Tag Archives: Ferry Unardi

Traveloka segera menutup layanan pesan antar makanan dan logistik, Traveloka Eats dan Traveloka Send efektif per 31 Oktober 2022

Traveloka Segera Tutup Layanan “Traveloka Eats” dan “Traveloka Send”

Traveloka segera menutup layanan pesan-antar makanan dan logistik, Eats dan Send. Keputusan tersebut diambil karena mulai bangkitnya industri pariwisata yang menjadi bisnis utama perusahaan sejak awal berdiri. Penutupan ini menyusul layanan online grocery “Traveloka Mart” yang sudah tutup akhir Agustus 2022.

Melansir dari informasi yang disampaikan Traveloka kepada merchant, Eats akan efektif berhenti beroperasi pada 31 Oktober 2022. Disampaikan pada tanggal tersebut, Traveloka Eats tidak lagi menerima transaksi baru; akan melakukan rekapitulasi data transaksi dan melaksanakan kewajiban pembayaran; dan, pengembalian dana oleh para pihak, jika ada.

Saat dihubungi oleh DailySocial.id, narasumber Traveloka menyatakan bahwa pemberhentian kedua layanan ini adalah bagian dari strategi bisnis dan prioritas perusahaan. “Seiring dengan bangkitnya sektor perjalanan, kami sangat antusias menyambut hal ini ke depannya,” ucapnya, Jumat (30/9).

Lebih lanjut, sebelum tenggat waktu berakhir, pihaknya memastikan selama proses berlangsung, karyawan, mitra dan konsumen tetap menjadi fokus utama perusahaan, demi memastikan transisi yang baik sesuai aturan yang berlaku. Tak hanya itu, terus berkoordinasi dengan para mitra, serta menyediakan dukungan dalam proses pemberhentian layanan Eats dan Send ini berlangsung.

Sebagai catatan, langkah eksploratif Traveloka masuk ke lifestyle superapp makin gencar sejak awal pandemi. Saat itu semangatnya adalah agar perusahaan tetap relevan dengan kebutuhan gaya hidup masyarakat. Mart, Eats, dan Send adalah tiga layanan yang baru dirilis dalam kurun waktu tersebut. Bukan kabar burung, tapi kebetulan ketiganya merupakan vertikal bisnis yang tak terlepas dari subsidi yang besar demi akuisisi pengguna.

Traveloka Eats sudah hadir sejak 2021, telah menjangkau kota Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, Bali, dan Medan. Perusahaan merekrut armada pengantaran sendiri, selain didukung oleh armada dari Lalamove. Armada inilah yang juga diutilisasi untuk solusi Send yang baru dirilis pada awal bulan ini. Baru seumur jagung, solusi ini baru tersedia di Jabodetabek untuk pengantaran maksimal 12 km.

Namun demikian, sebenarnya ada layanan lain yang tidak memiliki keterkaitan langsung dengan bisnis akomodasi dan perjalanan di superapp Traveloka, misalnya layanan investasi emas bekerja sama dengan Pegadaian. Menurut informasi di aplikasi, mereka akan segera melengkapi opsi produk investasi dengan instrumen lainnya.

Selain produk investasi, menurut catatan DailySocial.id, selama pandemi Traveloka juga merilis solusi lainnya, yakni QuickRide yang memanfaatkan API dari Blue Bird untuk pemesanan taksi, Health untuk layanan telekonsultasi dengan dokter, dan Online Xperience Tur Visual yang dikemas dengan metode siaran langsung. Seluruh layanan di atas bisa dipastikan tidak berat dari segi investasi yang harus dikeluarkan perusahaan karena memanfaatkan API dari pihak ketiga.

Dibandingkan dengan kompetitor terdekatnya, misalnya Tiket.com dan Pegipegi, cara Traveloka membangun ekosistem layanan memang berbeda. Mereka tidak membatasi hanya pada layanan yang bersinggungan langsung dengan perjalanan dan penginapan. Lebih dari itu Traveloka mencoba menawarkan pengalaman gaya hidup yang lengkap dalam satu aplikasi. Para rivalnya masih tetap fokus untuk memperdalam layanan perjalanan dan akomodasi dengan berbagai fitur pendukungnya.

Industri pariwisata mulai rebound

Kemarin (29/9) saat pengumuman fasilitas pinjaman dari investor ternama, Co-founder & CEO Traveloka Ferry Unardi menyampaikan, bisnisnya terus mengalami peningkatan dan industri pariwisata kembali bangkit dari pandemi. Dana segar yang diterima ini nantinya akan dimanfaatkan untuk memperkuat neraca kami dan memungkinkan kami untuk terus fokus pada bisnis utama, sekaligus membangun bisnis masa depan.

Seiring dengan gencarnya vaksinasi global dan faktor lainnya, per kuartal II 2022, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat peningkatan signifikan kunjungan turis ke Indonesia mencapai 172% dibandingkan kuartal yang sama di tahun sebelumnya. Dibandingkan sebelumnya, turun 75% menjadi 4,02 juta pada 2020 dari 16,11 juta pada 2019.

Angka tersebut turun lebih jauh lagi menjadi 1,56 juta pada akhir 2021 karena pembatasan perjalanan yang lebih ketat oleh pemerintah. Menyusul pula merebaknya virus corona varian Delta pada Juli 2021.

Pandemi tersebut menjadi pukulan telak bagi industri pariwisata Indonesia. Laporan Industri Perjalanan & Pariwisata Dunia menyoroti bahwa, sebelum pandemi, industri pariwisata Indonesia menyumbang 5,9% dari total PDB negara dan mempekerjakan sekitar 13,1 juta orang pada 2019. Kontribusi itu terhenti selama pandemi. Namun, dengan pandemi COVID-19 yang menunjukkan tanda-tanda melambat, pemerintah Indonesia akhirnya mendorong untuk menghidupkan kembali sektor tersebut.

Mengutip dari Organisasi Buruh Internasional (ILO/International Labour Organisation), sektor pariwisata industri ini merupakan pendorong utama pertumbuhan ekonomi, pengembangan usaha dan penciptaan lapangan kerja, terutama bagi perempuan, pemuda, pekerja migran dan masyarakat lokal.

Sebelum krisis COVID-19, sektor pariwisata menyumbang satu dari 10 pekerjaan di seluruh dunia dan sekitar 10 persen dari PDB global. Sektor ini mempekerjakan sebagian besar perempuan dan pemuda. Pada 2019, perempuan menyumbang lebih dari 50% pekerja di sektor ini, dan mayoritas dari semua pekerja di bidang pariwisata berusia di bawah 35 tahun.

Pariwisata adalah salah satu industri yang paling terpukul oleh pandemi COVID-19 dan konsekuensinya sangat terasa di sektor informal, defisit pekerjaan yang layak juga paling menonjol. Pekerjaan informal atau kasual sering kali melibatkan perempuan, kaum muda, masyarakat adat dan suku, pekerja migran dan komunitas lokal, yang akibatnya terkena dampak secara tidak proporsional.

Application Information Will Show Up Here
Traveloka mengumumkan penerimaan fasilitas pendanaan berbentuk pinjaman sebesar $300 juta dari Indonesia Investment Authority (INA), BlackRock, Allianz Global Investors

Traveloka Terima Fasilitas Pinjaman 4,5 Triliun Rupiah, Salah Satunya dari Indonesia Investment Authority

Traveloka mengumumkan penerimaan fasilitas pendanaan berbentuk pinjaman sebesar $300 juta (lebih dari 4,5 triliun Rupiah) dari berbagai investor, di antaranya Indonesia Investment Authority (INA), BlackRock (melalui dana kredit privat yang dikelola), Allianz Global Investors, Orion Capital Asia, dan lembaga keuangan global terkemuka lainnya.

