Industri fashion tidak hanya tentang desain yang menawan tetapi juga kemampuan untuk menyampaikan pesan yang kuat kepada konsumen. Karenanya, copywriting yang efektif menjadi kunci penting bagi bisnis fashion.
Copywriting adalah seni merangkai kata persuasif untuk membujuk target audiens melakukan tindakan tertentu. Untuk mencapai hasil yang efektif, pembuatannya harus disesuaikan dengan industri bisnis, target audiens, dan berbagai faktor lainnya. Kali ini, kita akan membahas tips membuat copy yang efektif untuk industri fashion.
Apa Itu Fashion Copywriting?
Fashion copywriting adalah proses menulis teks persuasif atau konten untuk mempromosikan produk atau merek fashion. Ini melibatkan kreativitas, pengetahuan tentang tren fashion, dan pemahaman yang mendalam tentang target audiens.
10 Tips Fashion Copywriting
Menurut Xanevo, terdapat 10 tips fashion copywriting yang dapat dicoba bagi Anda yang sedang menjalankan bisnis fashion.
Tentukan Unique Selling Proposition (USP)
Sebelum menulis copy, identifikasi apa yang membuat produk fashion Anda unik. Apa keunikan brand Anda? Apa yang membedakannya atau membuatnya lebih baik dari kompetitor? Mengapa pelanggan harus membelinya? Cantumkan USP Anda dalam copy yang dibuat.
Kenali Pelanggan Ideal Anda
Sesuaikan copy Anda untuk target audiens tertentu. Cari tahu prioritas, gaya hidup, dan kebutuhan mereka. Gunakan gaya bahasa mereka, tanggapi kekhawatiran dan kebutuhan mereka akan fashion, dan sesuaikan copywriting fashion Anda dengan nilai-nilai mereka.
Utamakan Manfaat daripada Fitur
Fokus pada manfaat produk, bukan hanya fiturnya. Bagaimana produk Anda memecahkan masalah dan kebutuhan fashion mereka? Apa yang akan mereka rasakan dan dapatkan ketika menggunakan produk Anda? Bagaimana produk Anda akan mengubah tampilan mereka?
Libatkan Panca Indera dan Imajinasi
Kekurangan e-commerce, terutama di industri fashion, adalah pembeli tidak bisa menyentuh langsung produk yang kita tawarkan. Karenanya, gunakan kata-kata sensoris dan emosional untuk membantu pembeli membayangkan produk Anda.
Ikuti Perkembangan Tren
Tren di dunia fashion berubah dengan cepat. Pastikan fashion copywriting Anda selalu sesuai dengan tren terbaru. Gunakan bahasa yang sesuai dengan perkembangan gaya dan tren saat ini untuk lebih menarik target audiens.
Kuasai Bahasa atau Diksi Khas Industri Fashion
Pahami dan gunakan dengan tepat terminologi industri fashion. Penggunaan kata-kata yang tepat pada waktu yang tepat dapat memberikan keunggulan pada copywriting Anda.
Sertakan Testimoni dan Ulasan Pelanggan
Ulasan positif dapat menjadi pendorong terakhir bagi pembeli yang ragu. Sorot produk favorit pelanggan untuk memberikan bukti sosial dan memengaruhi keputusan pembelian.
Terapkan Strategi SEO
Bahkan copy paling menarik sekalipun tidak akan memberikan hasil jika tidak terlihat di mesin pencari. Karenanya, optimalkan copy fashion Anda untuk mesin pencari untuk memastikan merek Anda menonjol di antara pesaing.
Desain untuk Perangkat Mobile
Optimalisasi untuk perangkat mobile sangat penting. Kebanyakan pembeli sekarang berbelanja melalui perangkat seluler, jadi pastikan copy dan situs web Anda mudah dibaca di perangkat mobile.
Bangun Struktur yang Cerdas
Atur copy fashion Anda agar memiliki dampak maksimal. Gunakan judul yang menarik, diikuti dengan paragraf yang mengandung masalah dan menekankan manfaat. Sertakan daftar manfaat yang mudah dibaca dan akhiri dengan CTA.
Dengan menggabungkan seni penulisan yang kreatif dan pemahaman mendalam tentang industri fashion, fashion copywriting dapat menjadi kekuatan pendorong dalam membangun hubungan yang kuat antara merek dan konsumennya. Gunakan data analitik untuk memahami respon pembaca dan pelajari tren yang dapat meningkatkan efektivitas copy Anda.
Startup direct-to-consumer (D2C) fesyen untuk perempuan “Claude” mengumumkan pendanaan awal dari investor CyberAgent Capital dan kantor keluarga Prima Fund I. Tidak disebutkan nominal yang diperoleh.
Claude akan memanfaatkan dana segar tersebut untuk meningkatkan penawaran produk saat ini dan memperkuat pasar yang telah ditembusnya di luar pasar Indonesia, seperti Asia Tenggara, Eropa hingga Amerika Serikat.
Dalam keterangan resmi yang disampaikan, Co-founder dan CEO Claude Tommy Budihardjo menyampaikan, “Dalam dunia global ini di mana teknologi memungkinkan kita untuk lintas batas real-time, menjadi perusahaan global mampu mendongkrak total addressable market sampai ratusan kali lipat, sekaligus memperkuat merek yang selalu kami pertahankan.”
Dia menjelaskan, Claude menjalankan model bisnis yang terbilang revolusioner karena menggunakan sistem batch mikro untuk setiap desain baru. Kemudian, memproduksi lebih banyak setelah permintaan terbukti melonjak. Langkah tersebut mampu meminimalkan pemborosan sekaligus meningkatkan kecepatan dalam menawarkan desain baru.
Dikombinasikan dengan sistem analisis real-time yang dibangun sendiri, Claude memahami perilaku dan selera pelanggan secara real-time dan karenanya dapat beradaptasi secara instan.
Sejak berdiri di 2018, Claude memfokuskan diri pada fesyen perempuan. Tidak hanya sediakan produknya di platform digital, perusahaan juga masuk ke gerai offline. Kini tersebar di tiga lokasi di Jakarta, dan satu lokasi di Singapura. Selain Tommy, Christie Johana turut bergabung sebagai co-founder.
“Industri pakaian adalah salah satu penyumbang limbah terbesar – terutama karena stok yang tidak terjual – industri ini terlambat untuk perubahan, dan kami senang memimpin dengan model bisnis kami yang berhasil memangkas limbah barang jadi hingga 90% dan memaksimalkan pendapatan dan profitabilitas pada saat yang sama,” imbuhnya.
Managing Director CyberAgent Capital Nobuaki Kitagawa memberikan pernyataannya. Dia bilang, “Indonesia adalah salah satu pasar ritel konsumen terbesar di dunia. Dengan nilai merek Claude yang kuat serta pengalaman yang dibawa oleh tim manajemen, kami percaya bahwa perusahaan dapat membawa proposisi nilai yang unik dan diterima dengan baik oleh pasar pakaian jadi Indonesia dan Asia Tenggara yang besar.”
