Event hackathon internal Netflix Hack Day yang digelar dua kali setahun sejak 2014 kembali menelurkan kreasi unik yang berpotensi menjadi fitur menarik buat sang layanan streaming itu sendiri. Tahun lalu, salah satu kreasi yang paling unik adalah headband ‘pembaca pikiran’ yang dijuluki Mindflix.
Tahun ini, ada Eye Nav yang lagi-lagi menawarkan cara baru untuk menavigasikan Netflix. Kalau Mindflix membaca gelombang otak, Eye Nav memanfaatkan sistem kamera TrueDepth milik iPhone X untuk membaca pergerakan mata pengguna. Pergerakan tersebut kemudian diterjemahkan menjadi kursor untuk menavigasikan aplikasi Netflix.
Teknologi yang digunakan pada dasarnya sama persis seperti fitur pengenal wajah Face ID maupun Animoji. Engineer Netflix hanya mengimplementasikannya untuk urusan lain, dalam kasus ini sebagai input navigasi tanpa jari, sangat berguna untuk pengguna difabel.
Trio engineer yang menggarapnya bilang bahwa sistem TrueDepth terbukti mampu membaca pergerakan mata secara akurat. Ke mana pun pengguna melihat, kursornya akan mengikuti. Untuk memilih, tatap lebih lama. Lalu untuk kembali ke menu utama, pengguna tinggal menjulurkan lidahnya seperti ketika bermain-main dengan Animoji.
Ketiganya berharap Eye Nav bisa menjadi salah satu bagian dari fitur Accessibility yang ditawarkan Netflix ke depannya. Peluangnya cukup besar menurut saya, meski mungkin gerakan menjulurkan lidah tadi bakal diganti dengan yang lebih elegan, semisal memejamkan mata agak lama.
Setelah trio iPhone berponi pada bulan September lalu, suguhan hardware terbaru dari Apple untuk tahun ini turut mencakup iPad Pro generasi ketiga. Tidak seperti sebelumnya yang sebatas mengusung spesifikasi baru, iPad Pro generasi ketiga mengemas desain baru yang sangat menarik.
Menarik karena wajahnya kini hanya dihuni oleh sebuah layar dari ujung ke ujung. Masih ada bezel yang mengitarinya, tapi ukurannya sangat tipis jika dibandingkan generasi sebelumnya. Saking tipisnya, tidak ada lagi ruang yang cukup untuk ditempati tombol Home.
Ya, iPhone sekarang bukan lagi satu-satunya perangkat iOS yang tak dilengkapi tombol usang tersebut. Semua pengoperasian berbasis gesture-nya telah diwariskan ke iPad Pro, demikian pula sistem Face ID untuk mengenali wajah pengguna. Yang sedikit berbeda, Face ID di iPad Pro dapat bekerja dalam orientasi portrait maupun landscape.
Penghapusan tombol Home demi memaksimalkan ukuran layar dalam dimensi yang lebih ringkas merupakan kabar baik. Yang menyebalkan adalah, jack headphone turut dieliminasi pada iPad Pro generasi baru ini. Beruntung kabar buruk ini masih bisa ditutupi oleh kehadiran port USB-C yang sepenuhnya menggantikan port Lightning.
Penggunaan USB-C berarti iPad Pro bisa kompatibel dengan lebih banyak aksesori. Menyambungkannya ke display eksternal kini semudah memasangkan satu kabel USB-C saja (tanpa dongle), dan display yang didukung bisa sampai yang beresolusi 5K. Bukan cuma itu, iPad Pro generasi baru ini ternyata juga bisa dijadikan power bank dadakan untuk iPhone.
Semua ini disajikan melalui dimensi yang lebih ringkas dari sebelumnya. Varian 12,9 inci misalnya, diklaim punya volume 25 persen lebih kecil berkat desain layar penuhnya, sedangkan varian 11 inci memiliki ukuran yang sama persis seperti varian 10,5 inci sebelumnya.
Tebal kedua varian sama-sama cuma 5,9 mm, tapi ini berarti tonjolan kamera belakangnya jadi semakin besar. Soal bobot, varian 11 inci berada di kisaran 468 gram, sedangkan varian 12,9 inci di kisaran 633 gram. Terlepas dari itu, kedua varian masih dibekali empat buah speaker dan baterai berkapasitas besar; 29,37 Wh pada varian 11 inci, 36,71 Wh pada varian 12,9 inci.