Traveloka akan memanfaatkan dana pinjaman tersebut untuk mendukung bisnis perjalanan pasca-pandemi yang diprediksi akan bounce back. Putaran pendanaan ini diklaim telah menarik minat yang signifikan dari sejumlah penyedia modal jangka panjang berkualitas tinggi, sehingga terjadi kelebihan permintaan.

Masing-masing perwakilan investor turut memberikan pernyataan resminya yang disebarkan pada hari ini (29/9). Salah satunya CEO INA Ridha Wirakusumah, ia menyampaikan dalam rangka mendukung sektor perjalanan dengan kemudahan dan akses yang tak tertandingi, agen perjalanan online (OTA) telah mengubah lanskap industri selama pandemi. Misalnya, peran OTA dalam pemesanan bruto pariwisata Indonesia saat ini meningkat dari 24% menjadi 33% pada tahun 2021, dengan harapan mencapai 36% pada tahun 2024.

“Kami percaya bahwa Traveloka adalah champion nasional dan regional Indonesia, serta merupakan katalis utama menuju digitalisasi perjalanan dan akomodasi di Indonesia dan kawasan. Investasi bersama ini dapat memungkinkan Traveloka untuk memperdalam kepemimpinannya dan menciptakan nilai bagi seluruh ekosistem perjalanan,” ucap Ridha.

Co-founder dan CEO Traveloka Ferry Unardi turut menambahkan, pihaknya sangat senang dengan bergabungnya pada pemodal dalam kelompok investor yang memiliki komitmen yang sama dan yakin pada visi Traveloka untuk memenuhi aspirasi perjalanan dan gaya hidup pengguna.

“Bisnis kami terus mengalami peningkatan dan industri pariwisata kembali bangkit dari pandemi. Pendanaan ini memberi kesempatan bagi kami untuk memperkuat neraca kami dan memungkinkan kami untuk terus fokus pada bisnis utama, sekaligus membangun bisnis masa depan,” kata Ferry.

Pada Juli kemarin, Traveloka juga dikabarkan menerima komitmen investasi dari PTT Oil and Retail Business (OR) melalui anak perusahaannya, PTTOR International Holdings Singapore. Investasi tersebut merupakan langkah besar bagi OR untuk berekspansi ke sektor perjalanan dan berusaha menjadi solusi satu atap untuk semua gaya hidup.

Tentang INA

Adapun INA merupakan lembaga pengelola investasi (sovereign wealth fund) yang didirikan pemerintah pada 2021. Lembaga ini diberi mandat untuk meningkatkan investasi guna mendukung pembangunan Indonesia yang berkelanjutan. INA telah mendapat modal dari pemerintah sebesar Rp75 triliun, terdiri dari tiga kali suntikan.

Sektor yang diincar INA paling utama adalah infrastruktur, supply chain dan logistik, infrastruktur digital, investasi hijau, healthtech, fintech, consumer, dan tourism.

Sepanjang tahun lalu, INA berhasil menyelesaikan 11 kesepakatan investasi, 4 Head of Agreement (HoA), dan menerbitkan 16 Letter of Intent (LOI)/Non-Binding Offer(NBO). Secara keseluruhan INA berhasil menjaring komitmen investasi dari berbagai investor global senilai lebih dari Rp300 triliun untuk sektor transportasi, logistik, kemaritiman, hingga infrastruktur digital.

Berdasarkan laporan keuangannya, INA berhasil membukukan laba bersih sebesar Rp231,2 miliar, peningkatan total aset dan ekuitas menjadi masing-masing Rp79,2 triliun dan Rp79,1 triliun.

Di bidang infrastruktur digital, INA menjadi anchor investor saat IPO Mitratel, anak usaha Telkom, pada November 2021. Masuknya Traveloka turut meramaikan portofolio INA di bidang tourism.

INA sendiri dipimpin oleh veteran di industri finansial, baik lokal maupun multinasional. Ridha sebelumnya adalah bankir, menjabat sebagai Direktur Utama Bank Permata, Head of Indonesia KKR & Co., dan Direktur Utama Bank Maybank Indonesia.

Application Information Will Show Up Here
PTT Oil and Retail Business (OR) mengumumkan akan berinvestasi di platform perjalanan dan layanan lokal (OTA) Traveloka/ Traveloka

Traveloka Segera Bukukan Investasi dari Perusahaan Thailand

PTT Oil and Retail Business (OR) mengumumkan akan berinvestasi di platform perjalanan dan layanan lokal (OTA) Traveloka. Kesepakatan itu akan dilakukan melalui anak perusahaannya, PTTOR International Holdings Singapore.

Dari keterangan resmi seperti dikutip dari Asia Tech Daily, investasi tersebut merupakan langkah besar bagi OR untuk berekspansi ke sektor perjalanan dan berusaha menjadi solusi satu atap untuk semua gaya hidup.

Kolaborasi ini juga merupakan langkah positif dalam melanjutkan misi Traveloka untuk memenuhi aspirasi penggunanya dan memungkinkan lebih banyak mitra merchant dapat berkembang.

Menurut presiden dan CEO OR Jiraphon Kawswat, sektor perjalanan merupakan area fokus OR karena pariwisata adalah salah satu kontributor ekonomi utama bagi perekonomian Thailand. Sektor ini mempekerjakan sebagian besar penduduk Thailand dan banyak UKM Thailand juga bergantung pada segmen ini.

Seperti diketahui, sektor perjalanan di Thailand dan Asia Tenggara telah menikmati tingkat pertumbuhan yang tinggi sebelum pandemi Covid-19 dan diperkirakan akan pulih dengan cepat setelah pelonggaran pembatasan perjalanan dan pemulihan permintaan perjalanan.

Dia menambahkan, kolaborasi antara OR dan Traveloka akan memberikan solusi gaya hidup tambahan kepada pelanggan. Langkah ini strategis dengan ambisi perusahaan untuk menjadi solusi satu atap untuk semua gaya hidup. OR meramalkan banyak peluang dan kemungkinan yang dapat kedua perusahaan wujudkan dari kerja sama ini.

“Kemitraan ini tidak hanya dapat memberikan peluang baru untuk OR di sektor perjalanan, tetapi juga dapat menyediakan tempat tambahan bagi mitra dan aliansi bisnis OR yang ada untuk tumbuh bersama dengan OR dan untuk memberikan penawaran dan pengalaman yang lebih besar kepada pelanggan OR,” ujar Kawswat.

Dia melanjutkan, “Dengan memerhatikan posisi Traveloka sebagai platform online terkemuka untuk perjalanan dan layanan lokal di Asia Tenggara dan kemampuan teknologinya yang kuat, saya yakin ada berbagai bidang OR yang dapat dijelajahi bersama dengan Traveloka untuk lebih meningkatkan kemampuan teknologi kami.”

Co-founder dan CEO Traveloka Ferry Unardi menyampaikan, perusahaan melihat nilai yang sangat besar dari kolaborasi ini karena Traveloka melihat Thailand tumbuh dengan pesat, yang mengarah pada peluang yang lebih besar di industri pariwisata ini.

“Kami sangat senang bekerja dengan OR, dengan keahliannya dalam menciptakan bisnis yang hebat dengan pendekatan yang berfokus pada pelanggan, untuk menangkap permintaan dan memberikan solusi yang ditingkatkan kepada pelanggan kami, sambil juga menciptakan peluang baru bagi mitra pedagang kami di Thailand”, kata Ferry.

Sebelumnya, ambisi Traveloka untuk garap pasar Thailand cukup tinggi terlihat dari pendirian mendirikan Trex Ventures, perusahaan patungan dengan SCB 10X pada Maret 2021. Sayangnya, perusahaan tersebut tutup operasional pada 20 Desember 2021.

