah penonton mengejeknya gendut. Sayangnya, Li bukanlah satu-satunya pemain esports perempuan di Tiongkok yang menghadapi berbagai masalah ini.
Ketika membuat kesalahan, para pemain perempuan juga cenderung mendapatkan kritik yang lebih pedas. “Misalnya, Anda adalah pemain perempuan yang ikut serta dalam turnamen. Jika Anda bermain dengan baik, itu bukan masalah. Tapi, ketika Anda membuat satu kesalahan kecil, para fans akan membesar-besarkan kesalahan tersebut,” kata Zhou Jie, COO Killing Angel, tim esports khusus perempuan pada Abascus News.
Jika sebelumnya, kami pernah membahas soal bagaimana eksplorasi tubuh menjadi komoditas para perempuan yang jadi selebriti gaming, kali ini kami akan menunjukkan bahwa ruang berkarier di esports dan gamebuat perempuan juga bisa dilakukan tanpa perlu jadi eye-candy — selama memiliki kemampuan yang mumpuni di bidangnya.
Diskriminasi di Indonesia
Di Indonesia, masalah diskriminasi gender juga masih terjadi. Caster Veronica “Velajave” Fortuna bercerita, dia pernah mengalami diskriminasi pada awal 2015 sampai 2017. “Kayak, perempuan itu bisa apa sih di esports. Perempuan itu cuma pemanis, nggak pantas untuk main, nggak lebih jago dari laki-laki. Nggak jago kayak caster laki-laki lain,” ceritanya ketika dihubungi oleh Hybrid.co.id melalui pesan singkat. “Tapi, belakangan diskriminasi sudah mulai menurun. Cuma hate speech saja yang semakin banyak, bukannya berkurang.”
Perempuan yang akrab dengan panggilan Vela ini mengatakan, hate speech adalah masalah yang biasa terjadi di dunia online. “Hate speech itu biasanya online. Aku juga belum pernah lihat yang langsung di depan muka. Mungkin, yang pernah aku alami di depan muka, cuma orang orang yang memandang rendah kita yang belum siapa-siapa,” ujarnya.
“Kalau di media sosial, entah itu saat sedang live, direct message, atau komentar di foto, hate speech itu sudah sangat biasa terjadi. Banyak yang tidak suka karena kita tidak secantik atau mungkin badannya tidak sekecil yang lain. Mostly body shaming,” jawab Vela ketika ditanya bentuk ujaran kebencian yang pernah dia hadapi. “Tapi, banyak juga yang benci cara kita nge-cast, cara menyampaikan kata-kata.” Dia mengaku, biasanya, dia berusaha untuk mengacuhkan hate speech yang dia terima. “Tapi, kalau lagi mau meledak banget, baru aku tanggapin ke pribadi mereka.”
Vela, yang telah menjadi caster selama lima tahun (saat artikel ini ditulis), mengaku tidak sengaja masuk ke dunia esports. “Dulu aku nggak kepikiran kerja di esports. Aku tuh awalnya cuma senang main game, dulu mainnya Dota 2. Terus iseng ikut turnamen perempuan. Lama kelamaan, EO tahu. Dan mereka minta aku untuk nge-cast di turnamennya,” ungkap Vela. Walau awalnya dia tidak tahu apa tugas caster, dia pada akhirnya merasa tertarik dengan tugas seorang caster. “Aku merasa itu menarik banget.”
Mengenai perlakuan atas caster perempuan dan laki-laki, Vela mengatakan, biasanya, penampilan caster perempuan akan lebih dipedulikan dari caster laki-laki. Jika caster laki-laki bisa menggunakan pakaian yang sama dalam beberapa acara, caster perempuan biasanya harus mengganti penampilan mereka. “Kalau laki-laki kan ya pakai itu-itu saja. Jasnya sama, tapi dalemannya berbeda, kaos atau kemeja. Terkadang, kalau kita perhatikan, mereka juga tidak mengganti pakaian untuk beberapa event. Kalau perempuan tidak bisa begitu. Nanti dikira tidak punya baju,” akunya sambil tertawa. “Ditambah makeup kita lebih lama, urusan rambut juga. Kalau caster laki-laki, mau pakai bedak saja sudah untung.”
