Tag Archives: Fighting game

Riot Ungkap Lebih Banyak Detail Soal Fighting Game yang Sedang Digarapnya, Project L

2019 lalu, Riot Games sempat mengumumkan bahwa salah satu proyek baru yang sedang mereka garap adalah sebuah fighting game dengan codename Project L. Setelah sekian lama bungkam, Riot akhirnya berani buka-bukaan lebih banyak soal game tersebut.

Project L dideskripsikan sebagai sebuah tag-team style fighting game, yang berarti setiap pemain akan menjalankan dua karakter sekaligus secara bergantian. Menurut Riot, kontrol di Project L “mudah untuk dipelajari tapi sulit untuk dikuasai”, dan ini mereka yakini sebagai cara terbaik untuk mengakomodasi semua kalangan pemain, dari yang amatir sampai yang pro.

Kalau melihat cuplikan videonya di bawah, gameplay-nya sejauh ini memang sudah kelihatan cukup matang, akan tetapi Project L sebenarnya masih jauh dari kata selesai (bahkan judul finalnya pun belum ada). Riot belum punya estimasi jadwal perilisannya, tapi yang pasti tidak tahun ini ataupun tahun depan.

Beberapa aspek esensial, seperti misalnya core gameplay, kontrol, dan art direction untuk Project L memang sudah hampir selesai difinalisasi, namun Riot masih punya banyak PR terkait karakter, stage, menu, UI, maupun sistem ranking. Belum diketahui berapa banyak karakter yang akan tersedia nantinya, tapi yang sudah terkonfirmasi sejauh ini adalah Jinx, Darius, Ahri, dan Ekko.

Aspek teknis seperti rollback netcode juga tidak dilupakan, dan Riot berniat mengintegrasikan sejumlah teknologi yang sudah mereka gunakan sekarang, macam RiotDirect yang terbukti efektif dalam meminimalkan ping di League of Legends maupun Valorant.

Riot menegaskan bahwa pengembangannya tidak akan dilakukan secara terburu-buru karena mereka ingin menciptakan game yang dapat dimainkan oleh komunitas pencinta fighting game selama bertahun-tahun. Rencananya, mereka bakal menyingkap update anyar seputar Project L paling cepat di awal babak kedua tahun 2022.

Sebulan terakhir ini merupakan periode yang sangat produktif buat Riot Games. Mereka merilis serial animasi Arcane di Netflix yang menuai banyak pujian positif, tidak ketinggalan pula dua game spin-off League of Legends berjudul Ruined King dan Hextech Mayhem. Mereka bahkan juga sempat mengumumkan dua game lain yang siap diluncurkan tahun depan, yakni Song of Nunu dan Conv/rgence.

Sumber: Riot Games via PC Gamer.

Susul Nickelodeon, Warner Bros. Umumkan Crossover Fighting Game Berjudul MultiVersus

Warner Bros. Games baru saja mengumumkan MultiVersus, sebuah crossover fighting game anyar dengan deretan karakter yang berasal dari koleksi IP milik mereka, mulai dari Looney Tunes, DC Comics, Scooby Doo, bahkan sampai Game of Thrones.

Tentu saja ini bukan pertama kalinya sebuah franchise besar mencoba meniru formula sukses yang dipopulerkan oleh Nintendo lewat seri Super Smash Bros., sebab ada Nickelodeon All-Star Brawl yang baru saja dirilis bulan lalu. Namun tidak seperti kedua game tersebut, MultiVersus merupakan sebuah game free-to-play (F2P).

Selain mode 1v1, MultiVersus juga menawarkan mode 2v2 dan 4-Player Free For All. Dalam mode 2v2, para pemain dituntut untuk menerapkan strategi kerja sama yang efektif, sebab karakter-karakter dalam MultiVersus memang dirancang untuk melengkapi satu sama lain secara dinamis.

Salah satu contohnya, ketika Bugs Bunny menggunakan skill untuk menggali terowongan di bawah tanah, rekan setimnya juga bisa ikut masuk ke lubang tersebut dan melancarkan serangan kejutan dari titik keluar di sisi yang berlawanan.

Sejauh ini MultiVersus memiliki 13 karakter, masing-masing dengan pengisi suara aslinya, namun jumlahnya dipastikan bakal bertambah seiring berjalannya waktu. Selain dari IP yang sudah terkenal, WB turut merancang karakter baru untuk MultiVersus.

Sebagai game F2P, sudah sewajarnya MultiVersus menawarkan konten in-app purchase, semisal skin untuk tiap karakter — Superman dengan skin Black Lantern kelihatan sangat keren — dan WB Games berniat menghadirkannya dalam format season-based. Cuplikan di trailer-nya juga sempat memperlihatkan elemen dari sistem battle pass.

Cross-play dan cross-progression merupakan fitur standar untuk MultiVersus, dan pengembangnya berjanji untuk menyediakan dedicated server dari hari pertama peluncuran guna meminimalkan problem seputar koneksi. Selain online, MultiVersus juga mendukung local multiplayer.

MultiVersus dikembangkan oleh studio baru bernama Player First Games. Permainan rencananya akan dirilis di tahun 2022 di PC, PlayStation, dan Xbox. Entah kenapa alasannya, WB Games tampaknya tidak punya rencana untuk menghadirkan game ini di Nintendo Switch.

Bagi yang sudah tidak sabar, pengembang MultiVersus berencana menggelar sesi playtest dalam waktu dekat. Kalau tertarik, silakan mendaftarkan diri melalui situs resminya.

Sumber: IGN.

Mampukah Esports Berkembang Tanpa Dukungan Langsung dari Sang Publisher?

Perkembangan esports sedang begitu digembar-gemborkan belakangan ini, terutama ketika pandemi menyerang. Banyak publikasi ataupun lembaga riset yang memproyeksikan masa depan esports. Newzoo misalnya, memproyeksikan angka pemasukan esports akan mencapai US$1,084 miliar pada tahun 2021 ini dengan perkiraan jumlah penonton mencapai 474 juta orang.

Memang benar esports sedang berkembang pesat. Tetapi ada satu pola dalam perkembangan esports yang mungkin bisa jadi masalah. Hal tersebut adalah bentuk ketergantungan dengan pihak pertama alias developer atau publisher game esports terkait.