Saat peluncurannya, ambisi yang ingin ditawarkan dari Trex Ventures adalah memanfaatkan platform perbankan terkemuka di pasar SCB dan kemampuan digital Traveloka untuk menawarkan produk keuangan yang inovatif untuk masing-masing pengguna kedua perusahaan di Thailand.

Menjadi superapp gaya hidup

Semenjak pandemi, Traveloka kini menjelma menjadi superapp gaya hidup agar tetap relevan sembari menanti industri perjalanan dan pariwisata pulih akibat pandemi Covid-19. Setelah masuk ke layanan food delivery hingga healthtech, startup dengan valuasi ~$3 miliar tersebut kini masuk ke layanan online grocery lewat brand Traveloka Mart. Menu “Mart” saat ini bisa dijumpai di aplikasi.

Fitur tersebut memampukan pengguna Traveloka untuk membeli kebutuhan sehari-hari, seperti produk segar dan makanan beku. Untuk mengakomodasi kebutuhan ini, Traveloka telah bermitra dengan beberapa perusahaan peritel besar, termasuk Lotte Mart.

Sebelumnya, Traveloka meluncurkan halaman direktori untuk restoran, Kuliner Traveloka pada 2018. Kemudian, Xperience pada 2019 yang memiliki sekitar 15.000 kegiatan di lebih dari 60 negara, mencakup acara, film, hingga lokakarya. Selain itu, Traveloka juga merambah ke sektor healthtech dengan menghadirkan telekonsultasi dan layanan tes PCR dan antigen.

Application Information Will Show Up Here
Traveloka Healthtech Telemedis

Menjadi Superapp Gaya Hidup, Kini Traveloka Punya Fitur Telemedis hingga Investasi

Traveloka kini telah berubah menjadi superapp yang memfokuskan pada pemenuhan gaya hidup. Sesuai dengan jargon yang digunakan, superapp identik dengan sebuah aplikasi yang menggabungkan berbagai jenis layanan dalam satu platform. Selain mengembangkan sendiri, biasanya mereka juga melakukan kemitraan strategis dengan startup atau perusahaan lain.

Hadir sebagai layanan online travel agency, varian produk Traveloka kini diperluas dengan kehadiran berbagai kategori baru. Teranyar, mereka masuk juga di bidang healthtech dengan menghadirkan sejumlah layanan, termasuk telemedis alias jasa konsultasi dokter secara virtual. Untuk layanan ini, mereka memiliki entitas bisnis tersendiri yang bernaung di PT Nawanusa Medika Teknologi.

Fitur telemedis merupakan satu dari beberapa layanan yang terdapat pada menu “Health” di aplikasi Traveloka. Selain itu ada layanan medical check-up, perawatan gigi, dan fasilitas kesehatan lainnya – sebagian besar Traveloka berperan sebagai perantara untuk registrasi pasien, booking, dan pembayaran.

Tampilan laman awal fitur telemedis Traveloka
Tampilan laman awal fitur telemedis Traveloka

Selain kesehatan, layanan baru bermunculan di kategori finansial. Teranyar, mereka kini miliki layanan investasi emas, bekerja sama dengan Pegadaian. Selain itu, fitur marketplace asuransi (insurtech) di dalamnya juga terus diperluas dengan menjangkau lebih banyak produk. Lagi-lagi, dasarnya adalah ambisi mereka untuk menjadi aplikasi super yang memenuhi tuntutan gaya hidup masyarakat masa kini.

Strategi bertahan di tengah pandemi

Berbagai pembatasan yang dilakukan di banyak negara untuk menghentikan persebaran Covid-19 tentu berdampak langsung pada industri akomodasi dan transportasi, tak terkecuali OTA. Menurut data, di tahun 2020 terjadi penurunan nilai pasar hingga 20%. Tahun 2019 bisnis OTA berhasil membukukan nilai $744,7 miliar, sementara di tahun 2020 menurun jadi $595,8 miliar.

Pun demikian di Indonesia, PPKM yang digencarkan pemerintah membatasi penggunaan berbagai transportasi publik, seperti kereta, pesawat, dan lain-lain. Bahkan ada larangan untuk melakukan tradisi mudik – sampai memangkas hari libur untuk mengurangi mobilitas masyarakat. Sementara momen-momen tersebut biasanya menjadi “panen raya” bagi penyedia platform OTA.

“Tidak dapat dipungkiri bahwa Traveloka sangat terpengaruh dengan pandemi Covid-19. Bisnis kami berada di titik terendah yang belum pernah terjadi sejak kami pertama kali berdiri. Namun, kami selalu percaya bahwa Traveloka akan bangkit kembali dengan adanya penyesuaian strategi bisnis secara cepat,” ujar Co-founder & CEO Ferry Unardi ketika mengumumkan perolehan pendanaan baru $250 juta atau setara 3,6 triliun Rupiah pada Juli 2020 lalu.

Bertahan melalui aktivitas dan finansial

Tahun lalu, ketika kegiatan perjalanan harus dibatasi Traveloka memilih untuk mengoptimalkan fitur Xperience yang berada di aplikasi. Mereka menyajikan berbagai aktivitas online, mulai dari tur virtual, workshop, hingga kelas online. Beberapa waktu kemudian, mereka mantap masuki bisnis food delivery dengan TravelokaEats – bermodal direktori lokasi makan yang ada di basis datanya, kemudian diperkuat dengan merekrut mitra-mitra untuk pemesanan dan pengantaran. Selain itu, mereka juga sudah memiliki infrastruktur mendasar lainnya, yakni: fintech.

“Upaya lain yang kami lakukan adalah untuk menemukan cara baru agar bisa memberikan layanan kepada pengguna menyesuaikan perubahan customer saat ini. Salah satunya adalah ekspansi layanan lokal dan layanan fintech,” kata President Traveloka Caesar Indra dalam sebuah kesempatan.

Untuk layanan fintech, saat ini Traveloka tengah gencar dengan produk paylater mereka. Selain di ekosistem aplikasi milik sendiri, produk pembayaran tersebut kini mulai diaplikasikan ke platform lain seperti e-commerce. Selain itu, beberapa fitur seperti Instant Debit dan Co-Brand Credit Card juga menjadi andalan – dinilai lebih cocok untuk menunjang gaya hidup kekinian. Sementara untuk uang elektronik mereka memilih bermitra dengan UANGKU milik PT Smartfren Telecom Tbk.

Ekosistem layanan

Per hari ini (30/11), setidaknya ada 46 fitur layanan yang bisa diakses melalui aplikasi Traveloka. Jika dikelompokkan lebih lanjut, saat ini Traveloka mengakomodasi beberapa kategori layanan, meliputi transportasi, akomodasi, perlengkapan, aktivitas, pembayaran, tagihan, asuransi, investasi, makanan, dan lain-lain. Kendati demikian, nuansa yang dihadirkan dalam aplikasi memang masih menonjolkan sebagai sebuah OTA – fitur-fitur baru di luar travel dan akomodasi belum terlalu ditonjolkan.

Ekosistem layanan di aplikasi Traveloka / DailySocial.id
Ekosistem layanan di aplikasi Traveloka / DailySocial.id

Peluasan ekosistem layanan ini jelas menjadi bagian dari strategi agar Traveloka tetap bisa mendapatkan traksi maksimal, karena pada dasarnya pandemi belum sepenuhnya hilang. Terlebih beberapa aksi strategis akan digalakkan, salah satunya mengenai rencana go-public.