Ini memunculkan pertanyaan apakah peran perempuan di dunia esports tak lebih dari eye candy atau pemanis.
Para Perempuan yang Bekerja di Belakang Layar Dalam Dunia Esports
Di dunia esports, para atlet profesional memang menjadi bintang utama yang selalu disorot oleh media. Namun, sebenarnya, ada pekerjaan lain dalam industri esports yang tak kalah penting untuk memastikan ekosistem esports tetap bertahan, mulai dari manager dan analis dalam sebuah organisasi esports sampai penyelenggara turnamen. Dan posisi tersebut bisa diisi oleh siapa saja yang memang mumpuni, tak peduli gender mereka. Buktinya, Fathia Alisha Dwikemala berhasil menjadi Head of Events di RevivalTV dan Nadya Sulastri bisa menjadi Head of Finance and Accounting di Mineski Indonesia.
Sebagai Head of Events, tugas Fathia adalah melakukan koordinasi antara tim, sponsor, klien, dan semua pihak terkait untuk memastikan sebuah acara berjalan dengan lancar. Dia bercerita, dia tidak pernah mengalami diskriminasi gender di tempatnya bekerja sekarang. “So far, nggak bermasalah dengan gender sih. Semuanya sama saja karena memang memiliki passion di esports,” akunya saat dihubungi melalui pesan singkat. “Dengan apa yang aku jalani saat ini, kesempatan untuk bekerja di belakang layar untuk laki-laki dan perempuan sama, karena mostly, kita memang bekerja sebagai tim. Jadi, tidak membedakan gender sama sekali.”
Sementara itu, menurut Nadya dari Mineski Indonesia, dalam industri esports, perempuan memang memiliki kesempatan lebih besar untuk bekerja di belakang layar. Tidak tertutup kemungkinan, seorang perempuan juga menduduki jabatan penting. Dia berkata, seorang perempuan bisa saja menjadi project manager yang bertanggung jawab atas turnamen sebesar Mobile Legends Pro League. “Asal orangnya memang memiliki dedikasi tinggi, berkomitmen, dan don’t crack under pressure. Bekerja di event organizer, pressure-nya memang tinggi. Karena kita tidak melakukan tugas yang sama setiap harinya. Ada banyak hal yang tidak terduga terjadi secara mendadak dan kita harus bisa mengambil keputusan, menyelesaikan masalah dengan cepat. Ini bukan masalah gender, tapi lebih ke personality,” jelas Nadya ketika dihubungi melalui telepon.
Nadya memberikan contoh, saat ini, Mineski bertanggung jawab atas dua liga besar, yaitu MPL dan PUBG Mobile Pro League. Kedua turnamen itu biasanya diadakan secara offline di hadapan para penonton. Namun, ketika virus corona memasuki Indonesia dan pemerintah menghimbau masyarakat untuk tetap di rumah, mau tidak mau, Mineski harus mencari cara agar turnamen tersebut tetap berjalan walau tidak diadakan secara offline. Akhirnya, untuk memastikan agar turnamen tetap dapat diselenggarakan dan para penonton tetap bisa menikmati pertandingan, Mineski Indonesia mengirimkan 16 orang ke masing-masing gaming house dari tim yang bertanding. Enam belas orang tersebut bertugas untuk merekam jalannya pertandingan. Selain itu, mereka juga akan mewawancara tim pemenang, sama seperti jika pertandingan diadakan secara offline. Hanya saja, wawancara pemenang ini dilakukan melalui video call.
Meskipun begitu, Nadya mengatakan, tidak semua posisi di belakang layar cocok untuk perempuan. “Tergantung departemennya. Kalau departemen yang banyak mengutamakan fisik, biasanya memang diisi oleh banyak laki-laki. Tapi, untuk departemen seperti finansial, marketing, media sosial, lebih banyak perempuan,” ujarnya. Dia tidak memungkiri, di dunia esports, peran sebagai atlet esports tetap “lebih menarik”. Meskipun begitu, tanpa keberadaan orang-orang di belakang layar — pihak penyelenggara turnamen, pihak yang menyiarkan pertandingan sehingga bisa menjadi hiburan untuk menarik sponsor — maka industri esports tidak akan berkembang.
