Tag Archives: Famous Allstars

(Ki-ka) Co-CEO Famous Allstars Alex Wijaya dan Arief Rakhmadani

Famous Allstars: Bentuk “Creator Venture” hingga Rencana Penggalangan Dana (Bagian II)

Ini adalah bagian II dari dua tulisan. Tulisan Bagian I menyajikan pandangan Co-CEO Famous Allstars Alex Wijaya dan Arief Rakhmadani tentang lanskap creator economy, monetisasi, hingga regulasi di Indonesia.  

Bagaimana perjalanan transisi ketika Famous dan Allstars merger?

Arief (Ar): Pasca-merger, Famous Allstars (FAS) punya tiga pilar bisnis, yaitu (1) agency yang menghubungkan brand dan kreator, (2) talent yang kini menjadi bagian dari ekosistem creator economy, dan (3) teknologi melalui platform Allstars.id. Bagi kami, tiga pilar ini menjadi landasan kuat untuk bergerak ke area yang berpotensi berkembang, baik ketika masuk ke Web2 maupun Web3.

Alex (Al): Biasanya saat merger, [bisnis] terpotong kanan-kiri karena ada duplikasi. Interestingly, ketika GoViral, Avenu, Indovidgram, dan KokikuTV bergabung menjadi Allstars, dan Allstars bergabung dengan Famous, seluruh model bisnisnya tidak saling menduplikasi.

Indovidgram bergerak di media yang berfokus pada pengembangan kreator di komunitas. Modelnya similar dengan KokikuTV dan Avenu, tapi masing-masing bergerak di bidang F&B dan beauty-fashion. Sementara, GoViral bergerak di community and buzzer. Ketika bergabung menjadi Allstars, seluruh pilar bisnis kami saling melengkapi satu sama lain. Meski bergerak di industri berbeda, tetapi tujuannya tetap sama.

Pada saat itu, Famous adalah conventional agency yang bekerja sama dengan brand untuk menciptakan influencer campaign marketing, project, atau strategy. Seluruh model bisnisnya saling bersinergi di mana Allstars jadi memiliki agency, menghubungkan dengan brand. Famous justru mendapatkan inventory yang bisa dibawa ke brand.

Bagaimana platform Allstars.id memenuhi ekspektasi para kreator dan brand?

Ar: Feedback dari kreator dan brand menjadi faktor mengapa bisnis FAS terus berkembang. Salah satu yang diinginkan brand pada influencer tech platform adalah kapabilitas untuk melihat kinerja secara demografi. Di Allstars.id, brand bisa melakukan pencarian berdasarkan delapan kategori demografi. Misalnya, sebuah brand ingin mencari kreator dari Surabaya dengan jumlah follower berkisar 1.000-10.000 dengan budget sekian. Justru banyak brand yang bekerja sama dengan influencer atau kreator skala kecil.

Tampilan cara kerja platform Allstars.id / Sumber: Famous Allstars

Dari sisi kreator, mereka ingin tahu berapa rate card untuk karyanya. Kami lalu bikin fitur kalkulator, semacam simulasi, untuk menghitung itu. Misalnya, biaya engagement rate 3% itu sekian harga yang pantas. Jadi, kami mengembangkan tools berdasarkan feedback dari mereka. Tim produk kami juga berikan masukan, seperti aspek keamanan dan pembayaran. Contoh lain, kami minta pertimbangan dari kreator, kapan idealnya withdraw saat proyek selesai.

Dalam waktu dekat, kami akan meluncurkan fitur measurement di platform Allstars.id untuk mengetahui performance dari kreator dan brand. Kapabilitas ini kemungkinan juga akan jadi platform independen (terpisah) karena banyak kreator dan brand yang ingin tahu kinerja mereka. Selain itu, kami juga sedang sesuatu yang menarik juga, yakni live streaming.

Dalam mengukur metrik sebuah campaign, bagaimana mengembangkan tools untuk akomodasi kebutuhan dari berbagai kategori brand?

