Tag Archives: Febi Agil Ifdillah

Urban farming lahir dari keresahan akan alternatif bahan pangan dan kesadaran lingkungan. Belakangan, kegiatan ini turut menjadi perhatian pemain agritech.

Melirik “Urban Farming” Sebagai Peluang Bisnis Baru Agritech

Pandemi memunculkan inisiatif baru dari ruang-ruang individu terkecil hingga bisnis berskala besar. Urban farming adalah satu dari sedikit kegiatan yang mengemuka di masyarakat Indonesia selama wabah Covid-19 ini. Untuk membunuh rasa bosan atau mencari bahan pangan alternatif yang lebih sehat, berkebun tak bisa ditampik sebagai aktivitas pilihan yang makin digemari.

Maraknya peminat urban farming juga dicermati oleh agritech dalam negeri. Berkembangnya kebun-kebun mandiri di perkotaan menjadi celah bisnis baru bagi mereka. Bahkan belum lama e-commerce Tokopedia menyebut alat-alat berkebun menjadi salah satu produk yang paling banyak terjual selama Ramadan kemarin.

Di Jakarta setidaknya sudah ada 900 titik urban farming. Sekitar 600 di antaranya dikelola warga dan sisanya diurus oleh karang taruna. Pertanian urban ini mayoritas tersebar di Jakarta Selatan, Timur, dan Barat.

“Jadi begini itu terbukti banget selama PSBB, permintaan benih meningkat sekali dan begitu saya ke lapangan awalnya mereka ada yang lahan kosong atau hidroponik dan sebagainya ada peningkatan. Benar untuk kebutuhan mereka sehari-hari mereka tidak perlu ke pasar,” ujar Kepala Dinas Ketahanan Pangan, Kelautan, dan Perikanan (KPKP) DKI Jakarta, Darjamuni seperti dikutip dari Media Indonesia.

Peluang bisnis baru

Beberapa platform agritech merespons dengan cepat pertumbuhan pertanian urban ini. TaniHub dan Neurafarm adalah dua di antaranya. Meski sama-sama mulai melirik peluang baru ini, keduanya memilih pendekatan yang berbeda.

Neurafarm, yang sebelumnya lebih dikenal dengan teknologi AI untuk membantu petani tradisional mengidentifikasi penyakit tanaman, menawarkan starter kit untuk mereka yang berminat memulai berkebun sendiri. Perlengkapan yang masuk dalam paket Neurafarm ini termasuk 16 jenis bibit yang bisa dipilih, pupuk, polybag, dan media tanam.

Neurafarm membanderol paket tersebut mulai dari harga Rp85.000. Mereka juga menyertakan panduan menanam, akses bertanya ke agronom, dan referensi bertanam lain yang tertuang dalam fitur premium aplikasi mereka, Dr. Tania. Neurafarm percaya kebutuhan akan urban farming dan pertanian tradisional di akan berjalan beriringan dan menjadi masa depan agrikultur di Indonesia.

“Akan ada beberapa lineup produk lainnya yang akan dirilis dalam waktu dekat, termasuk herbs,” jelas CEO Neurafarm Febi Agil Ifdillah.

TaniHub mengambil jalan yang agak berbeda. Perusahaan membuka diri untuk menyerap hasil panen petani urban dan bersedia mendanai mereka yang membutuhkan modal lebih untuk bercocok tanam di rumah.

Meski memberi dukungan terhadap kegiatan ini, TaniHub belum benar-benar menganggap pertanian urban sebagai lahan bisnis yang menjanjikan. Head of Trade Procurement TaniSupply Abednego Gunawan mengatakan, petani urban yang sudah bermitra masih belum sampai 1% dari total mitra mereka yang berjumlah 30.000 petani. Bagi TaniHub, angka tersebut masih tergolong minor. Begitu pula dengan jenis tanaman yang mereka tampung dari petani urban yang umumnya masih dari jenis sayuran hidroponik.

“Dalam hal penyerapan hasil panen dari pertanian perkotaan, saat ini masih tergolong sangat kecil di TaniHub Group,” cetus Abednego.

Tantangan dan potensi

Kecilnya jenis panen yang diserap dan mitra petani urban di TaniHub mencerminkan masih banyak tantangan bagi layanan agritech jika benar-benar ingin menjadikan hasil pertanian kota sebagai komoditas mereka. Abednego menjelaskan, tantangan itu ada di soal volume pasokan yang seringkali tonasenya tidak mencukupi permintaan pasar. Selain itu kesadaran masyarakat akan ketelusuran produk (product traceability) yang masih cukup rendah.

