Tag Archives: facial recognition

Mercedes-Benz Pamerkan Beragam Inovasi Digital pada S-Class Generasi Terbaru

Keberadaan touchscreen pada dashboard mobil sudah tidak bisa dibilang barang baru lagi. Kendati demikian, saya kira belum ada pabrikan yang seberani Tesla, yang sejak Model 3 sudah sepenuhnya mengandalkan layar sentuh untuk mengendalikan beragam fungsi mobil.

Arahan yang diambil Tesla mungkin agak kelewat ekstrem. Kalau untuk keperluan seperti mengecek tekanan ban, touchscreen mungkin merupakan medium interaksi yang sangat pas. Namun kalau untuk mengatur arah semburan AC atau membuka jendela mobil, saya rasa reflek manusia akan lebih nyaman dengan kehadiran tuas fisik.

Sayang sepertinya trennya lebih condong ke visi Tesla. Mercedes-Benz baru-baru ini menjabarkan secara detail mengenai pembaruan yang mereka terapkan pada sistem infotainment MBUX-nya, yang siap menjalani debutnya bersama S-Class generasi terbaru. Kalau mau penjelasan sederhananya, versi baru MBUX ini melibatkan touchscreen berukuran besar sebagai panel kontrol utamanya.

Layar sentuh OLED sebesar 12,8 inci dengan orientasi vertikal ini langsung mengingatkan saya pada touchscreen milik Tesla Model S. Menurut Mercy, kehadiran layar sentuh ini membantu mereka mengeliminasi 27 tombol yang biasanya terdapat dalam kabin S-Class. Seketika itu juga saya berpikir: “Apakah ini berarti S-Class generasi terbaru tidak dilengkapi tombol power window?”

Untungnya tidak demikian. Mercy memastikan bahwa tombol power window, tuas wiper dan lampu, serta sejumlah tombol fisik lain yang sudah sangat familier masih ada di tempat aslinya. Namun untuk kenop-kenop pengaturan sistem climate control, Mercy sudah memindahnya ke layar sentuh, meski untungnya Mercy juga merancangnya agar menghuni porsi bawah layar secara permanen.

MBUX

Tepat di balik lingkar kemudinya, tentu saja panel instrumennya juga sudah sepenuhnya digital. Satu hal baru yang Mercy perkenalkan di sini adalah semacam teknologi 3D display yang glasses-free. Pastinya untuk apa fitur ini Mercy buat belum dijelaskan, dan yang menurut saya lebih menarik adalah teknologi AR-HUD alias augmented reality heads-up display.

Penerapan AR di bidang otomotif bukanlah hal baru, akan tetapi Mercy berhasil mengintegrasikan teknologinya dengan HUD, yang berarti konten AR bisa diproyeksikan langsung ke jendela depan mobil. Hasil proyeksinya pun cukup luas, setara layar 77 inci kalau kata Mercy.

Tentu saja implementasi AR di sini bukan sebatas untuk keren-kerenan saja. Salah satu fungsinya adalah sebagai format baru untuk menampilkan panduan navigasi. Dan karena tampilannya sekarang bisa diproyeksikan ke jendela depan, maka pengemudi bisa melihat arah panah petunjuk navigasi yang seakan-akan berada tepat di atas jalanan.

Berhubung S-Class identik dengan mobil para bos yang pasti punya sopir pribadi, tentu saja kabin belakangnya turut dibanjiri layar sentuh. Maksimal hingga tiga buah, satu di konsol pembatas dan dua sisanya di belakang jok depan.

MBUX

Teknologi keamanan biometrik juga menjadi salah satu fitur yang diunggulkan MBUX versi terbaru. Dari yang sederhana seperti memindai kode QR untuk mengaktifkan profil pengemudi (yang menyimpan informasi-informasi seperti posisi jok, pengaturan climate control, dan lain sebagainya), sampai yang lebih kompleks seperti fingerprint scanning dan facial recognition.

Pada S-Class terbaru nanti, facial recognition tak hanya dipakai untuk memantau apakah pengemudi mulai mengantuk, melainkan juga untuk mengaktifkan beragam fungsi-fungsi cerdas, seperti misalnya menyesuaikan posisi kaca spion secara otomatis (dengan memperhatikan posisi kepala dan mata pengemudi relatif terhadap sandaran jok dan parameter-parameter lainnya).

Mercy juga tak mau melupakan sistem voice recognition. Pada MBUX versi terbaru, perintah suara dapat diberikan tanpa harus menyebutkan “Hey Mercedes” setiap kali. Mercy mengklaim sistemnya telah mendukung 27 bahasa yang berbeda, serta mampu memahami instruksi-instruksi yang implisit seperti misalnya “Saya kepanasan” daripada yang terang-terangan seperti “Turunkan suhu AC ke 20 derajat”.

