Tag Archives: feminisme

Perjuangan Perempuan di Industri Esports: Eksplorasi Tubuh Sebagai Daya Tarik Utama Selebriti Gaming Perempuan [Bagian 1]

Meski perjalanan para perempuan melawan budaya patriakal sudah cukup panjang, faktanya, masih banyak industri yang menomorduakan kaum hawa. Industri kreatif adalah salah satu ranah yang biasanya masih didominasi oleh kaum pria.

Tak hanya di Indonesia, industri kreatif di negara-negara barat yang perjuangan feminismenya lebih agresif pun masih memarginalkan perempuan. Sampai dengan 2018, para aktris Hollywood mendapatkan bayaran yang lebih rendah ketimbang aktornya. Di industri komedi juga demikian. Komedian pria dianggap lebih lucu dibanding yang perempuan di Amerika sana. Industri esports internasional ataupun lokal juga tak berbeda jauh dari industri tadi.

Berbicara mengenai perjuangan perempuan di industri yang seringkali dibalut dengan maskulinitas ini memang panjang dan kompleks. Karena itulah, kami ingin membagi pembahasannya menjadi beberapa bagian. Untuk bagian pertama ini, kami pun memilih untuk membahas topik yang mungkin paling kontroversial; yakni soal menjadikan paras dan tubuh sebagai daya tarik utama.

Untuk mendapatkan perspektif lebih soal hal ini, kami pun menghubungi Nicole Constance yang merupakan seorang Cluster Category Manager Gaming untuk Logitech. Buat yang tidak terlalu familiar dengan industri gaming ataupun teknologi, Logitech adalah salah satu brand tertua dan terbesar di kategori produk peripheral (mouse, keyboard, headset, dkk.) yang didirikan di Swiss tahun 1981.

Ditambah lagi, Nicole juga punya pengalaman unik yang mungkin tak dimiliki oleh kebanyakan perempuan yang bergelut di bisnis. Ia merupakan salah satu pendiri dan anggota pertama dari NXA Gaming. NXA Gaming adalah pionir dari tren gamer girl di Indonesia, dengan Nixia Monica sebagai ujung tombaknya. Karena itulah, Nicole pernah merasakan di dua posisi yang berbeda dan mungkin bertolak belakang.

Selain Nicole, kami juga menghubungi Wida Arfiana, yang merupakan General Manager dari Techpolitan. Techpolitan sendiri adalah sebuah pusat edukasi yang kental dengan ranah teknologi, termasuk game. Kawan kami yang satu ini juga sudah malang melintang di industri game dan teknologi sejak 2010. Ia pernah bekerja di salah satu distributor komponen PC terbesar di Indonesia, Nusantara Jaya Teknologi (NJT), dan juga pernah di ASUS Indonesia. Ia juga salah satu dari segelintir orang di industri ini yang benar-benar peduli dengan isu seputar perjuangan perempuan – setidaknya berjuang dengan caranya sendiri, menurut pengakuannya hahaha…

Eksplorasi Tubuh Sebagai Nilai Jual Utama, Salahkah?

Gamer girl atau tak jarang juga disebut influencer (meski tidak tepat juga istilah itu) adalah gadis-gadis muda yang biasanya hobi bermain game, memiliki banyak fans di media sosial, dan memanfaatkan akun mereka tersebut untuk mencari nafkah (biasanya sebagai marketing channel ataupun produksi konten).

Kontroversinya, sekarang ini, kebanyakan dari gamer girl tadi menggunakan paras dan tubuh sebagai daya tarik utama mereka. Beberapa di antaranya bahkan sengaja memamerkan bagian tubuh tertentu untuk mendapatkan lebih banyak penonton.

Paham patriakal primitif menganggap perempuan memang hanya sebagai perhiasan, pajangan, penggembira atau apapun itu namanya. Stereotipe itu justru semakin diperkuat dengan perilaku eksplorasi tubuh itu tadi (istilah yang digunakan oleh Wida). Namun demikian, Wida juga menegaskan bahwa setiap perempuan punya kebebasan untuk mengekspresikan tubuhnya masing-masing. Bertindak represif dengan melarang keras hal-hal semacam itu akhirnya juga terjebak kepada perilaku partriakal yang inginnya mengatur semua hal yang bisa dan tidak bisa dilakukan oleh perempuan.