Sementara itu, menurut Fathia, bagi perempuan yang tertarik untuk masuk ke dunia esports memang senang bekerja di belakang layar, mereka bisa mengambil pekerjaan terkait manajemen. Menurutnya, itu karena perempuan biasanya memang lebih rapi dan teliti akan detail. “Saran aku untuk perempuan yang mau masuk ke dunia esports, jangan mundur sebelum mencoba. Karena sesuatu yang keren datangnya nggak pernah dari comfort zone,” ujarnya.
Bekerja di Industri Esports Sebagai Perempuan
“Aku enjoy banget sih jalanin pekerjaan di industri ini, karena banyak tantangannya dan aku memulai benar-benar dari nol, jadi ada banyak ilmu yang aku dapatkan,” jawab Fathia ketika ditanya bagaimana pengalamannya bekerja di dunia esports selama ini. Jika dibandingkan dengan industri lain, industri esports relatif muda. Meskipun begitu, Fathia tetap memilih untuk bekerja di dunia esports. Dia berkata, “Sejauh ini, aku percaya, industri esports akan menjadi besar nantinya, karena pelaku industri juga semakin banyak.”
Sebelum masuk ke dunia esports, Fathia pernah bekerja di industri pulp & paper. Dia mengaku, meskipun industri esports/game terlihat lebih santai, sebenarnya pekerjaan yang dia lakukan lebih keras. Hal yang sama juga dikatakan oleh Irliansyah Wijanarko, Chief Growth Officer dan Co-Founder dari RevivalTV.
Soal budaya perusahaan, biasanya, budaya perusahaan yang bergerak di industri esports lebih menyerupai budaya startup, ungkap Nadya. “Kita seperti startup, tidak mau kaku. Kita menganut paham yang penting produktif, tidak terlalu formal, tapi, ya juga masih dalam batas wajar,” ujarnya. Sama seperti kebanyakan startup, Mineski Indonesia juga penuh dengan pekerja muda. “Pekerja yang berumur di atas 30 tahun di perusahaan kita cuma 10-20 persen. Sisanya, di bawah umur 30 tahun.”
Salah satu peraturan fleksibel yang diterapkan oleh Mineski adalah terkait jam kerja. Walau jam kerja untuk departemen yang tidak terkait dengan penyelenggaraan acara — seperti HRD dan keuangan — tetap ketat, tapi divisi broadcast biasanya memiliki jam kerja yang sangat fleksibel. Alasannya, karena tim tersebut biasanya sangat sibuk menjelang penyelenggaraan turnamen. “Ketika kita menyelenggarakan event, tim broadcast bisa baru selesai setup pada pukul 2-3 pagi, sementara pada pukul 7 pagi, acara sudah dimulai,” jelas Nadya. Mineski Indonesia lalu memutuskan untuk menghargai kerja keras divisi broadcast dengan memberikan jam kerja yang fleksibel.
Saat ditanya tentang kriteria orang yang cocok untuk bekerja di dunia esports, Nadya menjawab, “Orang yang mau belajar. Karena kita tidak punya perusahaan yang bisa dijadikan contoh.” Dia menjelaskan, orang yang pernah bekerja di event organizer sekalipun, belum tentu bisa mengaplikasikan pengetahuan mereka dalam menyelenggarakan turnamen esports. Tugas Mineski sebagai penyelenggara turnamen esports berbeda dari EO konvensional. Ada beberapa hal yang membedakan penyelenggaraan turnamen esports dengan acara lain, seperti prize pool. “Hampir setiap event ada prize pool, yang harus dipotong pajak. Jadi, kita harus mengumpulkan NPWP para peserta,” ungkapnya.