D2C berkembang pesat di Indonesia
Model bisnis serupa, D2C, memang tengah berkembang pesat di pasar Indonesia dan Asia Tenggara. DailySocial.id mencatat ada lebih dari 40 merek D2C Indonesia dengan mayoritas dari segmen F&B, fashion, dan beauty. Beberapa di antaranya sudah memiliki basis komunitas pembeli yang kuat dan bahkan sudah masuk ke ranah mass retail.
Selain fokus pada produk spesifik seperti Claude, sejumlah startup memilih starting point sebagai platform “brand aggregator“. Mereka fokus mengakuisisi brand untuk diakselerasi melalui penambahan proposisi nilai, investasi, dan digitalisasi. Hypefast, Tjufoo, Open Labs adalah startup lokal yang bermain di ranah tersebut.
Sejumlah investor lokal juga memperdalam hipotesis investasinya ke startup D2C. Terbaru ada Creative Gorilla Capital yang mengumumkan dana kelolaan hingga Rp300 miliar untuk difokuskan pada investasi startup D2C. CGC merupakan platform modal ventura baru hasil kolaborasi dari Future Creative Network (FCN), Vynn Capital, dan startup pengembang omnichannel Pomona.
Berawal sebagai marketplace untuk produk tekstil, kini Wifkain bertransformasi menjadi platform Manufacturing-as-a-Service (MaaS), layanan multifungsi yang memungkinkan pemilik bisnis fashion mendapatkan sumber bahan baku dan semua kebutuhan produksi bisnis secara lebih praktis.
Kepada DailySocial.id, Co-founder dan CEO Wifkain Sara Sofyan menyampaikan rencana Wifkain untuk menambah jumlah brand hingga melakukan ekspansi ke Uni Emirat Arab.
Menjembatani pembeli dan manufaktur
Salah satu industri yang belum tersentuh teknologi, seperti proses dan otomasi, adalah fashion. Rumitnya proses hingga sulitnya pencarian atau discovery yang harus dilakukan oleh pebisnis fashion dari awal hingga akhir, menjadi salah satu alasan Wifkain berdiri.
Pandemi yang sempat mengganggu industri fashion pada dua tahun lalu, menjadi momen tepat bagi Wifkain untuk membantu pembeli dan brand di segmen menengah ke atas hingga UMKM dalam menemukan manufaktur yang relevan untuk melancarkan bisnis mereka. Saat ini, kondisi industri fashion mulai memulih.
Menurut Sara, ada perubahan yang cukup signifikan terjadi saat pandemi. Jika dulu banyak pemain mengandalkan produk impor dari negara lain, seperti Tiongkok, kini mereka mengandalkan tenaga dan tim lokal di dalam ekosistemnya.
“Saat pasar sudah mulai pulih kembali setelah first wave pandemi, kami melihat ini sebagai kesempatan untuk Wifkain. Kami melihat akan banyak lokalisasi manufacturing bukan hanya di Indonesia, tetapi juga negara lainnya,” kata Sara.
Berdiri sejak 2020, Wifkain adalah platform penyedia layanan manufaktur yang dapat memenuhi segala kebutuhan produksi bisnis fashion secara lebih praktis. Memosisikan diri sebagai pionir, Wifkain membidik sebagai platform berbasis teknologi pertama untuk memenuhi kebutuhan rantai pasok (supply chain) tekstil bagi fashion brand di Indonesia.
Layanan MaaS dari Wifkain akan memudahkan pengusaha untuk mendapatkan desain atau pola jahit yang sesuai dengan keinginan, serta mempermudah dan mempercepat proses textile procurement, manufacturing, quality assurance, dan penyediaan logistik.
“Proses supply chain yang terjadi di Indonesia saat ini masih long tail. Semakin downstream, semakin fragmented prosesnya. Wifkain hadir untuk mengotomasi proses tersebut,” kata Sara.
Saat ini, Wifkain memiliki sekitar 200 mitra, terdiri dari 60 pabrik dan sisanya adalah trader, distributor, dan penjahit. Semua mitra telah melalui proses kurasi yang ketat sebelum bergabung ke ekosistem Wifkain. Hal tersebut dilakukan guna memberikan kepastian dan jaminan kepada brand. Strategi monetisasi yang dilancarkan oleh Wifkain adalah langsung kepada mitra mereka.
Ekspansi ke Uni Emirat Arab
Didukung oleh teknologi, Wifkain ingin menghadirkan sebuah fitur yang bisa digunakan oleh pembeli untuk memonitor pembuatan atau proses produk yang mereka pesan. Fitur ini bisa meminimalisasi terjadinya pengiriman yang terlambat dan masalah lainnya.
Untuk mitra, teknologi tersebut diharapakan dapat memonitor kinerja pekerja mereka agar lebih transparan. Praktik ini sebelumnya sudah dilancarkan oleh industri fashion di Tiongkok. Saat ini, khususnya di Indonesia, semua proses tersebut masih banyak dilakukan secara konvensional.
“Roadmap perusahaan ke depan adalah menciptakan tech-enabled tracking di garmen untuk menyediakan buyers daily output berupa monitoring process. Dari sisi pabrik, mereka bisa memonitor working flow labour menjadi lebih transparan,” ucap Sara.
Tahun depan perusahaan juga akan melancarkan ekspansi ke Uni Emirat Arab. Masih dalam proses penjajakan, adanya kesamaan iklim hingga besarnya potensi fashion muslim di Indonesia, menjadikan rencana ekspansi tersebut tepat dan relevan.
Sebagai informasi, Wifkain telah mengantongi pendanaan tahap awal yang dipimpin oleh Insignia Ventures Partners dengan nominal yang dirahasiakan. Sejumlah angel investor terkemuka ikut berpartisipasi pada putaran ini, termasuk CEO Atome Financial Indonesia Wawan Salum.
Bersama dengan Co-founder lainnya, yakni Rudy Setyo Hartono dan Chindera Soewandy, dana segar tersebut kemudian dimanfaatkan oleh Wifkain memperluas jangkauan bisnisnya ke UMKM dan pemilik fashion brand, meningkatkan jumlah merchant, dan membangun tim.
Kemitraan strategis dengan KoinWorks
Untuk memperkuat komitmen, Wifkain menggandeng KoinWorks sebagai mitra strategis untuk menyediakan supply chain financing bagi mitra pabrik dan fashion brand yang menjadi partner dan kliennya.
Masih banyak perbankan hingga institusi finansial yang belum menjangkau para pebisnis fashion dalam melancarkan bisnis mereka. Ini menjadi alasan kuat Wifkain dan KoinWorks untuk memfasilitasi supply chain financing. Solusi ini dilihat sangat tepat untuk membantu pebisnis fashion, bukan hanya dukungan dalam pemenuhan bahan.
“Solusi pendanaan ini memberikan jaminan pembayaran menjadi lebih baik. KoinWorks menjadi mitra yang tepat bagi kami untuk menawarkan pembiayaan kepada para buyer. Dari sisi fund flow, kami pastikan pendanaan ini digunakan untuk working capital sehingga tidak disalahgunakan untuk penggunaan yang tidak tepat,” tuturnya.