Lagi pula menurut Wida, berperan seperti seorang polisi moral juga tidak akan berdampak apapun. Pasalnya, industri game adalah industri yang mayoritas pasarnya anak laki-laki. Jadi, eksplorasi tubuh adalah salah satu strategi paling mudah yang bisa digunakan para gamer girl untuk mencuri perhatian. “Demand-nya ada dan pasarnya juga ada. Jadi, pasti ada yang lainnya lagi yang akan menggunakan strategi eksplorasi tubuh jika salah satu berhenti.” Ujar Wida.

gamer girl1

“Walau memang, ketentuan soal age restriction tetap harus dipatuhi karena ada kewajiban moral yang harus dilaksanakan.” Tambahnya.

Nicole juga sependapat soal ini. Ia memang menyayangkan hal tersebut namun Nicole merasa hal ini terjadi karena ada demand-nya juga. Ia juga percaya bahwa para gamer girl itu sebenarnya bisa memberikan konten yang lebih kreatif ataupun edukatif.

Wida pun menambahkan pendapat yang senada. Menurutnya, meski memang-memang sah-sah saja, eksplorasi tubuh tadi adalah level yang yang paling rendah dalam hal strategi konten. “Jadi pro player, misalnya, adalah level yang lebih tinggi.” Katanya. Karena, strategi eksplorasi tubuh tadi memang tidak dapat digunakan terus menerus.

Karena Paras dan Tubuh adalah Aset Terdepresiasi

Mungkin, banyak kaum muda yang tidak menyadari hal ini. Namun, faktanya, raga kita adalah aset yang mutlak menurun nilainya dari waktu ke waktu. Memang, kita bisa saja menggunakan berbagai cara dan peralatan untuk menjaga paras dan tubuh namun harga yang harus dibayarkan akan semakin besar dari waktu ke waktu.

Maksudnya seperti ini, mungkin penampilan kita memang akan berada di puncak nilainya saat kita berusia 20an. Ketika kita menginjak usia 30an, usaha ataupun modal yang dikeluarkan untuk menjaga penampilan tadi akan lebih besar lagi dari sebelumnya. Tuntutan ini akan semakin besar lagi ketika kita masuk ke usia 40an dan seterusnya.

Sumber: ArtStation
Sumber: ArtStation

Contohnya, di usia 20an, mungkin kita tidak butuh berolahraga agar tetap ramping. Namun, di usia 30an (apalagi di era teknologi yang semakin memanjakan manusia sekarang ini), pola makan yang sehat dan olahraga teratur dibutuhkan agar perut tidak buncit. Percayalah, hal ini berlaku baik untuk laki-laki ataupun perempuan (sembari melihat perut saya yang semakin ‘offside’).

Hal ini yang mungkin harus disadari oleh para gamer girl yang mengandalkan strategi eksplorasi tubuh. Sayangnya, tak sedikit (karena memang tidak semuanya), mereka-mereka yang berparas rupawan merasa tak butuh lagi skill atau nilai jual lain karena beranggapan modal tadi sudah cukup untuk menghantarkan mereka mendapatkan semua yang mereka inginkan.

“Eksplorasi tubuh tadi memang level pertama tapi harus mau belajar ke level yang selanjutnya.” Ungkap Wida. Level yang lebih tinggi dari eksplorasi tubuh tadi, menurut Wida, adalah eksplorasi potensi. Lebih lanjut ia menjelaskan, eksplorasi tubuh tadi sebenarnya lebih ideal jika digunakan sebagai salah satu sarana untuk ke posisi yang lebih safe; yang tidak terlalu bergantung pada penampilan semata.

Salah satu solusi karier yang lebih aman untuk jangka panjang tadi adalah dengan pindah ke belakang layar ataupun bergabung dengan korporasi raksasa macam Logitech, seperti yang dilakukan oleh Nicole.

Kenapa? Pertama, otak atau ketajaman berpikir (yang biasanya lebih diutamakan untuk orang-orang belakang layar) adalah aset kita yang lebih mudah meningkat nilainya seiring waktu – kebalikan dari penampilan kita. Kedua, korporasi besar memang punya rencana jangka panjang yang matang – atau setidaknya sudah ada; berbeda seperti kebanyakan selebriti media sosial.

Sumber: oliversalgames via Reddit
Sumber: oliversalgames via Reddit

Nicole pun sempat bercerita kepada kami kenapa ia dulu memilih untuk melepaskan statusnya sebagai selebriti gaming. Ia memang mengaku tertarik untuk mengembangkan industri game dan esports sejak dulu dan ia tak pernah berpikir bahwa menjadi selebriti gaming sebagai impian utamanya. Lagipula, ia beranggapan memajukan industri ini tak bisa dari satu sisi saja.