Sejauh ini penawaran Mercy terdengar lebih menarik daripada Tesla kalau buat saya. Digitalisasi itu penting, dan kita tentu ingin bisa mengakses beragam fitur mobil semudah menavigasikan smartphone. Kendati demikian, beberapa hal tetap lebih mudah dikendalikan via tombol atau tuas fisik. Anda tentunya bakal keberatan kalau tombol volume pada ponsel Anda dihilangkan, bukan?

Sumber: CNET dan Daimler.

Penggunaan masker selama masa pandemi bisa membentuk masa depan teknologi pengenal wajah. Berbagai cara ditempuh untuk melawan surveilans berlebih.

Hubungan Erat Pandemi dan Masa Depan Teknologi Pengenal Wajah

Merebaknya corona virus disease 2019 (Covid-19) menuntut perubahan perilaku masyarakat di aspek kesehatan. Salah satunya yang paling sederhana dan juga paling penting adalah penggunaan masker ketika berada di luar rumah.

Masker adalah kebutuhan utama umat manusia selama pandemi saat ini. Tentu saja di mana-mana masih ada saja orang yang abai soal ini. Seperti yang disampaikan World Health Organization (WHO), keberadaan masker begitu esensial sehingga mereka merekomendasikan semua orang memakainya. Rekomendasi itu berubah dari sebelumnya hanya untuk tenaga kesehatan dan pasien saja.

Penggunaan masker yang masif saat ini ternyata berimbas terhadap perkembangan teknologi, khususnya teknologi pengenal wajah. Maklum, penggunaan masker ini artinya pekerjaan rumah baru bagi perusahaan visual artificial intelligence yang harus menciptakan pembaruan untuk mengenali wajah di balik masker.

Masker tak lagi masalah

Masker ternyata bukan masalah rumit untuk ditembus oleh perusahaan produsen visual artificial intelligence. Sebagai perusahaan di negara dengan populasi kamera pengawas terbanyak di seluruh dunia, Hanwang menemukan teknologi untuk menembus masker sepertinya bukan perkara sulit bagi mereka.

Hanwang adalah salah satu perusahaan pencipta teknologi pengenal wajah terkemuka di Tiongkok. Program pengenal wajah mereka dapat mengidentifikasi wajah tanpa masker hingga 99,5%. Pada pertengahan Maret lalu Hanwang mengungkap mereka sudah bisa mengenali wajah di balik masker. Akurasinya pun tidak main-main–hingga 95%. Lebih canggih lagi, teknologi ini bisa terhubung dengan sensor temperatur agar sistem bisa mengidentifikasi sehat atau tidaknya seseorang.

Algoritma teknologi pengenal wajah biasanya bekerja dengan memindai dan mengumpukan sejumlah data points dari wajah seseorang. Bagian-bagian krusial wajah yang dapat dikenali itu ada di jarak antarmata serta struktur hidung dan dagu. Tutupi bagian itu, maka algoritma akan sulit mengidentifikasi wajah.

Teknologi Hanwang terhubung dengan foto dari 1,2 miliar orang dari pangkalan data kepolisian Tiongkok. Sistem mereka dengan menebak seperti apa wajah seseorang yang ada di pangkalan data jika menggunakan masker. Teknologi Hanwang ini memang masih terus berkembang, tapi perusahaan percaya diri permintaan produk mereka ini akan datang dari seluruh dunia menyusul situasi pandemi.

Hanwang tentu bukan satu-satunya yang punya kemampuan tersebut. Ada Facewatch asal Inggris yang mengklaim punya teknologi serupa. Ada juga SAFR yang berasal dari Amerika Serikat. Namun sejauh ini sepertinya hanya Hanwang teknologinya sudah digunakan di publik. Produk Hanwang dikabarkan dipakai oleh otoritas Hong Kong untuk mengidentifikasi peserta aksi protes di sana.

Berlomba untuk mengelabui

Meningkatnya kecerdasan visual AI dalam memindai wajah orang-orang bermasker tentu membawa manfaat di situasi pandemi seperti sekarang. Contoh paling mudah adalah untuk mengawasi dan melacak keberadaan orang-orang yang berpotensi terjangkit virus.

Namun kemajuan teknologi ini jelas punya efek samping bagi pemegang kekuasaan. Perlu diingat dalam situasi pandemi ini, selalu ada peluang bagi negara otoritarian melebarkan cengkeramannya terhadap hak-hak sipil.  Human Rights Watch sudah mencatat hal itu sudah terjadi di Tiongkok, Thailand, Turki, Kamboja, Venezuela, dan Mesir.