Bermula dari hal tersebut, muncul tanda tanya tersendiri. Apakah esports bisa berkembang tanpa dukungan developer ataupun publisher game? Dalam artikel ini tim redaksi Hybrid mencoba mengupasnya dari sudut pandang global yang lalu dikerucutkan ke sudut pandang lokal.

 

Alkisah Sebuah Game Bernama Heroes of The Storm

Video milik Akshon Esports menjadi pengantar saya dalam membahas topik ini. Pada salah satu videonya, Akshon Esports membahas Heroes of the Storm, sebuah game MOBA yang di-develop dan di-publish oleh Blizzard Entertainment.

Kisah Heroes of the Storm menarik untuk diulas karena beberapa hal. Pertama, Heroes of the Storm sendiri yang memang punya konsep baru nan segar di ranah MOBA dengan menghilangkan sistem item dan sistem level individual.

Kedua, Heroes of the Storm sempat jaya sebagai esports sampai akhirnya Blizzard melepas dukungannya sehingga skena esports game tersebut jadi hampir hancur luluh lantah.

Sekarang, mari saya ceritakan bagaimana Heroes of the Storm hadir ke pasaran. Walaupun Warcraft III (besutan Blizzard) bisa dibilang moyangnya game MOBA seperti Dota 2 dan League of Legends, namun uniknya Blizzard malah ketinggalan masuk ke pasar MOBA.

League of Legends rilis di tahun 2009. Dota 2 rilis di tahun 2013. Heroes of the Storm baru dirilis Blizzard tahun 2015 ketika sudah ada banyak iterasi genre MOBA yang datang dan pergi. Walau terlambat muncul, Heroes of the Storm membawa konsep yang segar.

Seperti yang saya sebut sebelumnya, Heroes of the Storm tidak memiliki item. Sebagai gantinya, Blizzard membuat sistem Talent yang bisa diambil pada level tertentu dan bersifat memperkuat atau menambah skill tertentu. Sistem talent menjadi inovasi yang besar bagi genre MOBA, bahkan sampai ditiru oleh Dota 2.

Heroes of the Storm juga tidak memiliki level individual. Pada MOBA, masing-masing pemain biasanya punya level karakter masing-masing saat bertanding. HoTS tidak, level karakter dikumpulkan secara kolektif oleh tim. Semakin sering sebuah tim memenangkan peperangan, maka semakin cepat juga naik levelnya.

Keunikan terakhir yang ditawarkan oleh HoTS adalah variasi map dengan objektif memenangkan pertandingan yang juga beragam. Dalam MOBA umumnya, objektif permainan cuma satu: mendesak musuh, menghancurkan tower demi tower sampai salah satu tim bisa menghancurkan bangunan inti milik musuh. HoTS berbeda.

Tujuan utamanya tetap menghancurkan bangunan inti. Namun, cara untuk mencapainya berbeda-beda. Pada satu map Anda harus merebut area tertentu agar bisa berubah menjadi naga; yang bisa membantu menghancurkan bangunan inti.

Pada map lain, Anda harus mengumpulkan biji tanaman untuk berubah menjadi monster; yang juga akan membantu Anda menghancurkan bangunan inti. Bahkan, Anda bisa juga tidak perlu menghancurkan tower demi tower untuk bisa hancurkan bangunan inti.

Berkat keunikan yang ditawarkan, Heroes of the Storm muncul menjadi MOBA yang punya penggemarnya tersendiri. Terlebih, Heroes of the Storm juga menawarkan karakter-karakter dari semesta Blizzard yang memang sudah banyak dikenal pemain, seperti Arthas dari World of Warcraft, Sarah Kerrigan dari StarCraft, Tyrael dari Diablo, Genji dari Overwatch, bahkan trio viking dari game jadul The Lost Vikings.

Perkembangan tersebut disambut positif juga oleh Blizzard dengan menghadirkan skena esports profesional yang menjanjikan karir. Pada masanya, esports Heroes of the Storm juga menjadi salah satu pionir.

Kala itu tepatnya tahun 2015, Blizzard menghadirkan turnamen bertajuk Heroes of the Dorm. Turnamen tersebut merupakan turnamen antar universitas yang berhadiah beasiswa bagi para pemenangnya. Heroes of the Dorm juga terbilang menjadi salah satu tayangan esports pertama yang hadir di saluran televisi ESPN pada masa itu.

Setelah Heroes of the Dorm hadir dan cukup sukses, Blizzard pun mencoba meningkatkan skala kompetisi game Heroes of the Storm dengan menghadirkan Heroes Global Championship (HGC). HGC merupakan sebuah sirkuit turnamen yang hadir di beberapa negara seperti Australia/New Zealand, China, Europe, Korea, Latin America, North America, dan Southeast Asia.

Kehadiran HGC memberikan menjadi angin segar bagi para pemain kompetitif karena memberi janji karir di masa depan. Kehadiran HGC juga berhasil menarik minat tim-tim esports profesional seperti Dignitas, Fnatic, Tempo Storm, dan Gen.G.

HGC berjalan secara rutin setiap tahun sejak tahun 2016, membuat tim dan para pemain merasa cukup percaya diri untuk terus melanjutkan perjuangannya di skena Heroes of the Storm. Namun pada 2018, satu berita mengejutkan datang dari Blizzard.

Melalui sebuah blog post yang terbit tanggal 13 Desember 2018, Blizzard mengumumkan penarikan mundur semua dukungan terhadap esports Heroes of the Storm. Blizzard tidak akan melanjutkan seri kompetisi HoTS yang artinya tidak akan ada Heroes of the Dorm dan Heroes Global Championship di tahun 2019.

Walaupun Blizzard tak lagi mendukung esports HoTS, mereka masih terus mengembangkan, memberikan update, perbaikan, serta konten baru untuk Heroes of the Storm.

Tanpa dukungan investasi dari Blizzard, esports Heroes of the Storm menjadi penuh ketidakpastian. Para pemain bisa saja ikut turnamen-turnamen pihak ketiga. Namun, turnamen pihak ketiga cenderung terbatas jumlah hadiahnya. Tanpa hadiah ataupun jaminan finansial yang pasti, pemain jadi tak punya alasan lagi untuk terus berkompetisi di Heroes of the Storm.