Industri fashion tercatat sebagai salah satu industri dengan kontribusi terbesar dalam perekonomian Indonesia. Menurut laporan Euromonitor International, bisnis fashion berkontribusi sebesar 18,01% dari Gross Domestic Product (GDP) di Indonesia dengan CAGR sebesar 9%-10% untuk kategori womenswear, menswear, dan childrenswear. Selain itu, tekstil dan manufacturing menempati peringkat ke-12 di Asia Tenggara dengan pertumbuhan CAGR sebesar 5%.
Melihat besarnya peran industri fashion, Wifkain dan KoinWorks berharap kolaborasi ini dapat mendukung lebih banyak lagi UMKM sehingga dapat mendorong pertumbuhan industri fashion lebih pesat.
Bisnis online pakaian merupakan bisnis yang seringkali dipilih karena memiliki banyak peminat. Cara memulai bisnis online shop baju bagi Anda yang berencana menekuninya bisa dilakukan dengan tiga cara, yakni dengan membuat brand Anda sendiri, menjadi reseller, atau menjadi dropshipper.
Cara Memulai Bisnis Online Shop Baju Brand Sendiri
Banyak orang bermimpi untuk memiliki bisnis onlineshop baju dengan brand sendiri. Jika Anda adalah salah satu orang yang bermimpi sama dan berniat untuk mewujudkannya, Anda bisa mengikuti langkah-langkah memulai bisnis online baju brand sendiri berikut ini.
Riset Produk dan Tentukan Konsep Baju
Langkah pertama untuk memulai online shop baju adalah menentukan konsep baju yang akan dijual. Untuk membantu menentukan konsep, Anda bisa melakukan riset produk. Anda dapat melihat kebutuhan pasar, trend, atau brand baju lain yang sedang naik daun.
Tentukan Nama Brand
Setelah menentukan jenis dan konsep baju yang akan dijual, langkah selanjutnya adalah menentukan nama brand. Pastikan nama brand unik, namun mudah diingat. Kemudian, pastikan juga nama brand merepresentasikan produk baju yang Anda jual.
Buat Business Plan
Business plan adalah rancangan bisnis yang berisi rencana bagaimana bisnis akan dijalankan. Membuat business plan dapat memudahkan Anda dalam mengeksekusi dan menjalankan bisnis online shop baju Anda. Anda bisa mencoba membuat business plan yang sederhana seperti business model canvas.
Persiapkan Modal
Karena Anda memutuskan untuk membuat onlineshop baju dengan brand sendiri alih-alih menjadi reseller atau dropshipper, maka Anda akan membutuhkan modal yang jumlahnya lebih besar. Modal tersebut nantinya Anda gunakan untuk proses produksi,pemasaran, dan kegiatan operasional usaha lainnya.
Cari Supplier dan Vendor Sablon
Setelah modal telah siap, langkah berikutnya adalah mencari supplier dan vendor sablon (jika konsep baju yang akan Anda jual adalah baju bersablon). Anda bisa mencari supplier kain atau supplier konveksi sesuai dengan kebutuhan dan konsep baju dari brand Anda sendiri.
Promosi dan Jualan
Apabila semua sudah siap, selanjutnya Anda dapat langsung promosi dan menjual produk Anda melalui platform–platform promosi online yang sebelumnya telah Anda rancang pada business plan Anda.
Cara Memulai Bisnis Online Shop Baju dengan Menjadi Reseller
Jika bagi Anda membuat bisnis online shop baju dengan brand sendiri membutuhkan terlalu banyak modal, menjadi reseller bisa menjadi cara alternatif yang bisa Anda pilih. Reseller sendiri merupakan sebutan untuk seseorang yang membeli produk untuk kemudian dijual kembali.
Cara ini tentu jauh lebih mudah dan murah dibandingkan cara sebelumnya karena Anda tidak perlu memproduksi produk sendiri. Jika tertarik untuk mencobanya, berikut adalah langkah-langkahnya.
Tentukan Jenis Baju
Seperti pada cara sebelumnya, langkah pertama yang harus Anda lakukan adalah menentukan konsep atau jenis baju yang akan Anda jual. Jika belum memiliki preferensi, Anda bisa menentukannya dengan bantuan riset pasar.
Cari Supplier
Berikutnya, cari supplier produk baju yang ingin Anda jual. Jika memungkinkan, Anda bisa mencari supplier yang menerima pembelian dengan jumlah banyak atau menyediakan paket untuk reseller. Dengan begitu, Anda dapat memperoleh barang dengan harga yang lebih murah dibandingkan harga untuk konsumen.
Beli Stok Produk
Jika telah menemukan supplier yang tepat, selanjutnya Anda bisa membeli produk sebagai stok. Anda dapat membelinya dengan jumlah yang Anda inginkan atau sesuai kebutuhan.
Foto dan Pasarkan Produk
Setelah produk berada di tangan Anda, langkah terakhir untuk memulai online shop baju sebagai reseller adalah foto produk dan memasarkannya melalui platform–platform jualan online, seperti media sosial atau e-commerce.
Cara Memulai Bisnis Online Shop Baju sebagai Dropshipper
Mau memiliki bisnis online shop baju tanpa modal? Sistem dropship memungkinkan Anda untuk bisa mewujudkannya. Dropship adalah sistem dimana penjual (dropshipper) dapat menjual barang tanpa perlu membeli produknya atau menyetoknya terlebih dahulu.
Jika tertarik dengan konsep ini, simak langkah-langkah memulai bisnis online shop baju sebagai dropshipper berikut ini.
Tentukan Konsep Baju yang Ingin Dijual
Sama seperti dua cara sebelumnya, menentukan konsep merupakan langkah awal yang harus dilakukan untuk memulai bisnis online shop baju. Untuk membantu menentukan konsep baju, Anda bisa menganalisa trend baju pada target market Anda.
Cari Supplier yang Menerima Dropship
Langkah selanjutnya adalah mencari supplier yang menerima dropship karena tidak semua toko menerima sistem dropship dimana pengiriman dilakukan oleh supplier atas nama toko Anda. Jadi, penting untuk memastikan supplier Anda terbuka dengan sistem dropship.
Pasarkan Produk
Langkah ketiga dan terakhir adalah memasarkan produk menggunakan foto yang disediakan oleh supplier. Untuk sistem dropship, disarankan Anda memasarkannya di luar platform e-commerce dengan resi otomatis agar memudahkan proses pengiriman barang dari supplier ke pelanggan Anda.
Itu dia tiga cara memulai bisnis online shop baju, yakni dengan membuat brand sendiri, menjadi reseller, atau menggunakan sistem dropship tanpa modal. Anda bisa memilih cara yang paling sesuai dengan kebutuhan Anda. Semoga berhasil!
Seperti yang kita ketahui, pandemi memang berdampak kepada sebagian besar bisnis. Terutama mereka yang penjualannya tidak sepenuhnya mengandalkan platform penjualan online, seperti The Able Art.