“Kriteria lainnya adalah harus mengerti game,” kata Nadya. Khususnya untuk orang-orang yang bekerja untuk tim broadcast. “Mereka harus tahu konten apa yang cocok untuk ditampilkan agar pertandingan terlihat seru. Karena, apa yang mau ditampilkan itu tergantung game-nya. Game MOBA atau FPS beda.” Dia menjelaskan, konten siaran turnamen esports berbeda dari acara non-esports, seperti konser musik misalnya. Dalam sebuah konser, kamera cukup menyorot sang musisi atau penyanyi. Sementara dalam pertandingan esports, konten harus dipilih sedemikian rupa sehingga penonton dapat merasakan keseruan pertandingan yang berlangsung.
Tak hanya tim broadcast, divisi lain yang tak terlibat langsung dalam penyelenggaraan acara juga harus memahami game, seperti departemen finansial. Dengan begitu, diharapkan, mereka tidak akan tertipu ketika mereka menyediakan biaya akomodasi untuk tim yang berlaga dalam turnamen.
Kesimpulan
Di industri esports, pemain profesional memang masih menjadi bintang utama. Sayangnya, pemain profesional perempuan masih mengalami diskriminasi. Dalam merekrut pemain, organisasi esports juga biasanya memilih pemain laki-laki. Meskipun begitu, itu bukan berarti perempuan tidak bisa meniti karir di esports.
Dunia esports tidak melulu soal para pemain profesional. Ada berbagai pekerjaan lain yang bisa diisi, seperti manager, penyelenggara turnamen, sampai penyiar konten. Jika tertarik dengan esports dan tidak keberatan untuk bekerja di belakang layar, ini bisa jadi kesempatan bagi perempuan. Memang, untuk mereka-mereka yang masih muda, bekerja di belakang layar seolah tidak memberikan prestise yang sama seperti menjadi atlet esports profesional, meskipun begitu, posisi tersebut tetap memiliki peran penting dalam mendukung keberlangsungan ekosistem esports. Ditambah lagi, di belakang layar, perempuan tak perlu khawatir dengan diskriminasi karena memang berbasis pada keahlian dan perannya masing-masing alias meritokrasi.
Esports diperkirakan akan menjadi industri besar karena ia dianggap sebagai hiburan di masa depan. Dan untuk mengemas pertandingan esports menjadi konten hiburan yang layak tonton, diperlukan orang-orang yang bersedia bekerja di belakang layar.
Belakangan, Uni Emirat Arab (UEA) sepertinya memang sedang gencar mendorong perkembangan esports di negaranya. Ini terlihat dari bagaimana ibu kota UEA, Dubai, beberapa kali jadi tuan rumah untuk gelaran esports. Beberapa contohnya seperti gelaran ROXnROLL Tekken Dubai, ataupun PUBG Mobile Star Challenge tahun 2018 yang diadakan di Dubai.
Tahun 2020 ini, Dubai juga kembali menjadi tuan rumah untuk gelaran esports. Pemerintah UEA lewat Government of Dubai Media Office (GDMO) kali ini bekerja sama dengan Grow uP Esports untuk mengadakan menghadirkan gelaran puncak GIRLGAMER Esports Festival di Dubai. Turnamen ini merupakan ajang unjuk gigi para perempuan jago game League of Legends dan CS:GO dari 5 negara. Kompetisi ini diikuti oleh tim perwakilan dari Korea Selatan, Australia, Singapura, Spanyol, dan Brazil, yang sebelumnya sudah melalui pertandingan kualifikasi.
Gelaran ini diikuti oleh beberapa organisasi esports ternama. Dari CS:GO sendiri ada Team Dignitas yang akan mengirimkan roster perempuannya. Lalu dari sisi League of Legends ada juga pemain perempuan yang digandeng organisasi ternama seperti INTZ dari Brazil, ataupun Beskitas dari Eropa. Tak lupa, gelaran ini juga mengundang satu tim dari ekosistem lokal UEA, yaitu Galaxy Racer Esports
“Kami bangga dapat bekerja sama dengan GDMO dan Meydan One untuk menyelenggarakan acara terbesar di dunia yang didedikasikan untuk para gamers perempuan. Galaxy Racer Esports ingin berkontribusi pada momentum revolusi esports yang sedang terjadi di Dubai dan wilayah lainnya. Menjadi tuan rumah acara ini akan memberi nilai baru bagi kemunculan Dubai sebagai kota yang didorong oleh inovasi.” ucap CEO Galaxy Racer Esports Paul Roy kepada outlet media lokal, TimeOut Dubai.