Beberapa pemain mulai pindah game agar dapat menyambung hidup. Rich, pemain tim Gen.G divisi Heroes of the Storm contohnya. Ia pindah ke League of Legends pasca kejadian tersebut. Ada juga Psalm, mantan pemain Tempo Storm yang sempat transisi ke skena Fortnite dan mendapat posisi runner-up di Fortnite World Cup 2019.

Lalu bagaimana kabar pemain yang tidak memutuskan untuk pindah? Dalam keadaan mati suri, inisiatif komunitas ternyata menjadi fenomena yang patut diacungi jempol dalam skena Heroes of the Storm, terutama di Amerika Serikat. Pihak ketiga bernama HeroesHearth muncul menjadi “pahlawan” bagi skena kompetitif HoTS di Amerika Serikat.

HeroesHearth mengawali perjuangannya menjaga esports HoTS terus berdenyut lewat turnamen invitational berhadiah US$5000. Setelahnya mereka juga menghadirkan turnamen bertajuk Fight Night, pertandingan kecil-kecilan dengan hadiah ratusan US$ saja. Skena bentukan komunitas tersebut terus berkembang sampai akhirnya kini menjadi Community Clash League (CCL).

Community Clash League tergolong berjalan cukup rapih dan terstruktur, walaupun sebenarnya hanya dijalankan oleh komunitas. Hadiah yang ditawarkan pun juga cukup menarik.

Lewat donasi dari komunitas, CCL Season 2 tahun 2020 kemarin berhasil menyajikan US$33.600 sebagai prize pool. Angka tersebut adalah angka yang cukup besar, apalagi mengingat CCL adalah turnamen tingkat komunitas.

Kisah hubungan Blizzard, Heroes of the Storm, dan komunitasnya menunjukkan bagaimana perkembangan esports bisa hancur dalam satu jentikkan jari. Pesta esports yang dinikmati oleh pemain-pemainnya habis begitu saja setelah Blizzard Entertainment memutuskan menarik dukungannya.

Esports Heroes of the Storm mungkin masih bertahan untuk sementara waktu berkat dukungan dari komunitas. Namun, apakah mereka masih bisa terus berjalan sampai beberapa tahun ke depan?

Setelah melihat kasus relasi esports dan publisher di ranah Heroes of the Storm luar negeri, sekarang mari kita mencoba melihat kasus seperti demikian di ranah lokal.

 

Kisah Serupa Dari Ranah League of Legends Indonesia

Dari ranah lokal, satu game yang punya cerita mirip sekali dengan kisah Heroes of the Storm di atas mungkin adalah League of Legends di Indonesia. Riot Games boleh bangga dengan esports League of Legends yang ditonton jutaan orang dan mencatatkan puluhan juta jam total watch hours di seluruh dunia. Terlepas jutaan orang penonton yang dicatatkan, League of Legends sendiri terbilang kurang punya nama di Indonesia

Esports League of Legends sempat mekar merona ketika Garena Indonesia masih menjalankan tugasnya sebagai publisher lokal. Tahun 2013 silam, League of Legends baru saja rilis di Indonesia lewat Garena. Pada masa awal perilisan tersebut, komunitas mendapat perhatian yang istimewa lewat bebagai inisiatif yang dilakukan.

Ada liga komunitas bertajuk Teemo Cup, inisiatif kompetisi tingkat kampus, sampai liga tingkat profesional bertajuk Leauge of Legends Garuda Series (LGS). Cerita lebih lengkapnya bisa Anda baca pada artikel saya yang membahas potensi Wild Rift yang juga sedikit menyenggol cerita perkembangan League of Legends di Indonesia.

Sumber: Flickr LoL Esports Indonesia

Lewat inisiatif yang dilakukan Garena, League of Legends sempat mendapat status pionir dalam beberapa hal di esports Indonesia. LGS bisa dibilang sebagai salah satu kompetisi esports pertama yang berformat liga di Indonesia. Tak hanya berformat liga, LGS juga berjalan secara profesional dan dikabarkan memberi kompensasi mingguan bagi tim dan pemain. Selain itu saya juga ingat betul betapa megahnya LGS 2016 yang diselenggarakan di Balai Sarbini, yang merupakan salah satu event esports offline pertama yang saya liput kala itu.

Tetapi layaknya apa yang terjadi pada Heroes of the Storm, pesta esports League of Legends di Indonesia langsung usai saat Garena Indonesia mengumumkan pengunduran dirinya di tahun 2019. Sudah inisiatif esports-nya hilang, server lokal Indonesia game League of Legends pun hilang. Walaupun begitu, server dan esports League of Legends kini sebetulnya masih ada, walau lingkupnya jadi melebar ke tingkat Asia Tenggara.

Pasca kehilangan Garena, League of Legends di Indonesia menolak untuk tergeletak dengan segala dukungan dari komunitas. Puncak kegetolan komunitas terlihat di tahun 2019 lalu, ketika komunitas berhasil mengadakan acara nobar Worlds secara mandiri dengan sedikit/minim bantuan dari pihak Garena.

Kini esports League of Legends terbilang mati suri. Apalagi game penggantinya juga sudah hadir, yaitu Wild Rift yang tersaji di mobile device. Namun Edi Kusuma atau Edel selaku founder Hasagi, media yang mengayomi komunitas League of Legends di Indonesia, merasa bahwa esports sebenarnya tetap bisa berkembang walau tanpa bantuan dari publisher.

“Kalau ditanya bisa berkembang atau tidak, jawabannya bisa saja. Bagaimanapun esports sendiri tumbuh dari komunitas. Tapi lebih baik jika ada publisher yang ikut campur tangan dalam hal ini. Bantuan publisher, terutama dari sisi finansial, akan membantu memperkenalkan esports secara lebih luas serta menjangkau lebih banyak orang. Karenanya menurut saya publisher dan komunitas adalah dua aspek terpenting dalam pertumbuhan esports sebuah game.”

Setelahnya Edel juga menjelaskan kenapa publisher memang teramat penting bagi pertumbuhan esports sebuah game. Menurutnya peran terbesar publisher adalah mendukung dari segi finansial. “Ada banyak dukungan yang bisa diberikan publisher tapi yang pertama dan paling utama tentu adalah dalam hal finansial.” Ucapnya.