The Able Art adalah sebuah bisnis berbasis social enterprise yang mereproduksi lukisan para seniman difabel menjadi produk fashion, seperti pouch, tote bag, dan scarf. Sebagai bisnis di bidang seni yang memiliki social value, The Able Art mengandalkan platform digital dan pameran offline sebagai sarana penjualan.
Lalu, bagaimana nasib The Able Art saat dan pasca pandemi? Apa yang membuatnya bertahan hingga saat ini? Simak perjalanan penuh pembelajaran The Able Art yang dibagikan oleh Tommy, Founder The Able Art, berikut ini.
Terinspirasi dari Tayangan “Melukis dengan Hati” Kick Andy
The Able Art merupakan sebuah ide bisnis yang datang setelah Tommy melihat program Kick Andy dengan tema “Melukis dengan Hati”.
Pada tayangan tersebut, Bapak Sadikin Pard dan Winda, seniman pelukis difabel, menjadi narasumbernya. Dari situ, muncul keprihatinan Tommy terhadap kondisi para seniman difabel di Indonesia yang juga menjadi awal perjalanan The Able Art.
Setelah itu, Tommy melakukan riset serta berdiskusi dengan Bapak Sadikin Pard di Malang. Setelah ia yakin dengan rencananya, Tommy pun melepaskan karirnya di bidang IT untuk fokus mendirikan The Able Art dan meningkatkan kesejahteraan para seniman difabel.
Kemudian, pada 3 Desember 2007, The Able Art resmi berdiri dan beroperasi hingga sekarang dengan total 7 seniman dan 1 sanggar lukis per tahun ini.
Memulai dengan Zero Knowledge di Bidang Fashion
Berangkat dari latar belakang IT, Tommy memulai The Able Art dengan nol pengetahuan pada bidang fashion,seni, dan retail. Fakta ini, diungkapkan oleh Tommy, membuat perjalanan The Able Art bak roller coaster karena perlu melakukan banyak trial and error.
“Perjalanan TAA bukan perjalanan yang mulus. Perjalanan kami seperti roller coaster. (Kami) memulai dengan zero knowledge tentang fashion, lukisan, dan bisnis retail karena background saya IT. (Hal ini) membuat awalan TAA seperti meraba-raba dan banyak melakukan trial and error baik di sisi produksi, penjualan, dan partnership dengan seniman,” ujar Tommy.
Meski begitu, pada tahun 2018, akhirnya The Able Art menemukan konsistensinya setelah mendapatkan kesempatan inkubasi di Instellar Incubator untuk social enterprise yang juga membawa The Able Art memenangkan beberapa kejuaraan e-commerce.
“Pada tahun 2018, kami mendapatkan kesempatan inkubasi di Instellar inkubator untuk social enterprise. Dari situ kami mulai menemukan konsistensi baik di produksi dan membawa kami menjadi Top 100 Blibli The Big Start 2018, dilanjutkan dengan menjadi juara 3 di Tokopedia MAKERFEST Nasional 2018,” lanjutnya.
Tidak berhenti sampai di situ, The Able Art kemudian mendapatkan kesempatan berharga untuk bisa diwawancarai oleh Andy F. Noya di program yang mengilhami bisnisnya, yakni Kick Andy. Sejak saat itu, penjualan The Able Art, baik online maupun offline, meningkat.
Menyisihkan Profit untuk Seniman Pemula
Tidak hanya fokus dalam menghasilkan profit melalui penjualan online dan offline, The Able Art juga memiliki misi untuk mendukung dan melatih seniman-seniman pemula.
Misi tersebut diwujudkan The Able Art dengan menyisihkan 5% dari profit untuk menyediakan alat lukis guna para seniman pemula berlatih.
Selain didukung dalam bentuk peralatan lukis, para seniman pemula juga diberikan bimbingan dan masukan dari para seniman-seniman senior The Able Art dan guru-guru sanggar lukis.
“Untuk seniman pemula, kami menyisihkan 5% dari profit kami untuk support alat lukis seperti cat dan kanvas untuk mereka berlatih, dan kami juga memberikan bimbingan dan masukan untuk mereka melalui seniman-seniman yang sudah senior dan guru sanggar lukis yang menjadi partner kami,” jelas Tommy.
Perjalanan Bangkit Pasca Pandemi
Penjualan Menurun Drastis saat Pandemi Covid-19
Badai pandemi Covid-19 diketahui menumbangkan banyak usaha. Meskipun penjualan sempat menurut drastis akibat tidak adanya event-eventoffline, tapi The Able Art berhasil survive selama 2 tahun terakhir ini.
“Sejak badai Covid-19 di Maret 2020 melanda, kami mengalami penurunan penjualan yang drastis karena event-eventoffline tidak bisa dilaksanakan dan ekonomi tidak menentu. Setelah survive dua tahun, kami siap dan sangat yakin bisa bangkit dan lompat lebih tinggi lagi daripada tahun-tahun sebelumnya,” kata Tommy.
Menata Ulang Strategi Penjualan
Sejak tahun 2017 hingga awal tahun 2020, The Able Art aktif dalam menggunakan platform–platformonline, seperti WhatsApp, media sosial Instagram, dan e-commerceTokopedia, sebagai sarana berjualan.
Diakui oleh Tommy, penggunaan platform–platform tersebut cukup efektif dan menghasilkan bertambahnya penjualan.
“Platform yang kami gunakan antara lain melalui WA, IG dan tokopedia untuk promosi dan penjualan. So far, penjualan bertambah dari tahun 2017 sampai 2020 awal.”
Tapi, sayangnya, sejak pandemi, penjualan menurun secara drastis, sehingga Tommy dan tim perlu menata strategi baru agar penjualan produk The Able Art kembali konsisten.
Tekad Menjadi Salah Satu Kunci untuk Bertahan
Memulai bisnis di bidang fashion, seni, dan retail dari nol memang bukanlah sesuatu yang mudah. Meski terlihat mulus dan indah, tapi nyatanya banyak kesulitan yang dihadapi oleh The Able Art sebagai bisnis berbasis social enterprise.
Tommy menjelaskan bahwa kesulitan yang dihadapi seringkali datang ketika melakukan penjualan online. Ketika berjualan online, sulit bagi The Able Art menonjolkan social value yang dimilikinya.
“Kesulitannya lebih ke arah saat menjual online. Kami tidak bisa menonjolkan social value yang kami miliki dan buyer cenderung cari product yang lebih murah.”
Meskipun begitu, kesulitan-kesulitan tersebut tidak menjadi alasan The Able Art untuk menghentikan niat baiknya. Tekad, visi, dan misinya sejak awal, yang ingin berperan untuk bisa mendukung para seniman difabel, menjadi alasan utama The Able Art bisa bertahan sampai sekarang.
Merambah Pasar B2B hingga NFT
Ketika berbicara soal inovasi, Tommy menjelaskan bahwa The Able Art melakukan inovasi pada beberapa hal, salah satunya produk. The Able Art kini telah memiliki lebih banyak jenis produk jika dibandingkan saat pertama kali berdiri.