Potensi yang tak diinginkan itu bisa terjadi dari teknologi pengenal wajah yang memakai masker tadi. Bayangkan potensi di sebuah negara dengan aparatus yang represif menghadapi aksi protes. Dengan teknologi semacam ini, mereka dapat dengan mudah melakukan profiling peserta aksi protes yang sudah mengikuti aturan berlaku. Di tangan kekuasaan yang represif, masker dapat dianggap salah satu penghalang untuk menjinakkan gelombang perlawanan.

Itu sebabnya berbagai pihak memutar akal untuk mengalahkan kepintaran visual AI tadi. Dari sejumlah perlawanan terhadap bentuk surveilans berlebih itu ada perempuan bernama Kate Rose. Rose punya latar belakang cukup unik yakni analis keamanan siber sekaligus desainer fesyen. Kombinasi keduanya memungkinkan Rose mendirikan Adversarial Fashion, lini busana anti-surveilans.

Adversarial Fashion punya banyak produk untuk membantu pelanggannya terhindar dari kamera pengawas. Mereka punya masker dengan pola khusus untuk menangkis kamera pengenal wajah hingga kaos dengan gambar pelat nomor kendaraan untuk mengelabui kamera pemindai pelat nomor.

“Hak-hak privasi harus lebih ditegakkan, dalam hal melindungi hak Anda atas data yang dikumpulkan tentang Anda yang memerlukan surat perintah,” kata Rose.

Rose hanya salah satu yang punya inisiatif tersebut. Jika Rose memadukan pengetahuannya di bidang fesyen untuk membuat penangkal kamera pengenal wajah, beberapa yang lain menggunakan riasan. Ada teknik riasan yang mencegah kamera melihat wajah dan ada juga riasan yang justru memperbanyak wajah.

Namun teknik riasan ini tak akan berdaya di sistem pengenalan wajah berbasis sinar inframerah seperti yang dipakai di iPhone. Itu sebabnya muncul teknik lain berbentuk topi LED. Topi ini bisa memproyeksikan sinar inframerah untuk mengacaukan algoritme pengenal wajah.

Para inovator teknologi pengenal wajah pun tak akan tinggal diam melihat beragam teknik anti-surveilans di atas. Mereka akan menganggapnya sebagai tantangan yang perlu ditaklukkan sebagaimana Hanwang menaklukkan masker. Maka bukan mustahil, wabah Covid-19 ini justru akan mempercepat inovasi-inovasi tingkat lanjut dari teknologi pengenal wajah.

NIST Welcomes Nodeflux, the One Indonesian Based Tech-Developer for Face Recognition

This September, the National Institution of Standards and Technology (NIST) has welcomed the quality of an algorithm made by an Indonesian based AI tech company, Nodeflux. They put Nodeflux in the 25th position from a total of 90 AI tech companies competing in the Face Recognition Vendor Test (FRVT), with those from China and Russia in the same category.

NIST is a standardize institution and science & technology laboratory under the US Trading Department. It was to create a greater battle in tech development worldwide. One of the programs is FRVT as the fine benchmark of face recognition based on its algorithm.

“NIST benchmark is very helpful for vendors using face recognition to gain an assessment of its technology. Nodeflux, in the 25th place for the Wild 1E-4 dataset category worldwide, is making us very proud for bringing the Indonesian’ tech development to the global competition,” Nodeflux‘ Co-Founder and CEO, Meidy Fitranto said.

The assessment has three categories, Visa, Mugshot, and Wild Dataset by evaluating the identification performance through scenarios, ethnics, gender, and ages. The dataset testing works on some scenarios on field, such as territorial borders, ID access, and city safety.

Face recognition was done with a comparison concept between input and reference images consist of two types, 1:1 (one to one),  comparison of 1 input image with 1 reference image and 1:N (one to many), comparison of 1 input image with various images of all sides.

“In order to get into the Wild 1E-4 dataset category for the 1:1 type, our engineers are passing through the FRTV trial program assessment. In competition with AI giants from China and US is one challenge. We keep running trial to get the most accurate performance, up to this position. Furthermore, there will be improvements for the current technology,” Nodeflux’ Co-Founder and CTO, Faris Rahman.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Nodeflux berada di posisi 25 dari 90 perusahaan teknologi AI dunia yang turut serta dalam Face Recognition Vendor Test (FRVT)

NIST Apresiasi Nodeflux, Satu-satunya Pengembang Teknologi Pengenalan Wajah Asal Indonesia

National Institute of Standards and Technology (NIST) bulan September ini mengapresiasi kualitas algoritma pemrograman startup AI asal Indonesia. Startup tersebut adalah Nodeflux, perusahaan teknologi asal Indonesia yang fokus pada pengembangan AI. NIST menempatkan Nodeflux di posisi 25 dari 90 perusahaan teknologi AI yang bersaing dalam penilaian Face Recognition Vendor Test (FRVT), bersaing dengan perusahaan teknologi dari Tiongkok dan Rusia di kategori yang sama.