“Kita bisa lihat Overwatch sebagai contoh. Sebelum AKG Games ada, semua aktivitas seputar Overwatch itu digagas oleh komunitas. Inisiatif tersebut bagus, tapi masih jauh dari kata sempurna. Komunitas terbatas dari banyak hal, terutama dalam hal menyediakan panggung kompetitif bergengsi.” Lanjut Edel menjelaskan.

Menutup obrolan, saya juga menanyakan pendapat Edel soal pihak yang berperan menjaga kehidupan sebuah game tanpa kehadiran publisher dan pendapatnya soal bisnis esports yang berisiko apabila semuanya digantungkan kepada publisher.

Dalam soal pihak yang berperan, Edel berpendapat bahwa satu-satunya yang berperan adalah pemainnya sendiri.

“Dota 2 adalah contoh nyata yang bisa kita ambil. Dulu sempat ramai turnamen, tapi sekarang sudah nyaris tidak ada. Tetapi apakah esports Dota 2 berarti mati? Jelas tidak. Dota 2 masih hidup sampai sekarang walau jarang ada turnamen. Pemain Dota 2 di Indonesia juga masih getol menjadi pendukung sebagai fans. Namun saya yakin kalau ada yang bisa mengadakan turnamen Dota 2 pasti akan banyak yang ikut serta.” Tuturnya.

Sumber: HASAGI

Terkait pertanyaan kedua, Edel pun menjawab.

“Bagi kita, game/esports itu mungkin adalah passion. Tapi sejujurnya, esports tetaplah bisnis. Kalau ditanya berisiko atau tidak, menurut saya memang bisnis di esports masih sangat berisiko. Seperti yang kita lihat, kebanyakan investor atau sponsor di esports sekarang berasal dari perusahaan besar. Perusahaan kecil yang dananya terbatas tentu harus berpikir dua kali ketika ingin berinvestasi di esports. Bagaimanapun, esports adalah bisnis yang mahal menurut saya.” Ucap Edel.

Saat ini, sudah banyak pemain profesional League of Legends memilh pindah ke ranah Wild Rift karena adanya dukungan dari Riot Games yang mengadakan kompetisi resmi bertajuk Wild Rift Icon Series.

Bagiamana dengan esports League of Legends di PC? Entahlah. Indonesia sebenarnya masih punya kesempatan bersaing di laga Pacific Championship Series (PCS) apabila ingin menembus tingkat dunia. Tetapi saya sendiri setuju dengan apa yang dikatakan Edel, modal untuk berjuang di esports itu tidak murah.

Sebagai pemain, Anda mungkin harus rela tidak digaji sampai beberapa tahun, setidaknya sampai bisa tembus PCS. Ditambah, persaingannya juga amatlah ketat, bahkan pada level Asia Tenggara dan Asia Pasifik saja.

 

Serupa Tapi Tak Sama, Kisah Rainbow Six Siege di Indonesia

Rainbow Six Siege mungkin memang tidak pernah mendapatkan dukungan penuh yang bersifat langsung dari sang publisher yaitu Ubisoft sendiri. Namun perubahan sistem kompetisi Rainbow Six Siege secara internasional bisa dibilang sebagai bentuk perubahan dukungan Ubisoft terhadap komunitas.

Pada awalnya, esports Rainbow Six Siege dibuat menggunakan sistem terbuka. Siapapun bisa berkompetisi untuk mendaki hingga ke puncak kejayaan di esports Rainbow Six Siege lewat gelaran Rainbow Six Pro League yang diadakan oleh ESL.

Berkat sistem terbuka tersebut, Indonesia juga sempat kebagian sorotan bertanding di tingkat Rainbow Six Pro League. Pada masanya, Team Scrypt adalah tim Indonesia yang berhasil mencapai ke tingkat yang cukup tinggi di skena kompetisi Rainbow Six Siege. Team Scrypt sempat menembus ke main event dari ESL Pro League Season 7 APAC yang diadakan di Sydney, Australia.

Tetapi semua kesempatan tersebut hilang setelah Ubisoft memutuskan untuk mengubah sistem kompetisi Rainbow Six pada bulan Mei 2020 lalu. Liga kasta utama Rainbow Six yang dahulu ramah bagi tim komunitas, kini menjadi lebih tertutup. Pro League yang dahulu menjadi wadah berlatih dan berkompetisi bagi tim untuk dapat naik tingkat pun hilang dan digantikan dengan kualifikasi yang hanya terlaksana sesekali saja.

Lebih lanjut, Bobby Rachmadi Putra selaku founder dari komunitas R6 resmi di Indonesia pun menceritakan.

“Kalau bicara dukungan publisher bagi Rainbow Six di Indonesia, sejauh ini gue melihat memang Ubisoft tetap menjalin hubungan yang baik kepada komunitas. Contohnya dari komunitas R6 IDN terhadap aktivitas R6 di regional APAC. Ubisoft menunjuk beberapa key opinion leader dari negara dengan peminat game R6S terbesar di kawasan APAC untuk memberi feedback atas planning mereka untuk menjalankan event di asia.” Jawab Bobby membuka pembahasan.

“Selain itu, Ubisoft juga memberikan beberapa freebies seperti in-game codes dan special merch atau bahkan cash reward kepada leader/influencer di negara tersebut. Sebagai timbal baliknya, sosok-sosok penting tersebut akan dimintai data, opini, kritik, keluah, serta situasi dan kondisi perkembangan esports serta komunitas game R6 di negara-negara terkait.” Tambah Bobby.

Selain dari sisi komunitas secara umum, saya juga bertanya kepada Bobby soal dukungan Ubisoft terhadap esports R6 di Indonesia atau di Asia Tenggara. Walaupun ada R6 APAC League, namun liga tersebut tetap tergolong liga kawasan besar yang biasanya menjadi tingkat lanjutan bagi beberapa skena esports lain.

