Tag Archives: Facebook

Among Us Bakal Dirilis untuk PS4 dan PS5, Epic Games Beli ArtStation

Pada minggu lalu, ada dua perusahaan besar yang melakukan akuisisi di ranah game. Pertama, Epic Games yang baru saja mengakuisisi ArtStation. Kedua, Facebook membeli Downpour Interactive, developer dari game VR. Sementara itu, developer Singapura berencana untuk meluncurkan game simulasi manajemen kebun binatang baru, yaitu Let’s Build a Zoo.

Epic Games Beli ArtStation

Minggu lalu, Epic Games mengakuisisi ArtStation. Sayangnya, mereka tidak menyebutkan jumlah dana yang mereka keluarkan untuk membeli platform tersebut. Satu hal yang pasti, ArtStation masih akan beroperasi secara mandiri, walau mereka harus bekerja sama dengan tim Unreal Engine. Epic mengungkap, bersama ArtStation, mereka berharap bisa memberdayakan komunitas pelaku kreatif, menurut laporan GamesIndustry.

Meskipun ArtStation disebutkan akan beroperasi secara mandiri, Epic telah membuat dua perubahan. Salah satunya, Epic membuat layanan streaming video, ArtStation Learning, gratis hingga akhir tahun. Selain itu, mereka juga menurunkan biaya yang harus dibayar para seniman ketika mereka menjual karya mereka di ArtStation Marketplace. Tadinya, para seniman harus membayar biaya sebesar 30%. Sekarang, ArtStation hanya akan mengambil 12%. Persentase ini sama seperti yang Epic ambil dari para developer game yang menjual game mereka di Epic Games Store.

Springloaded dari Singapura Bakal Luncurkan Let’s Build a Zoo

Developer asal Singapura, Springloaded akan meluncurkan game baru, berjudul Let’s Build a Zoo. Sesuai namanya, game tersebut merupakan simulasi manajemen kebun binatang. Sama seperti game simulasi manajemen lainnya, tujuan Anda di game ini adalah membangun kebun binatang terbaik, mulai dari segi dekorasi, hingga operasional.

Di Let’s Build a Zoo, Anda bisa menggabungkan DNA dua binatang yang berbeda. | Sumber: IGN

Sama seperti Jurassic World Evolution, di Let’s Build a Zoo, Anda juga bisa melakukan mix-and-match dari DNA dua binatang yang berbeda untuk membuat binatang hibrida yang sama sekali baru. Di game ini, Anda juga bisa melanggar regulasi demi mendapatkan keuntungan ekstra, lapor IGN. Satu hal yang membuat Let’s Build a Zoo unik dari simulasi manajemen lainnya adalah game itu punya art pixel. Sementara itu, kebanyakan game simulasi yang menggunakan visual 3D.

Among Us Bakal Rilis untuk PS4 dan PS5

Sony mengungkap, Among Us akan bisa dimainkan di PlayStation 4 dan PlayStation 5 pada tahun ini. Ketika diluncurkan untuk PS4 dan PS5, Among Us akan punya skin baru, yaitu Ratchet dan Clank. Seperti yang disebutkan oleh VentureBeat, Among Us diluncurkan unuk PC dan mobile pada 2018. Namun, game itu baru menjadi populer pada 2020. Seiring dengan semakin populernya Among Us, developer InnerSloth pun meluncurkan game itu di platform lain. Pada Desember 2020, Among Us diluncurkan di Switch. Sementara versi Xbox dari game tersebut juga akan dirilis pada tahun ini.

Bandai Namco Malaysia Buat Tech Demo Pamerkan Kemampuan Ray Tracing

Membuat tech demo adalah salah satu cara bagi perusahaan game untuk memamerkan kemampuan mereka. Selama ini, visual khas anime jadi salah satu ciri khas Bandai Namco. Namun, pada tahun ini, Bandai Namco Studios Malaysia mencoba untuk membuat tech demo yang menonjolkan gaya visual yang lain. Kali ini, mereka ingin menampilkan tech demo dengan visual yang realistis. Selain itu, mereka juga fokus untuk menonjolkan penggunaan ray tracing di Unreal Engine, lapor IGN.

