Tag Archives: Fajar Assad

Tahun 2017 Jadi Saksi Kesulitan Startup Daerah untuk Bertahan

Ketika ekosistem startup Indonesia merayakan kehadiran empat startup unicorn berskala nasional di tahun 2017, periode ini justru bisa dibilang kurang bersahabat bagi startup-startup daerah. Meskipun Bekraf dengan BEKUP-nya dan Gerakan Nasional 1000 Startup Digital berusaha terus membakar semangat penggiat lokal untuk mengembangkan produknya, ternyata semangat saja tidak cukup.

Di Pontianak misalnya, DailySocial memberitakan bagaimana perjuangan layanan lokal yang kalah bersaing melawan raksasa layanan on-demand bervaluasi miliaran dollar.

Ketimpangan sangat terasa, membuat satu persatu startup daerah gulung tikar. Di sisi lain, Indonesia sangat membutuhkan lahirnya wirausahawan-wirausahawan baru untuk mendorong pertumbuhan ekonomi bangsa, terutama dengan meningkatnya jumlah masyarakat di usia produktif. Menurut data, diperkirakan dalam beberapa waktu ke depan masyarakat di golongan angkatan kerja ini (antara usia 15 dan 65 tahun) akan mencapai 70% dari total populasi.

Ketidaksiapan mengedukasi pasar dan bersaing

Hal senada juga terjadi di Yogyakarta, Solo, Makassar. Fajar Assad, seorang penggiat komunitas startup Makassar yang sebelumnya pernah mendirikan LeanSkill, menyatakan terjadi penurunan jumlah startup baru di kota terbesar di kawasan Timur Indonesia ini dibanding tahun sebelumnya.

“Startup yang sudah eksis hampir dua tahun atau lebih beberapa sekarang sudah tutup, termasuk LeanSkill, Tiketbusku, dan beberapa lainnya,” ujar Fajar.

Fajar mengaku penutupan LeanSkill karena ketidakmampuannya dia berjuang sendirian dan fokus mengembangkan produk dan pasar. Meskipun demikian, ia tidak sendirian.

Menurut Fajar, kebanyakan penggiat startup daerah memulai ide dari hal-hal yang sudah dikembangkan di kota-kota lain, khususnya di ibukota. Oleh karena itu yang pertama kali muncul adalah layanan on-demand dan marketplace. Tantangan utama adalah edukasi pasar. Ketika memulai, secara umum konsumen di kotanya belum siap mengadopsi.

Soekma Agus Sulistyo, anggota penggerak Solocon Valley, mengamini pendapat ini. Ia menyebutkan di Solo sudah mulai muncul sejumlah startup baru, namun kemudian mereka mengubah model bisnis karena keraguan terhadap adopsi pasar.

“Kendala utamanya karena di Solo belum ada model bisnis yang terbukti sehingga masyarakat belum begitu paham. Kendala lain juga seputar pemahaman teknologi di pangsa pasar, menyebabkan KPI tidak terkejar,” terang Agus.

Ketika pasar sudah mulai nyaman dengan layanan yang ditawarkan, “bencana” muncul dengan kehadiran startup nasional yang menawarkan layanan yang lebih baik dan dukungan permodalan yang tidak bisa ditandingi.

Mereka yang sebelumnya sudah berjibaku dengan pasar yang masih “hijau” memilih tutup, karena merasa tidak mungkin bersaing dengan para unicorn.

Berusaha bertahan dengan mencari ceruk

Mereka yang mampu bertahan adalah mereka yang mampu beradaptasi dan mendapatkan ceruk pasar. SatuLoket yang didirikan sejak tahun 2014 merupakan satu di antaranya.

Berbasis di Yogyakarta, startup yang didirikan Akbar Faisal ini menyasar klien korporasi saat menawarkan produknya. Hal ini masuk akal untuk mendorong kelangsungan bisnis yang berkelanjutan, karena sektor B2B memang memiliki spending power dan demand yang lebih tinggi ketimbang masyarakat umum. Pun biaya edukasinya lebih rendah. Meskipun demikian, karena pola pikirnya fokus di transaksional, potensi scale-nya juga terbatas.