Kemudian, The Able Art juga mulai menjalin hubungan dan berdiskusi dengan perusahaan enterprise sebagai langkah nyata masuknya ke ranah B2B dari yang sebelumnya hanya fokus kepada B2C.
“Kami mulai masuk ke ranah B2B dari yang sebelumnya hanya B2C, dimana kami banyak berdiskusi dengan perusahaan enterprise untuk bisa berperan dalam ‘giving back to society’,” katanya.
Tidak hanya itu, The Able Art kini juga mulai merambah NFT sebagai platform untuk menjual lukisan digital.
Berpesan untuk Para Pegiat Usaha Lain di Luar Sana
Sejak pandemi, keputusan untuk go digital sudah bukan merupakan pilihan lagi, melainkan suatu keharusan. Meskipun untuk The Able Art peran offline belum bisa ditinggalkan karena dinilai lebih efektif untuk menonjolkan social value, namun Tommy tetap mengakui tanpa platform digital bisnis akan sulit untuk berkembang.
“Tanpa digitalisasi, bisnis kita akan sulit untuk berkembang karena market sekarang lebih besar digital walaupun peran offline juga belum bisa sepenuhnya ditinggal, terutama untuk bisnis yang memiliki social value yang membutuhkan tatap muka diskusi untuk menjelaskan value-nya.”
Maka dari itu, Tommy berpesan kepada pelaku bisnis di luar sana untuk mulai go digital. Entah dengan cara belajar sendiri atau merekrut talenta muda yang lebih paham dunia digital untuk membantu mengembangkan bisnis.
Meskipun banyak kesulitan yang dihadapi, terutama dalam menyampaikan social value-nya, The Able Art tetap semangat untuk terus mewujudkan misinya dalam memperjuangkan kesejahteraan seniman difabel dan memperkenalkan karya mereka ke dunia yang lebih luas. Tentunya dengan bantuan digitalisasi.
Berada di bawah naungan Global Fashion Group (GFG), perusahaan fashion commerce Rocket Internet “Zalora” secara khusus telah menjadikan Indonesia sebagai pasar terbesarnya setelah meluncur sejak tahun 2012 lalu. Mereka mengklaim, hingga saat ini masih menunjukkan pertumbuhan yang positif.
Kepada DailySocial.id, CEO Zalora Indonesia Anthony Fung menjelaskan rencana bisnis dan tren fesyen saat ini dan ke depannya.
Pertumbuhan industri fesyen
Jika berbicara lima tahun yang lalu, kebanyakan industri fesyen masih didominasi oleh brick and mortar. Mulai dari department store hingga mall, banyak menjual produk fashion yang pilihannya ditentukan langsung oleh distributor. Namun saat ini industri sudah mengalami perubahan yang cukup drastis. Tidak lagi mengandalkan toko offline, namun semua proses, pilihan hingga opsi konsumen, merchant dan principal menjadi lebih seamless dilakukan secara online.
Pesatnya pertumbuhan penetrasi internet d Indonesia menjadi salah satu alasan mengapa Zalora saat ini masih terus mengalami pertumbuhan dan menghadirkan banyak kategori produk. Bukan hanya produk fashion lokal namun juga brand global.
“Saat ini beberapa brand yang hadir di Zalora tidak memiliki toko offline. Mengedepankan konsep Direct to Consumer semua brand tersebut menjual produk unggulan mereka melalui Zalora. Bukan hanya brand lokal, namun juga mancanegara,” kata Anthony.
Beberapa brand asal Amerika Serikat yang saat ini sudah tersedia dan bisa diakses dengan mudah oleh pelanggan Zalora seperti Abercrombie & Fitch dan GAP. Menurut Anthony, kedua brand tersebut tidak memiliki toko fisik di Indonesia.
Secara khusus Zalora saat ini ingin memosisikan diri mereka sebagai lebih dari sekadar ritel, namun digital platform yang menyediakan produk bukan hanya fashion namun juga lifestyle, beauty, dan luxury.
“Kita juga menawarkan pengalaman pelanggan yang baik untuk melakukan pencarian hingga pembelian melalui browser hingga aplikasi. Dengan menyediakan supply dan demand kepada konsumen dan juga merchant,” kata Anthony.
Secara demografi pelanggan Zalora saat ini terdiri dari 60% perempuan dan 40% laki-laki. Berbeda dengan platform fashion commerce lainnya yang hanya fokus kepada kalangan perempuan, Zalora mengklaim memiliki sejumlah pembeli setia yang berasal dari kalangan laki-laki. Salah satu alasannya adalah produk olahraga mereka yang berkualitas dan merupakan brand terpercaya.
“Kami telah menjalin kerja sama strategis dengan berbagai brand sport. Salah satunya adalah NIKE yang menjadi pilihan dan diminati oleh sebagian besar masyarakat Indonesia,” kata Anthony.
Pandemi dan perubahan kebiasaan pelanggan
Selama pandemi, Zalora mencatat ada penambahan jumlah permintaan untuk kategori tertentu. Aturan bekerja di rumah serta pembatasan untuk melakukan kegiatan secara offline ternyata telah menambah pembelian untuk kategori “Stay at Home Clothing”. Di antaranya adalah t-shirt, sandal, pakaian dan produk olahraga, hingga kecantikan.
Untuk brand luxury atau yang masuk dalam kategori barang mewah juga banyak dicari pelanggan. Sementara untuk produk fesyen acara formal seperti batik, pakaian pesta, dan pakaian resmi lainnya mengalami penurunan. Secara keseluruhan Zalora mengklaim tetap mengalami pertumbuhan yang sangat baik selama pandemi.
Zalora juga mencatat selama pandemi pelanggan mereka di Indonesia mengalami pertumbuhan yang cukup signifikan. Pandemi yang telah mempercepat akselerasi dan adopsi digital telah membuat sebagian besar masyarakat Indonesia terbiasa belanja online.
“Sebelum pandemi hanya sekitar 5-7% saja masyarakat Indonesia yang belanja secara online, saat pandemi jumlah tersebut bertambah hingga 20%. Mengalahkan Singapura yang sebelumnya merupakan negara terbesar untuk kegiatan belanja online,” kata Anthony.
Strategi yang dilancarkan oleh Zalora adalah memperkuat supply produk lokal. Sementara di sisi lain Zalora juga membawa brand internasional dari negara seperti Hong Kong hingga Malaysia untuk menjembatani kebutuhan para penjual dan pelanggan di Indonesia mengakses berbagai brand dari negara tersebut.
Setelah melakukan IPO tahun 2019 lalu, Zalora yang merupakan bagian dari perusahaan induk mereka Global Fashion Group (GFG), tidak terlalu banyak melakukan manuver bisnis atau memberikan informasi yang cukup rutin kepada media. Menyesuaikan kebijakan perusahaan yang telah go-public, langkah tersebut sengaja dilakukan oleh Zalora. Namun demikian inovasi dan opsi untuk menghadirkan produk yang beragam terus menjadi bagian dari roadmap Zalora saat ini dan ke depannya.
