Saat ini, semakin banyak merek non-endemik yang masuk ke dunia esports. Jadi, jangan heran jika Anda melihat merek makanan seperti Sukro melekat di jersey tim esports seperti RRQ atau mendengar merek AXE bekerja sama dengan EVOS Esports. Dan hal ini terjadi secara global. Menurut laporan Esports Observer, pada Q3 2019, ada 75 kontrak sponsorship dari merek non-endemik, baik sponsor untuk tim profesional ataupun liga esports. Dalam acara Social Media Week yang digelar di Senayan City, Co-founder EVOS Esports, Hartman Harris mengatakan bahwa esports bisa menjadi jalan bagi merek yang ingin mendekatkan diri dengan generasi muda. Memang, menurut Goldman Sachs, 79 persen penonton esports memiliki umur di bawah 35 tahun. Kabar baik bagi para sponsor esports, jumlah penonton esports diperkirakan masih akan terus naik. Pada tahun ini, jumlah penonton esports secara global diperkirakan mencapai 194 juta orang, sementara pada 2022, angka ini diduga akan naik menjadi 276 juta orang.
“Industri esports sekarang sedang bagus-bagusnya. Banyak merek non-endemik yang melirik, merek makanan dan minuman dan lain sebagainya,” kata Ketua Federasi Esports Indonesia (FEI), Andrian Pauline, yang juga merupakan CEO RRQ. “Pada lima atau sepuluh tahun lalu, semua sponsor di esports itu pasti perusahaan yang ada kaitannya dengan komputer atau dengan industri. Tahun ini, esports juga sudah mulai dilirik pemerintah karena terpilih sebagai salah satu cabang untuk SEA Games di Filipina.”
Sementara itu, dari sudut pandang sponsor, Assistant Vice President, BCA, Rendy Alimudin mengatakan bahwa ketika mereka hendak mendukung liga atau tim esports, mereka telah mempertimbangkan target yang ingin mereka capai. “Kita sudah memikirkan soal ROI (Return of Investment) dari awal,” katanya. Dia mengatakan, salah satu tujuan BCA terjun ke esports adalah untuk memperkenalkan produk mereka ke komunitas gamer. “Mendengar dari para gamer, mereka butuh apa, agar kami bisa membuat produk yang sesuai dengan hobi mereka sehingga produk kami bisa digunakan dalam waktu lama,” ujarnya. Selain itu, dia mengatakan, mereka juga ingin mendukung komunitas gamer agar bisa tumbuh dan berkembang.
Walau industri esports semakin matang, tapi masih ada banyak masalah yang harus dihadapi oleh para pelaku esports. Menurut AP, salah satunya adalah ketiadaan regulasi dan standarisasi. Pemain esports profesional juga biasanya sangat muda, mereka bisa memulai karir ketika mereka berumur belasan tahun dan pensiun sebelum mereka berumur 30 tahun. Karena pemain esports biasanya masih muda dan belum memiliki pengalaman bekerja di dunia profesional, ini memunculkan risiko eksploitasi pemain. “Banyak kasus, tim-tim esports memanfaatkan ketidaktahuan sang atlet. Di sinilah fungsi FEI, untuk melindungi pemain. Dalam jangka panjang, jika industri ingin sustain, talent harus dijaga. Kalau mereka merasa dimanfaatkan, dan tidak ada regenerasi, tidak ada pemain baru, industri bisa collapse,” kata AP.
Hartman juga mengakui akan adanya masalah ini. “Kita punya tanggung jawab untuk memberikan edukasi, menjadi esports player itu seperti apa. Dari sisi kontrak, ketika menjadi pemain pro atau semi-pro, mereka bisa mendapatkan benefit sepertii apa,” katanya. Dia menyebutkan, jika para pemain merasa mereka tereksploitasi, ini dapat menyebabkan masalah. Tanpa keberadaan pemain esports, pada akhirnya tim esports juga akan menghilang. Memang, di luar Indonesia, para pemain esports bahkan telah membuat asosiasi sebagai wadah mereka untuk berkomunikasi dengan developer, seperti yang dilakukan oleh para pemain Fortnite dan Counter-Strike: Global Offensive profesional.
FEI sendiri baru berdiri pada akhir Oktober 2019. Salah satu fokus mereka adalah untuk membuat standarisasi kontrak untuk pekerja esports, termasuk kontrak pemain dan talenta. AP mengatakan, FEI berusaha untuk inklusif, mengakomodasi semua kepentingan pelaku esports, mulai pemain, tim, talent, sampai penyelenggara turnamen. Untuk memastikan bahwa tidak ada pertikaian antara para pelaku esports — contohnya antara pemilik tim dan pemain — FEI memastikan bahwa mereka memiliki perwakilan dari semua pihak. “Misalnya, untuk talent, kita memang ada perwakilan yang memang bekerja sebagai talent,” ungkapnya. Dengan begitu, orang yang mewakilkan memang bisa mengerti apa yang terjadi. “Kita juga cukup transparan. Tujuan kami adalah memastikan industri esports sustainable.”
—
Disclosure: Hybrid adalah media partner dari Social Media Week