Sebelumnya berhembus kabar Traveloka akan membuat kesepakatan dengan Bridgetown Holdings Ltd. untuk SPAC. Namun baru-baru ini, tersiar informasi bahwa dewan direksi Traveloka memutuskan untuk tidak melanjutkan langkah tersebut. Alasannya kurang lebih sama dengan MNC, karena antusiasme SPAC telah berkurang seiring tingginya frekuensi di pasar. Perusahaan kemungkinan akan menjajaki proses IPO tradisional, tetap di bursa AS, menurut sumber Bloomberg.

Di sisi lain, Traveloka juga menggencarkan investasinya ke startup lain – yang dinilai akan memiliki potensi untuk bersinerginya. Tercatat sepanjang 2021 mereka telah berinvestasi ke Member.id, Sirclo, dan PouchNATION.

Menjadi lifestyle superapp memang pilihan yang cukup relevan, karena secara fundamental sebagai OTA ekosistem layanan yang sudah ada ditujukan [salah satunya] untuk pemenuhan gaya hidup. Maka tugas selanjutnya adalah memperluas cakupan fitur agar mampu menghadirkan pelayanan secara menyeluruh.

Application Information Will Show Up Here

Menempati Posisi Tertinggi: Mengungkap Seluk Beluk Bisnis Traveloka (Bagian 2 dari 2)

Bagian 1 menyajikan perjalanan awal Traveloka serta perkembangannya mulai dari pilihan tiket penerbangan menjadi banyak hal diluar itu.

Adalah momen yang pasang surut bagi petinggi Traveloka.

Pada tahun 2018, Derianto Kusuma mengundurkan diri dari posisinya sebagai Chief Technology Officer dan meninggalkan perusahaan dengan alasan “benturan aspirasi.”

Kemudian, pembatasan perjalanan pada tahun 2020 menyebabkan pemesanan dihentikan selama pandemi, yang membahayakan kelangsungan hidup perusahaan. Traveloka harus merumahkan sekitar 100 orang, atau sekitar 10% dari tenaga kerjanya, pada bulan April. Pada bulan Agustus, total pengembalian dana mencapai hampir 100 juta dolar AS. Namun, perputaran cepat ke layanan baru menawarkan jalan hidup, dan Traveloka mampu melakukannya sebagai sebuah perusahaan.

Saat ini, Ferry Unardi masih memimpin sebagai CEO, dengan Albert tetap menjadi bagian dari dewan dan mengawasi operasional sehari-hari sebagai salah satu pendiri perusahaan. Petinggi senior lainnya termasuk mantan konsultan BCG, Caesar Indra, presiden; pengusaha kawakan Alfan Hendro, COO; dan CTO, Ray Frederich, dengan pengalaman sekitar 20 tahun di perusahaan teknologi dan perusahaan konsultan global.

Pandemi belum berakhir, tetapi Traveloka telah membuktikan bahwa mereka dapat melewati situasi yang mengombang-ambingkan bisnis di berbagai skala. Para petinggi mengatakan perusahaan kini bangkit menjadi “lebih kuat” daripada sebelum virus korona menjangkit seluruh penjuru, dan bersiap untuk “simbol ticker” dalam beberapa bulan mendatang.

Bertahan lalu bangkit

Pada tahun 2020, ketika pemesanan perjalanan meredup dalam semalam dan pengembalian dana menggunung, Traveloka membutuhkan uang tunai — secepat mungkin. Memanfaatkan salah satu layanan tekfinnya, perusahaan memulai kampanye “Beli Sekarang, Menginap Nanti”, di mana pengguna dapat membayar voucher hotel dan menggunakannya di kemudian hari. Traveloka Xperience menyelenggarakan aktivitas online seperti kelas memasak dengan chef profesional. Live streaming flash sale dan tur secara langsung menyuguhkan distraksi menyenangkan bagi orang-orang yang terkurung di rumah, bisa jadi menanam ide untuk tujuan liburan ketika perjalanan internasional kembali diizinkan.

Semua inisiatif itu membuat Traveloka bertahan di saat-saat genting. Sekarang, dengan pelonggaran lockdown di Asia Tenggara, lalu lintas platform meningkat ke situasi sebelum pandemi.

Lebih luas lagi, bisnis inti perusahaan, perjalanan, berangsur-angsur pulih. Volume transaksi Traveloka sekarang berada di angka 50%, menurut kepala komunikasi korporat Traveloka, Reza Juniarshah.

Traveloka tetap gesit di tahun 2020 ketika transaksi terkikis. Mereka menawarkan berbagai produk baru untuk mempertahankan arus kas masuk. Dokumentasi oleh Traveloka.

“Sejak Juli tahun lalu, pemulihan terjadi secara konsisten di semua pasar kami, terutama di Thailand, Vietnam, dan Indonesia. Dengan keberhasilan penerapan langkah-langkah pengelolaan COVID-19 di Thailand dan Vietnam, kepercayaan konsumen terhadap perjalanan semakin meningkat. Di Indonesia, perjalanan domestik sedang meningkat, terutama dengan lonjakan tren staycation yang secara bertahap berkontribusi pada pemulihan sektor pariwisata Indonesia,” sebut Reza.

Berhasil melewati pandemi dan bangkit kembali dalam beberapa bulan terakhir telah membawa angin segar bagi Traveloka. Perusahaan ini adalah salah satu dari sedikit pembangkit tenaga teknologi Asia Tenggara yang bersaing untuk IPO di New York pada tahun 2021. Awal tahun ini, Ferry mengatakan kepada Bloomberg bahwa perusahaan sedang meninjau jalur untuk go public. Investor awal mereka, Willson Cuaca, co-founder dan managing partner East Ventures, menyambut baik rencana ini. Rekam jejak perusahaan melalui pandemi membuktikan bahwa Traveloka cukup dewasa untuk melihat sahamnya diperdagangkan secara publik, menurut Willson.

Bersiap melantai di bursa

“Traveloka sudah siap untuk go public tahun ini dan 2021 adalah waktu yang tepat. Respons mereka terhadap krisis berhasil dengan baik sejak tahun lalu. Pada akhir tahun 2020, mereka telah mencapai profitabilitas dan seiring dengan pemulihan dunia setelah vaksinasi, saya yakin Traveloka juga berada dalam posisi yang baik untuk pulih dengan kuat,” ujar Willson. Traveloka saat ini memiliki valuasi pasar sekitar USD 3 miliar, tetapi Willson percaya bahwa angkanya “harus bernilai jauh lebih tinggi daripada yang diperkirakan”.

Herston Powers dari 1982 Ventures juga percaya bahwa tahun 2021 merupakan waktu yang tepat bagi Traveloka untuk mencatatkan sahamnya di pasar publik. Dengan profit yang berhasil dicetak perusahaan serta kinerja saham Sea Group sebagai pedoman, mungkin tidak ada waktu yang lebih baik dari tahun ini bagi Traveloka dan perusahaan teknologi Asia Tenggara lainnya untuk hijrah ke Wall Street.

“Jendela terbuka lebar dan perusahaan punya beberapa jalur menuju bursa, seperti IPO tradisional, SPAC, atau mendaftar langsung. Kami khawatir bursa IPO akan ditutup sebelum kami melihat gelombang keluar yang berarti dari wilayah tersebut,” ujar Herston.

Herston menambahkan bahwa investor AS bertaruh pada perjalanan global dan hospitality untuk bisa meningkat pesat. “IPO dan kinerja saham Airbnb menunjukkan minat investor di sektor ini, dan kami berharap antusiasme ini menyebar ke Asia Tenggara dan Asia Selatan. Konsumen di pasar negara berkembang yang berkembang pesat, seperti Indonesia, telah terbiasa dengan perjalanan dan rekreasi, dan tren ini tidak akan berhenti meskipun sempat terhenti sejenak di awal pandemi.”