“Diferensiasi produk menjadi penting bagi kami, karena kebanyakan pemain serupa hanya fokus kepada harga dan menjual produk dari seller yang sama atau bisnis secara horizontal. Kami fokus dari sisi vertikal yaitu menghadirkan produk yang berbeda dan tidak tersedia di platform lainnya, didukung oleh perusahaan induk kami Global Fashion Group,” kata Anthony.
Besarnya minat perempuan Indonesia untuk bisa menyewa bahkan membeli produk fesyen desainer dan berbagai brand, menjadi salah satu alasan utama mengapa Rentique didirikan. Kepada DailySocial, Co-Founder & CEO Rentique Dea Amira mengungkapkan, layanannya juga ingin membantu desainer lokal untuk mengenal lebih jauh siapa pelanggan mereka melalui aplikasi.
“Platform penyewaan produk fesyen ini bukan hanya menawarkan produk berkualitas milik Rentique dan mitra desainer lokal, namun juga menyediakan layanan pengiriman, pengembalian, hingga laundry kepada pelanggan dan mitra. Saat ini Rentique sudah tersebar hampir di seluruh Indonesia dengan lebih dari 55 ribu pengguna aktif.”
Secara umum Rentique memiliki dua pilihan, yaitu one time rental dan dream closet. Pelanggan bisa mendapatkan produk fesyen berkualitas dengan harga terjangkau. Dari sisi demografi kebanyakan pelanggan Rentique adalah perempuan Indonesia yang berusia 20-40 tahun dan profesional atau mereka yang bekerja.
“Memanfaatkan sepenuhnya aplikasi, kami ingin mempermudah proses penyewaan produk fesyen bahkan pembelian kepada perempuan Indonesia,” kata Dea.
Untuk mempercepat pengiriman dan pengembalian barang, Rentique juga menjalin kemitraan dengan Gojek dan Shipper. Untuk pilihan pembayaran Rentique menawarkan pilihan seperti bank transfer, kartu kredit, dan Ovo. Saat ini Rentique telah mendapatkan pendanaan dari venture capital dan beberapa angel investor, namun enggan untuk menyebutkan detailnya.
Pemanfaatan data
Berbeda dengan platform serupa lainnya yang menawarkan layanan penyewaan hingga pembelian produk fesyen hingga produk preloved, Rentique yang sepenuhnya memanfaatkan proses secara digital, mengelola data pelanggan mereka yang diperoleh melalui aplikasi untuk membantu mitra desainer lokal hingga brand.
“Kebanyakan platform lainnya hanya beli-putus kepada desainer hingga brand. Sementara kami ingin membantu mereka mitra kami meningkatkan bisnis mereka dengan bergabung bersama Rentique. Desainer dapat menambah pendapatan baru, setiap bulannya menghasilkan keuntungan lebih dari 20%,” kata Dea.
Rentique juga membagikan informasi terkait quality control kepada desainer, hal-hal sederhana seperti tren pasar, atau cara agar jahitan kancing dapat diperkuat, mereka meyakini hal tersebut dapat membantu desainer untuk meningkatkan daya tahan barang, dan sebagai bahan pengambilan keputusan yang lebih baik untuk koleksi di masa mendatang.
Dengan demikian diharapkan ke depannya, para mitra bisa mengetahui lebih jelas, siapa pelanggan mereka, produk yang menjadi pilihan dan desain yang diinginkan. Untuk strategi monetisasi yang diterapkan Rentique berupa komisi dari mitra.
Untuk pelanggan dengan mengedepankan proses melalui aplikasi, diharapkan bisa memudahkan mereka mencari dan pada akhirnya melakukan transaksi melalui aplikasi Rentique. Sejak didirikan akhir tahun 2019 lalu, saat ini Rentique telah memiliki lebih dari 5000 produk fesyen dari desainer internasional maupun lokal, dan telah bekerja sama dengan lebih dari 60 brand lokal selama pandemi. Yang mana kebanyakan brand tersebut dipimpin oleh wanita.
Meskipun sempat mengalami penurunan bisnis saat awal masa pandemi tahun lalu, namun saat ini bisnis Rentique kembali pulih dan mulai menerima permintaan dari pelanggan untuk penyewaan produk fesyen secara online.
“Selain produk fesyen ke depannya kita juga ingin menghadirkan produk lifestyle kepada pelanggan. Kami ingin menjadi one stop platform untuk produk fesyen dan lifestyle di Indonesia,” kata Dea.
Platform yang menjual produk fesyen dan aksesoris second-hand atau prelovedTinkerlust susun strategi bisnis baru. Kini mereka gencarkan produk berbasis “sustainable fashion” dan menjalin kolaborasi strategis dengan brand lokal. Masih besarnya sampah yang dihasilkan dari industri fesyen, menjadi salah satu konsentrasi mereka. Tujuannya juga sebagai edukasi bagi masyarakat.
Co-Founder & CEO Tinkerlust Samira Shihab mengungkapkan, gerakan sustainable fashion ini sebelumnya telah sangat familiar dilancarkan di Eropa. Melalui platform Tinkerlust, diharapkan bisa memperkenalkan kegiatan ini kepada masyarakat Indonesia lebih luas lagi.
“Dengan model bisnis baru ini, diharapkan bisa menjadikan Tinkerlust pioneer platform sustainable fashion. Masih konsisten dengan target perusahaan yaitu platform untuk perempuan dan sekarang menambah kemitraan baru dengan brand lokal,” kata Samira.
Sejak didirikan tahun 2015 lalu, Tinkerlust telah memiliki sekitar 200 ribu monthly active user (MAU). Masih memanfaatkan situs web sebagai platform transaksi, Tinkerlust belum memiliki rencana untuk meluncurkan aplikasi. Untuk memudahkan penjual dan pembeli hingga mitra mengakses platform, Tinkerlust menghadirkan tampilan UI/UX sesederhana mungkin.
Meskipun saat ini sudah banyak platform yang menjual produk serupa, namun belum banyak di antara yang secara khusus memfokuskan kepada target pasar perempuan.
Model bisnis fashion commerce berkembang pesat di Indonesia. Sebut saja yang dihadirkan Style Theory, alih-alih menjual, mereka menghadirkan mekanisme penyewaan produk busana bermerek. Beberapa peritel akhirnya juga go-online, seperti yang dilakukan oleh Metrox Group dengan menghadirkan Onmezzo atau Matahari dengan platform digitalnya.
Penggalangan dana dan kampanye “Local Heroes”
Setelah mengantongi pendanaan dari Merah Putih Inc dan angel investor Danny Oei Wirianto dengan nilai yang tidak disebutkan tahun 2017 lalu, awal tahun 2020 ini Tinkerlust telah membukukan pendanaan baru. Tidak disebutkan lebih jauh berapa nilai pendanaan tersebut dan siapa saja investor yang terlibat, namun Samira menyebutkan cukup bersyukur pendanaan tersebut rampung sebelum pandemi.
“Bulan Januari 2020 lalu kami baru saja menyelesaikan penggalangan dana. Untungnya proses tersebut selesai sebelum penyebaran Covid-19. Untuk penggalangan dana selanjutnya kami belum memiliki rencana tersebut,” kata Samira.