Dua hal teknis ini yang menurut Abednego merupakan tantangan utama bagi perusahaan untuk benar-benar menjadikan pertanian kota sebagai ceruk bisnis baru di TaniHub Group.

Gibran Tagari, yang merintis Sendalu Permaculture di Depok, Jawa Barat, menilai, semakin banyak masyarakat urban berminat mengolah lahannya dengan tanaman produktif, maka semakin baik kesejahteraan diri dan kelestarian lingkungan. Itu termasuk agritech yang melirik pertanian kota.

Namun Gibran mengingatkan bahwa urban farming sejatinya berangkat dari keresehan akan opsi sumber pangan yang lebih baik dan kesadaran atas lingkungan yang berkelanjutan. Apabila pada akhirnya pertanian kota ini menjadi lahan bisnis baru bagi agritech, ia berharap mereka dapat menjalankannya dengan semangat tersebut.

“Menurut saya, urban farming punya prospek dan potensi yang besar, tetapi bukan untuk menghasilkan komoditas seperti pertanian dengan sistem yang sudah ada sekarang. Saya melihat kota tidak memiliki iklim yang serupa dengan rural atau pedesaan. Mungkin kita perlu melihat kota sebagai ruang dengan beragam peluang menuju sistem pangan alternatif, sehingga tidak memberatkan beban desa untuk memproduksi pangan,” ujarnya.

Pandemi memang bukan satu-satunya yang mengangkat pamor pertanian kota. Laporan IndustryARC Analysis menunjukkan, tren tersebut sudah terjadi beberapa tahun terakhir dengan nilai bisnis pertanian kota yang terus meningkat dari tahun ke tahun.

Laporan tersebut menyebut pertanian kota sudah menyumbang 20% dari total produksi pangan dunia. Pada 2017 saja, pendapatan dari bisnis ini menyentuh $210 miliar dan diperkirakan terus tumbuh mencapai $236,4 miliar. Alasan kesehatan, kualitas pangan, edukasi, ketahanan kota, dan tumbuhnya permintaan bahan pangan lokal diperkirakan akan menjadi pendorong utama kian populernya urban farming sebagai lahan bisnis baru.

Introducing Neurafarm, The Doctor for Agriculture Plants

Treating plants as patients with artificial intelligence (AI) as “their doctors” is the most prominent impression of Dr. Tania made by Neurafarm. This application is not only able to identify the disease of a plant through chatbot, but also through photos only.

Identification of disease with plants through text messages and photos are two of the main features of Dr. Tania. The deep learning technology that Neurafarm uses allows them to find symptoms and diseases of a plant with an accuracy rate of around 80% and above. The plants capable to identify are include 14 commodities, from tomatoes, corn, potatoes, to blueberries.

“We plan to add more, such as chilies, rice, and other basic commodities,” Neurafarm’s CEO, Febi Agil Ifdillah told DailySocial.

Dr. Tania feature is not only about that. It covers the gap of their AI inaccuracies with the consultation feature involving experts. Connecting farmers with agricultural knowledge which generally can only be obtained from a limited number of instructors. Another feature is the catalog of plant diseases and other agricultural stuff in the application.

Business model

Agil said Neurafarm applied a new freemium business model since May 15, 2020. By subscribing to Dr. Tania, farmers can access the application without any pop-up ads as well as consultation with more space for questions. Nevertheless, according to Agil, this freemium model is still a temporary pilot.

In addition to reaching farmers, Neurafarm also aims for the B2C segment. In this model, they provide solutions based on agriculture. “We’ll start this one in October and November,” Agil said.

Meanwhile, Neurafarm also took a peek at the opportunity to gain profit from urban agriculture trends in recent years. Agil said his team will launch an urban farm kit product that makes it easy for early farmers in urban areas.

Challenges for agritech in the region

Agil reveals the user number based on download was more than 7,500. He targets to double it and increase retention of application usage for the next six months.

“Our strategy has shifted in some ways, but we still want to increase our user base. Our goal is to encourage more productive farmers.”

The change in target occurred because of the current pandemic situation. However, as a general note, agriculture is one of the few sectors that survived during the Covid-19 outbreak. Agil said that the high number of Indonesian agritech players made this sector complement each other. Agritech, which focuses on the supply chain to lending, according to Agil, has helped farmers to adopt technology faster.

“The agricultural landscape is increasingly crowded, especially in the supply chain segment. It is expected more and more players will rise, therefore, the market is more educated and technology is getting easily adopted,” Agil concluded.

Neurafarm has been established since 2018. They are quite well-known as startups with achievements in some startup ideas competitions. In February, they joined Telkomsel’s acceleration program. Their funding status is currently at pre-seed stage.