Traveloka telah mengumpulkan total USD 1,2 miliar dalam enam putaran, menurut Crunchbase. Jumlah ini termasuk JD.com, Sequoia Capital, dan Hillhouse Capital Group sebagai investor. Pada 2018, perusahaan unicorn ini diam-diam mengakuisisi tiga saingannya — PegiPegi di Indonesia, Mytour di Vietnam, dan TravelBook di Filipina — dari perusahaan Jepang Recruit Holdings seharga USD66,8 juta. Langkah ini memberi Traveloka pijakan yang kuat di Asia Tenggara dan sekarang memimpin industri OTA di wilayah tersebut.

Perusahaan juga telah melakukan investasi di beberapa startup regional, seperti platform insurtech PasarPolis serta platform loyalitas dan pemasaran Member.id di Indonesia, perusahaan teknologi acara PouchNation Singapura, dan pengembang perangkat lunak POS Vietnam KiotViet. Traveloka adalah salah satu dari dua unicorn Indonesia yang memiliki kehadiran kuat di kawasan ini (yang lainnya adalah Gojek), menyematkan prestise ketika menuju ke bursa.

“Momentum sangat penting bagi Traveloka, karena pasar modal adalah tentang waktu. Anda membutuhkan investor institusional untuk berada dalam mode berisiko. Jika pasar ambruk, tidak ada yang akan keluar untuk IPO,” sebut Herston. “Di luar koreksi pasar besar atau pandemi lainnya, kami sangat optimis terhadap prospek Traveloka sebagai perusahaan terbuka.”

Traveloka dikabarkan telah mengadakan diskusi dengan beberapa perusahaan cek kosong, termasuk entitas yang baru dibentuk seperti Bridgetown Holdings dan Provident Acquisition. Namun, perusahaan belum mengungkapkan detail persiapan IPO-nya. Para petinggi Traveloka mengungkapkan optimismenya terhadap masa depan perusahaan dalam berbagai kesempatan. Berhasil melewati pandemi yang relatif tanpa cedera adalah pencapaian penting. Sekarang, perusahaan tersebut harus membuktikan bahwa mereka cukup dewasa untuk mengikuti jalur yang pertama kali dibuka oleh Sea Group Singapura dan hijrah ke New York.


Artikel ini pertama kali dirilis oleh KrASIA. Kembali dirilis dalam bahasa Indonesia sebagai bagian dari kerja sama dengan DailySocial

Menempati Posisi Tertinggi: Mengungkap Seluk Beluk Bisnis Traveloka (Bagian 1 dari 2)

Sepuluh tahun lalu, Ferry Unardi adalah seorang mahasiswa di Harvard Business School. Berasal dari Padang, sebuah kota di Sumatera Barat, Ferry kerap kesulitan ketika ingin melakukan penerbangan dari kampung halamannya ke Amerika Serikat.

Prosesnya sangat rumit. Untuk pulang, Ferry memesan penerbangan untuk membawanya dari Boston ke Jakarta. Ketika sampai di ibu kota Indonesia dia baru bisa membeli tiket tambahan untuk kembali ke Padang, ungkapnya pada majalah Prestige di tahun 2018. Rumit, memakan waktu, dan sulit untuk direncanakan.

Frustrasi dengan masalah yang harus dia hadapi sebagai frequent flyer antara Amerika Serikat dan Indonesia selama sekitar delapan tahun, Ferry memutar otak kewirausahaannya dan mulai mencari solusi, percaya bahwa ini bisa menjadi sebuah bisnis. Dia bekerja sama dengan mantan rekannya bernama Derianto Kusuma, serta seorang teman lama dari sekolah bernama Albert (hanya Albert). Ferry meninggalkan Harvard. Setahun kemudian, ketiganya resmi mendirikan Traveloka di Jakarta.

Nama perusahaan adalah gabungan kata dari bisnis utamanya dan loka, kata Sansekerta yang berarti “dunia” atau “alam semesta”. Seorang juru bicara perusahaan mengatakan Traveloka dimaksudkan untuk diartikan secara harfiah sebagai “dunia perjalanan”.

Sampai ke tahun 2021. Traveloka telah menjadi biro perjalanan online terbesar di Indonesia. Aplikasinya telah diunduh lebih dari 60 juta kali, dan platform ini memiliki sekitar 40 juta pengguna aktif bulanan. Perusahaan juga mengatakan memiliki lebih dari 150 maskapai penerbangan rekanan dengan total 200.000 rute penerbangan internasional dan domestik. Selain itu, lebih dari 800.000 hotel, vila, dan wisma di 100 negara terdaftar.

Valuasi Traveloka kini disinyalir mencapai USD3 miliar. Tahun ini, Ferry berencana membawa Traveloka ke pasar saham AS, kemungkinan melalui merger SPAC untuk menghindari proses IPO konvensional. Sebelum itu terjadi, berikut merupakan seluk beluk yang perlu Anda ketahui tentang perusahaan.

Pencapaian Traveloka

Mari menganalogikan Traveloka sebagai Expedia di Asia Tenggara. Daftarnya mencakup hampir setiap elemen perjalanan – penerbangan, hotel, atraksi, dan aktivitas. Pengguna dapat menyesuaikan dan membayar seluruh rencana perjalanan dalam platform. Layanannya mencakup Indonesia, Malaysia, Filipina, Thailand, Singapura, Vietnam, dan Australia.

Traveloka dimulai sebagai situs pencarian dan perbandingan tiket penerbangan, yang secara fungsional mengotomatiskan sebagian tugas agen perjalanan yang Ferry pesan ketika masih di Harvard. Dengan limpahan uang tunai dari East Ventures pada tahun 2012 – beberapa tahun sebelum startup “booming” di Indonesia – ketiga pendiri membangun situs ini. Tidak lama kemudian mereka menyadari bahwa pelanggan menginginkan lebih dari sekedar hasil pencarian. Ada komponen utama yang hilang: jika orang bisa memesan tiket pesawat dan membayar tiketnya hanya dengan beberapa klik, Traveloka bisa benar-benar menjadi biro perjalanan online. Kuncinya adalah kenyamanan yang belum tersedia sebelumnya.

Transformasi itu terjadi pada 2013, namun timnya tidak berhenti sampai di situ. Tahun berikutnya, Traveloka menambah vertikal pemesanan hotel dan meluncurkan aplikasi untuk Android dan iOS. Hal ini sejalan dengan pergeseran kebiasaan di Indonesia – ponsel menjadi hal lumrah, dan orang-orang mulai mengarah ke online. Traveloka bersiap melayani para pelanggan muda yang lebih nyaman membeli melalui perangkat pribadi.

Namun Traveloka telah berkembang jauh melampaui dua suku kata pertama dari namanya. Perusahaan telah terjun ke industri fintech, memastikan bahwa pelanggannya memiliki jalur untuk membayar apa yang dijual Traveloka. Lalu, hal ini menjadi penting untuk memfasilitasi transaksi besar dalam skala massal dari hari ke hari.

Perusahaan dilaporkan mengakuisisi perusahaan pembayaran digital lokal Dimo ​​Pay pada tahun 2018, namun pihaknya masih belum mengakui perannya dalam kesepakatan tersebut. Bagaimanapun, Traveloka merilis fitur PayLater tidak lama kemudian, yang dikembangkan bersama dengan pemberi pinjaman peer-to-peer Danamas. Saat itu, Traveloka adalah perusahaan (bukan fintech) pertama di Indonesia yang memasuki layanan “beli sekarang, bayar nanti”. Langkah tersebut memastikan Traveloka mampu menarik pengguna baru yang bukan nasabah lembaga keuangan formal dan konvensional.