Demo tech dari Yggdrasil menunjukkan visual yang sangat realistis. | Sumber: IGN

Facebook Akuisisi Downpour Interactive

Minggu lalu, Facebook juga mengumumkan bahwa mereka telah mengakuisisi Downpour Interactive. Dengan begitu, jumlah developer di Oculus Studio bertambah satu. Downpour adalah developer dari Onward, game tactical FPS VR. Game itu telah masuk dalam tahap Early Access selama lima tahun di Steam. Meskipun begitu, Facebook tetap tertarik dengan Downpour. Alasannya, karena mereka menganggap Downpour telah sukses membangun komunitas yang besar untuk game VR, seperti dikutip dari GamesIndustry.

cara melaporkan hoax facebook

[Panduan Pemula] Cara Melaporkan Postingan Hoax atau Grup Facebook yang Mengganggu

Media sosial semestinya menjadi ruang bagi penggunanya untuk berinteraksi dengan nyaman, meniadakan jarak dan waktu. Tetapi belakangan Facebook sudah jadi tempat yang penuh dengan sampah, seperti postinga-postingan artikel hoax, status hoax, menebar kebencian sampai munculnya grup-grup yang isinya berbau sara dan politik.

Continue reading [Panduan Pemula] Cara Melaporkan Postingan Hoax atau Grup Facebook yang Mengganggu

Aplikasi Facebook Kini Dilengkapi Miniplayer untuk Memutar Konten Audio dari Spotify

Facebook sedang keranjingan dengan konten audio. Pekan lalu, mereka membeberkan rencananya untuk lebih berfokus pada penyajian konten audio, termasuk halnya meluncurkan kompetitor Clubhouse. Bukan cuma itu, mereka rupanya juga tidak segan menggandeng salah satu nama terbesar di industri konten audio saat ini, Spotify.

Buah kerja sama di antara keduanya adalah semacam miniplayer Spotify yang dapat ditemukan langsung di aplikasi Facebook versi Android maupun iOS. Fitur ini sekarang sudah tersedia di 27 negara, termasuk Indonesia, dan dijadwalkan menyusul ke lebih banyak negara lagi dalam beberapa bulan ke depan.

Setiap lagu atau episode podcast yang dibagikan ke Facebook sekarang dapat diputar langsung lewat aplikasi Facebook. Cukup klik tombol “Play” pada lagu atau podcast yang dijumpai di News Feed, maka audio akan langsung dijalankan di background. Namanya miniplayer, fitur ini hanya memakan porsi kecil dari tampilan antarmuka aplikasi Facebook di bagian bawah.

Selama audio diputar, pengguna masih bisa terus melihat isi News Feed seperti biasa. Ketika lagu atau episode podcast-nya usai, maka konten berikutnya dari Spotify akan diputar secara otomatis. Kalau Anda bukan pelanggan Spotify Premium, maka sesekali Anda juga akan mendengarkan iklan, sama persis seperti di aplikasi Spotify itu sendiri.

Satu hal yang perlu dicatat adalah, agar bisa memutar audio via miniplayer Facebook ini, Anda masih harus meng-install aplikasi Spotify. Pasalnya, ketika Anda mengklik tombol “Play”, perangkat otomatis akan membuka aplikasi Spotify dan memutar konten audionya dari situ. Dengan kata lain, miniplayer yang muncul di aplikasi Facebook itu pada dasarnya hanya berfungsi sebagai remote control aplikasi Spotify.

Ini berarti audio masih tetap akan berjalan meski pengguna menutup aplikasi Facebook. Lebih lanjut, pengguna yang belum pernah memakai Spotify sama sekali juga wajib mendaftarkan akun Spotify terlebih dulu agar fitur miniplayer di aplikasi Facebook ini bisa bekerja.

Sumber: Spotify dan TechCrunch.

6 Tips Menjaga Privasi dan Mengamankan Akun Facebook

Jejaring sosial semacam Facebook adalah tempat untuk membagikan momen dalam hidup, mengekspresikan diri dan bersosialisasi tentang banyak hal bersama teman dan orang-orang terdekat. Tapi, ada hal-hal teknis yang jika tak dikelola dengan baik dapat menimbulkan resiko pelanggaran privasi, benturan sosial dan kehilangan akun.

Continue reading 6 Tips Menjaga Privasi dan Mengamankan Akun Facebook

2 Cara Agar Tidak Bisa Ditandai Teman di Facebook

Ditandai Teman Facebook dengan Konten-konten Dewasa, Atasi Pakai Cara Jitu ini

Facebook mempunyai fitur tag atau penanda yang memungkinkan seseorang menyebut nama temannya kemudian konten yang dibagikan akan muncul di semua akun yang ditandai. Jika konten yang dibagikan bermuatan positif, tak jadi soal. Tapi jika sebaliknya, maka hal memalukan bisa saja terjadi.

Continue reading Ditandai Teman Facebook dengan Konten-konten Dewasa, Atasi Pakai Cara Jitu ini

Facebook Akan Segera Luncurkan Kompetitor Clubhouse

Seperti yang sudah bisa ditebak, Facebook sedang sibuk menggarap kompetitor Clubhouse, menyusul jejak Twitter dan Discord. Rumor yang beredar selama ini rupanya akurat, dan Facebook sendiri sudah mengonfirmasi master plan mereka seputar social audio yang ternyata melibatkan lebih dari satu produk.