Untuk menandai strategi bisnis baru mereka, Tinkerlust akan meluncurkan kampanye “Local Heroes”. Dalam kampanye ini perusahaan mengajak brand lokal yang memiliki visi sejalan untuk berkolaborasi bersama menjual produknya di Tinkerlust. Sekitar 14 brand lokal sudah bergabung, dan telah berkolaborasi menggelar serangkaian acara seperti virtual fashion show dan fashion talk show. Pada kesempatan kali ini TMRW by UOB dan juga Makeover mendukung aksi dari Tinkerlust sebagai exclusive partner.
“Tinkerlust ingin menciptakan ruangan fashion yang lebih sustainable dengan memberikan edukasi kepada konsumen setia kami lewat kolaborasi dengan brand lokal yang memiliki koleksi ramah lingkungan. Ini adalah salah satu bentuk kontribusi dalam mengurangi limbah fashion karena produk tersebut dapat digunakan dalam jangka waktu yang panjang,” imbuh Co-Founder & COO Tinkerlust Aliya Amitra.
Dalam waktu dekat Riot Games dikabarkan akan meluncurkan skin terbaru bagi salah satu championnya, Yasuo. Kolaborasi Riot Games dengan berbagai brand terkenal menunjukkan perhatian mereka yang serius dalam membangun pengaruhnya melalui game League of Legends di kancah global.
“Kami sangat bersemangat dapat bekerja sama secara kreatif dengan clothing line AAPE. Mulai dari desain skin hingga ke apparel merchandise, setiap elemennya terasa menyenangkan dan kami pikir setiap player bisa menghargai dan mengekspresikan kecintaan mereka akan League of Legends dalam bentuk streewear,” ungkapChristian Bailey sebagai Director of Consumer Products di Riot Games.
Presenting AAPE BY *A BATHING APE® X LEAGUE OF LEGENDS, a limited apparel collection, and True Damage Yasuo Prestige Edition. Available online and in select retail stores on September 25.
Di gelaran League of Legends World Champsionship tahun 2019 yang lalu, Yasuo tampil sebagai DJ dari anggota grup musik virtual True Damage. True Damage adalah grup musik virtual kedua yang dibentuk oleh Riot Games setelah K/DA yang melakukan debutnya di tahun 2018. Di tahun 2019 Qiyana dan Sena tampil dengan Prestige Edition skin hasil kolaborasi antara Riot Games dengan fashion brand mewah, Louis Vuitton.
Pada kesempatan kali ini Riot Games bekerja sama dengan salah satu clothing line AAPE yang memproduksi serangkaian streewear yang bermarkas Jepang. Desain skin Yasuo bersama grup True Damage dirasa sangat cocok dengan jenis produk yang dimiliki AAPE. Kerja sama di antara keduanya sudah barang tentu merilis in game item sekeligus koleksi streetwear terbaru dari AAPE.
Kolaborasi Riot Games dan AAPE akan menjadi kerja sama yang penting antara dunia esports dan fashion. Pasalnya esports perlahan sudah membangun fanatisme nyaris sekuat yang bisa ditemukan pada berbagai olahraga tradisional. Pakaian dengan atribut tim olahraga ataupun esports menjadi salah satu bentuk dukungan, apresiasi, dan bisa membangun kebanggaan tersendiri bagi penggunanya.
Di kesempatan yang lain brand Bathing Ape atau yang kerap disingkat BAPE, sebagai induk clothing line AAPE tercatat sudah pernah menjalin kerja sama dengan Disney, Nintendo dan berbagai brand yang lekat dengan pop culture dalam memproduksi koleksi streetwear mereka. Kolaborasi Riot Games dan AAPE akan menjadi kerja sama yang penting antara dunia esports dan fashion.
Rencananya secara serentak skin terbaru True Damage Yasuo Prestige Edition dan apparel merchandise hasil kolaborasi Riot Games dan AAPE akan dirilis di tanggal 25 September 2020. Sedikit tambahan, rumornya skin terbaru Yasuo akan dibanderol seharga 100 Prestige Points.
Menurut Startup Report yang diterbitkan DSResearch, sepanjang tiga tahun terakhir ada beberapa startup fesyen yang terus meningkatkan putaran pendanaan, termasuk Tinkerlust, Zilingo, Pomelo, Sorabel, Berrybenka, dan Style Theory. Di luar itu, masih banyak platform e-commerce lain di segmen terkait yang masih langgeng di tengah dominasi online marketplace yang menyajikan beragam jenis produk.
Tidak hanya berkembang secara kuantitas, model bisnis yang ditawarkan pun makin bervariasi. Sebut saja yang dilakukan Style Theory, Alih-alih menjual, mereka menghadirkan mekanisme penyewaan produk busana bermerek. Kepada DailySocial mereka bercerita, sejak 2017 hadir di Indonesia telah berkembang dan memiliki sekitar 150 ribu pengguna. Padahal mereka baru melayani kota Jakarta, Bandung, dan Surabaya.
Fakta tersebut jelas mengindikasikan segmen bisnis ini memiliki potensi yang bukan main. Mari kita dalami.
Pangsa pasar fesyen di e-commerce
Dalam laporan eCommerce Report 2020 – Fashiondisebutkan revenue segmen bisnis tersebut di Indonesia diperkirakan mencapai $6,7 miliar per 2020. Angka ini bakal mencapai $12,6 miliar pada tahun 2024 mendatang. Pangsa pasar Indonesia menempati peringkat ke-11 secara global.
Platform online marketplace dengan beragam produk juga kerap menempatkan produk fesyen, terutama dengan pangsa pasar perempuan, di deretan produk terlaris. Disampaikan dalam laporan belanja online di Tokopedia, sepanjang tahun 2019 lima kategori produk paling populer meliputi fesyen, rumah tangga, ponsel, elektronik, dan kesehatan.
Data lain dari Kredivo menunjukkan tren belanja sepanjang tahun 2019. Baik pengguna pria maupun wanita paling banyak menghabiskan layanan kredit di platform e-commerce untuk memenuhi kebutuhan fesyen berdasarkan jumlah transaksi.
Perjalanan startup fesyen
Pemberitaan DailySocial mencatat hype startup “niche” fesyen sudah dimulai sejak awal dekade. Tahun 2011 beberapa pemain seperti BelowCepek dan LocalBrand mulai memperkenalkan diri ke publik. Kala itu strategi yang dilakukan adalah membuat diferensiasi dari sisi produk, misalnya yang dilakukan BelowCepek dengan menjual berbagai busana dengan harga di bawah 100 ribu Rupiah. Pun demikian LocalBrand yang mengutamakan merek-merek lokal di tengah gempuran mass product yang banyak bertanggar di pusat perbelanjaan.