Kamera belakangnya sendiri terbentuk dari sensor 12 megapixel dan lensa f/1.8. Smart HDR menjadi salah satu fitur yang ditawarkan, tapi saya tidak melihat ada Portrait Mode tercantum. Untuk video, 4K 60 fps adalah resolusi maksimum yang didukung. Beralih ke depan, ada kamera 7 megapixel yang mendukung Portrait Mode seperti di iPhone.
Terkait layar, iPad Pro generasi ketiga masih menggunakan panel LCD seperti sebelumnya, dengan resolusi 2388 x 1668 pixel pada varian 11 inci, dan 2732 x 2048 pixel pada varian 12,9 inci. Teknologi ProMotion dengan refresh rate 120 Hz yang menjadi terobosan generasi sebelumnya juga masih digunakan di sini.
Di balik layar tersebut, bernaung spesifikasi yang luar biasa mumpuni. Chipset A12X Bionic yang digunakan mengemas prosesor 8-core dan GPU 7-core, dan untuk pertama kalinya di iPad, ada Neural Engine yang didedikasikan untuk menangani fitur berbasis machine learning. Menurut klaim Apple, performa grafis iPad Pro bisa disetarakan dengan Xbox One S, dan ini krusial demi realisasi Adobe Photoshop CC untuk iPad tahun depan.
Seperti biasa, Apple tidak mengungkap kapasitas RAM yang tersedia pada iPad Pro. Namun yang cukup sinting adalah kapasitas penyimpanannya, yang berkisar antara 64 GB sampai 1 TB. Dengan bekal port USB-C dan storage 1 TB, tidak berlebihan apabila iPad Pro diperlakukan sebagai pengganti laptop.
Lalu sampailah kita pada bagian yang menjadikan iPad Pro itu pro, yakni aksesori. Apple telah merancang Apple Pencil generasi baru yang dapat di-charge secara wireless dengan ditempelkan secara magnetik ke sisi samping iPad Pro. Bukan cuma itu, Pencil baru ini juga mengemas sensor sentuh sehingga pengguna dapat mengaktifkan sejumlah fungsi dengan menyentuh bagian sampingnya.
Untuk keyboard, Apple menyediakan Smart Keyboard Folio yang memproteksi bagian depan sekaligus belakang iPad Pro. Selagi terpasang, aksesori ini juga bisa menjadi dudukan dua posisi buat iPad Pro. Charging sama sekali tidak diperlukan, sebab aksesori ini menyambung melalui konektor khusus pada sisi samping iPad Pro.
7 November adalah tanggal yang ditetapkan Apple sebagai awal pemasaran iPad Pro generasi ketiga. Varian 11 incinya dibanderol mulai $799, sedangkan varian 12,9 inci mulai $999. Apple Pencil dijual terpisah seharga $129, sedangkan Smart Keyboard Folio seharga $179 untuk varian 11 inci dan $199 untuk varian 12,9 inci.
Di saat Apple sibuk mematangkan Face ID pada trio iPhone barunya, seorang developer dengan keterbatasan motorik memikirkan cara untuk memaksimalkan teknologi tersebut sesuai kondisi fisiknya. Beliau adalah Muratcan Cicek, seorang calon doktor (PhD) yang kebetulan tengah magang di eBay.
Bersama tim computer vision eBay, beliau mengembangkan teknologi bernama HeadGaze. HeadGaze memanfaatkan sistem kamera depan TrueDepth milik iPhone X beserta platform ARKit guna mewujudkan metode pengoperasian tanpa tangan. Sederhananya, yang dibaca oleh perangkat bukanlah sentuhan jari, melainkan gerakan kepala pengguna.
Gerakan kepala ini mewakili pergerakan kursor yang tampil pada layar. Untuk menginisiasi sebuah “klik”, kursornya harus berada di suatu titik selama beberapa detik. Jadi semisal pengguna hendak menekan tombol “Beli” pada aplikasi eBay, mereka tinggal memandu kursor dengan gerakan kepalanya ke tombol tersebut lalu membiarkannya, dan klik pun akan terjadi secara otomatis.
Seperti yang saya bilang di awal, HeadGaze bakal sangat membantu konsumen yang memiliki keterbatasan motorik, sulit menggerakkan jarinya di atas layar secara presisi misalnya. Namun tim pengembangnya melihat ada potensi yang lebih luas buat HeadGaze.