“Kami memulai fintech untuk memfasilitasi pemesanan perjalanan oleh konsumen di Indonesia yang mungkin tidak memiliki kartu kredit atau uang tunai untuk membayar penuh dalam pemesanan perjalanan. Karena banyak pelanggan kami menggunakan aplikasi untuk berbagai transaksi, kami percaya bahwa pendapat pengguna yang kami peroleh memungkinkan kami untuk mengelola penawaran pinjaman kami dengan tepat,” Kepala Komunikasi Korporat Traveloka, Reza Juniarshah mengatakan kepada KrASIA. Perusahaan telah memfasilitasi lebih dari 6 juta pinjaman melalui layanan tersebut, sebutnya. Dan tidak hanya sampai di situ: Traveloka menjalin kemitraan dengan Bank BRI pada 2019, dan keduanya merilis kartu kredit yang dirancang untuk pengguna terdaftarnya. Tahun lalu, Traveloka menjalin kerja sama serupa dengan Bank Mandiri.

Dibalik tingginya valuasi perusahaan

Traveloka menyandang status unicorn pada Juli 2017, ketika mengantongi investasi sebesar USD350 juta dari Expedia, perusahan yang menjadi inspirasi awal Ferry. Daftar pendukungnya juga termasuk Global Founders Capital, GIC sovereign wealth fund Singapura, dan Qatar Investment Authority.

Saat ini, nilai perusahaan ditentukan oleh diversifikasinya, tetapi Traveloka memiliki banyak pesaing saat memasuki arena baru fintech. “Traveloka tidak unik dalam mencoba menangkap nilai peluang fintech di Asia Tenggara. Setiap raksasa teknologi dan perusahaan jasa keuangan tradisional semakin serius tentang strategi fintech mereka karena potensi pasarnya sangat besar, dan kami ikut mengawali sektor ini di kawasan,” kata Herston Powers, mitra pengelola dari 1982 Ventures, yang berinvestasi di perusahaan rintisan fintech dan teknologi perjalanan.

Dengan demikian, pergerakan ini dapat memulai fase baru konsolidasi di Asia Tenggara. Dengan semakin banyaknya perusahaan yang memasuki dunia fintech, akan ada peluang baru bagi startup fintech untuk menjalin hubungan dengan pemain mapan dan mencari jalan keluar melalui merger dan akuisisi, kata Powers.

Inovasi baru telah memperluas jangkauan Traveloka. Pada 2019, jajaran asuransi perusahaan Traveloka Protect diluncurkan. Hal itu menginisiasi program asuransi kesehatan syariah yang disebut Bebas Handal untuk pelanggan Muslim bersama FWD Group yang berbasis di Hong Kong.

Fintech mungkin terbukti menjadi ruang tahan bencana di mana Traveloka dapat tumbuh lebih dalam lagi. Ke depannya, perusahaan berniat fokus di sektor ini. Dalam wawancara dengan KrASIA tahun lalu, salah satu pendiri, Albert, mengatakan Traveloka akan memperluas penawaran fintechnya “secara vertikal dan geografis”. Perusahaan juga dikabarkan sedang mempersiapkan layanan keuangan lokal untuk Thailand dan Vietnam. Baru-baru ini mereka membentuk usaha patungan dengan salah satu bank terbesar di Thailand untuk pengembangan fintech baru, meskipun detailnya belum terungkap.

Mengungguli fintech

Sebagai investor awal, Managing Partner East Ventures, Willson Cuaca optimis dengan status Traveloka sebagai perusahaan multi-vertikal yang sedang berkembang sebagai perusahaan multinasional. “Traveloka memperkenalkan produk ‘beli sekarang, bayar nanti’, kartu kredit, dan pembayaran digital kepada pelanggannya sejak dua tahun lalu. Platformnya sudah matang dan maju, oleh karena itu inilah saat yang tepat untuk memperluas layanan keuangan ke Vietnam dan Thailand,” ujsr Willson.

Selain fintech, Traveloka juga merambah ke layanan gaya hidup dan hiburan. Juga meluncurkan halaman untuk direktori restoran, Kuliner Traveloka, pada tahun 2018. Sub-merek bernama Xperience diluncurkan pada tahun 2019. Terdapat sekitar 15.000 kegiatan di lebih dari 60 negara, mencakup acara, film, serta kelas khusus dan lokakarya.

Layaknya platform besar lainnya yang telah memberikan kemudahan untuk memesan makanan hanya dengan beberapa sentuhan di aplikasi, Traveloka Eats kini menawarkan layanan pengantaran untuk beberapa lokasi, meskipun belum begitu menguasai pangsa pasar Grab Food dan GoFood Gojek, keduanya semakin populer di Asia Tenggara. Namun, Traveloka sedang berusaha untuk menjadi aplikasi yang mencakup semua layanan perjalanan dan gaya hidup di wilayah ini, dan pivot yang dilakukan telah mengakselerasi perusahaan dalam melalui rintangan perjalanan internasional di tahun 2020.


Artikel ini pertama kali dirilis oleh KrASIA. Kembali dirilis dalam bahasa Indonesia sebagai bagian dari kerja sama dengan DailySocial

Traveloka Drops Strong Signal to Go Public on The New York Stock Exchange

Traveloka’s plan to go public on the stock exchange is getting obvious. In an interview with Bloomberg, Traveloka’s Co-Founder & CEO Ferry Unardi said, after going through his most difficult period at the beginning of the Covid-19 pandemic, this year is the right time for companies to go public. He believes that the company’s current state is great and the market is quite welcoming.

He said Traveloka’s business model has a clear profit path. Currently, its main business (travel and accommodation) is claimed to be profitable, while continuing to explore other business models, such as fintech. One of Traveloka’s focuses is providing paylater services.

He also implied that the company has been prepared to go public this year. Ferry has mentioned that Traveloka is to go public on the New York Stock Exchange (NYSE), then the local stock exchange.

The SPAC scheme may be an option due to its efficiency in terms of time. He emphasized that companies like Traveloka need an agile approach, therefore, they can focus on executing business growth post going public.

Previously, a Bloomberg source said Traveloka had chosen JPMorgan Chase & Co. as a strategic partner to explore potential IPOs on the NYSE. In addition, a Reuters source said, several blank check companies were in discussion to help with this process, including Provident Acquisition, COVA Acquisition, and Bridgetown Holdings.

SPAC is becoming a startups’ choice to go public on the NYSE. In a simple way, a blank check company that already goes public will conduct M&A on startups in need to go public on the stock exchange, therefore the startup is automatically listed on the exchange (direct listing). The process is faster, it can be within weeks as it doesn’t require a complex financial reporting process like the traditional IPO.

Traveloka is a leading regional OTA platform that is available in 6 Southeast Asian countries and Australia.

Is it the right momentum?

The pandemic had stopped the OTA business globally. Traveloka transaction volume was seriously affected. Ferry claims, the company started to climb back up in July 2020, and the transaction volume has getting recovered, reaching 50% pre-Covid-19, making their core business profitable.

Last year, Traveloka has secured new funding of $250 million or the equivalent of 3.6 trillion Rupiah. In order to raise the fund, Traveloka’s valuation is estimated to drop to $2.75 billion (nearly 40 trillion Rupiah). This down round action was taken because the company’s business was hit by Covid-19 and experienced a decrease in service traction.

There are some risk mitigation acts as the impact of Covid-19, one of which was performing business and operational efficiency. The company reportedly made a significant number of employee layoffs. Domestic travel is being optimized to maximize sales potential amid the relaxing massive social restrictions implemented in many regions.

It becomes an interesting question, after the business dropping and conditions are yet to fully recovered (especially in the travel industry), is this the right time for an IPO? What is clear is that Traveloka’s IPO plan has been revealed since before the pandemic. At the end of 2019, Ferry said that the startup is to perform an IPO in the next 2-3 years.