Ar: Secara garis besar, kami mengembangkan tools dari pre-planning, campaign, hingga post-campaign. Misalnya, brand ingin menggunakan sebanyak 50 influencer untuk sebuah campaign. Brand ingin tahu berapa engagement rate atau konten yang dikerjakan kreator, sesuai kesepakatan atau tidak.

Sebetulnya, untuk metrik ini, kreator bisa saja lihat dari social media asset mereka. Tapi fitur kami kan langsung dalam satu platform. 

Untuk mengukur metrik berdasarkan kategori brand berbeda, sebetulnya ada banyak. Misal, Return of Investment (ROI), atau engagement rate dan cost per view sebagai standar metrik. Untuk saat ini, kami belum sedalam itu [mengembangkan tools] untuk metrik yang lebih kompleks, seperti jumlah penjualan yang dihasilkan dari sebuah campaign atau dari mana datangnya penjualan,

Al: Alasan kami bentuk Allstars.id sejak awal karena ingin mengakomodasi kebutuhan UMKM. Selama ini kebanyakan yang pakai agency adalah brand-brand besar. Tapi creator economy kan tidak cuma dibutuhkan oleh big brand, tetapi UMKM. Biaya agency itu mahal dan UMKM tidak mungkin pakai itu. Mereka butuh job, dengan jumlah follower yang kecil, bagaimana cara mereka monetisasi jasa atau karya. Apabila UMKM mendapat job, mereka dapat meningkatkan popularitas, skillset, dan audiens.

Bicara soal pengembangan inovasi, platform kami memampukan brand untuk filter kreator atau influencer yang mereka cari. Begitu juga sebaliknya, influencer juga bisa mencari brand. Selain itu, we take it further [kapabilitasnya] di mana brand dapat mencari kreator berdasarkan demografi follower-nya. Ini bisa menjadi starting point yang baik karena kami kembangkan kapabilitas dari sisi discoverability dan analitik yang lebih dalam.

Sumber: Famous Allstars

Dulu brand bikin campaign menggunakan jasa agency, mereka bertemu untuk diskusi, lalu buat laporan dalam bentuk power point. Di platform ini, aktivitas campaign dapat dimonitor di dashboard. Brand bisa pakai kapabilitas yang kami sediakan, misalnya tracking campaign secara real time, tidak perlu lagi agency kirim laporan dalam bentuk Power Point. Brand bisa memonitor kinerja influencer yang mereka pakai, seperti jumlah post, like, comment, atau berapa ROI yang diperoleh dengan budget sekian.

Seluruh kapabilitas ini akan membawa Famous Allstars ke next levelThat’s what we aim, kami push dari sisi teknologi, bukan cuma [mendigitalisasi] cara konvensional dari cara sebuah agency bekerja.

Apa saja rencana yang tengah disiapkan FAS tahun ini?

Al: Di luar pengembangan fitur, kami percaya ada future plan yang menarik dan akan menjadi fokus kami selanjutnya, yakni creator venture.

Creator venture adalah sebuah kolaborasi antara FAS dan kreator untuk mendirikan sebuah bisnis. Ini bukan sesuatu yang baru, hanya istilahnya saja. Model bisnisnya pun lama. Contohnya, Geprek Bensu merupakan sebuah usaha yang didirikan oleh kreator/influencer. Contoh lain, Kylie Jenner mendirikan usaha skincare dan kosmetik.

Sebelumnya, kami sudah membentuk joint venture bersama RANS Entertainment untuk mendirikan media baru Bund Lifetainment, lalu investasi dari EMTEK untuk mendirikan 1ID Entertainment. Kedua, kami berkolaborasi secara individu dengan Bayu Skak, salah satu talent kami, untuk memproduksi film “Youwis Ben”.

Kami melihat creator venture akan menjadi the next wave to go. Ini menjadi salah satu cara kami melangkah ke level selanjutnya. Kami tak cuma menjadi stakeholder, mengelola talent, atau menghubungkan brand, tetapi juga memperat hubungan dengan memperdalam bisnis bersama kreator. Saya yakin setiap kreator punya passion, tetapi mungkin belum tentu bisa dijalankan atau dimodali sendiri. Di sini, mereka akan punya kepemilikan dari bisnis yang mereka bangun.