Si kandidat PhD tadi memberikan beberapa contoh skenario penggunaan HeadGaze di luar konteks konsumen difabel: kesulitan mengusap layar ponsel (scrolling) untuk melihat resep ketika memasak, kesulitan mengikuti panduan di layar ponsel saat kedua tangan sedang disibukkan oleh mesin mobil, atau sekadar kesulitan mengoperasikan ponsel karena sedang menggunakan sarung tangan (dan kondisi cuaca kelewat dingin untuk melepasnya).
Melihat potensinya, eBay memutuskan untuk menjadikan HeadGaze yang masih berupa prototipe awal ini open-source, sehingga developer lain juga dapat memanfaatkan teknologinya di aplikasi lain. Kalau sudah benar-benar matang nanti, target selanjutnya adalah mengembangkan teknologi serupa tapi untuk mata (eye tracking) yang lebih memudahkan lagi.
Perhatian publik beberapa bulan belakangan ini banyak tertuju pada industri smartphone di Tiongkok. Bagaimana tidak, sejumlah pabrikan asal Negeri Tirai Bambu itu terkesan lebih berani berinovasi ketimbang pemain-pemain besar macam Apple dan Samsung.
Salah satu pabrikan yang dimaksud adalah Vivo, yang bisa dibilang memulai tren inovasi besar-besaran ini lewat ponsel dengan sensor sidik jari di bawah layar, yakni Vivo X20 Plus UD. Selanjutnya, lewat Vivo NEX, mereka memelopori tren anyar kamera bertipe slider yang semestinya dapat mewujudkan era baru smartphone tanpa notch.
Sekarang, bertepatan dengan perhelatan event Mobile World Congress Shanghai 2018, Vivo mengumumkan senjata barunya untuk lagi-lagi menantang dedengkot industri smartphone, yaitu teknologi pengenal wajahnya sendiri, yang diklaim lebih akurat ketimbang Face ID milik iPhone X.
Face ID, seperti yang kita tahu, bekerja dengan menganalisa 30.000 titik inframerah yang diproyeksikan ke wajah. Angkanya bertambah 10 kali lipat di sistem buatan Vivo, dengan total 300.000 titik dan kemampuan mendeteksi wajah (maupun objek lainnya) dari jarak hingga sejauh 3 meter.
Vivo menyebut sistem ini dengan istilah TOF 3D Sensing, di mana TOF merupakan singkatan dari “time of flight”, yang merujuk pada cara kerja sistem itu sendiri: cahaya diproyeksikan ke wajah, lalu sistem akan mengalkulasi waktu yang dihabiskan usai cahaya tersebut memantul dan kembali ke sensor.
Secara fisik sistem TOF 3D Sensing ini diklaim lebih ringkas dan simpel konfigurasinya, sehingga mungkin notch yang diperlukan juga bisa ikut diperkecil. Lebih lanjut, Vivo bilang bahwa teknologi ini bukan lagi sebatas konsep dan siap diimplementasikan dalam waktu dekat.
Vivo sebenarnya bukan yang pertama berani melawan Apple dalam konteks ini, Huawei sebelumnya juga sempat memamerkan teknologi Face ID-nya sendiri, yang juga diklaim lebih akurat. Yang mungkin sedikit berbeda adalah rencana Vivo untuk memaksimalkan teknologi ini di luar keperluan pengamanan biometrik, semisal untuk menyempurnakan fitur beautification maupun menjadi pelengkap augmented reality.
Sudah bukan rahasia apabila iPhone kerap menjadi benchmark di kategori smartphone. iPhone memang tidak selalu menjadi yang pertama dalam menghadirkan suatu fitur baru, akan tetapi pengaruh besar Apple-lah yang berhasil menetapkan fitur tersebut sebagai standar baru di industri smartphone.
Contoh yang paling gampang adalah Touch ID. Apple bukan yang pertama menerapkan teknologi pemindai sidik jari pada smartphone, tapi debut Touch ID di iPhone 5S pada akhirnya memicu pabrikan-pabrikan lain untuk mengejar ketertinggalan dan menawarkan versinya sendiri yang tidak kalah mumpuni, hingga akhirnya sekarang hampir semua smartphone memiliki sensor sidik jarinya sendiri.
Lalu saat Apple memperkenalkan iPhone X yang mengusung teknologi Face ID, banyak yang berpendapat bahwa kita tinggal menunggu waktu untuk mendapati teknologi serupa pada smartphone lain. Benar saja, sebab baru-baru ini Huawei sempat memamerkan Face ID versinya sendiri bersamaan dengan peluncuran Honor V10.