Produk yang pertama adalah Live Audio Rooms, alternatif langsung terhadap Clubhouse yang bakal tersedia di aplikasi Facebook maupun Messenger mulai musim panas mendatang. Cara kerjanya mungkin sudah tidak perlu dijelaskan lagi; kalau Anda pernah menggunakan Clubhouse atau Twitter Spaces, Live Audio Rooms pasti akan terasa sangat familier. Bahkan layout tampilan antarmukanya pun mirip jika Anda melihat gambar di atas.

Sebelum merilisnya ke publik, Facebook akan menguji Live Audio Rooms terlebih dulu dengan sejumlah grup dan figur publik. Jadi sebelum kita bisa bercakap-cakap di depan audiens secara live tanpa perlu tampil di depan kamera, kita harus menjadi audiens terlebih dulu sampai musim panas tiba (antara Juni sampai September).

Produk yang kedua adalah yang Mark Zuckerberg deskripsikan sebagai Instagram Reels versi audio. Namanya Soundbites, dan ini pada dasarnya merupakan format audio pendek baru yang bakal kita jumpai di Facebook ke depannya. Guna memfasilitasi proses pembuatan Soundbites, Facebook juga bakal menyiapkan tool kreasi audio yang komprehensif sekaligus praktis.

Berkat kehadiran tool khusus ini, Soundbites tentu bakal terdengar berbeda dari, misalnya, fitur voice message di WhatsApp. Berbagai macam efek suara dapat diaplikasikan ke Soundbites, dan kita juga bisa menyematkan musik latar dari katalog Facebook Sound Collection jika mau. Soundbites nantinya juga dapat dimanfaatkan untuk membagikan kutipan dari suatu sesi Live Audio, atau dari suatu episode podcast.

Podcast? Ya, dalam beberapa bulan ke depan, aplikasi Facebook bakal bisa dipakai untuk langsung mendengarkan podcast, dan Facebook pun juga akan membantu pengguna menemukan deretan podcast baru sesuai dengan minatnya masing-masing.

Keputusan ini didasari oleh fakta bahwa sekarang sudah ada lebih dari 170 juta orang yang terhubung ke ratusan ribu Facebook Page seputar podcast. Facebook pada dasarnya ingin supaya orang-orang ini tidak perlu meninggalkan Facebook sama sekali ketika mereka hendak mendengarkan podcastpodcast favoritnya.

Facebook pun tidak lupa bahwa agar semua ini bisa bertahan dalam jangka panjang, mereka perlu menyediakan sejumlah opsi monetisasi buat para kreator. Opsi yang pertama adalah dengan memanfaatkan sistem tipping bernama Stars. Pasca peluncuran, kreator nantinya juga bisa membuat sesi Live Audio Room yang berbayar, atau malah menarik biaya berlangganan dari audiensnya.

Sumber: Facebook dan The Verge.

Oculus Rift S Resmi Di-discontinue

Dibandingkan HTC Vive, lineup produk virtual reality yang Oculus tawarkan terkesan sangat sederhana. Dalam waktu dekat, portofolio produknya bahkan bakal jauh lebih simpel lagi dengan dihentikannya produksi Oculus Rift S, penerus Oculus Rift orisinal yang diperkenalkan di tahun 2019.

Kalau kita cek di situs resmi Oculus, terpampang status Rift S yang sedang kosong. Kepada UploadVR, Oculus sendiri juga telah mengonfirmasi bahwa mereka tidak berniat menambah stok Rift S, dan ini sejalan dengan rencana awal mereka ketika meluncurkan VR headset baru tahun lalu, yakni Oculus Quest 2. Kala itu, Oculus sempat bilang bahwa Rift S bakal segera di-discontinue.

Keputusan Oculus untuk berfokus pada Quest 2 saja sebenarnya tidak terlalu mengejutkan. Dibanding Rift S, headset tersebut memang menawarkan banyak kelebihan, utamanya adalah kemudahan penggunaan tanpa harus tersambung ke PC. Di saat yang sama, Quest 2 tetap dapat dihubungkan ke PC via kabel seandainya diperlukan (untuk memainkan gamegame yang lebih berat, yang membutuhkan kinerja kartu grafis milik PC).

Oculus Quest 2 / Oculus
Oculus Quest 2 / Oculus

Tidak heran apabila Quest 2 pada akhirnya menjadi produk terlaris Oculus meski baru dipasarkan selama kurang dari enam bulan. Jumlah persis unit yang terjual memang tidak disebutkan, tapi yang pasti lebih banyak ketimbang penjualan headsetheadset lain Oculus digabungkan (Rift, Go, Rift S, dan Quest generasi pertama). Harga yang cukup terjangkau — $299 — tentu turut berkontribusi terhadap kesuksesan Quest 2 di pasaran.