Apakah [cara ini] make sense untuk menjadi sustainable business? Selama ini kami kerja sama hanya sebatas commercial atau transactional deal. Tapi, kami ingin selanjutnya ingin menjadi partner, bukan agency atau managementCreator venture akan menjadi bagian penting untuk mengidentifikasi kreator mana yang bisa jalan bersama FAS.

Bagaimana model bisnis creator venture?

Al: Kami mengidentifikasi dua pilar menarik, yakni F&B dan beauty. Kami melihat kedua bisnis ini sustainable dan cukup everlasting, punya high growth margin, profit proven, dan industrinya tidak akan mati–bukannya tidak berdampak ya. Selain itu, ada banyak kreator atau influencer di dua sektor ini.

Kami eksplorasi sektor beauty di Indonesia, karena pemain lokal dan potensi pasarnya sangat besar di Indonesia. Kami lihat acceptance terhadap brand lokal sangat tinggi. Begitu juga dengan appetite pasar, mereka punya daya eksplorasi besar.

Esensi dari creator venture adalah kreator punya kepemilikan dari bisnisnya. Modelnya ada dua, (1) membentuk joint venture (JV) dan (2) memberikan investasi ke bisnis yang sudah dimiliki kreator. Variasi kepemilikan [saham] sesuatu kesepakatan, tetapi intinya bisa saling co-own.

Apakah FAS berencana untuk fundraising di 2022?

Al: Semua yang kami sampaikan di atas, mulai dari mencari talent, mengembangkan inovasi, dan membuat venture baru, that takes funding. Sejak bulan lalu, kami berbicara ke lebih dari sepuluh venture capital (VC). Goal kami, bukan soal funding semata dan neglect VC yang sudah pernah berinvestasi di FAS, tetapi mencari sinergi. Creator economy luas sekali, makanya VC yang dapat memenuhi goal kami menjadi penting karena mereka akan membawa dan menghubungkan FAS ke network yang lebih luas.

Dalam konteks creator venture, apabila salah satu VC yang kami jajaki punya expertise atau portofolio di F&B dan beauty, ini bisa memudahkan kami untuk mengembangkan bisnis tersebut. Jika ada talent hebat di F&B, kami bisa hubungkan ke jaringan yang dimiliki VC. Jadi, kami mencari expertise, network, dan portofolio agar kami dapat mengakselerasi bisnis yang akan kami bangun.

Terkait investasi dari EMTEK, tentu ada sinergi besar karena EMTEK adalah media mogul. Fokus kami tetap di media entertainment dan sinergi EMTEK akan memudahkan kami mengembangkan talent. EMTEK punya ekosistem, kami bisa berperan sebagai sourcing talent buat mereka juga. Itulah pilar kerja sama kami dengan EMTEK. It’s beyond than funding.

Lagipula, kami jadi lebih mudah membangun creator venture ini karena memanfaatkan ekosistem besar milik EMTEK untuk akselerasi pertumbuhan bisnisnya.

Famous Allstars: “Creator Economy” Indonesia Belum Capai Puncak Pertumbuhan, Ruang Eksplorasi Masih Besar (Bagian I)

Bagi Co-CEO Famous Allstars Alex Wijaya dan Arief Rakhmadani, industri creator economy Indonesia saat ini tengah memasuki periode yang mendebarkan. Mengapa? Perkembangannya begitu cepat, pasarnya sangat antusias, dan ada banyak ruang yang dapat dieksplorasi, baik dari sudut pandang kreator, inovator, hingga pemilik brand. 

Mereka punya pandangan demikian mengingat Famous Allstars atau FAS bukanlah pemain baru di industri ini. FAS telah lama menyaksikan perkembangan creator economy, dari ketika model monetisasinya masih konvensional hingga sekarang di mana kreator semakin independen berkarya.