We had a chance to talk with Traveloka’s early investors, Willson Cuaca, Managing Partner of East Ventures and EV Growth, regarding the startup’s IPO process. He said that the pandemic will not affect the IPO plans. He said Indonesia’s startup current situation is quite ready.

“Whether there is a pandemic or not, the IPO is about time. For example, Tokopedia is 11 years old, Traveloka 8 years old, and others. Besides, monetization has getting visible, many have started to be profitable, the roadmap is getting clear, it’s only a matter of means. However, due to the pandemic, the government has issued more initiative. [..] It can accelerate the opportunity for IPO,” Willson explained.

Apart from East Ventures and EV Growth, Traveloka is also supported by some other investors, such as GIC, Expedia Group, and Rocket Internet. The company’s valuation is estimated at $3 billion and they want to go public on the stock exchange with a market capitalization of $4-6 billion.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian
Header: Depositphotos.com

Co-Founder & CEO Traveloka Ferry Unardi mengatakan, setelah melewati masa tersulitnya, tahun ini menjadi waktu yang tepat bagi perusahaan melakukan IPO

Traveloka Beri Sinyal Kuat Melantai di Bursa Saham New York Tahun Ini

Rencana Traveloka melantai di bursa semakin terang terbaca. Dalam wawancara bersama Bloomberg, Co-Founder & CEO Traveloka Ferry Unardi mengatakan, setelah melewati masa tersulitnya di awal Covid-19, tahun ini menjadi waktu yang tepat bagi perusahaan untuk go public. Ia meyakini kondisi perusahaan sudah siap dan pasar juga dinilai akan menyambut baik.

Ia mengatakan model bisnis Traveloka sudah memiliki jalur profit yang jelas. Untuk sekarang, bisnis utama mereka (travel dan akomodasi) diklaim sudah mendapatkan profit, sembari terus mengeksplorasi model bisnis lain, seperti fintech. Salah satu fokus Traveloka menghadirkan layanan paylater.

Secara implisit tahun ini persiapan go public sudah diagendakan perusahaan. Ferry sudah menyebut Traveloka akan terlebih dulu melantai di bursa saham New York (NYSE), kemudian menyusul di bursa lokal.

Mekanisme SPAC kemungkinan menjadi pilihan karena efisiensi di sisi waktu. Ia menekankan perusahaan seperti Traveloka butuh pendekatan gesit, agar segera fokus ke eksekusi pertumbuhan bisnis pasca go public.

Sebelumnya sumber Bloomberg menyebutkan Traveloka telah memilih JPMorgan Chase & Co. sebagai mitra strategis untuk mengeksplorasi potensi IPO di NYSE. Sebelumnya sumber Reuters menyebutkan, beberapa perusahaan cek kosong (blank check company) tengah berdiskusi untuk membantu proses ini, di antaranya Provident Acquisition, COVA Acquisition, dan Bridgetown Holdings.

SPAC makin menjadi pilihan bagi startup melantai di NYSE. Secara sederhana, perusahaan cek kosong yang sudah go public akan melakukan M&A terhadap startup yang ingin melantai di bursa, sehingga secara otomatis startup tersebut langsung terdaftar di bursa (direct listing). Prosesnya lebih cepat, bisa dalam hitungan minggu, karena sudah tidak ada lagi proses pelaporan finansial yang kompleks seperti tahapan IPO tradisional.

Traveloka adalah platform OTA regional terdepan yang sudah hadir di 6 negara Asia Tenggara dan Australia.

Apakah akan jadi momentum terbaik?

Pandemi sempat menghentikan bisnis OTA secara global. Volume transaksi Traveloka pun sempat terdampak serius. Ferry mengklaim, perusahaan mulai merangkak kembali di bulan Juli 2020 dan kini volume transaksi mulai pulih, menyentuh angka 50% pra-Covid-19, membawa core business mereka jadi profitable.

Tahun lalu Traveloka juga membukukan pendanaan baru senilai $250 juta atau setara 3,6 triliun Rupiah. Untuk mendapatkan suntikan dana tersebut, valuasi Traveloka diestimasi turun menjadi $2,75 miliar (hampir 40 triliun Rupiah). Aksi down round ini diambil karena bisnis perusahaan yang terpukul akibat Covid-19 dan mengalami penurunan traksi layanan.

Beberapa hal dilakukan sebagai langkah mitigasi dampak akibat Covid-19, salah satunya dengan melakukan efisiensi bisnis dan operasional. Perusahaan dikabarkan melakukan lay off pegawai dengan jumlah signifikan. Perjalanan domestik juga terus dioptimalkan untuk memaksimalkan potensi penjualan di tengah pelonggaran setelah pembatasan sosial besar-besaran yang dilakukan di banyak daerah.

Menjadi pertanyaan menarik, setelah bisnis dihantam dan kondisi belum sepenuhnya baik (khususnya di industri perjalanan), apakah ini menjadi waktu yang tepat untuk IPO? Yang jelas rencana IPO Traveloka sudah mulai diungkapkan sejak sebelum pandemi. Di sebuah kesempatan pada akhir tahun 2019, Ferry menyebutkan IPO akan dilakukan startupnya dalam 2-3 tahun mendatang.

Kami sempat berbincang dengan investor awal Traveloka, Willson Cuaca, Managing Partner East Ventures dan EV Growth, terkait proses IPO startup. Ia mengatakan bahwa pandemi tidak akan berpengaruh pada rencana IPO. Menurutnya saat ini kondisi startup di Indonesia sudah sangat siap untuk melakukan itu.

“Ada pandemi ataupun tidak, IPO memang sudah waktunya. Contohnya, Tokopedia sudah 11 tahun, Traveloka 8 tahun dan lain-lain. Selain itu monetisasi sudah mulai clear, banyak yang sudah mulai profitable, banyak yang makin jelas roadmap-nya, jadi tinggal bagaimana cara IPO-nya. Tapi karena pandemi, pemerintah banyak mengeluarkan stimulus. [..] Jadi membuat kesempatan untuk IPO lebih dipercepat,” jelas Willson.

Selain East Ventures dan EV Growth, Traveloka juga didukung beberapa investor lain, seperti GIC, Expedia Group, dan Rocket Internet. Valuasi perusahaan ditaksir berada di angka $3 miliar dan mereka ingin melantai di bursa dengan kapitalisasi pasar $4-6 miliar.


Gambar Header: Depositphotos.com

Application Information Will Show Up Here

Traveloka Announces New Funding Worth of 3.6 Trillion Rupiah

Traveloka, today (7/28) announced the latest funding worth of US$250 million or equivalent to 3.6 trillion Rupiah. There are no further details on who participated, but EV Growth is one of the previous investors confirmed to be involved in this round. This investment is to focus on build up the company’s balance sheet while strengthening several product lines amid the Covid-19 pandemic.

This funding is previously reported by several media since early July 2020. Rumor has it that some investors, including Siam Commercial Bank, FWD Group, GIC, and East Ventures, mentioned involved in the final stage of negotiations for Traveloka’s follow-on funding. Reuters also says the Qatar Investment Authority (QIA) is leading the current round.

In this round, Traveloka’s valuation is estimated to drop at $2.75 billion (nearly 40 trillion Rupiah). The down round action was taken due to the company’s business struggle by Covid-19 and the declining traction.

“This is a major crisis in the current time, both in terms of finance and humanity. This situation is a form of re-adjustment that forces business people to rethink their plans, strategies, and business models. The travel industry is experiencing hard times that have never happened before, including Traveloka. The management team has made quite difficult efforts, including restructuring and optimization, to minimize the financial risks. We are confident that Traveloka will rise again stronger after going through this crisis,” Willson Cuaca said as Managing Partner EV Growth involved in this round.