NIST merupakan lembaga standarisasi dan laboratorium bidang sains dan teknik yang berada di bawah Departemen Perdagangan Amerika Serikat. Tujuannya adalah untuk menciptakan kompetisi unggul dalam pengembangan teknologi di seluruh dunia. Salah satu program yang ada di sana adalah FRVT yang dijadikan tolak ukur kecanggihan teknologi pengenalan wajah berdasarkan algoritma pemrograman yang dipunyai perusahaan teknologi AI.

“Benchmark NIST sangat membantu para vendor yang memanfaatkan teknologi face recognition untuk mendapatkan penilaian dari kualitas teknologi yang dimiliki. Dengan peringkat ke-25 yang diraih Nodefluk untuk kategori Wild 1E-4 dataset di antara vendor dari seluruh dunia, kami sangat bangga terhadap perestasi ini untuk membawa pengembangan teknologi asli Indonesia ke dalam kompetisi global,” terang Co-Founder dan CEO Nodeflux Meidy Fitranto.

Penilaian FRVT memiliki tiga kategori penilaian, yakni Visa, Mugshot, dan Wild Dataset dengan mengevaluasi kinerja identifikasi melalui berbagai skenario, etnik, gender, dan umur. Pengujian dataset tersebut berguna untuk beberapa skenario di lapangan, misalnya untuk pengawasan perbatasan wilayah, akses ID, dan keamanan perkotaan.

Metode face recognition dilakukan dengan konsep pembanding antara wajah input dengan wajah referensi yang terbagi mejadi dua jenis, yakni 1:1 (one to one), perbandingan 1 image input dengan 1 image reference dan 1:N (one to many), perbanding 1 image input dengan beragam image dari tiap sisi.

“Untuk menempati posisi kategori Wild 1E-4 dateset ini untuk jenis 1:1, tim engineering kami berusaha melewati proses penilaian program uji FRTV. Berkompetisi dengan perusahaan raksasa AI di Cina dan US, misalnya memang menjadi tantangan. Kami terus melakukan uji coba berkelanjutan untuk mendapatkan performa akurasi terbaik, hingga menempati posisi ini. Ke depannya, tentu akan ada peningkatan berkelanjutan untuk teknologi yang dirancang,” terang Co-Founder dan CTO Nodeflux Faris Rahman.

Supermarket Modern JD.com

Melihat Penerapan Blockchain dan Face Recognition di Ritel Modern Milik JD.com

Salah satu layanan yang menjadi andalan dari raksasa ritel JD.com adalah menyediakan bahan makanan segar kepada konsumen di Tiongkok. Pengiriman bahan makanan segar ini sudah dilakukan sejak tahun 2012. Melihat besarnya permintaan dan potensi, perusahaan kemudian memutuskan untuk menjalankan divisi bahan makanan segar secara independen.

JD.com kemudian mendirikan 7Fresh, sebuah supermarket premium khusus produk bahan makan segar, baik dari supplier lokal atau asing. Supermarket tersebut juga dilengkapi dengan teknologi terkini, misalnya memanfaatkan blockchain untuk memberikan ulasan histori produk.

DailySocial bersama dengan awak media asal Indonesia lainnya mendapatkan kesempatan untuk mengunjungi 7Fresh yang terletak di kota Beijing, Tiongkok, beberapa waktu yang lalu.

Kombinasi produk segar dan penerapan teknologi

Suasana khas supermarket biasa memang tampak terasa ketika kami memasuki 7Fresh. Namun setelah dilihat lebih dalam, terpampang beragam produk bahan segar yang didatangkan dari 50 kawasan di Tiongkok. Terdapat juga beberapa produk yang diimpor dari berbagai negara. Bukan hanya untuk kebutuhan individu, 7Fresh juga menyuplai kebutuhan restoran yang tersebar di Beijing dan sekitarnya.

Sesuai dengan komitmen mereka mengantarkan barang dengan cepat, 7Fresh menjamin semua barang yang dibeli secara online melalui aplikasi JD.com dikirimkan hanya dalam waktu 30 menit saja di kawasan Beijing dan sekitarnya.

7Fresh menyematkan blockchain dalam bentuk tampilan layar di beberapa sudut rak. Hanya dengan mesin pemindai (scanner), pengunjung bisa mengetahui histori produk mulai dari awal di petani hingga tiba di toko.

Terkait dengan teknologi ini, JD.com menjalin kerja sama strategis dengan beberapa mitra untuk bisa mengimplementasikan tracking system. Semua informasi tersebut juga bisa diakses oleh pembeli melalui aplikasi.

Jika ada perubahan harga, sistem secara otomatis akan melakukan pembaruan. Sehingga saat barang dipindah, semua informasi yang muncul dipastikan aktual. Untuk pembayaran 7Fresh juga menyediakan pilihan non-tunai yang terintegrasi langsung dengan akun WeChat dan platform lainnya.