“Memang kalau dari segi esports, saat ini Ubisoft belum memberi dukungan secara langsung. Sebagai gantinya Ubisoft menghadirkan liga Rainbow Six Siege regional atau di negara tertentu yang memang sudah terlihat potensi besarnya, misalnya seperti di Korea Selatan dan Jepang. Untuk negara seperti Indonesia yang belum terlihat jelas potensinya masih akan melalui komunitas seperti R6 IDN terlebih dahulu.” Tutur Bobby.

Sumber: Ubisoft

“Namun ada alasan tersendiri kenapa Ubisoft melakukan hal tersebut. Salah satunya adalah karena Ubisoft mengembangkan esports R6S di seluruh dunia. Maka dari itu sejauh ini gue melihat Ubisoft memang mengembangkan secara perlahan agar terkelola dengan baik dan berkembang dengan jelas.” Bobby menambahkan.

Sampai saat ini, komunitas R6S di Indonesia sendiri sebenarnya masih cukup aktif, terutama di dalam server chat Discord. Komunitas masih secara aktif berinteraksi dan bermain bersama pada beberapa waktu. Namun turnamen esports R6S di lokal Indonesia terbilang mati suri, walau masih ada turnamen-turnamen tingkat regional.

 

Hearthstone Indonesia yang Kini diasuh Publisher Pihak Ketiga

Game berikutnya yang menarik untuk dibahas adalah Hearthstone. Secara umum, esports Hearthstone sebenarnya berjalan cukup aktif terutama di negara-negara barat.

Di Indonesia, walau pemainnya mungkin tidak banyak, tetapi pemain profesional dari Indonesia bisa bersaing di tingkat nternasional. Salah satunya ada Hendry “Jothree” Handisurya. Pemain tersebut merupakan salah satu atlet Hearthstone andalan Indonesia. Ia bahkan sempat mendapat medali perak pada esports sebagai cabang eksibisi di Asian Games 2018.

Hearthstone pada awalnya tidak mendapatkan dukungan apapun dari sang publisher di Indonesia. Namun pada tahun 2019, AKG Games hadir menjadi rekan Blizzard untuk pasar Indonesia.

Saat Jothree memenangkan medali perak di Asian Games | Sumber: Facebook

Jothree pun sedikit menjelaskan bagaimana AKG Games sejauh ini ternyata sudah cukup mendukung perkembangan esports Hearthstone di Indonesia.

“Sejauh ini mereka cukup berusaha dengan baik. Beberapa contohnya terlihat dari turnamen AKG Elite Series, Fireside Gathering, SEA Showmatch, yang sebetulnya secara konsep sudah lebih bagus ketimbang sebelumnya. Namun karena mereka statusnya adalah third party, maka mereka jadi enggak punya kuasa untuk menyediakan apa yang betul-betul dibutuhin oleh komunitas. Misal contohnya adalah menyediaan in-game tournament, platform bahasa Indonesia, kemudahan pembayaran untuk Battle Net Balance, ataupun membuat game-nya jadi lebih low-spec untuk mobile.” Jawab Jothree secara lengkap.

Selain itu, Jothree juga bercerita soal perjuangan komunitas Hearthstone sebelum kehadiran AKG Games di Indonesia.

“Kalau ditanya siapa yang menjaga keberlangsungan esports tanpa kehadiran publisher, jelas jawabannya adalah pemain game tersebut yang benar-benar suka dengan game-nya. Dalam kasus Hearthstone, gue merasakan komunitas kami sangat solid sebelum AKG Games ada. Kami juga mati-matian menjaga kehidupan komunitas bahkan kadang sampai keluar uang dari kantong sendiri.” Tuturnya.

Setelah kisah perkembangan esports Hearthstone, mari kita berlanjut ke kasus berikutnya yaitu cerita perkembangan esports game fighting di Indonesia.

 

Nasib Fighting Game Community di Indonesia dari Sudut Pandang Tekken 7

League of Legends dan Rainbow Six Siege tergolong cukup beruntung karena masih sempat mengecap dukungan dari publisher terhadap komunitas dan esports, walau sifatnya sementara atau sedikit saja dampaknya.

Tetapi di luar dari itu, ada beberapa game kompetitif di Indonesia yang justru lebih nahas lagi. Salah satunya adalah komunitas game fighting. Komunitas tersebut sebenarnya punya cukup banyak penggemar, namun posisi mereka hampir tidak tersentuh oleh sang developer/publisher. Tekken 7 adalah salah satu bagian dari game fighting.

Pada tahun 2018 lalu, Yabes Elia selaku Chief Editor Hybrid.co.id sempat ngobrol banyak dengan Bram Arman membahas soal perkembangan game fighting di Indonesia.

Bram Arman (kiri). Source: Advance Guard
Bram Arman (kiri). Source: Advance Guard

Dalam pembahasan tersebut Bram menjelaskan keunikkan komunitas game fighting. Pada game genre lain, kita bisa melihat bagaimaan esports game tersebut berkembang berkat peran aktif dari sang developer atau publisher. Namun perkembangan esports game fighting justru berbeda, komunitas justru lebih berperan aktif di sini.

Salah satu contoh nyata atas hal tersebut adalah Evolution Championship Series. EVO yang merupakan turnamen game fighting tingkat dunia tersebut sebenarnya merupakan turnamen yang digagas oleh komunitas.

Publisher justru cenderung tidak mengambil peran yang begitu besar dalam mengembangkan esports game fighting. Walaupun memang, Capcom punya Capcom Pro Tour (CPT) sebagai turnamen resmi. Bandai Namco juga punya Tekken World Tour (TWT) sebagai turnamen resmi.

Namun tetap saja komunitas cenderung lebih mengakui legitimasi EVO ketimbang turnamen lainnya. Ibaratnya, pro player fighting game belum bisa dianggap juara dunia kalau belum menang EVO walaupun dia memenangkan CPT atau TWT.

Lebih lanjut saya juga mencoba berbicang dengan Ronald Rivaldo untuk mengetahui soal perkembangan skena Tekken 7. Ronald Rivaldo sendiri merupakan ketua dari tim Tekken 7 bernama DRivals. Selain sebagai tim, DRivals belakangan juga tergolong cukup aktif dalam menjaga denyut komunitas game fighting lewat berbagai aktivitas yang mereka lakukan.

Dalam hal dukungan publisher terhadap komunitas, Aldo pun menceritakan.