“Kami masih bertahan karena market, rata-rata memang di Yogyakarta dan segmen B2B. Jadi selama bisnis mereka berjalan, SatuLoket aman. Di sisi lain memang dari tim sudah mulai dirampingkan, karena kami fokus ke bisnis dan membangun konsumen loyal. Tidak ada jor-joran fitur, promo, inovasi, setidaknya sampai tahun ini,” ungkap Akbar.

DokterChat, sebuah startup baru di sektor teknologi kesehatan yang berbasis di Solo dan memulai bisnisnya awal November ini, mencoba mencari pasar dengan tidak jor-joran mengeluarkan biaya pemasaran.

Founder DokterChat, dr Yudhistya Ngudi Insan Ksyatria, SpOG, mengatakan, “Aplikasi ini harapannya membuat cara kerja dokter lebih scalable, artinya tidak hanya bisa bermanfaat untuk lingkup kecil di sekitarnya. Kami low cost startup, sehingga untuk dana tidak ada masalah. Cara mencari customer bukan dengan marketing berbayar, tapi memberi value. Sehingga follower-nya banyak dan organik, benar-benar sesuai target market.”

Yang baru masih bersemangat

Meskipun penurunan terasa di daerah yang telah mengenal ekosistem startup sejak dua-tiga tahun yang lalu, iklim berbeda didengungkan penggiat startup di kawasan baru, seperti di Padang, Sumatra Barat. Menurut Hendriko Firman, Founder Visio Incubator, sebuah inkubator lokal, justru saat ini di sana sedang mulai hype pendirian startup, khususnya oleh kawula muda.

Menurut Hendriko, program inkubator besutannya sedang membina 27 startup dengan total 84 founder. Kehadiran sejumlah program edukasi di sektor teknologi, disebut Hendriko, mendukung perkembangan startup di kawasan tersebut.

Tentu saja hype tidak akan menjamin semuanya bakal bertahan dalam jangka waktu lama.

Tak cuma modal ide dan semangat

Suasana sebuah bootcamp yang diadakan Gerakan Nasional 1000 Startup Digital
Suasana sebuah bootcamp yang diadakan Gerakan Nasional 1000 Startup Digital

Fenomena tahun ini menjadi pembuktian bahwa ide dan semangat saja tidak cukup. Berkaca pada kondisi di Amerika Serikat dan Tiongkok, ketika pada akhirnya segmen-segmen teknologi mengerucut ke sejumlah perusahaan besar saja, fenomena serupa sudah mulai merembet ke Tanah Air.

Tahun ini, berdasarkan data yang dikumpulkan Amvesindo, Google, dan AT Kearney, mayoritas perolehan pendanaan startup Indonesia, yang di paruh pertama 2017 mencapai 40 triliun Rupiah, terkonsentrasi di startup-startup unicorn.

Hype yang terjadi di sejumlah kota dua-tiga tahun yang lalu ternyata tidak bersambut karena kesulitan mengatasi berbagai kendala, baik dari sisi kesiapan pasar, kemampuan pengembangan teknologi, maupun akses ke permodalan.

“Menurut saya yang paling krusial dibutuhkan: pertama ialah mentorship dan fasilitas, kedua tim dan kolaborasi, dan ketiga pendanaan,” ujar Fajar.

Tanpa ketiganya, mustahil penggiat startup daerah untuk bersaing dengan startup nasional yang lebih matang. Kita ingin fenomena startup tidak hanya terkonsentrasi di ibukota, tetapi startup-startup daerah harus memiliki pondasi kuat agar bisa menjadi bisnis yang berkelanjutan.


Amir Karimuddin dan Randi Eka berpartisipasi dalam penulisan artikel ini.