Memanfaatkan teknologi facial recognition

XMart manfaatkan facial recognition
XMart manfaatkan facial recognition

Toko ritel milik JD.com lainnya yang secara keseluruhan memanfaatkan teknologi adalah XMart. Toko yang lokasinya terletak di kantor pusat JD.com ini, dimanfaatkan oleh pegawai untuk membeli makanan dan minuman hingga kebutuhan sehari-hari.

Keunikan toko ini adalah pembeli tidak perlu melakukan pembayaran di kasir khusus. Semua barang yang dibeli terekam secara langsung oleh kamera yang tersebar di atap toko, kemudian akan mendeteksi apa saja produk yang dibeli dengan memanfaatkan sensor khusus.

Saat proses check-out, sensor akan mendeteksi langsung akun pengguna hanya dengan mengenali wajah dari pembeli tersebut. Teknologi facial recognition diterapkan oleh JD.com ke dalam toko XMart.

Investasi JD.com dalam penelitian dan pengembangan sumber daya tidak hanya meningkatkan operasinya, tapi diyakini berpotensi berkontribusi pada evolusi e-commerce untuk secara menyeluruh. Untuk mendukung kegiatan pengembangan, JD.com juga gencar merekrut profesional AI.

Application Information Will Show Up Here

Peneliti Manfaatkan Google Glass dalam Terapi Penderita Autisme

Google Glass tidak cocok untuk konsumsi umum. Anggapan tersebut tidak perlu diperdebatkan lagi, sebab Google sendiri telah merancangnya ulang sebagai produk enterprise. Kendati demikian, Glass masih punya potensi untuk membantu mengatasi keperluan-keperluan khusus, seperti misalnya membantu anak-anak penderita autisme bersosialisasi dengan lebih baik.

Temuan itu didapat berdasarkan hasil pengujian tim peneliti di Stanford University. Mereka mengembangkan sebuah aplikasi smartphone berteknologi facial recognition yang bisa digandengkan dengan Glass, kemudian mengujinya bersama 14 penderita autisme dengan rentang usia 3 – 17 tahun selama 10 minggu.

Subjek percobaan itu bukannya mengenakan Glass setiap saat, melainkan minimal hanya tiga sesi setiap minggu, dengan durasi masing-masing sesi selama 20 menit. Hasilnya cukup positif; sebagian besar anak-anak yang ikut dalam program terapi ini terbukti bisa mempertahankan kontak matanya secara lebih baik, serta mampu mengenali bermacam ekspresi wajah orang lain.

Jadi, kamera milik Glass akan merekam wajah setiap orang yang ditemui sang anak, lalu meneruskan informasi tersebut ke smartphone. Aplikasinya yang telah dilatih menggunakan ratusan ribu foto wajah kemudian bertugas menebak ekspresi wajah orang yang tertangkap kamera, kemudian meneruskan kembali informasinya ke Glass – bisa dalam bentuk audio atau emoticon kecil yang tampil di ujung kanan atas pandangan sang anak.

Google Glass facial recognition app for autism

Aplikasinya ini dapat mengenali delapan jenis ekspresi: senang, sedih, marah, jijik, kaget, takut, sombong dan tenang. Masing-masing ekspresi diwakili oleh emoticon yang berbeda, dan seluruh proses ini berlangsung secara real-time sehingga sang anak bisa langsung bereaksi sesuai kondisinya.

Usai tiap sesi, anak-anak beserta orang tuanya bisa meninjau ulang rekaman video interaksi mereka. Videonya juga dilengkapi timeline warna-warni (sesuai emoticon ekspresi wajahnya tadi) yang mengindikasikan kapan kombinasi Google Glass dan aplikasi ponsel ini berhasil mengidentifikasi tiap-tiap ekspresi wajah.

Meski hasilnya bagus, para peneliti belum bisa memastikan apakah yang memberikan pengaruh positif selama terapi berlangsung hanyalah Google Glass, dan bukan faktor-faktor yang lain. Untuk memastikan hal itu, dibutuhkan percobaan lain yang juga mencakup anak-anak yang menjalani program terapi secara tradisional, alias tanpa bantuan Google Glass.

Sumber: Science News.

Vivo Pamerkan Teknologi Face ID Buatannya yang Diklaim Lebih Superior Ketimbang Milik Apple

Perhatian publik beberapa bulan belakangan ini banyak tertuju pada industri smartphone di Tiongkok. Bagaimana tidak, sejumlah pabrikan asal Negeri Tirai Bambu itu terkesan lebih berani berinovasi ketimbang pemain-pemain besar macam Apple dan Samsung.