Tren kehadiran startup fesyen terus bermunculan. Tahun berikutnya Zalora, BerryBenka hadir mengubah stigma di vertikal bisnis ini. Zalora adalah pemain regional yang didukung penuh oleh Rocket Internet – kala itu dikenal sebagai salah satu pencetak bisnis digital disruptif di dunia. Sementara BerryBenka berhasil mencatatkan pendanaan awal dari East Ventures, sekaligus jadi debut pemodal ventura tersebut masuk ke vertikal e-commerce, khususnya fesyen.
Scallope, Laavaa, FimelaShop, Ratimaya, PinkEmma, dan beberapa startup lain makin meramaikan pasar online.
Tahun 2014 Riselo hadir dan menawarkan konsep online marketplace untuk fesyen. Jika sebelumnya kebanyakan modelnya B2C, kini mereka menawarkan model C2C. Mengadopsi dari kesuksesan online marketplace yang mengakomodasi produk secara umum. Di periode ini, sektor e-commerce jadi lokomotif penting bagi bisnis digital, membuat semua orang makin terbiasa dengan transaksi di internet. Persaingan ketat membuat masing-masing pemain berinovasi dalam model bisnis.
Di tahun 2017-an, konsep online to offline (O2O), pemain seperti BerryBenka, Zalora, Hijub memulai hadirkan toko fisik di pusat perbelanjaan. Namun tidak hanya dilakukan oleh pemain e-commerce, peritel juga menguatkan strategi penjualan melalui kanal digital, seperti Onmezzo (Metrox Group), Matahari, dan MAPemall.
Mendekati akhir dekade 2020, beberapa pemain makin kuat sementara sisanya tidak menampakkan growth. Sorabel (sebelumnya Sale Stock), misalnya, mampu membukukan pendanaan Seri C untuk mendukung akselerasi bisnisnya.
Teknologi yang semakin menjadi urat nadi kehidupan juga mendorong munculnya merek-merek “indie” yang sedari awal memasarkan dan menjual produknya secara online, beberapa O2O, seperti yang dilakukan merek fesyen Cloth-Inc atau Pomelo.
Model bisnis jadi pembeda
Tahun 2015 Samira Shihab (CEO) dan Aliya Amitra (COO) memulai Tinkerlust sebagai startup fesyen unik yang menjual barang bermerek dan tergolong mewah. Tidak hanya produk baru, mereka juga menjual barang preloved yang masih baik kondisinya. Traksinya bagus, hingga dua tahun kemudian mendapatkan pendanaan awal dari Merah Putih Inc dan angel investor Danny Oei Wirianto. Di samping menjadi platform jual beli fesyen preloved, mereka juga menawarkan penyewaan gaun rancangan desainer.
Yuna & Co punya cara lain, mereka memilih optimalkan kecerdasan buatan hadirkan fitur konten interaktif “fashion matchmaker”. Sederhananya, dengan aplikasi tersebut pengguna dapat memanfaatkan asisten virtual untuk memberikan rekomendasi busana terbaik berdasaran preferensi pribadi. Mereka turut menjadi perantara antara merek fesyen dengan konsumen, melalui rekomendasi produk yang disajikan. Pendekatan ini diambil, mengingat tidak sedikit wanita yang memiliki banyak pertimbangan dan selektif saat melakukan belanja, terlebih secara online.
Kemudian, seperti yang sudah sempat disinggung di awal, ada juga Style Theory yang menawarkan pilihan sewa untuk berbagai produk fesyen bermerek. Mereka tawarkan model berlangganan dan on-demand untuk pelanggannya. Saat ini bisnisnya disokong penuh melalui pendanaan Seri B oleh SoftBank Ventures Asia, The Paradise Group, dan Alpha JWC Ventures.
“Pangsa pasar Style Theory pada dasarnya seluruh wanita Indonesia yang membutuhkan variasi baju cukup tinggi untuk kegiatan sehari-harinya. Di antaranya wanita dalam usia produktif yang bekerja di luar rumah, baik itu pekerja kantoran, freelancer, dan pekerjaan lainnya yang sering bertemu dengan banyak orang. Pangsa pasar ini yang akan paling merasa terbantu dengan adanya layanan kami,” ujar tim Style Theory.
Model bisnis menjadi kunci kesuksesan startup di vertikal ini. Secara mendasar mereka harus bersaing dengan tatanan ritel tradisional yang sudah bertahun-tahun jadi rujukan masyarakat. Hal-hal terkait kultur juga perlu ditangkap baik oleh konsumen – misalnya kebiasaan melihat atau mencoba dulu barang secara fisik sebelum benar-benar membeli. Sorabel salah satunya yang peka dengan kondisi ini, startup fesyen dengan private label tersebut memiliki opsi yang memungkinkan pelanggannya mencoba dulu produk yang diantar kurir sebelum benar-benar menyelesaikan transaksi dengan pembayaran.
Mereka yang tidak bertahan
Sayangnya fitur unik, bahkan dukungan investor sekalipun tidak menjamin startup fesyen dapat bertahan. Tahun 2018 Lyke mengumumkan tutup layanan. Pasca pendanaan seri A mereka cukup optimis dengan bisnisnya, sampai merekrut pesohor Agnez Mo sebagai co-founder sekaligus ambassador. Lyke juga manfaatkan kecerdasan buatan yang memungkinkan pengguna lakukan pencarian produk berdasarkan unggahan foto. Dari isu yang beredar, inefisiensi bisnis menjadi penghambat hingga mengakibatkan startup tersebut tutup.
Awal tahun 2017 platform Lolalola juga resmi menutup bisnisnya. Mereka secara khusus menjual produk pakaian dalam wanita atau lingerie. Salah satu faktor yang membuatnya menyerah, ramainya tren social commercedan gempuran online marketplace seperti Tokopedia, yang juga memudahkan konsumen temukan produk terkait. Meskipun mengklaim memiliki produk yang unik dan menarik, jika hal ini tidak dibarengi strategi pemasaran dan akuisisi pelanggan yang cukup masif akan sulit mencapai kondisi berkelanjutan.
Jefrey Joe, Managing Partner & Co-Founder Alpha JWC Ventures memberikan analisisnya. “Fashion commerce adalah sektor yang lucrative, tidak ada one winner takes all, sehingga meskipun ada beberapa raksasa, tetap akan ada tempat bagi pemain niche dan pemain baru. Style Theory, misalnya, awalnya muncul sebagai produk niche di Singapura lalu Indonesia, namun kini berhasil membuat fesyen rental sesuatu yang normal/umum dan bagian dari kehidupan urban sehari-hari.”
Ia melanjutkan, “Prinsip sustainability para startup fesyen adalah pertanyaan yang harus ditanyakan ke masing-masing startup. Untuk Style Theory, sejak awal mereka mengusung konsep circular economy untuk mengurangi konsumsi dan sampah fesyen, sekaligus menjawab masalah besar wanita yang cenderung terus-terusan membeli pakaian tapi tak terpakai. Sorabel pun menggunakan machine learning untuk mempelajari tren pembelian, sehingga mereka hanya membuat pakaian yang kemungkinan besar terjual; mereka juga mengontrol proses manufaktur, sehingga bisa meminimalisir waste dari berbagai tahap produksi dan distribusi.”