Jika mengikuti perjalanannya, FAS berdiri dari penggabungan bisnis antara Famous dan Allstars pada 2019 silam. Famous menaungi channel-channel konten kreatif popular Indovidgram, KokikuTV, Avenu, dan Indovidgram pada 2012-2015. Sementara, Allstars adalah platform yang menghubungkan brand dengan influencer. FAS juga menerima pendanaan dari perusahaan konglomerasi media EMTEK Group dan bersinergi dengan RANS Entertainment di 2021.

Di sesi eksklusif ini, DailySocial merangkum obrolan panjang bersama Alex Wijaya dan Arief Rakhmadani terkait lanskap industri, monetisasi, hingga rencana bisnisnya tahun ini. Selengkapnya, kami sajikan dalam dua bagian.

Creator economy punya definisi luas sehingga ada anggapan influencer juga termasuk di dalamnya. Bagaimana Anda mendefinisikan kedua hal ini?

Alex (Al): Definisi influencer sesuai terjemahannya: seseorang yang memberikan pengaruh lewat kreasinya. Karena teknologi bergerak dengan cepat, terminologi itu–at least dari sudut pandang saya–menjadi sedikit insignificant.

Dulu influencer tidak exist di awal kami membangun bisnis ini. Seiring berjalannya waktu [konteks: influencer mulai populer], terminologi ini semakin berkurang. Influencer ingin disebut sebagai kreator. Kenapa? Karena mereka merasa menghasilkan sesuatu dan bentuknya bisa berbagai macam. Biasanya dulu kreator identik dengan hasil karya seni, sekarang berbeda. Konten video pendek bisa dikatakan sebagai kreasi. Jika hari ini, saya membuat konten digital di Instagram, YouTube, atau TikTok, saya bisa sebut diri sebagai kreator.

Creator economy ini menarik karena siapa saja dapat menjadi kreator dan influencer. Yang membedakan adalah skala dan kemampuannya. Bisa jadi saya kreator, tetapi skala kreativitasnya masih kalah dari kreator lain.

Contoh, istilah livestreamer pasti akan lebih besar lagi di masa depan. Apakah livestreamer disebut influencer atau content creator? Tentu bisa. Akan tetapi, livestreamer mungkin punya skillset berbeda dengan influencer karena influencer belum tentu bisa livestreaming. Sementara, influencer mungkin punya kemampuan copy writing yang baik, tetapi belum tentu bisa live selama satu jam. Youtuber belum tentu bisa livestreaming, karena kontennya sebagian besar recorded, bisa diulang, atau diedit.

Seniman menggambar nanti mungkin bakal dikenal sebagai NFT artist dalam 2-3 tahun lagi. Terminologinya berubah karena creator economy membentuk sebuah identitas dan lapangan kerja yang baru. Jadi, terminologi [baru] akan terus muncul seiring waktu karena industri creator economy akan semakin luas.

Di era kehadiran Web3, saat ini industri creator economy Indonesia ada di fase apa?

Arief (Ar): Saya pernah mengikuti talkshow yang diisi oleh Li Jin, Founder dan General Partner Atelier Ventures. VC ini banyak berhubungan dengan [startup] creator economy. Dalam paparannya, dia sebut ada empat fase creator economy.

Pertama, creator economy versi 1.0 itu ketika internet hadir di mana [setiap] individu bisa menjadi kreator. Lalu, di versi 2.0 kreator bisa reach [audiens] lewat platform. Di fase ini, kreator punya follower dan monetisasi lewat advertising dan sponsorship, yang mana [model ini] sedang banyak di Indonesia. Pada era 3.0, kreator menjadi independent business dan monetisasi langsung dari fans mereka. Nantinya akan ada creator economy 4.0 di mana kreator dan fans bisa berkolaborasi untuk membuat kreasi atau usaha bersama-sama.

Dengan kemunculan Web3, bukan berarti creator economy 2.0 ini langsung ditinggalkan. Di fase ini, influencer menjadi content creator atau sebaliknya, akan terus berkembang. Kami melihat industri creator economy akan berevolusi. Seberapa cepat? Tergantung dari pasarnya. Tiongkok dan Amerika Serikat sudah menjadi kiblat untuk layanan livestreaming. Di sini, we just started. Banyak teman-teman di industri ini yang membuat platform untuk livestreaming, seperti GoPlay. It’s a very exciting industry we are in.