GIRLGAMER Esports Festival merupakan salah satu gelaran esports khusus perempuan yang sudah terselenggara secara rutin sejak dari tahun 2017. Pertama kali digelar di Makau, GIRLGAMER Esports Festival mengelilingi beberapa negara untuk mempromosikan esports khusus perempuan. Beberapa kota yang pernah mereka sambangi termasuk Portugal pada tahun 2018, lalu Sau Paulo, Madrid, Seoul, serta Sydney di tahun 2019.
Babak final turnamen khusus perempuan ini akan diadakan pada 19 sampai 22 Februari 2020 mendatang di Meydan Grandstand Dubai, dan memperebutkan total hadiah sebesar US$100.000 (sekitar Rp1,3 miliar).
Esports adalah bidang kompetisi yang secara alami lebih inklusif dari olahraga konvensional. Karena bidang ini tidak menuntut kemampuan fisik yang tinggi, esports bisa dimainkan oleh segala macam orang, baik itu laki-laki ataupun perempuan, bahkan pemain difabel. Akan tetapi pada kenyataannya, ekosistem esports masih belum memaksimalkan potensi inklusivitas tersebut, khususnya dalam hal kesetaraan gender.
Hal ini diungkapkan oleh T.L. Taylor, profesor bidang studi media komparatif di Massachusetts Institute of Technology (MIT). Dilansir dari Montana Kaimin, Taylor berkata bahwa saat ini kaum perempuan di dunia game kompetitif masih lebih banyak jadi penonton saja.
Taylor merupakan pendiri dari organisasi bernama AnyKey, sebuah organisasi yang bertujuan untuk meningkatkan diversitas, inklusivitas, serta aksesibilitas dunia esports sejak tahun 2015. AnyKey menemukan bahwa partisipasi perempuan di esports, baik sebagai anggota klub atau pemain elit, masih sedikit sekali dibandingkan pertumbuhan jumlah gamer perempuan. Padahal studi Pew Research pada tahun 2018 menunjukkan bahwa 83% remaja perempuan di Amerika Serikat adalah gamer, jauh meningkat dari angka 50% di tahun 2017.
Mengapa hal ini terjadi, salah satu penyebabnya menurut Taylor adalah karena lingkungan audiens esports masih kurang ramah. Masih banyak kasus harassment (penggangguan) terjadi, utamanya terhadap perempuan. “Penggangguan online bukan semata-mata serangan individu,” kata Taylor, “Ini tidak hanya menyakiti orang yang jadi target. Hal ini bergerak secara sosial. Menyiprat kepada semua orang yang melihatnya.”
Taylor berkata bahwa harassment terus-menerus bisa membuat streamer atau atlet esports terdorong untuk berhenti, juga menghalangi pemain baru untuk bergabung ke ekosistem ini. Aktivitas semacam ini tidak boleh ditolerir jika kita ingin esports dipandang sebagai hal serius. “Jika kita memahami live streaming sebagai sektor pengembangan media dan kultural yang semakin hari semakin signifikan, maka isu ini adalah isu yang harus diangkat di posisi paling depan,” paparnya.
Contoh bentuk harassment itu misalnya seperti diceritakan oleh Nikita Ware, salah satu pemain esports perempuan dari tim Grizzly Esports. Begitu audiens laki-laki melihat bahwa ada perempuan bermain League of Legends secara kompetitif, mereka langsung berkata, “Ya Tuhan! Ada cewek main League (of Legends). Boleh minta nomormu tidak?”