“Dukungan publisher Tekken yaitu Bandai Namco di skena lokal hampir enggak ada, apalagi semenjak pandemi seperti sekarang. Dulu kala pada tahun 2017 dan 2018 masih sempat ada turnamen bagian dari Tekken World Tour di Indonesia. Pada tahun 2020 ini, turnamen bagian dari TWT juga seharusnya hadir kembali di Indonesia. Tetapi berhubung ada pandemi maka event pun terpaksa dibatalkan.”

DRivals - ESL Indonesia Championship
DRivals di ESL Indonesia Championship | Sumber: Dokumentasi DRivals

Dari sisi Tekken, Bandai Namco selaku developer dan publisher memang memberi lisensi kepada turnamen lokal sebagai bagian dari TWT. Pada tahun 2020 lalu, turnamen IFGC MAX yang rencananya diselenggarakan di Indonesia seharusnya menjadi bagian dari rangkaian TWT sebagai Challenger Event.

Tapi apa mau dikata. Pandemi COVID-19 menyeruak, larangan berkumpul pun diberlakukan sehingga membuat turnamen offline dibatalkan.

Walaupun Bandai Namco memberi lisensi untuk turnamen-turnamen lokal, namun seperti yang dikatakan oleh Rivaldo, Bandai Namco terbilang tidak pernah memberi dukungan secara langsung ke skena lokal dalam hal esports.

Menariknya, terlepas dari adanya dukungan publisher atau tidak, esports fighting game tetap hadir di skena lokal walaupun tingkat penyelenggaraannya masih tingkat komunitas. Seperti yang ditulis oleh Yabes Elia, Fighting Game bisa dibilang terkucilkan namun menolak untuk tergeletak.

Hybrid.co.id juga termasuk menjadi salah satu yang berusaha untuk mendorong komunitas fighting game agar tetap hidup bara api semangat kompetisinya. Hybrid Cup Series: Play on PC Fighting Game yang terselenggara awal tahun 2020 lalu jadi salah satu bukti bahwa bara semangat kompetisi di antara pemain fighting game masih tetap ada walau tanpa dukungan publisher sekalipun.

Sumber: Hybrid – Akbar Priono

Saya juga mempertanyakan soal posisi esports sebagai bisnis yang berisiko karena terlalu tergantung dengan satu pihak. Menjawab soal hal tersebut, Rivaldo juga sedikit menceritakan apa yang jadi tujuannya bersama Drivals.

“Kalau bicaranya bisnis, jujur kami belum memikirkan hal tersebut karena sadar bahwa market fighting game masih sangat kecil di Indonesia. Saat ini yang kami lakukan adalah mencoba meningkatkan pamor fighting games, terutama Tekken, agar lebih dikenal masyarakat awam di Indonesia. Untuk mencapai hal tersebut, kami menccoba mengadakan turnamen-turnamen baik offline atau online, melakukan streaming di YouTube ataupun melakukan pertandingan persahabatan antar daerah atau antar negara. Harapannya adalah suatu hari nanti komunitas fighting game terutama Tekken bisa menjadi daya tarik bagi sponsor.” Tutur Rivaldo.

Perjuangan komunitas game fighting memang menjadi keunikan tersendiri karena kegigihan dari para anggotanya. Dalam kasus Drivals, kita bisa melihat sendiri bagaimana mereka bahkan tetap gigih menyiarkan keseruan fighting game ke khalayak luas walaupun Bandai Namco hampir tak sedikitpun meliriknya.

 

Pro Evolution Soccer yang Berkembang Lewat Dukungan Asosiasi Sepak Bola

Pada saat membahas alasan kenapa suatu game tidak selalu sukses berkembang sebagai esports, saya juga menggunakan fighting game dan Pro Evolution Soccer sebagai contoh. Kala itu dua narasumber saya yaitu Bram Arman dan Valentinus Sanusi setuju, bahwa alasan kurang berkembangnya esports game mereka adalah karena publisher Jepang yang cenderung lambat geraknya dalam mengembangkan esports.

Menariknya, kedua game tersebut juga sama-sama punya penggemar yang gigih di ranah lokal. Dalam Pro Evolution Soccer, contoh kasus kegigihan yang berbuah manis bagi perkembangan esports-nya mungkin adalah kisah Indonesia Football e-League.

Sumber: Dokumentasi resmi IFeL

Posisi PES dan IFel sendiri memang cukup unik. Liga IFel bukan sekadar turnamen game PES biasa. Pertandingan di dalam liga IFel menggunakan jersey, pemain-pemain, bahkan stadion dari tim Liga 1 Indonesia di dalam game Pro Evolution Soccer yang dipertandingkan.

Tapi bagaimana bisa IFeL menyediakan semua aset digital tersebut ketika Konami sendiri sebenarnya belum menyediakan player pack/stadion pack dari tim Liga1 Indonesia? Jawabannya adalah modifikasi. Dalam artikel saya yang menggali lebih dalam seputar IFeL pada saat peluncurannya, Putra Sutopo selaku Head of IFeL mengatakan bahwa Konami selaku developer/publisher game PES tidak memberlakukan larangan terhadap penggunaan custom mod.

Sumber: Instagram @ifel.id

Tetapi sebagai gantinya, IFeL menggandeng tim Liga 1 Indonesia untuk mendapatkan izin penggunaan kekayaan intelektual milik tim (logo, jersey, serta stadion) ke dalam custom mod pada pertandingan game PES di liga IFeL.

Maka dari itu Putra menjelaskan berdasarkan pandangannya, bahwa campur tangan developer/publisher tidak selamanya selalu bisa membawa skena esports suatu game maju.

“Tergantung kebijakan dan peraturan dari publisher. Dalam kasus IFeL, memang kami belum dapat dukungan official dari Konami, tetapi Konami tidak memiliki peraturan mengenai hak cipta yang rumit dalam hal penggunaan unofficial patch. Berbeda dengan EA dalam mengurus FIFA. Mereka cenderung punya peraturan yang lebih ketat perihal hak cipta.” Tutur Putra.