Hardships during Covid-19 pandemic

Covid-19 has brought the OTA business experience a difficult challenge. Public transportation freeze, various destinations are closed; transactions declined. For Traveloka and many other OTA players, this has been the worst condition in their history.

Traveloka’s partners in the transportation, accommodation, activities, and restaurant sector also having some difficulty. In terms of transportation, consumer demand dropped dramatically while demand for refunds jumped significantly; the hotel business experienced the lowest occupancy rate ever; lifestyle partners in domestic and regional and restaurant partners must temporarily close their business operations.

“It can’t be denied that Traveloka is very affected by the Covid-19 pandemic. Our business is at its lowest point since we first started. However, we always believe that Traveloka will bounce back with the rapid adjustment of business strategies, working together with industry partners and other stakeholders, and continue to deliver innovative products to users as our main focus,” Traveloka’s Co-founder and CEO, Ferry Unardi said.

Struggling for business sustainability

In order to sustain, Traveloka applied some steps to optimize business, make savings, and refocus to prepare strategies to welcome the new normal. In Indonesia and Vietnam, for example, Traveloka finds the domestic sector, travel or short-range entertainment activities are getting back to normal and restore business, along with the high level of public awareness of pandemics and lifestyle adjustments to the current situation.

Various initiatives were launched to answer consumers’ changing demand, such as the Covid-19 Test service combined with airline tickets, booking hotel vouchers with flexible stays through “Buy Now Stay Later”, the Online Xperience program featuring popular hosts, the Traveloka LIVEstyle live stream program Flash Sale, as well as the Traveloka Clean campaign that allows users to place orders through Traveloka more convenient and secure.

“I am pleased to say that from a business standpoint, we are seeing a gradual recovery in all of our main markets. The Traveloka business in Vietnam has begun to stabilize and is approaching the period before Covid-19, while our business in Thailand is now almost beyond 50% compared to normal situations. “Even though Indonesia and Malaysia are still in the early stages of recovery, both markets continue to show promising momentum with week-to-week progress, especially for the line of accommodation business with the emergence of a short-term vacation stay or staycation,” Ferry added.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here
Co-Founder & CEO Traveloka Ferry Unardi / Traveloka

Traveloka Umumkan Perolehan Pendanaan Baru 3,6 Triliun Rupiah

Hari ini (28/7) Traveloka mengumumkan perolehan pendanaan baru senilai US$250 juta atau setara 3,6 triliun Rupiah. Meski tidak disebutkan secara detail siapa saja yang berpartisipasi,  EV Growth adalah salah satu investor terdahulu yang dikonfirmasi terlibat di putaran kali ini. Fokus investasi adalah untuk memperkuat neraca keuangan perusahaan sembari memperkuat beberapa lini produk di tengah pandemi Covid-19 ini.

Perolehan ini sejalan dengan kabar yang diberitakan beberapa media sejak awal Juli 2020 lalu. Sebelumnya dirumorkan sejumlah investor, termasuk Siam Commercial Bank, FWD Group, GIC, dan East Ventures, disebutkan terlibat  negosiasi tahap akhir untuk pendanaan lanjutan Traveloka. Rumor terbaru dari sumber Reuters mengatakan Qatar Investment Authority (QIA) memimpin putaran pendanaan kali ini.

Untuk mendapatkan suntikan dana tersebut, valuasi Traveloka diestimasi turun menjadi $2,75 miliar (hampir 40 triliun Rupiah). Aksi down round ini diambil karena bisnis perusahaan yang terpukul akibat Covid-19 dan mengalami penurunan traksi layanan.

“Ini merupakan krisis besar di generasi saat ini, baik dari sisi keuangan maupun kemanusiaan. Situasi ini merupakan bentuk dari penyesuaian ulang yang memaksa para pelaku bisnis untuk memikirkan kembali rencana, strategi dan model bisnis mereka. Industri perjalanan juga mengalami masa sulit yang belum pernah terjadi sebelumnya, termasuk Traveloka. Tim manajemen telah melakukan berbagai upaya sulit namun harus dilakukan, termasuk restrukturisasi dan optimalisasi, untuk meminimalisir risiko keuangan yang timbul. Kami yakin bahwa Traveloka akan kembali bangkit dengan lebih kuat setelah melewati krisis ini,” ungkap Willson Cuaca, Managing Partner EV Growth yang tergabung dalam putaran pendanaan ini.

Akui kesulitan di tengah Covid-19

Covid-19 membuat bisnis OTA mengalami tantangan pelik. Operasional transportasi publik banyak yang dibekukan, berbagai destinasi diliburkan; jelas membuat transaksi terperosok. Bagi Traveloka dan banyak pemain lainnya, ini menjadi kondisi terburuk sepanjang sejarah mereka hidup.

Mitra Traveloka di sektor transportasi, akomodasi, aktivitas, dan restoran juga mengalami rintangan yang berat. Untuk transportasi, permintaan konsumen menurun drastis sementara permintaan pengembalian dana melonjak secara signifikan; hotel mengalami tingkat hunian terendah yang pernah ada; para mitra aktivitas lifestyle di domestik maupun regional dan mitra restoran harus menutup operasional bisnisnya untuk sementara waktu.

“Tidak dapat dipungkiri bahwa Traveloka sangat terpengaruh dengan pandemi Covid-19. Bisnis kami berada di titik terendah yang belum pernah terjadi sejak kami pertama kali berdiri. Namun, kami selalu percaya bahwa Traveloka akan bangkit kembali dengan adanya penyesuaian strategi bisnis secara cepat, bekerja sama dengan para mitra industri dan para pemangku kepentingan lainnya, serta terus menghadirkan produk-produk inovatif bagi para pengguna yang merupakan fokus utama kami,” ujar Co-founder dan CEO Traveloka, Ferry Unardi.

Merangkak stabilkan bisnis

Demi tetap bertahan, Traveloka menerapkan langkah-langkah yang dibutuhkan untuk optimalisasi bisnis guna melakukan penghematan serta kembali berfokus untuk menyiapkan strategi dalam menyambut era normal baru. Di Indonesia dan Vietnam misalnya, Traveloka melihat sektor domestik, perjalanan ataupun aktivitas hiburan jarak dekat telah mulai menggeliat dan bangkit kembali, seiring dengan tingginya kesadaran masyarakat akan pandemi dan penyesuaian gaya hidup dengan situasi saat ini.

Berbagai inisiatif diluncurkan untuk memenuhi perubahan kebutuhan konsumen, seperti layanan Covid-19 Test yang digabungkan dengan tiket pesawat, pemesanan voucher hotel dengan periode inap yang fleksibel melalui “Buy Now Stay Later”, program Online Xperience yang menampilkan host ternama, program live stream Traveloka LIVEstyle Flash Sale, serta kampanye Traveloka Clean yang memungkinkan pengguna untuk melakukan pemesanan melalui Traveloka dengan lebih tenang dan aman.

“Saya senang dapat menyampaikan bahwa dari sisi bisnis, kami melihat pemulihan secara bertahap di seluruh pasar utama kami. Bisnis Traveloka di Vietnam telah mulai stabil dan mendekati periode sebelum adanya Covid-19, sementara bisnis kami di Thailand kini hampir melampaui 50% dibandingkan situasi normal. Meskipun Indonesia dan Malaysia masih berada di tahap awal pemulihan, namun kedua pasar ini terus memperlihatkan momentum yang menjanjikan dengan kemajuan dari minggu ke minggu, terutama untuk lini bisnis akomodasi dengan kemunculan tren berlibur jarak dekat atau staycation,” tambah Ferry.

Application Information Will Show Up Here