Suka Duka Pelaku Startup di Daerah

Startup (terlebih digital) dikenal sebagai bisnis pemula dengan eksekusi cepat. Untuk memastikan performa cepat dan tepat itu, seringkali dihubungkan dengan bagaimana bisnis dapat menjangkau entitas-entitasnya. Mulai dari rekanan, pangsa pasar, pendanaan hingga basis bisnis. Tak heran jika kota dengan pusat bisnis umumnya menjadi pilihan. Lokasi di pusat bisnis seperti ibukota memang memberikan akses yang menjanjikan untuk perkembangan bisnis. Namun apakah itu artinya di daerah sulit untuk melakukan pengembangan bisnis seperti layaknya di kota besar?

Pada dasarnya internet telah memberikan peluang baru. Internet memangkas jarak dan waktu menjadi sesuatu yang lebih sederhana. DailySocial mencoba mewawancarai beberapa penggiat startup dan stakeholder yang terlibat dalam pengembangan startup di Indonesia. Kami berbincang tentang bagaimana bisnis digital dapat dijalankan di daerah, kendala apa saja yang dihadapi dan alasan yang membuat mereka bertahan untuk tetap tinggal di sana.

Memulai startup di luar ibukota

Pada kenyataannya masih banyak pengembang startup di daerah yang mengalami kesulitan mengakselerasi bisnisnya. Banyak alasannya. Salah satunya karena mereka terkesan jauh dari jangkauan investor.

Soekma A Sulistyo, salah seorang penggiat startup yang tergabung dalam komunitas SoloconValley, menceritakan bahwa di Solo sendiri banyak penggiat startup yang mencoba bersama-sama mengembangkan bisnisnya. Mereka masih terkendala beberapa hal, di antaranya masalah mentor, ekosistem pasar lokal, dan masalah modal (dalam hal ini akses ke investor).

Untuk masalah mentor, Soekma menjelaskan dirinya dan teman-teman di SoloconValley ingin terus berusaha menambah pengetahuan mereka dengan menghadirkan mentor-mentor untuk membimbing bisnis. Hanya saja mereka yang tergabung dalam SoloconValley masih belum mampu untuk menghadirkan mentor yang berpengalama. Di sinilah mereka berharap adanya bantuan.

Masalah ekosistem dan modal menjadi permasalahan selanjutnya. Perkara ekosistem ini, menurut Soekma, meskipun ide bisnis yang dijalankan didesain untuk skala internasional namun penerimaan masyarakat di sekitar masih tergolong rendah jadi kesempatan mereka untuk dikenal menjadi semakin sedikit.

Pengalaman yang sedikit berbeda diungkapkan Istofany Api Diany, founder Fitinline. Internet, menurutnya, mampu memfasilitasi kebutuhannya dengan baik untuk mengembangkan startupnya di Yogyakarta. Masalah klasik yang diceritakan justru biaya pengiriman produk fisik dari Yogyakarta yang umumnya lebih mahal jika dibandingkan dari Jakarta. Namun, untuk menjangkau konsumen, Istofany mengatakan hal itu bukan isu besar.

Fajar Assad, sebagai salah satu inisiator Komunitas Startup Makassar dan founder Lean Skill, juga berkisah tentang kondisi startup Makassar dan masalah yang sering kali ditemui penggiat startup di sana. Sejauh ini, menurut Fajar, startup yang muncul di Makassar sudah bisa dibilang cukup banyak. Hanya saja startup hanya muncul berbarengan dengan beberapa event startup yang sempat hadir di Makassar, sementara kelanjutannya masih belum jelas.

Fajar mengisahkan banyak startup di Makassar yang butuh pendampingan. Provokasi untuk menjalankan startup diharapkan tidak hanya sebatas pada mendirikan startup, tetapi juga sampai dengan menjalankan dan mengelola startup secara profesional.

“Sayangnya program-program tersebut hanya sekedar memicu/provokasi utk lebih banyak orang membuat startup digital hanya untuk mengikuti program tersebut. Hal ini bagus akan tetapi jika tidak diimbangi dengan pendampingan/pembinaan yang berkelanjutan akan membuat startup tadi akan drop pada titik waktu tertentu. Produk yang mereka develop sekarang harus go-to market dan harus terus growth. Sayangnya cara atau pengalaman untuk hal demikian belum banyak bisa dipelajari di sini, [di] kota Makassar,” ujar Fajar.