Dalam kasus IFeL, kebebasan mengotak atik aset game Pro Evolution Soccer memang bisa dibilang jadi faktor yang membuat skena esports-nya jadi maju. Dalam kata lain, Konami yang tidak secara aktif memberi dukungan serta mengurusi game-nya di berbagai wilayah di dunia justru membuka peluang tersendiri.

Lebih lanjut, Putra Sutopo pun menceritakan bagaimana Liga 1 Indonesia dan PSSI menjadi motor penggerak terbesar bagi perkembangan esports PES dari sisi IFeL.

“Kalau dalam kasus IFeL, sosok yang berperan untuk membuat liga tetap berjalan tentunya adalah PSSI. Bagaimanapun, kami juga menggunakan identitas klub Liga 1 dan Liga 2 Indonesia yang penggunaannya diatur oleh PSSI. Tetapi di luar itu, tentunya juga adalah investor eksternal yang memungkinkan kami menjalankan semua rangkaian acara IFeL, tim IT yang telah membuat patch Liga 1 dan Liga 2, juga pastinya dukungan dari manajemen klub serta fans sepak bola di Indonesia.”

IFeL yang merupakan liga esports pihak ketiga terbilang sudah berkembang dengan cukup pesat sejak dari pertama kali diluncurkan tahun 2020 lalu. Musim 2020 lalu IFeL hanya mempertandingkan 10 tim yang berasal dari klub sepak bola Liga 1 Indonesia. Musim ini, IFeL menambahkan 12 tim lagi untuk turut bertanding di IFeL Liga 2.

Kisah perkembangan skena esports PES lewat liga IFeL sebagai contoh memberi cerita yang berbeda lagi. IFeL menunjukkan bagaimana skena esports suatu game masih bisa tetap berkembang walau tanpa dukungan publisher sekalipun. Dalam kasus IFeL, Putra Sutopo dan bagian komunitas bergerak aktif untuk terus memajukan esports PES.

Tetapi pada sisi lain, IFeL juga jadi menarik karena di belakangnya ada juga dukungan dari asosiasi sepak bola Indonesia yang memungkinkan kehadiran liga sepak bola virtual di Indonesia.

 

Dota 2 yang Tetap Penuh Dengan Para Penggemar Esports

Dalam kasus perkembangan esports tanpa dukungan publisher, kisah Dota 2 di Indonesia juga cukup unik untuk dibahas. Secara dukungan, sang developer/publisher yaitu Valve sebenarnya tidak pernah sedikitpun memberi dukungan dari segi esports untuk ranah lokal. Valve hanya memberikan dukungan esports secara internasional lewat gelaran The International ataupun rangkaian turnamen Major yang diadakan.

Walaupun demikian, Dota 2 tetap tumbuh subur secara organik di tanah air Indonesia. Pada masanya, mungkin sekitar 2016 – 2018, Dota 2 adalah game pilihan bagi para pelaku esports di Indonesia.

Jumlah pemain bejibun, banyak pemain terinspirasi kisah Dendi yang membuatnya juga jadi ingin menjadi pemain profesional Dota 2. Turnamen pun banyak jumlahnya. Tim esports profesional pun hampir semuanya punya divisi Dota 2.

Pada masanya, salah satu yang juga mendorong perkembangan esports Dota 2 di Indonesia adalah investasi pihak ketiga. Salah satu investasi pihak ketiga terbesar terhadap esports Dota 2 mungkin adalah Telkomsel lewat turnamen Indonesia Games Championship di tahun 2017. Pada zaman itu, mungkin hanya IGC 2017 yang bisa mengumpulkan semua talenta esports Dota 2 terbaik ke dalam satu panggung.

BOOM Esports Dota 2 di IGC 2017. Sumber: IGC

Namun semua dukungan pihak ketiga terhadap perkembangan Dota 2 berubah ketika game mobile menyerbu pasar. Tahun 2017 mungkin bisa dibilang adalah titik baliknya, ketika Mobile Legends Bang-Bang pertama kali menghadirkan esports di Indonesia lewat gelaran MSC.

Setelah Mobile Legends bersinar, pihak ketiga yang tadinya mencoba berinvestasi di Dota 2 pun mulai pindah ke MOBA di mobile tersebut. Alasannya sederhana, karena MLBB kala itu berhasil memukau khalayak Indonesia dengan banyaknya jumlah penonton dan pengunjung turnamennya.

Perubahan dukungan pihak ketiga terhadap perkembangan Dota 2 cukup terasa dari tahun 2017 ke tahun 2018. Dari sisi IGC sebagai contohnya, jumlah hadiah untuk turnamen Dota 2 menurun dari Rp500 juta di tahun 2017 menjadi Rp150 juta di tahun 2018, bahkan sampai akhirnya IGC tak lagi mempertandingkan Dota 2 di tahun 2020. Seiringan dengan hal tersebut, turnamen Dota 2 juga berangsur menurun jumlahnya sampai akhirnya kini menjadi hampir mati suri.

Namun patut dicatat bahwa Dota 2 sebenarnya tidak bisa dibilang sepenuhnya mati total di Indonesia. Komunitasnya sebenarnya masih cukup hidup membincangkan soal esports ataupun seputar gamenya itu sendiri.

Penikmat esports-nya juga masih ada dan terbilang tetap setia mengikuti perkembangannya. Salah satu bukti atas hal tersebut mungkin bisa kita lihat dari channel YouTube WxC Indonesia yang secara rutin menayangkan pertandingan Dota 2 yang berjalan secara internasional dengan komentar bahasa Indonesia.

Hingga saat ini, channel WxC Indonesia sendiri bahkan sudah mencatatkan 70 ribu lebih subscriber. Jumlah penikmat pertandingan esports Dota 2 bahkan tergolong masih cukup bayak orangnya. Dalam satu kesempatan, pertandingan DPC Europe yang mempertandingkan OG bahkan mencatatkan 153 ribu lebih total views. Sebuah angka yang sebenarnya cukup lumayan walaupun keadaan komunitasnya seperti demikian.

https://www.youtube.com/watch?v=jcJ5lIWL8IY

Kisah perkembangan Dota 2 di Indonesia memang teramat unik. Kisahnya menjadi unik karena Dota 2 bisa tumbuh menjadi cukup besar walau sebenarnya berkembang secara organik.