Menurut Nicole, mereka-mereka yang menggunakan strategi eksplorasi tubuh tadi sebenarnya masih punya peluang untuk bergabung ke korporasi nantinya. Asalkan, mereka punya skillset yang mendukung.

Meski demikian, satu hal yang tak boleh dilupakan adalah kita, manusia, semua punya waktu yang sangat terbatas. Mengasah kemampuan itu juga butuh waktu. Menurut cerita Nicole, ia bergabung bersama Logitech setelah 7 tahun meninggalkan NXA. Inilah yang mungkin penting dicatat untuk mereka-mereka para selebriti media sosial.

Anggap saja seperti ini, popularitas sebagai selebriti tadi bisa jadi baru menurun setelah menginjak usia 30an. Namun, jika mereka baru belajar keahlian lain di usia tersebut, mereka baru akan menginjak level yang sama seperti Nicole sekarang di usia 37. Jika hal itu yang terjadi, kemungkinan besar, perusahaan besar tidak akan akan memilih orang-orang minim pengalaman di usia yang nyaris 40 tahun.

Minimnya Ruang Eksplorasi Potensi untuk Perempuan Muda di Industri Game

Sumber: Medium
Sumber: Odyssey

Kenyataannya, jika kita ingin lebih fair, perjuangan para figur publik perempuan di industri game dan esports yang tidak mengandalkan eksplorasi tubuh memang jauh lebih berat. Sebagian besar pasar di industri game sendiri yang kebanyakan laki-laki memang seringnya menilai selebriti media sosial hanya dari tampilannya semata. Kami setuju dengan pendapat Wida di atas.

Mereka-mereka yang punya paras dan bodi menarik bisa mendapatkan popularitas dengan lebih cepat dan lebih mudah. Sebaliknya, mereka-mereka yang tak mau eksplorasi tubuh harus berjuang jauh lebih keras untuk bisa sampai ke tingkat popularitas yang sama. Hal inilah yang mungkin harus disadari dan diedukasikan kepada para laki-laki yang mendominasi pasar gaming.

Untuk itu, mungkin kita perlu melihat lebih jauh kenapa tren gaming girl meningkat pesat beberapa tahun terakhir. Kenapa eksplorasi tubuh dan paras bisa jadi jalan pintas mendapatkan popularitas? Karena, yang ditawarkan (baik disengaja ataupun tidak) oleh para selebriti media sosial tadi adalah sebuah ilusi atau impian atas pasangan idaman yang punya ketertarikan yang sama.

Sjokz, salah satu selebriti gaming yang tak hanya mengandalkan paras muka rupawan. Dokumentasi: Riot Games
Sjokz, salah satu selebriti gaming yang tak hanya mengandalkan paras muka rupawan. Dokumentasi: Riot Games

Maksudnya seperti ini, jika hanya berbicara soal paras, selebriti layar kaca ataupun layar lebar macam Raisa dan kawan-kawannya juga tidak kalah. Namun kebanyakan pengguna media sosial mungkin sadar bahwa mereka ada di tingkat awan-awan. Kecuali Anda juga seorang selebriti besar, pengusaha kaya raya, ataupun punya nilai jual yang sangat berharga dan langka, selebriti di kelas tadi kemungkinan besar tak mungkin Anda raih. Sedangkan selebriti kelas media sosial mungkin memang seolah lebih achievable.

Karena itulah, biasanya, para selebriti media sosial yang terang-terangan mengaku sudah memiliki pasangan akan menurun cepat popularitasnya; sebab hal tersebut menghancurkan ilusi para penggemarnya.

Jadi, buat para pengguna sosial media, khususnya laki-laki dan jomlo, percayalah para selebriti sosial media itu juga tidak mau sama Anda jika yang Anda lakukan hanyalah sharelike, retweet, swipe up, ataupun yang lainnya tanpa interaksi dan komunikasi yang lebih berarti. Tak ada salahnya juga untuk melihat dan menilai lebih jauh seorang selebriti gaming dari sekadar paras dan bodi, seperti kemampuan mereka bermain, kreatifitas konten, pengetahuan yang luas, ataupun yang lain-lainnya.

Karena, bagaimanapun juga, pasar juga turut menentukan kedewasaan konten seperti apakah yang menjadi tren baru di sebuah industri.