Yang mungkin menjadi pertanyaan adalah, apakah ke depannya Oculus masih akan melanjutkan seri Rift? Pertanyaan ini cukup tricky karena Oculus sendiri sebenarnya sudah pernah mengembangkan Rift 2. Sayangnya produk tersebut tidak pernah terealisasi karena Oculus membatalkan pengembangannya di tahun 2018, padahal tahap produksinya tinggal selangkah lagi kalau kata Palmer Luckey, founder Oculus sekaligus inventor Rift orisinal.

Sebagai gantinya, di tahun 2019 diluncurkanlah Rift S yang merupakan hasil kolaborasi Oculus bersama Lenovo. Dibanding pendahulunya, Rift S menghadirkan penyempurnaan dalam bentuk peningkatan resolusi sekaligus implementasi inside-out tracking, tidak ketinggalan pula banderol harga yang lebih terjangkau di angka $399.

Sumber: UploadVR.

Facebook Kembangkan Gelang Pintar untuk Menerjemahkan Gerakan Tangan Menjadi Input dalam AR

Augmented reality (AR) itu bukan sebatas menampilkan objek digital di atas objek nyata. Yang tidak kalah penting adalah bagaimana kita bisa berinteraksi dengan objek-objek digital tersebut secara intuitif, dan kalau menurut Facebook, salah satu caranya bisa dengan memanfaatkan sebuah gelang pintar berteknologi electromyography (EMG).

Dari perspektif yang paling sederhana, teknologi EMG ini melibatkan sensor yang dapat menerjemahkan aktivitas listrik dari saraf motorik menjadi input untuk sebuah perangkat. Jadi selagi tangan dan jari-jari kita bergerak, sensor akan menangkap sinyal-sinyal yang dipancarkan oleh otak menuju otot.

Salah satu gesture yang paling gampang dibaca dan diterjemahkan menjadi input adalah gerakan mengklik sesuatu menggunakan ibu jari dan telunjuk. Jadi tanpa perlu memegang apa-apa, pengguna kacamata AR dapat mengoperasikan perangkatnya hanya dengan mempertemukan ujung jempol dan telunjuknya. Seperti Jedi yang mampu mengontrol Force kalau kata Facebook.

Tentu saja ini baru satu contoh yang teramat simpel. Potensi EMG sejatinya sangatlah luas, dan video di bawah ini paling tidak bisa menjadi gambaran apa saja hal-hal yang dimungkinkan ke depannya.

EMG sendiri bukanlah suatu hal yang benar-benar baru di tahun 2021 ini. Kalau Anda masih ingat, di tahun 2015 pernah ada sebuah perangkat bernama Myo yang mengusung teknologi yang sama persis. Pada kenyataannya, Facebook baru mendapatkan akses ke teknologi ini setelah mengakuisisi startup bernama CTRL-labs di tahun 2019, dan CTRL-labs sendiri mendapatkannya dengan cara membeli paten teknologinya dari pengembang Myo.

Pastinya sudah ada sejumlah penyempurnaan yang diterapkan yang dapat membedakan antara EMG versi sekarang dan versi sebelumnya. Ke depannya, Facebook malah memprediksi bahwa EMG dapat membaca keinginan kita untuk menggerakkan jari sebelum kita betul-betul menggerakkannya.

Selain itu, Facebook juga tertarik untuk menandemkan EMG dengan sistem AI yang sangat advanced yang dapat memahami konteks secara real-time sekaligus interface yang adaptif. Jadi ketimbang harus menavigasikan menu demi menu untuk mengaktifkan fungsi tertentu, seperti misalnya memutar playlist musik ketika hendak berolahraga, AI akan secara proaktif menyuguhkan interface-nya, dan pengguna pun hanya perlu melakukan gesture klik itu tadi sebanyak satu kali.

Facebook neural wristband

Juga tidak kalah penting adalah haptic feedback, sebab ini yang bisa membedakan antara menekan tombol betulan atau bohongan. Perpaduan EMG dan haptic feedback dinilai mampu membuat interaksi-interaksi kita dengan objek digital jadi terasa nyata, dan ini akan terkesan lebih krusial lagi di saat kita menerapkan gesturegesture yang lebih kompleks, seperti misalnya mengetik di atas keyboard virtual.

Perjalanan yang harus ditempuh Facebook untuk mewujudkan visinya masih sangat panjang. Facebook sepertinya tidak mau terburu-buru karena dalam pengembangannya mereka juga harus memperhatikan faktor privasi dan etika. Salah langkah bisa-bisa perangkatnya gagal sebelum dirilis seperti Google Glass.

Sumber: Facebook.