Violetta “Caramel” Aurelia dari EVOS Esports juga pernah berkata dalam wawancara dengan Hybrid bahwa pemain esports perempuan saat ini masih sedikit. “Walaupun nggak ada batasan fisik buat pemain, tapi pada kondisi esports sekarang, pemain perempuan jadi sulit ikut berkompetisi di kompetisi resmi karena alasan seperti, perempuan itu susah dikendalikan emosinya, baperan, dan lain sebagainya,” ujar Violetta saat itu.
Untungnya belakangan sudah mulai muncul beberapa pihak yang sadar akan masalah ini dan berusaha untuk mencari solusinya. Dating app Bumble misalnya, beberapa bulan lalu meluncurkan tim esports khusus perempuan untuk mendorong partisipasi mereka di ekosistem kompetitif. Bumble, meskipun sebenarnya merupakan aplikasi kencan, rupanya juga banyak digunakan sebagai sarana komunikasi antar gamer perempuan karena di aplikasi ini mereka merasa bisa berkomunikasi secara aman.
Mungkin masih akan butuh waktu lama sampai dunia esports bisa benar-benar mencapai kesetaraan gender. Bahkan di dunia olahraga konvensional pun hal ini masih belum 100% terwujud, padahal industri olahraga sudah berjalan berpuluh-puluh tahun. Akan tetapi setidaknya dengan adanya awareness akan isu ini, pihak-pihak yang punya suara di industri esports—seperti influencer, atlet, atau organisasi—bisa turut mengadvokasi pengurangan aksi harassment. Harapannya, dengan begitu ekosistem esports akan tumbuh lebih sehat, tidak hanya bagi atlet perempuan tapi bagi semua orang di dalamnya.
Akhir pekan lalu, telah selesai terlaksana kompetisi BUBU Esports Tournament 2019. Dari dua hari pelaksanaan (13-14 September 2019) akhirnya tim Bigetron RA jadi juara untuk kategori putra dan NARA Pixies keluar sebagai juara untuk kategori putri.
Kemenangan NARA Pixies di kompetisi ini menjadi hal yang sebenarnya cukup menarik untuk dibahas. Pasalnya, tim ladies yang satu ini punya penampilan yang konsisten belakangan ini. Terakhir kali, mereka juga mendapat peringkat 2 di kompetisi PINC Ladies 2019.
Membahas lebih lanjut soal ini, kami mewawancara General Manager tim NARA Esports, Erzal Savero Muhammad. Bagaimana peran manajemen dalam mempersiapkan tim NARA Pixies? Berikut hasil bincang-bincang yang kami lakukan.
Akbar (A): Halo Erzal pertama-tama selamat atas kemenangan tim Nara Pixies di kompetisi BUBU Esports Tournament kemarin ya
Erzal Savero (ES): Ya, terima kasih
(A): Bagaimana komentar manajemen atas kemenangan tim NARA Pixies?
(ES): Kemenangan tim NARA Pixies adalah kemenangan bersama atas kerja sama player, manajemen NARA Esports, para sponsor, juga berkat dukungan para fans. Kemenangan NARA Pixies tidaklah mudah, kemenangan tersebut adalah hasil latihan keras, evaluasi, serta perjuangan kawan-kawan NARA Pixies yang tak kunjung henti. Saya sampaikan juga kepada mereka, jangan cepat puas karena ini justru langkah awal untuk perjalanan karir mereka. Serta jangan lupa untuk bersyukur kepada tuhan YME.
(A): NARA Pixies cukup konsisten mendapat posisi 4 besar di dua kompetisi khusus perempuan. Menurut Erzal apa faktor terbesar penampilan tim NARA Pixies yang stabil ini?
(ES): Menurut saya faktor tersbesar adalah mental, karena para pemain NARA Pixies punya mental juara. Saya juga jadi mengingat apa yang dikatakan oleh OG.N0tail “Siapa menenangkan permainan dari sisi mental, maka merekalah yang jadi juara.”.
Saat tim lain mempermasalahkan bug karena PUBG Mobile yang baru update, tim kami fokus melakukan evaluasi dan memberikan solusi. Saya kerap memberi contoh dan menanamkan mindset fokus pada solusi kepada mereka. Jadi jika terjadi suatu masalah, lebih baik segera dicari jalan keluar atau solusi, agar masalah tersebut selesai.