Famous Allstars juga mengeksplorasi apa yang dapat diakukan di fase ini. Bagaimana kita bisa memaksimalkan potensi di masing-masing fase, baik Web2 maupun Web3. Misalnya, apa yang dapat kami lakukan di influencer marketing? Apa yang dapat kreator lakukan dengan IP di Web3? Kami sudah melihat potensi itu dan sudah menghasilkan sesuaty. Especially di Web2 dan Web3, we are going to have exciting projects.

Posisi FAS saat ini sangat strategis karena kami sudah lama terjun di industri creator economy. Kami tahu ke mana, kami buat web series, kami tahu bagaimana cara memindahkan IP ini ke NFT. Ini menjadi menarik karena IP dari kreator harus dihargai, ownership itu sangat penting

Al: Dalam lima tahun terakhir, pertumbuhan teknologi di Indonesia sangat masif. Penetrasi internet sudah capai 70 persen dan penetrasi smartphone Indonesia terbesar keempat di dunia. Populasi kita besar.

Sebetulnya, influencer atau content creator kita sudah mulai dari 7-8 tahun lalu, tetapi infrastrukturnya belum matang. Sekarang smartphone dan paket data semakin murah. Ditambah populasi kita yang besar dan beragam. Faktor-faktor ini sangat signifikan untuk mendorong pasar creator economy di Indonesia.

Memang, industri creator economy 3.0 comes early di Indonesia. Bahkan era 2.0 saja belum mencapai puncak pertumbuhan (peak growth) di sini. Karena hal ini, seolah-olah ada overlap antara Web2 dan Web3 di Indonesia. Pertanyaannya, apakah kreator 3.0 akan menjadi pemain baru? Apakah kreator 2.0 harus convert ke 3.0? Jawabannya, tidak ada yang tahu. Menurut saya, Web3 masih sangat luas dan bisa berkembang cepat, tetapi use case-nya belum settle.

Poin utamanya, Web2 masih terlalu jauh [di Indonesia] sehingga potensi pasarnya, tanpa perlu jump ke Web3, masih akan tumbuh signifikan. It’s a very exciting moment ahead karena nanti kreator tak hanya bisa membuat karya, tetapi juga punyai Intellectual Property (IP). For now, it’s too early to tell.

Web2 masih akan tumbuh dengan cepat di Indonesia dalam lima tahun ke depan. Dari sisi supply, jumlahnya akan terus bertambah, meski belum ada data dari sisi demand. Kami meyakini pasar influencer capai Rp3 triliun, inipun merupakan conservative number. Brand masih menghabiskan budget di media konvensional. Jadi, supply dan demand kita belum peak.

Monetisasi karya di era Web3 menjadi lebih independen. Apakah brand deals masih akan relevan bagi kreator?

Al: Ada dua sumber monetisasi kreator. Pertama, brand kerja sama dengan kreator dalam bentuk apapun, baik itu ulasan, post, eksposur, talent, atau livestreaming. Sebagai perbandingan, livestreaming di Tiongkok dibayar per penjualan (pay per conversion). Di Indonesia, model ini belum ada, masih di bayar di muka. Intinya, the money comes from brands. Kedua, kreator kini bisa monetisasi dari fans atau Direct-to-Consumer (D2C). Contohnya, ada platform yang memampukan fans untuk kasih donasi ke kreator, bukan dari brand. Jadi, model monetisasi, baik dari brand maupun fans/audiens tidak akan hilang. Bahkan, ketika bicara potensi pasarnya, justru brand deals akan semakin besar.

Bagi kreator, ini justru menjadi exciting period karena revenue channel-nya bertambah. Dulu cuma andalkan brand, sekarang kreator bisa langsung monetisasi dari fans. Bagi seorang gamer, livestreaming dengan model donasi mungkin cocok untuk mereka. Tapi lima tahun lalu, mereka belum berpikir [hobi gaming] dapat menjadi sebuah profesi. I believe dari angle [monetisasi] manapun, the industry will get bigger. 