Salah satu pabrikan yang dimaksud adalah Vivo, yang bisa dibilang memulai tren inovasi besar-besaran ini lewat ponsel dengan sensor sidik jari di bawah layar, yakni Vivo X20 Plus UD. Selanjutnya, lewat Vivo NEX, mereka memelopori tren anyar kamera bertipe slider yang semestinya dapat mewujudkan era baru smartphone tanpa notch.

Sekarang, bertepatan dengan perhelatan event Mobile World Congress Shanghai 2018, Vivo mengumumkan senjata barunya untuk lagi-lagi menantang dedengkot industri smartphone, yaitu teknologi pengenal wajahnya sendiri, yang diklaim lebih akurat ketimbang Face ID milik iPhone X.

Face ID, seperti yang kita tahu, bekerja dengan menganalisa 30.000 titik inframerah yang diproyeksikan ke wajah. Angkanya bertambah 10 kali lipat di sistem buatan Vivo, dengan total 300.000 titik dan kemampuan mendeteksi wajah (maupun objek lainnya) dari jarak hingga sejauh 3 meter.

Vivo menyebut sistem ini dengan istilah TOF 3D Sensing, di mana TOF merupakan singkatan dari “time of flight”, yang merujuk pada cara kerja sistem itu sendiri: cahaya diproyeksikan ke wajah, lalu sistem akan mengalkulasi waktu yang dihabiskan usai cahaya tersebut memantul dan kembali ke sensor.

Secara fisik sistem TOF 3D Sensing ini diklaim lebih ringkas dan simpel konfigurasinya, sehingga mungkin notch yang diperlukan juga bisa ikut diperkecil. Lebih lanjut, Vivo bilang bahwa teknologi ini bukan lagi sebatas konsep dan siap diimplementasikan dalam waktu dekat.

Vivo sebenarnya bukan yang pertama berani melawan Apple dalam konteks ini, Huawei sebelumnya juga sempat memamerkan teknologi Face ID-nya sendiri, yang juga diklaim lebih akurat. Yang mungkin sedikit berbeda adalah rencana Vivo untuk memaksimalkan teknologi ini di luar keperluan pengamanan biometrik, semisal untuk menyempurnakan fitur beautification maupun menjadi pelengkap augmented reality.

Sumber: The Verge dan PR Newswire.

Mengulik Fitur-Fitur Unik yang Dihidangkan Smartphone Spesialis Selfie Oppo F7

Dengan begitu suksesnya F5 sebagai salah satu smartphone incaran pengguna yang gemar ber-swafoto, sudah bisa dipastikan Oppo punya niatan buat meramu penerusnya. Eksistensi F7 diungkap lewat tweet Oppo India di bulan Maret silam, dan belum lama ini, perusahaan consumer electronics asal Guangdong itu mempersilakan Chief kami menguji smartphone ini secara lebih intensif.

Dan pada tanggal 17 April 2018, Oppo akhirnya resmi meluncurkan F7 di Indonesia. Sebagaimana para pendahulunya, F7 ialah smartphone yang dispesialisasikan untuk selfie, namun kali ini dukungan teknologi tak cuma hadir dalam bentuk software, tetapi juga hardware. Dan dari sisi desain, F7 turut memperoleh sejumlah pembaruan sehingga penampilannya memenuhi tren smartphone di 2018.

F7 4

Dalam konferensi pers kemarin, Oppo memfokuskan penjelasan mereka pada fitur-fitur anyar yang disuguhkan oleh F7. Melalui teknologi-teknologi tersebut, sang produsen berniat untuk menjaga gelar mereka sebagai ‘pakar dan pemimpin segmen smartphone selfie‘.

F7 2

F7 sendiri sebetulnya sudah mulai dipasarkan sejak 13 April silam bertepatan dengan ulang tahun kelima Oppo Indonesia, dan hanya dalam waktu lima hari, penjualannya mencapai 22 persen dari seluruh produk yang pernah mereka jajakan di tanah air.

F7 8

 

Layar

Oppo F7 menyuguhkan layar 6,23-inci, lebih lebar dari F5 (6-inci), tapi penambahan ukuran tubuhnya tidak signifikan. Hal ini tercapai berkat pemanfaatan rasio 19:9 serta kesuksesan Oppo meminimalkan bezel. Area ujung display dibuat membundar menyamai sisi pojok smartphone, dan bisa Anda lihat sendiri, F7 memanfaatkan notch yang dipopulerkan oleh Apple lewat iPhone X.

F7 5

F7 14

Di area notch, Oppo menempatkan kamera depan, speaker dan sensor proximity. Kabar baiknya, area menonjol itu tidak selebar punya iPhone X sehingga menyisakan ruang lapang untuk tempat icon-icon notifikasi; namun, bagian bawahnya sendiri tidak benar-benar bebas dari bingkai. Ruang sisa tersebut tidak Oppo manfaatkan buat menaruh tombol navigasi. Tombol-tombol ini diintegrasikan dalam panel, bisa diakses dengan men-swipe ke atas.