Menurut Fajar, di Makassar sebenarnya keberadaan startup mulai dilirik masyarakat dan media lokal. Hal ini diduga karena popularitas startup kenamaan, seperti Tokopedia, Go-Jek, Traveloka, dan Lazada yang sudah terdengar hingga Makassar. Pemerintah kota Makassar sendiri dianggap belum melihat potensi startup digital sebab masih belum banyak wadah komunitas startup untuk berinteraksi dengan pemerintah kota.

Fajar berkesimpulan rekan-rekan sesama founder masih belum aktif mengembangkan pengetahuan mereka sehingga pengembangan startup berjalan di tempat. Salah satu yang diharapkan adalah ajang berbagi pengalaman dari startup-startup yang memiliki ekosistem yang sama namun berjalan untuk pasar atau masyarakat lain. Di sini validasi ide menjadi penting.

Alamanda Shantika, salah satu nama di balik kesuksesan Go-Jek yang sekarang menjadi bagian Kibar demi misinya “memprovokasi” startup-startup di Indonesia, menjelaskan bahwa validasi ide adalah hal terpenting.

Perempuan yang akrab disapa Ala ini menjelaskan potensi startup di daerah cukup besar. Ragam masalah lokal bisa diselesaikan oleh startup yang beroperasi di tempat tersebut. Di Bali misalnya, banyak yang coba menghadirkan solusi digital yang mengangkat permasalahan sektor pariwisata. Atau di Yogyakarta yang mencoba menyelesaikan permasalahan pertanian.

“Saya udah keliling beberapa kota waktu Next Dev dan 1000 Startup. Banyak bedanya, Indonesia kaya banget dan budaya kita beragam. Justru yang di luar kota masalahnya lebih banyak yang mereka angkat. Misalnya Bali lebih ke pariwisata, di Jogja masalah pertanian, berbagai macam problem yang ada. Dari segi potensi mereka gak kalah, mereka sudah melek banget tentang startup,” papar Ala.

Masalah pengetahuan bisnis startup, menurut Ala, sebenarnya saat ini bisa diakses dengan mudah berkat adanya internet. Intinya ada pada kemauan dan upaya masing-masing untuk terus belajar.

“Kalau mau ngerjain produk kita harus challenge diri kita sendiri. Terus jangan pikir produk kita sudah keren, karena yang paling penting adalah mendengarkan orang lain, market validation. Saya udah mentoring banyak startup. Kadang mereka terlalu pede, kadang idenya tidak dibutuhkan market, kadang sampai juga problem-nya sebenarnya tidak ada, problem-nya tidak sebesar itu [yang disebutkan]. Jadi market validation dan mau mendengarkan kata market itu penting,” saran Ala.

Solusi Bekraf sebagai komponen pendorong industri kreatif nasional

Pemerintah sebenarnya sudah melakukan beberapa upaya untuk menyelesaikan permasalahan penggiat startup di daerah ini. Deputi Infrastruktur Bekraf Hari Sungkari menjelaskan bahwa saat ini pemerintah melalui Bekraf aktif untuk mengajak pemuda daerah untuk membangun melalui dua program. Yang pertama adalah Bekraf Developer Day (BDD) dan BEKUP (Bekraf for Pre-Startup). Dua program Bekraf ini diharapkan mampu memacu tumbuhnya startup-startup di daerah untuk memecahkan permasalahan-permasalahan yang ada dengan teknologi digital.

Ketika ditanya mengenai apa yang perlu dikembangkan untuk membantu startup-startup daerah ini tumbuh, Hari menjelaskan, “Yang paling penting adalah membangun ekosistem yang membuat startup dapat tumbuh subur. Dari hulu, harus tersedia pool of talent yang siap dan telah disiapkan menjadi pengusaha. Tidak kalah penting adalah tersedianya jaringan mentor yang akan melakukan coaching di inkubator-inkubator bisnis secara rutin.”

