Teknologi Artificial Intelligence (AI) di bidang kesehatan diharapkan membantu mengurangi kompleksitas penanganan penyebaran virus Covid-19. AI dinilai mampu mengolah data, menganalisis data rontgen dengan lebih cepat, mendeteksi kondisi orang melalui temperatur tubuh, atau melihat penggunaan masker wajah di tempat umum.
“Mengintegrasikan teknologi AI ke dalam industri medis memungkinkan banyak kemudahan, termasuk otomatisasi tugas-tugas dan analisis data pasien dalam jumlah besar demi perawatan kesehatan yang lebih baik, lebih cepat, dan lebih terjangkau. Contohnya medical imaging yang memanfaatkan teknologi computer vision dapat membantu mendeteksi penderita pneumonia dan kanker lebih cepat dan akurat,” kata CEO Kata.AI Irzan Raditya.
Menurut Chief Research & Product Innovation Nodeflux Dr. Adhiguna Mahendra, AI telah memainkan peran yang sangat penting dalam perawatan kesehatan dan dalam satu dekade akan secara fundamental membentuk kembali prospek perawatan kesehatan. Hal tersebut dilihat dari penerapan AI untuk diagnosis gambar medis otomatis, diagnosis prediktif, dan telemedicine.
“Pandemi Covid-19 ini memberi insentif kepada para ilmuwan untuk berlomba-lomba menemukan vaksin baru yang kemajuan di bidang ini juga akan memengaruhi penelitian pengobatan pembelajaran lebih mendalam pada umumnya,” kata Adhiguna.
Hal senada diungkapkan CEO DycodeX Andri Yadi. Menurutnya, siapa pun harus berkontribusi melawan Covid-19, termasuk startup teknologi seperti DycodeX.
Penerapan AI di sektor kesehatan Indonesia
Di Indonesia, fungsi AI masih terbatas ke deteksi dan monitoring. Belum terlalu advance, seperti di negara maju. Startup Qure.ai yang berbasis di Inggris, melalui qXR system yang dikembangkannya, mampu menyoroti kelainan paru-paru dalam pemindaian sinar-X dada dan menjelaskan logika di balik evaluasi risiko penyebaran virus Covid-19.
Ada pula startup yang berbasis di Seoul, Korea Selatan, bernama Lunit yang menghadirkan produk serupa. Produk screening paru-paru Qure.ai dan Lunit telah disertifikasi badan kesehatan dan keselamatan Uni Eropa sebelum krisis. Alat ini telah diadaptasi agar semakin bermanfaat ketika Covid-19.
Meskipun belum banyak menyentuh layanan kesehatan, penerapan teknologi AI di Indonesia paling tidak mampu mengatasi masalah mendasar terkait social distancing dan deteksi awal virus Covid-19.
Teknologi terkini yang dihadirkan Nodeflux adalah FaceMask Detection Alert. Melalui teknologi ini, aktivitas masyarakat di ruang publik mampu dikenali lebih detail. Nodeflux menggunakan AI untuk mengotomasi proses pemantauan dengan deteksi wajah tanpa atau menggunakan masker. Mekanisme ini dilengkapi alert system sebagai pemberitahuan cepat bagi petugas ketika subyek tanpa masker ditemukan berlalu-lalang.
Semua data tersebut dapat terkoneksi dan terpusat melalui layar Monitoring Dashboard & Alert System.
“Pada dasarnya AI dapat membantu kami tidak hanya dalam pengambilan keputusan, tetapi juga dalam melakukan semacam tindakan otomatis. Tentu saja ini akan mengubah lanskap penyelesaian masalah selama kondisi pandemi, di mana kita diharuskan untuk membuat keputusan cepat tentang kondisi kesehatan masyarakat, mobilitas publik, dan kepatuhan terhadap peraturan,” kata Adhiguna.
Pemanfaatan AI dan IoT di bidang kesehatan juga dikembangkan DycodeX. Perusahaan saat ini mengembangkan teknologi yang mampu melakukan proses screening suhu badan orang. Dalam waktu sekitar 2 detik, alat yang dikembangkan tersebut diklaim mampu melihat apakah orang tersebut memiliki demam atau tidak.
Tim DycodeX melihat adanya potensi teknologi ini bisa diterapkan di kantor-kantor dan bandara. Untuk kisaran harga jual, DycodeX menyebutkan produk ini berharga di bawah Rp10 juta. Ada banyak fasilitas, industri, dan bangunan yang perlu tetap beroperasi selama krisis ini dan solusi yang dihadirkan diharapkan dapat berkontribusi menjaga semua orang tetap aman dan sehat.