F7 17

F7 7

F7 mengusung panel full-HD+ 1080x2280p 405ppi dengan rasio layar ke tubuh sebesar 82,5 persen. Dibanding F5, display F7 lebih lapang 16 persen.

 

Artificial intelligence

Dalam mempresentasikan produk-produknya, Oppo sudah sangat sering membahas dukungan AI. Sistem kecerdasan buatan ini umumnya dimanfaatkan untuk menghasilkan jepretan self-portrait yang memuaskan. Di acara media hands-on A83, PR manager Aryo Medianto menjelaskan bagaimana Oppo berupaya menghadirkan kapabilitas tersebut di produk yang lebih terjangkau. Namun ia juga bilang bahwa versi barunya tidak bisa diakses oleh perangkat lawas.

F7 19

Alasannya adalah teknologi AI di F7 turut ditopang secara hardware melalui chip MediaTek Helio P60. SOC tersebut menyimpan AI processing unit (istilah lainnya neural processing unit) mandiri yang memberikannya device kemampuan deep learning, memungkinkannya mengenal wajah dan objek, serta mengidentifikasi kejadian/pemandangan berbeda.

F7 9

 

AI Beauty 2.0 dan fotografi

Dengan kecerdasan buatan serta pemakaian kamera f/2.0 25-megapixel di depan, hasil selfie jadi lebih baik serta tetap alami. F7 bisa memetakan 296 titik di wajah, sehingga dapat menghitung umur, mengetahui jenis kelamin, serta mendeteksi warna kulit secara lebih presisi. Berkat AI yang lebih pintar pula, F7 belum membutuhkan setup dual camera untuk menghasilkan efek bokeh.

F7 20

F7 11

Artificial intelligence di F7juga dapat mempelajari kebiasaan sang pengguna seiring pemakaian. Ia akan mengenali preferensi beautification Anda berdasarkan kebiasaan saat mengedit foto. Selain itu, AI bisa mengetahui skenario foto berbeda (termasuk lewat kamera belakang 16Mp-nya) – contohnya saat pemotretan dilakukan di dalam ruang, di pantai, ketika matahari terbenam, atau sewaktu Anda mengarahkan kamera ke bayi, kucing atau makanan.

F7 13

Jika ingin bermain-main lebih jauh dengan hasil swafoto, Oppo telah menyediakan Mode Vivid. Mode ini mempersilakan Anda mengutak-atik saturasi warna, misalnya meningkatkan warna baju atau latar belakang.

 

ColorOS 5.0

Meneruskan tradisi khas smartphone Tiongkok, Oppo F7 didukung platform ColorOS 5.0 yang merupakan versi forked dari Android 8.1 Oreo. Sistem operasi ini kabarnya dispesialisasikan untuk perangkat-perangkat ‘full screen‘ serta dilengkapi fitur-fitur unik seperti kemampuan Screen Recording, kemudahan dalam memindahkan file via Clone Phone, multi-screen buat membuka dua app sekaligus serta Assistive Ball baru demi menyederhakan akses ke sejumlah fungsi.

F7 15

Kombinasi AI dan ColorOS 5.0 turut membuat pengelolaan data jadi lebih mudah. Pertama, sistem dapat menentukan dan menyortir jenis foto yang Anda ambil – seperti pemandangan, makanan, arsitektur, laut, atau foto individu. Lalu kedua, F7 bisa menghapus foto-toto tak berguna secara otomatis. Misalnya jika hasil jepretan itu blur atau dobel.

F7 12

F7 18

 

Fitur pengenalan wajah

Teknologi AI Recognition Oppo F7 dapat mendeteksi 128 titik muka buat menentukan apakah memang sang pemilik sah yang mencoba mengakses perangkat tersebut. Kecepatan proses unlock-nya cukup mengesankan, hanya 0,08 detik. Jauh lebih cepat dari menggambar pola ataupun memasukkan pin.

F7 22

 

Harga dan ketersediaan

Di Indonesia, Oppo menawarkan F7 dalam dua pilihan spesifikasi dan tiga warna, yakni merah hitam dan perak. Versi ROM 64GB dibanderol Rp 4,2 juta, sedangkan varian dengan memori internal 128GB dijual seharga Rp 5,5 juta. Waktu ketersediaan masing-masing edisi ini ternyata berbeda, berikut detailnya:

  • F7 merah & perak – 17 April
  • F7 merah 128GB – 25 April
  • F7 hitam – 3 Mei

F7 3

F7 21

Subaru Gunakan Teknologi Pengenal Wajah untuk Mendeteksi Pengemudi yang Mengantuk

Kita semua tahu bahwa salah satu penyebab kecelakaan lalu lintas adalah pengemudi yang mengantuk atau kelelahan. Peluang terjadinya insiden tersebut semakin meningkat ketika menempuh jarak yang cukup jauh, namun Subaru tampaknya sudah menyiapkan solusi yang cukup efektif untuk menangani problem tersebut.