(A): Jelang kompetisi dari BUBU, ada pergantian roster di dalam tim Nara Pixies. Dampaknya dalam persiapan untuk kompetisi bagaimana?
Jelang kompetisi tim Pixies ditinggal oleh pemain yang penting yaitu sang kapten (Thalia “Dust” Salsabilah). Tim Pixies sebetulnya cukup kalang kabut untuk mencari pemain baru, walau sebenarnya ketika itu ada banyak kandidat yang bisa mengisi kekosongan team.
Beberapa di antaranya saya interview langsung, tapi saya tidak ingin salah mengambil keputusan. Bahkan sempat ada perselisihan antara manajemen dengan tim, karena ada kandidat pemain yang diinginkan oleh tim, tapi ditolak oleh pihak manajemen tim.
Tapi saya sampai sampaikan kepada mereka, jika mereka tidak bisa diajak kerjasama dan berkomunikasi dengan baik, maka saya akan mengambil keputusan agar NARA Pixies mundur dari BUBU Esports Tournament.
Tetapi saya rasa kejadian itu malah jadi titik balik kebangkitan NARA Pixies. Jelang deadline kami menemukan 2 pemain Lisa “NARA.FROST” Tjeadi dan Mery “NARA.REDZ” Vianita yang ingin bergabung dengan NARA karena kesamaan visi-misi. Tetapi di luar dari hal itu, saya salut dengan Alexa “NARA.ALEXA”, Maharani “NARA.CINONYX” Dwi Ayu Sekar Wangi, Ayu “NARA.AYU” Pratiwi, Lisa “NARA.FROST” Tjeadi dan Mery “NARA.REDZ” Vianita yang pada akhirnya memilih tetap bertahan, berjuang, bekerja keras, fokus latihan dan tidak pernah menyerah.
(A): Bagaimana peran manajemen dalam mempersiapkan Nara Pixies untuk kompetisi BEST 2019?
(ES): Kami mencoba untuk mempersiapkan mereka dengan semaksimal mungkin. Roster ini sebenarnya terbentuk dalam waktu cukup singkat, tepatnya baru satu pekan saja. Namun saya yakin akan potensi dan kemampuan mereka masing-masing. Secara In-game, saya yakin mereka sudah hebat semua. Tetapi yang menjadi belum terselesaikan adalah menyatukan chemistry atau ikatan batin antar pemain.
Maka dari itu yang saya lakukan adalah dengan melakukan kegiatan-kegiatan untuk bonding. Jadi saya bikin kegiatan tim seperti jalan-jalan ikut event, nonton konser, hangout bareng, ngopi bareng, dan lain sebagainya. Lucunya, gara-gara kebanyakan kegiatan bonding, kapten tim bahkan sampai protes ke saya. Tapi cukup wajar juga, karena sang kapten mungkin kepikiran, merasa bahwa tim harusnya lebih banyak latihan di game juga.
(A): Kalau bicara soal porsi latihan, kira-kira apakah porsi latihan tim perempuan dengan laki-laki sama? Terus apakah program latihannya sama atau tidak?
(ES): Dari manajemen sebetulnya memberikan porsi yang beda antara player laki-laki dengan perempuan, akan tetapi teman-teman NARA Pixies berinisiatif menambah porsi latihan mereka, bahkan kadang-kadang sampai melebihi porsi latihan tim laki-laki.
Biasanya latihan kita programnya mencakup latihan strategi, analisis kemampuan lawan, scrim, latihan one-man squad (1v4). Dari hasil latihan tersebut terbukti cukup efektif, salah satu contohnya adalah saat match pertama, ketika NARA.FROST clutch 1vs4 untuk memperebutkan Chicken Dinner.
(A): Apakah ada perbedaan dari manajemen dalam mempersiapkan tim laki-laki dengan tim perempuan?