Namun Huawei tidak mau sekadar mencontek. Mereka mengklaim teknologinya bahkan lebih baik ketimbang Face ID besutan Apple. Komponen-komponen yang digunakan cukup mirip, mencakup sejumlah kamera, termasuk kamera inframerah dan proyektor, untuk menciptakan pemetaan tiga dimensi dari wajah penggunanya.
Kendati demikian, sistem rancangan Huawei ini diyakini dapat menangkap 300.000 titik yang diproyeksikan ke wajah, atau 10x lebih banyak ketimbang Face ID milik iPhone X. Secara teori, sistem ini mampu menghasilkan model wajah 3D yang lebih presisi, dan Huawei pun tidak lupa memamerkan fitur yang juga sangat mirip seperti Animoji.
Tidak seperti fitur Face Unlock pada OnePlus 5T yang hanya bisa dipakai untuk membuka kunci layar, Huawei bilang bahwa teknologi rancangannya cukup aman untuk digunakan sebagai metode autentikasi pembayaran. Kecepatannya pun juga diyakini tidak kalah dibanding sensor sidik jari di angka 400 milidetik.
Sayang sejauh ini belum ada informasi kapan teknologi ini bakal meluncur ke smartphone besutan Huawei. Bisa jadi Huawei menunggu sampai tahun depan, tepatnya saat mereka mengunggap model flagship baru. Sekarang kita tinggal menanti pabrikan mana lagi yang bakal menyusul jejak Huawei.
Dari waktu ke waktu, Facebook senantiasa melakukan pembaruan untuk sistem verifikasi akun bagi pengguna yang kehilangan akses atau terblokir karena alasan tertentu. Beberapa cara yang sekarang ini bisa ditempuh adalah dengan mengirimkan identitas asli, melakukan verifikasi teman dan melalui email yang asli. Tapi kini jejaring sosial raksasa tersebut mengonfirmasi sedang menguji prosedur verifikasi baru yang mampu mengenali wajah pengguna asli akun bersangkutan.
Fitur ini pertama kali terlihat dalam sebuah kicauan yang disertai dengan screenshot. Pengujiannya sendiri kemudian dikonfirmasi oleh Facebook ke Techcrunch. Dan seperti di pengujian lainnya, Facebook hanya melibatkan sejumlah kecil pengguna sebelum digulirkan lebih meluas.
Dapat praktiknya, fitur pengenalan wajah ala Facebook ini baru dibenamkan untuk membantu proses pengembalian akun yang terblokir atau diretas, bukan untuk masuk ke akun secara reguler. Namun demikian, di masa depan bukan tidak mungkin Facebook melakukan pengembangan sehingga cakupan penggunaannya termasuk untuk masuk ke dalam akun seperti halnya nama pengguna dan kata sandi.
“Kami sedang menguji sebuah fitur baru untuk pengguna yang ingin memverifikasi kepemilikan akun secara cepat. Fitur opsional ini hanya akan teredia di perangkat yang sudah pernah dipakai untuk masuk ke dalam akun.” Demikian konfirmasi Facebook ke Techcrunch.
Lebih lanjut dikatakan bahwa fitur ini akan menjadi cara alternatif untuk mengembalikan akun yang hilang atau terblokir. Jadi, fitur seperti otentikasi dua langkah tetap akan dipertahankan mengingat penggunaannya yang agak berbeda.
Teknologi pengenal wajah sepertinya bakal menjadi tren terbaru di dunia teknologi mencakup perangkat dan layanan dunia maya. Apple memulai dengan membenamkan teknologi serupa di iPhone X dan dengan cepat menjadi perbincangan di mana-mana. Facebook tampaknya ingin memanfaatkan momentum ini dan berpeluang menjadi layanan online pertama yang mengadopsinya.
Saat melihat iPhone X, saya akan memaklumi jika Anda berpikiran kalau sebagian besar fiturnya terkesan ‘dipinjam’ dari smartphone lain. Layar yang nyaris tanpa bezel misalnya, sudah ada sejak sekitar satu tahun yang lalu ketika Xiaomi pertama kali meluncurkan Mi Mix, lalu diikuti oleh pabrikan lain seperti Samsung, LG dan Essential.
Wireless charging malah sudah eksis sejak lebih lama lagi, begitu pula dengan teknologi pengenal wajah. Namun tidak tepat apabila kita menuding Apple meminjam teknologi pengenal wajah ini dari kompetitornya, sebab pada kenyataannya teknologi di balik Face ID berasal dari pengembang Microsoft Kinect.