Neurafarm can be said as the only local startup using AI for crop productivity. They actually come from the overseas player which expands to Indonesia.

Nevertheless, Agil remains optimistic that Neurafarm can pursue its mission in helping farmers increase their productivity using AI and contribute to providing humanity’s ever-increasing food needs in the future.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Mengenal Neurafarm, Dokternya Tanaman Pertanian

Memperlakukan tanaman selayaknya pasien dengan artificial intelligence (AI) sebagai “dokternya” merupakan kesan yang paling menonjol dari aplikasi Dr. Tania buatan Neurafarm. Aplikasi ini bisa mengidentifikasi penyakit suatu tanaman cukup melalui foto saja.

Identifikasi masalah pada tanaman baik lewat pesan teks maupun foto merupakan dua fitur utama dari Dr. Tania. Teknologi deep learning yang Neurafarm pakai memungkinkan mereka menemukan gejala dan penyakit dari suatu tanaman dengan akurasi sekitar 80% ke atas. Adapun tanaman yang mereka bisa periksa sejauh ini ada 14 komoditas, mulai dari tomat, jagung, kentang, hingga blueberry.

“Kita rencana nambah cabe, padi, komoditas-komoditas yang lebih pokok,” ucap CEO Neurafarm Febi Agil Ifdillah kepada DailySocial.

Fitur Dr. Tania tak hanya itu saja. Mereka menutupi celah ketidakakuratan AI mereka dengan fitur konsultasi bersama para ahli. Menghubungkan petani dengan pengetahuan pertanian yang umumnya hanya bisa diperoleh dari penyuluh yang jumlahnya terbatas. Fitur lainnya adalah katalog penyakit tanaman dan serba-serbi pertanian lain yang ada di satu aplikasi mereka.

Model bisnis

Agil menyebut, Neurafarm memakai model bisnis freemium yang baru mereka pakai sejak 15 Mei 2020. Dengan berlangganan Dr. Tania, petani bisa mengakses aplikasi tanpa gangguan iklan serta konsultasi dengan kuota pertanyaan lebih besar. Kendati demikian, menurut Agil model freemium ini masih bersifat pilot sementara ini.

Selain menyentuh para petani, Neurafarm turut menjangkau segmen B2B. Dalam model ini, mereka menyediakan solusi berbasis untuk agrikultur. “Baru Oktober dan November kita baru mulai yang ini,” imbuh Agil.

Di saat bersamaan Neurafarm juga mengintip peluang meraih cuan dari tren pertanian urban beberapa tahun terakhir. Agil mengatakan pihaknya berencana meluncurkan produk urban farm kit yang memudahkan petani-petani pemula di perkotaan.

Tantangan agritech di tanah air

Agil mengatakan jumlah pengguna mereka berdasarkan jumlah unduhan sudah lebih dari 7.500. Ia menargetkan angka itu akan berlipat ganda dan retensi penggunaan aplikasi meningkat pada enam bulan ke depan.

“Strategi kita agak berubah sih, tapi masih tetap ingin memperbanyak userbase kita. Tujuan kita juga tetap ingin farmer lebih produktif.”

Perubahan target terjadi karena situasi pandemi yang berlangsung saat ini. Namun seperti diketahui, agrikultur merupakan sedikit sektor yang bertahan dengan baik selama wabah Covid-19. Agil menilai ramainya pemain agritech di Indonesia membuat sektor ini saling mengisi satu sama lain. Agritech yang fokus di supply chain hingga lending menurut Agil telah membantu petani lebih cepat mengadopsi teknologi.

“Lanskap agrikultur ini memang makin ramai terutama di supply chain. Harapannya semakin banyak pemain yang makin besar sehingga market lebih teredukasi dan penyerapan teknologi lebih mudah diadopsi,” pungkas Agil.

Neurafarm sudah berdiri sejak 2018. Mereka cukup dikenal sebagai startup yang berprestasi di sejumlah kompetisi ide startup. Pada Februari kemarin, mereka mengikuti program akselerasi milik Telkomsel. Sementara dari status pendanaan Neurafarm adalah pre-seed.

Neurafarm bisa dikatakan saat ini sebagai satu-satunya startup lokal yang menggunakan AI untuk produktivitas tanaman. Kompetisi mereka justru datang dari pemain luar yang ekspansi ke Indonesia.

Namun terlepas dari semua itu, Agil tetap optimis Neurafarm dapat mengejar misi mereka dalam membantu petani meningkatkan produktivitasnya memakai AI dan berkontribusi dalam menyediakan kebutuhan pangan umat manusia yang terus berlipat ganda di masa depan.

Application Information Will Show Up Here