(ES): Kebetulan saya sebagai general manager NARA Esport yang menangani seluruh divisi yang ada di dalam NARA Esport, termasuk NARA Pixies. Saya rasa dalam persiapan saya tidak membedakan antara perempuan dengan laki-laki. Seluruh player-player yang telah bekerja sama dengan NARA sangat profesional, kita bekerja dengan komitmen kita bersama yang telah dituangkan dalam bentuk perjanjian tertulis, menyesuaikan dengan visi misi NARA Esports yaitu mengedepankan prestasi.
(A): Bicara soal visi-misi, apa sih sebenarnya visi-misi NARA Esports?Lalu apa yang ingin dicapai oleh NARA Esports dengan tim NARA Pixies? Bagaimana kehadiran NARA Pixies dapat membantu NARA Esports mendapai visi-misi organisasi?
(ES): Kalau bicara apa yang ingin dicapai, dalam jangka pendek tentunya mempertahankan gelar juara. Karena para pesaing pastinya akan memperbaiki diri dan semakin berambisi untuk mengalahkan NARA Pixies nantinya. Kalau bicara soal misi, hal yang ingin dicapai oleh NARA Esports sendiri adalah untuk menjadi perusahaan esports terbaik dalam hal prestasi dan inovasi.
Kehadiran NARA Pixies, ditambah dengan prestasi yang mereka peroleh juga bisa membantu kita melakukan inovasi dalam berkreasi. Dengan prestasi dari NARA Pixies, kita punya kesempatan menarik perhatian sponsor yang lebih luas, misalnya saja produk kecantikan mungkin? Hal ini tentunya membuka kesempatan yang lebih lebar bagi organisasi untuk mengembangkan sayap bisnisnya.
(A): Kompetisi BUBU Esports Tournament menghadirkan konsep baru dengan memberi total hadiah yang sama antara kompetisi untuk laki-laki ataupun perempuan. Pendapat Erzal terhadap hal tersebut?
(ES): Saya rasa usaha menyetarakan gender dengan tidak membedakan prizepool antara perempuan dan laki-laki ini bisa mendorong kemajuan industri esports. Kita bisa lihat sendiri bagaimana ketatnya persaingan pada leaderboard tim-tim perempuan. Hal ini menunjukkan bahwa perempuan juga punya kemampuan dan menyajikan tontonan kompetisi yang menarik. Melihat hal itu juga tidak menutup kemungkinan bahwa mereka suatu saat nanti bisa bersaing dengan tim laki-laki.
Sebagai tambahan saya juga ingin berterima kasih kepada penyelenggara BUBU Esports Tournament, terkhusus untuk Ibu Shinta. Semoga nantinya hal ini bisa menjadi contoh bagi pihak penyelenggara lainya.
(A): Tetapi esports sebetulnya bisa diblang hampir nggak ada batasan fisik antara laki-laki dan perempuan. Menanggapi opini tersebut, apa masih perlu ada kompetisi khusus perempuan?
(ES): Sangat perlu, karena menurut saya turnamen khusus perempuan memperluas ruang lingkup esport, sehingga hal ini berdampak kepada semakin luasnya target sponsor yang dapat kita sasar. Dengan market yang menjadi semakin luas, otomatis akan memajukan dan mengembangkan industri esports di Indonesia.
(A): Terakhir, apa pesan-pesannya teruntuk para fans yang sudah mendukung NARA Pixies dan NARA Esports sampai sejauh ini?
Pesan teruntuk fans, mohon selalu untuk mendoakan dan mendukung kami lewat akun media sosial dengan follow instagram @naraesports dan subscribe youtube channel NaraEsports. Kalian tunggu saja, karena kami akan terus menghadirkan konten-konten kreatif dan menarik.
(A): Oke, terima kasih banyak Erzal
(ES): Sama-sama mas Akbar.
—
Sekali lagi, selamat bagi tim NARA Pixies atas kemenangannya di kompetisi BUBU Esports Tournament 2019. Semoga NARA Esports bisa terus mepertahankan prestasinya, baik di kompetisi khusus perempuan ataupun menembus sampai kompetisi internasional campuran seperti PMCO atau PINC!