Kinect, bagi yang tidak tahu, adalah aksesori untuk console Xbox yang bertugas membaca gerakan dan menerjemahkannya menjadi input kontrol. Diumumkan pertama kali pada bulan Juni 2009, Kinect pada awalnya menggunakan teknologi racikan sebuah perusahaan asal Israel bernama PrimeSense.
Teknologi itu melibatkan sebuah proyektor dan kamera inframerah, serta chip khusus untuk mengolah datanya. Pertama-tama, proyektor akan memproyeksikan titik-titik inframerah (tidak kelihatan oleh mata telanjang) ke sebuah objek untuk dideteksi oleh kamera, sebelum akhirnya informasi yang ditangkap diproses oleh chip khusus itu tadi.
Cara kerjanya sepintas terdengar mirip seperti penjelasan Apple mengenai FaceID dan sistem kamera depan TrueDepth milik iPhone X. Pada kenyataannya, PrimeSense telah diakuisisi oleh Apple pada tahun 2013, dan dari situ Apple tampaknya sudah berhasil menciptakan miniatur Kinect dan menanamkannya ke satu-satunya porsi bezel yang tersisa pada iPhone X.
Face ID bekerja dengan menganalisa lebih dari 30.000 titik inframerah yang diproyeksikan pada wajah pengguna guna membuat pemetaan wajah yang sangat presisi. Chip A11 Bionic kemudian bertugas mengolah datanya secara aman dan tanpa mengandalkan bantuan jaringan cloud sama sekali.
Apple bilang kalau Face ID tidak akan bisa dikelabui oleh foto maupun video wajah penggunanya, dan mereka yakin bahwa Face ID jauh lebih aman ketimbang Touch ID. Selain itu, Face ID juga diklaim mampu mengenali wajah pengguna meski penampilannya berubah, ketambahan jenggot atau memakai kacamata hitam misalnya.
2017 resmi menjadi tahun meledaknya tren smartphone tanpa bezel dengan partisipasi dari Apple. Sesuai dengan rumor yang berkepanjangan selama ini, Apple akhirnya memperkenalkan iPhone X – dibaca “ten” untuk menandakan tahun kesepuluh iPhone eksis – dan bersamanya datang desain baru yang Apple harapkan bisa menjadi standar industri smartphone dalam satu dekade mendatang.
Desain dan layar
Anda yang mengikuti perkembangan rumor iPhone X sebelum-sebelumnya pasti sudah tidak asing lagi dengan desainnya. Bagian depannya diisi penuh oleh layar OLED 5,8 inci beresolusi 2436 x 1125 pixel (458 ppi) yang mendukung HDR, True Tone (seperti di iPad Pro) dan 3D Touch. Apple menyebutnya Super Retina Display, dan ini semakin dibenarkan oleh rasio kontras 1.000.000:1 serta tingkat kecerahan maksimum 625 nit.
Selain layar masif tersebut, bagian depannya hanya menyisakan porsi kecil di atas yang menjadi rumah untuk sederet sensor dan sistem kamera TrueDepth. TrueDepth merupakan komponen penting dalam iPhone X yang memungkinkan realisasi sistem keamanan biometrik baru bernama Face ID. Ya, mengingat iPhone X tidak dilengkapi tombol Home, Touch ID pun harus diganti oleh sistem pengenal wajah.
Mulai dari membuka perangkat sampai melakukan pembayaran dengan Apple Pay, semuanya kini mengandalkan Face ID. Gabungan kamera inframerah, dot projector dan flood illuminator memungkinkan iPhone X untuk mengenali wajah pengguna secara cepat dan akurat, bahkan di malam hari sekalipun.
Semua ini dikemas dalam bodi tahan air yang memadukan material kaca dan stainless steel, mirip seperti iPhone 4 tapi dengan lekukan-lekukan yang sangat mulus. Panel belakang yang terbuat dari kaca pada akhirnya juga memungkinkan iPhone X untuk mengemas dukungan wireless charging.
Spesifikasi
iPhone X ditenagai oleh chip A11 Bionic yang terdiri dari prosesor 6-core dan GPU 3-core buatan Apple sendiri, dengan performa yang sudah bisa dipastikan lebih kencang ketimbang milik iPhone 7 dan 7 Plus. Kendati demikian, Apple bilang kalau A11 Bionic juga lebih irit daya dan memungkinkan baterai iPhone X untuk bertahan 2 jam lebih lama ketimbang iPhone 7.