“Kemudahan dalam membentuk Badan Usaha, sehingga para startup tidak dipusingkan dengan kegiatan awal. Insentif pajak baik kepada pelaku startup dan juga pemodalnya. Tidak terlepas harus adanya ekosistem untuk para Venture Capital untuk exit baik itu lewat IPO atau lewat Merger atau Akuisisi. Tidak kalah penting adalah pendaftaran Kekayaan Intelektual (KI) dan monetisasinya,” lanjutnya.

Beberapa hal yang menjadi keuntungan startup di daerah

Yogyakarta adalah kota yang “adem”. Demikian disampaikan Istofany saat ditanya mengapa tetap bertahan di kota pelajar tersebut. Tak semua bisnis harus dijalankan di pusat bisnis besar, nyatanya banyak hal yang menginspirasi di daerah. Salah satu alasan mengapa akhirnya ia memilih berbasis di Yogyakarta justru karena ia terinspirasi dengan kebiasaan “kerja” masyarakat di Yogyakarta.

Dengan berbagai keterbatasan dibumbui kreativitas, orang-orang di sini mampu mengimbangi berbagai kebutuhan bisnis dan persaingan pasar. Hal tersebut yang turut mendorong semangat juang rekan-rekan di daerah.

Yogyakarta saat ini juga sedang hype dengan kultur startup. Istofany mengatakan umumnya pemain baru ini banyak fokus di produk (pengembangan), sangat mirip dengan karakteristik sebagai kota pelajar. Sisi bisnis masih kurang dipahami baik. Untungnya Yogyakarta masih “asri” dalam bisnis, pressure-nya tak seketat di Jakarta. Semua bisa berjalan santai sehingga memberi kesempatan untuk menyiasati kekurangan tadi.

Sama halnya dengan Solo, Makassar, dan daerah-daerah lain. Peluang untuk mengembangkan bisnis digital atau startup terbuka lebar. Hanya memang perjuangan dan tingkat kesulitan prosesnya berbeda-beda. Butuh ide dan eksekusi yang disesuaikan dengan permasalahan masing-masing.

Di zaman digital ini, roda bisnis dapat digerakkan dari mana saja. Terlebih saat produk yang ditawarkan berbentuk layanan digital. Tantangannya justru bagaimana kita mampu menghadirkan strategi terbaik yang memanfaatkan potensi yang ada dari lingkungan kita. Menjadikan alasan tinggal di luar ibukota sebagai hambatan berkembang adalah kurang tepat, karena masalah ibukota berbeda dengan yang ada di daerah.


Randi Eka Yonida berkontribusi dalam penulisan artikel ini

Komunitas Startup Makassar dan Geliat Industri Digital di Makassar

Startup Makassar berdiri di akhir 2014 dari inisiatif segelintir pebisnis startup digital di sana yang merasa perlu ada satu wadah khusus untuk membangun ekosistem digital kreatif di ibu kota Sulawesi Selatan itu. Kami berkesempatan berbincang dengan Wakil Ketua Startup Makassar Fordyta Abubakar (Dhyto) dan pendiri LeanSkill yang juga inisiator awal Startup Makassar Fajar Assad untuk mengetahui aktivitas dan peranan Startup Makassar dalam menumbuhkan ekosistem industri digital di Makassar.

Latar belakang berdirinya Startup Makassar

Fajar menceritakan, pada tahun 2014 ia menjadi satu-satunya startup terpilih dari Makassar untuk mengikuti event business connect di Jakarta yang diadakan oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif RI. Di sana ia bertemu dengan peserta pelaku startup lain dari beberapa kota besar di Indonesia.

Setelah melewati proses kegiatan selama tiga hari, Fajar bertemu dengan mentor, startup dari berbagai daerah, angel investor, hingga venture capital di Jakarta. Ia juga berkunjung ke beberapa co-working space, kantor startup, venture capital, hingga mendatangi event startup lokal.

“Pulang dari sana, saya mencoba mendeteksi siapa saja developer, freelancer, pelaku startup, dan web designer di Kota Makassar dengan cara mengadakan meet-up setiap hari Minggu,” ujarnya.

Di meet-up pertama, terkumpul lima orang. Jumlah itu terus meningkat pada meet-up kedua dan meet-up selanjutnya, hingga mereka mengadakan rapat untuk menentukan nama dan kepengurusan dari komunitas yang mulai terbentuk.