Berbeda dengan alat deteksi yang banyak digunakan oleh kalangan umum, alat ini mampu melihat suhu badan tanpa menyentuh bagian tubuh dari orang yang diperiksa. Mereka yang tidak menggunakan masker wajah juga bisa dideteksi.
“Kami percaya bahwa solusi seperti kami akan terus bisa diadopsi ketika dunia menjadi lebih sadar akan pentingnya teknologi untuk pencegahan dan antisipasi terhadap masalah potensial terkait kesehatan. Demam adalah salah satu respon tubuh kita yang terlihat, terkait dengan masalah kesehatan. Mendeteksi potensi demam dapat mencegah banyak masalah terkait. Kami berharap teknologi semacam ini akan dapat mengantisipasi dan melindungi terhadap kemungkinan wabah di masa depan,” kata Andri.
Masa depan pemanfaatan AI
Meskipun sebelum pandemi penerapan teknologi AI sudah mulai banyak dilancarkan berbagai industri, bisa dipastikan usai pandemi penelitian dan pengaplikasian AI akan lebih banyak dilakukan.
Di bidang kesehatan, penerapan teknologi AI dapat membantu untuk diagnosis, prognosis dan pengobatan. Untuk tujuan diagnosis dan prognosis misalnya, x-ray dan CT (Computed Tomography) dari gambar paru-paru di berbagai kondisi dapat digunakan untuk meningkatkan model deep learning yang menjadi bahan diagnosis Covid-19.
“Jadi aplikasi terkait prognosis, seperti dapat memperkirakan siapa yang akan terkena dampak lebih parah dapat membantu dalam perencanaan alokasi dan pemanfaatan sumber daya medis. Ini tentunya bisa diterapkan kepada penyakit lain,” kata Adhiguna.
Irzan menambahkan, “Saat ini, pengadopsian teknologi AI dalam industri medis di Indonesia sebagai pendukung penyedia layanan medis dalam membuat keputusan akan lebih tepat dan bermanfaat. Dengan demikian, dokter tetap berperan sebagai pengambil keputusan yang final.”
Jauh sebelum pandemi, AI sudah diakui eksistensinya, karena berpotensi berkontribusi pada penemuan obat baru. Di kasus Covid-19, sejumlah pusat penelitian fokus mencari vaksin melawan Covid-19. AI dapat mempercepat proses penemuan obat dan vaksin baru dengan memprediksi dan memodelkan struktur informasi virus yang dapat berguna dalam mengembangkan obat baru.
Namun demikian, persoalan lain yang perlu dipertimbangkan adalah regulasi. Teknologi AI akan sulit dikembangkan lebih lanjut tanpa persetujuan regulator terkait.
“Kesehatan adalah area di mana peraturannya sangat ketat dan tidak fleksibel. Ini dibenarkan karena mereka berurusan dengan kehidupan manusia, tetapi pada saat yang sama, sejumlah besar pengujian, sertifikasi dan panel akan menyebabkan inovasi dalam AI untuk perawatan kesehatan lebih lama, lebih rumit dan sulit untuk dimasukkan ke dalam aplikasi dunia nyata,” kata Adhiguna.
Tantangan lain, menurut Irzan, adalah ketidakseimbangan antara jumlah riset AI dengan kebutuhan bisnis. Banyak riset AI yang sulit dikomersialisasikan, karena riset tersebut belum tepat guna.
“Menurut saya, kolaborasi yang lebih selaras antara lembaga riset atau perguruan tinggi dengan pelaku bisnis berperan penting agar riset-riset AI dapat dimanfaatkan demi kebutuhan bisnis,” kata Irzan.
Ia menambahkan, dalam jangka waktu 10-15 tahun ke depan teknologi AI akan berkembang pesat dan dapat membantu industri medis dengan lebih signifikan, terutama jika data-data rekam medis digital dan medical imaging dapat terintegrasi. Teknologi AI tidak hanya hadir sebagai fasilitas pelengkap untuk meningkatkan produktivitas tenaga medis, tetapi juga berperan sebagai fasilitas pencegahan penyakit.
“AI akan tetap hadir dengan inovasi dan kemajuan logis dari komputasi dan teknologi secara umum. Hal tersebut nantinya tidak akan terlepas dari kehidupan kita sehari-hari dan akan terus diperbaiki, terlepas dari adanya pandemi ini atau tidak,” kata Andri.