Apple seperti biasa tidak menyebutkan seberapa besar RAM yang dimiliki iPhone X, namun bocoran yang beredar di internet mengatakan bahwa iPhone X dibekali RAM 3 GB. Apple tidak lupa menegaskan kalau A11 Bionic juga berperan penting dalam menyuguhkan pengalaman augmented reality (AR) yang immersive, dibantu oleh API ARKit pada iOS 11.
Tidak kalah menarik adalah komponen neural engine yang terdapat pada A11 Bionic. Neural engine dirancang secara spesifik untuk menunjang kinerja algoritma machine learning – salah satunya untuk fitur Face ID tadi – dengan kemampuan mengolah secara real-time hingga 600 miliar pengoperasian per detik.
Kamera
Beralih ke kamera, iPhone X mengemas sepasang kamera 12 megapixel yang semuanya dilengkapi optical image stabilization (OIS). Kamera yang pertama didampingi oleh lensa wide-angle f/1.8, sedangkan yang kedua ditemani lensa telephoto f/2.4, kemudian di antaranya terdapat LED flash empat warna.
Apple mengklaim kamera baru iPhone X mampu menghasilkan foto HDR yang lebih baik dan mengunci fokus lebih cepat dalam kondisi minim cahaya. Video kini bisa direkam dalam resolusi maksimum 4K 60 fps, dan mode slow-motion dapat diaktifkan dalam resolusi 1080p 240 fps.
Selain fitur Portrait Mode yang diperkenalkan iPhone 7 Plus, iPhone X turut mengemas fitur kelanjutannya yang bernama Portrait Lighting. Dengan fitur ini, pengguna dapat memilih untuk mengambil foto dalam lima situasi pencahayaan yang berbeda, termasuk salah satunya yang mencoba mereplikasi efek pencahayaan di panggung, dengan fokus pada subjek foto dan latar serba hitam.
Kamera depannya yang merupakan bagian dari sistem TrueDepth tadi turut mendapatkan upgrade signifikan. Kini mengemas resolusi 7 megapixel, kamera depannya bahkan juga bisa digunakan untuk mengambil selfie dalam Portrait Mode dan Portrait Lighting.
Cara pengoperasian baru
Hilangnya tombol Home pada iPhone X juga memaksa Apple untuk memikirkan cara baru bagi pengguna untuk mengoperasikannya. Yang pertama, seperti sudah disinggung tadi, pengguna dapat membuka iPhone X dengan menatap ke layar dan mengusapkan jarinya dari bawah ke atas layar.
Selanjutnya, untuk keluar dari aplikasi, pengguna tinggal mengusap layar ke atas dari bagian bawah. Lalu untuk berpindah dari satu aplikasi ke yang lain, pengguna dapat menerapkan gesture yang sama, tapi menahan jarinya di tengah-tengah sampai muncul deretan aplikasi yang terbuka.
Control Center kini dibuka dengan mengusap layar ke bawah dari bagian indikator sinyal dan baterai di atas kanan, sedangkan Siri dapat dipanggil dengan menekan dan menahan tombol Power di sisi kanan. Saya pribadi juga bertanya-tanya, “Lalu bagaimana cara mematikan iPhone X?” Sayang Apple sama sekali tidak menyinggung topik tersebut, namun saya duga opsinya bisa jadi tersedia di Control Center.
iPhone X turut memperkenalkan fitur baru pada iMessage bernama Animoji, singkatan dari animated emoji. Cara kerjanya melibatkan sistem pengenal wajah tadi yang bertugas menganalisa lebih dari 50 pergerakan otot wajah pengguna, lalu menerjemahkannya menjadi berbagai ekspresi pada karakter emoji yang berbeda-beda.
Harga dan ketersediaan
iPhone X bakal ditawarkan dalam dua varian kapasitas: 64 GB atau 256 GB, dengan harga masing-masing $999 dan $1.149. Kedengarannya sangat mahal memang, tapi sebagai perspektif, iPhone 7 Plus tahun lalu dibanderol $949 untuk varian dengan kapasitas terbesarnya.
Apple bakal menerima pesanan iPhone X mulai 27 Oktober mendatang, dan konsumen bisa mendapatkannya mulai 3 November. Pilihan warna iPhone X sendiri hanya ada dua, yakni silver atau space gray.