Startup Makassar merupakan komunitas informal para pelaku startup digital di Makassar yang didirikan berdasarkan kebutuhan dari para pelaku startup digital Makassar untuk saling berbagi ilmu, keterampilan dan informasi yang berhubungan dengan dunia startup digital. Di awal kepengurusannya, Startup Makassar diketuai oleh Fachrie Lantera, lalu diganti Ammi, dan sekarang diketuai oleh Dedy Triawan.

Visi dan misi Startup Makassar

Visi dari Startup Makassar adalah untuk membentuk ekosistem startup digital di kota Makassar. Untuk mewujudkan visi tersebut mereka mempunyai misi merangkul para pendiri startup digital (tech enthusiast), freelancers, dan komunitas digital yang telah ada di Makassar untuk saling bertemu dan saling berkolaborasi.

[Baca juga: Makassar Creative Network Ajak Pengembang Berkompetisi dalam Hackathon Makassar]

Anggota komunitas Startup Makassar kini berjumlah 40-50 pelaku startup digital yang sebagian besar masih dalam tahap costumers dan product validation. Startup Makassar juga selalu menjalin sinergi dan komunikasi dengan pemerintah daerah setempat.

Tujuan berdirinya Startup Makassar adalah untuk mendeteksi para pelaku startup di Makassar. Selain itu, Startup Makassar juga menjadi wadah berkumpul bersama para pelaku startup di kota Makassar untuk saling berbagi ilmu kepada sesama anggota komunitas dan masyarakat luas.

Cakupan Startup Makassar

Saat ini, lingkup Startup Makassar masih fokus di kota Makassar saja, namun tidak menutup kemungkinan ke depannya juga menerima para pelaku startup digital dari seluruh kabupaten atau kota di Sulawesi Selatan. Dhyto bahkan menargetkan agar startup digital di Makassar dapat go national bahkan go global. Dengan adanya sinergi antar pelaku startup digital di Makassar, ia berharap semoga target yang ia inginkan dapat segera tercapai.

Sebagi informasi, industri kreatif digital di kota Makassar sendiri saat ini secara perlahan mulai terlihat geliatnya. Beberapa startup yang telah muncul dan berasal dari ibu kota Sulawesi Selatan ini di antaranya adalah sistem tender elektronik Eproc, aplikasi GetHere yang dikembangkan DNS Studio, aplikasi pesan antar makanan Wamau, dan asisten pribadi TanyaBudi.

Program kerja Startup Makassar

Dhyto menjabarkan beberapa program kerja yang telah diadakan oleh Startup Makassar adalah mengadakan pertemuan rutin yang dirangkai dengan sharing session seperti business talk, tech talk, dan design talk. Selain itu, dalam waktu dekat mereka juga akan mengadakan Startup Makassar Expo 2016 yang bertujuan untuk memasyarakatkan startup ke masyarakat umum, para developer, dan stakeholder yang ada di Makassar.

Startup Makassar Expo 2016 ini diharapkan Dhyto dapat berlangsung meriah dan bisa membantu para pelaku startup digital untuk dapat bertemu langsung dengan calon konsumen mereka. Ia juga ingin ada startup dan investor yang “berjodoh” lewat event ini.

“Saya berharap, semoga suatu saat nanti akan lahir ‘The Big Player’ dari Indonesia bagian timur,” ujar Dhyto mengakhiri perbincangan.

Wamau Ramaikan Bisnis Pesan Antar Makanan di Makassar

Wamau coba masuki layanan pesan antar makanan di Makassar / Shutterstock

Makassar, seperti halnya kota besar lainnya di Indonesia, memiliki potensi bisnis pesan antar makanan yang cukup besar. Peluang inilah yang coba diambil oleh Wamau. Wamau adalah startup yang sedang dirintis untuk memberikan pelayanan pesan antar makanan dengan memanfaatkan teknologi web dan aplikasi smartphone. Rencananya Wamau melayani publik per September mendatang. Continue reading Wamau Ramaikan Bisnis Pesan Antar Makanan di Makassar