Ar: Bagi brandcreators give another marketing channel yang menarik. Mereka melihat bagaimana kreator membuat review secara organik atau memengaruhi teman-temannya untuk membeli sebuah produk. Ini pasti akan berkembang. Artinya, kesempatan [kolaborasi] dan revenue channel akan semakin besar seiring berkembangnya Web3. Bukan berarti Web2 hilang begitu saja. Justru Web2 dan Web3 bisa saling bergandengan tangan, ada interpendensi.

Ada 120 ribu influencer di platform kami, di mana mayoritas adalah influencer nano dan mikro dengan follower 1.000an hingga 100 ribuan. Kami tidak ingin hanya milking potensi pasar, tetapi juga mengembangkan sumber dayanya.

Bagaimana peran Anda dalam menentukan model monetisasi yang tepat bagi kreator?

Al: Famous Allstars tidak ikut menentukan harga jual kreator, tetapi penting memastikan bahwa kreator dan brand dapat bertransaksi aman di platform kami. Kita tahu pasti ada kekhawatiran. Dari sisi kreator, brand tidak membayar konten yang sudah dibuat. Begitu juga dengan brand, kreator ingin dibayar di muka, tetapi brand khawatir kontennya tidak dikerjakan.

Di platform ini, pembayaran baru akan diteruskan apabila kreator telah menyelesaikan pekerjaan sesuai brief dari brand. Demikian juga kreator, ada rasa aman bahwa mereka akan dibayar karena sistem pembayarannya melalui platform. Begitu pekerjaan selesai sesuai arahan, kreator akan menerima pembayaran. Jadi, tidak perlu tagih terus-terusan ke brand. Jadi, ini bukan soal menentukan monetisasi, tetapi bagaimana membuat ekosistem untuk memfasilitasi pelaku creator economy. 

Di samping itu, pasar creator economy di Indonesia masih sangat besar. Kami tidak ingin mendorong kreator existing saja. Justru perlu nurture talent-talent baru di masa depan. Banyak orang punya talent, tetapi belum ketemu dengan ekosistem dan wadah yang tepat. FAS berkomitmen untuk menemukan itu.

Bagaimana pandangan Anda mengenai regulasi untuk mewadahi industri creator economy di Indonesia?

Al: Ini masih early talk, tetapi kami berencana untuk bentuk asosiasi [creator economy]. Saya dan Arief secara paralel mulai bergerak untuk merangkul teman-teman di industri ini. Kami berupaya mengesampingkan business views. Kami sadar semakin besar industrinya, akan semakin baik buat pemain.

Kami lakukan ini sebelum bicara kebijakan. I think the first and foremost agenda adalah mengedukasi industri ini, baik itu soal potensi kreator, hak-hak yang diperoleh kreator, hingga bagaimana mengatasi sebuah masalah. Semua punya tujuan sama untuk edukasi industri.

Edukasi ini tak cuma kreator saja, tetapi juga brand. Di antara agency saja, selama ini belum ada standard rules. So, it’s a jungle out there. Industri ini berkembang sangat cepat, tapi pertumbuhan cepat tanpa dibatasi guide yang tepat bisa membuat industri chaos. Jadi, kami rasa penting bagi pemain lama untuk ikut edukasi sehingga pemain baru bisa belajar dari kesalahan-kesalahan kami tujuh tahun lalu. Kreator bisa belajar dari kreator yang sudah tumbang

Ar: Di FAS, kami juga melakukan edukasi, baik terkait konten, hak-hak kreator, Intellectual Property, hingga perpajakan. Tapi, kami ingin edukasi ini bersama stakeholder lainnya sehingga tidak dilakukan dengan cara sendiri. Apabila tidak ada keseragaman, industri creator economy bisa terkotak-kotakan.

Alangkah baiknya semua stakeholder bisa saling bekerja sama. Industri akan menjadi lebih kuat, kesempatan akan lebih besar tanpa adanya pagar yang bisa bikin sustainability industri berkurang. Bagaimanapun juga content creator is not just a banner, it’s a human being. Perlu ada trust dan kredibilitas.