Solusi yang dimaksud adalah sistem bernama DriverFocus, yang memanfaatkan teknologi pengenal wajah (facial recognition) untuk mengidentifikasi tanda-tanda pengemudi yang kelelahan atau yang teralihkan perhatiannya. Sistem ini nantinya bakal tersedia pada varian termahal SUV Subaru Forester (Touring) edisi terbaru, yang diperkenalkan baru-baru ini di ajang New York Auto Show.

Ketika sistem berhasil mendeteksi pengemudi yang mengantuk, maka mobil secara otomatis akan mengaktifkan sistem driver assist bawaan yang bernama EyeSight. EyeSight bukanlah sistem semi-otomatis seperti Tesla Autopilot, akan tetapi masih cukup membantu berkat fitur-fitur seperti adaptive cruise control, lane assist dan lane departure warning, serta yang paling penting, pengereman otomatis alias pre-collision braking.

2019 Subaru Forester

Subaru bilang bahwa DriverFocus bisa mengenali sampai lima pengemudi yang berbeda selagi mengingat-ingat pengaturan posisi jok, suhu kabin, display multifungsi dan lain sebagainya yang ditetapkan oleh masing-masing pengemudi. Fitur ini sejatinya membuat Forester amat ideal dijadikan mobil keluarga.

Subaru memang bukan yang terdepan soal sistem kemudi otomatis, tapi setidaknya inovasi seperti ini bisa membantu mengurangi angka kecelakaan lalu lintas selagi kita mengejar skenario masa depan di mana tidak ada lagi kecelakaan yang diakibatkan user error, sebab semuanya dapat bergerak dengan sendirinya dan berkoordinasi satu sama lain.

Sumber: Engadget dan Subaru.

Teknologi Pengenal Wajah iPhone X Berasal dari Pengembang Kinect

Saat melihat iPhone X, saya akan memaklumi jika Anda berpikiran kalau sebagian besar fiturnya terkesan ‘dipinjam’ dari smartphone lain. Layar yang nyaris tanpa bezel misalnya, sudah ada sejak sekitar satu tahun yang lalu ketika Xiaomi pertama kali meluncurkan Mi Mix, lalu diikuti oleh pabrikan lain seperti Samsung, LG dan Essential.

Wireless charging malah sudah eksis sejak lebih lama lagi, begitu pula dengan teknologi pengenal wajah. Namun tidak tepat apabila kita menuding Apple meminjam teknologi pengenal wajah ini dari kompetitornya, sebab pada kenyataannya teknologi di balik Face ID berasal dari pengembang Microsoft Kinect.

Microsoft Kinect for Xbox 360

Kinect, bagi yang tidak tahu, adalah aksesori untuk console Xbox yang bertugas membaca gerakan dan menerjemahkannya menjadi input kontrol. Diumumkan pertama kali pada bulan Juni 2009, Kinect pada awalnya menggunakan teknologi racikan sebuah perusahaan asal Israel bernama PrimeSense.

Teknologi itu melibatkan sebuah proyektor dan kamera inframerah, serta chip khusus untuk mengolah datanya. Pertama-tama, proyektor akan memproyeksikan titik-titik inframerah (tidak kelihatan oleh mata telanjang) ke sebuah objek untuk dideteksi oleh kamera, sebelum akhirnya informasi yang ditangkap diproses oleh chip khusus itu tadi.

iPhone X TrueDepth camera system

Cara kerjanya sepintas terdengar mirip seperti penjelasan Apple mengenai FaceID dan sistem kamera depan TrueDepth milik iPhone X. Pada kenyataannya, PrimeSense telah diakuisisi oleh Apple pada tahun 2013, dan dari situ Apple tampaknya sudah berhasil menciptakan miniatur Kinect dan menanamkannya ke satu-satunya porsi bezel yang tersisa pada iPhone X.

Face ID bekerja dengan menganalisa lebih dari 30.000 titik inframerah yang diproyeksikan pada wajah pengguna guna membuat pemetaan wajah yang sangat presisi. Chip A11 Bionic kemudian bertugas mengolah datanya secara aman dan tanpa mengandalkan bantuan jaringan cloud sama sekali.

Apple bilang kalau Face ID tidak akan bisa dikelabui oleh foto maupun video wajah penggunanya, dan mereka yakin bahwa Face ID jauh lebih aman ketimbang Touch ID. Selain itu, Face ID juga diklaim mampu mengenali wajah pengguna meski penampilannya berubah, ketambahan jenggot atau memakai kacamata hitam misalnya.

Sumber: The Verge.