Posisi Dota 2 yang dianggap sebagai pionir MOBA oleh gamer Indonesia mungkin jadi salah satu alasannya. Karena bagaimanapun, pada masa itu kehadiran Dota 2 tergolong lebih duluan kalau kita bandingkan dengan kehadiran League of Legends di Indonesia.

Posisi Dota 2 di zaman sekarang juga jadi tambah unik lagi. Pada satu sisi, esports game-nya di kancah lokal terbilang sudah mati suri. Tapi pada sisi lain, para penggemar esports serta komunitasnya tergolong masih hidup dan masih cukup keras menggemari esports Dota 2.

Jadi dalam kasus ini, Valve sebenarnya punya andil juga atas hidupnya komunitas dan penggemar esports Dota 2 di Indonesia. Hal tersebut saya katakan karena Valve sebenarnya masih menyokong perkembangan esports Dota, walau skalanya hanya regional (SEA dan sebagainya) dan internasional saja.

 

CS:GO yang Tak Sempat Berkembang Karena Game Berbayar

Counter-Strike merupakan game lain yang di-develop serta dirilis oleh Valve. Karena sama-sama game besutan Valve, maka perlakuannya pun kurang lebih serupa dengan Dota 2. Sepanjang perkembangannya, Counter Strike juga berkembang seperti Dota 2, berkembang secara organik tanpa ada bantuan Valve di ranah lokal.

Popularitas Counter-Strike di Indonesia malah terjadi jauh sebelum Counter-Strike: Global Offensive ada. Masa kejayaan bisa dibilang terjadi di awal tahun 2000an. Pada masa itu, CS berkembang lewat warnet-warnet. Dari warnet, CS berkembang ke berbagai lini di esports yang bahkan masih langgeng sampai sekarang di Indonesia.

NXL contohnya, yang bermula dari tim warnet menurut cerita Richard Permana sang CEO. Lalu ada juga Liga Jakarta, salah satu kompetisi perdana yang membuat tercetusnya kehadirann WCG yang merupakan salah satu event esports terbesar di zaman itu menurut kisah dari Eddy Lim selaku CEO dari Liga Game.

Sumber: Dokumentasi Eddy Lim

Pada masa keemasannya, tim-tim asal Indonesia juga tercatat mencetakkan prestasi yang luar biasa di tingkat Internasional. Pada tahun 2003 misalnya, ada tim XCN yang berhasil mencapai babak utama WCG 2003 yang diadakan di Seoul, Korea Selatan. Pada tahun setelahnya baru NXL yang mencuat, menjadi wakil Indonesia untuk gelaran WCG tahun 2008. Pembahasan lebih lengkap atas hal tersebut sudah sempat saya bahas dalam artikel seputar sejarah esports Counter-Strike di Indonesia.

Tetapi menariknya, perkembangan esports CS:GO justru terbilang melambat ketika CS:GO rilis di pasaran. Namun memang ada satu perbedaan fundamental antara CS 1.6 dengan CS:GO. Perbedaannya adalah CS 1.6 yang bersifat free to play sementara CS:GO yang mengharuskan pemainnya untuk membayar sejumlah uang untuk bisa main. Soal kausalitas antara game gratis dengan kesuksesannya sebagai esports juga sudah sempat saya bahas dalam kesempatan yang berbeda.

Karena game-nya berbayar, banyak gamer yang tidak terlalu tahu dengan CS:GO sehingga membuat game CS:GO sendiri cenderung kurang berkembang di pasar Indonesia. Richard Permana yang sudah kurang lebih 15 tahun menekuni CS 1.6 dan CS:GO juga mengakui, bahwa memang esports suatu game akan sulit berkembang apabila tanpa dukungan dari sang publihser.

“Dari sudut pandang sebagai pemain, game esports yang tak ada dukungan publisher akan sulit sekali berkembang. Saya sebagai pemain juga jadi harus usaha ekstra keras untuk bisa mencapai prestasi yang jauh sekali.” Tuturnnya.

Sumber: NXL

Richard lalu menjelaskan maksud dukungan publisher yang ia maksud. “Dukungan publisher itu penting sekali menurut saya. Seperti yang kita saksikan pada game seperti PUBG Mobile, MLBB, dan Free Fire yang berkembang begitu masif. Banyak perkembangan terjadi di ekosistem esports game tersebut berkat dari apa yang dikerjakan oleh publiher-nya di Indonesia. Selain itu, menurut saya beberapa bentuk dukungan publisher yang diperlukan dari sisi player sendiri adalah sirkuit nasional yang terstruktur, serta jalur ke tingkat internasional yang juga jelas.”

Apa yang dikatakan Richard ada benarnya juga. Tanpa sirkuit kompetisi lokal yang jelas, pemain akan kesulitan mencari lawan bertandingnya. Tanpa lawan tanding, pemain akan jadi sulit berkembang untuk bisa bertanding ke tingkat yang lebih tinggi lagi.

Bukti dukungan publisher ke skena lokal yang berbuah prestasi bisa kita lihat sendiri pada tiga game yang disebut Richard tadi. Pada MLBB, Indonesia menjadi kekuatan yang dominan di tingkat Asia Tenggara bahkan sampai jadi juara dunia pada M1 2019. Pada PUBG Mobile, juga ada Bigetron RA yang berkembang pesat berkat turnamen rutin yang diadakan oleh Tencent selaku sang publisher. Begitu juga dengan Free Fire lewat liga esports yang mereka adakan demi mengembangkan talenta esports Indonesia.

Sementara itu bagaimana dengan CS:GO sendiri? Turnamennya saja sangat minim sekali di Indonesia. Ditambah lagi, kesempatan untuk bisa tembus ke tingkat internasional juga sangat kecil sekali karena jumlah seeding yang sangat sedikit dari di tingkat internasional.

Sumber: Dokumentasi Eddy Lim

Jadi tanpa wadah tanding di kancah lokal, kesempatan yang kecil sekali bagi tim asal Asia, jadi beberapa faktor alasan kenapa esports CS:GO tidak berkembang di skena lokal. Belum lagi lawannya di tingkat internasional nanti adalah tim-tim asal Eropa, Amerika, CIS, dan Amerika Latin yang nafasnya adalah game CS:GO itu sendiri.

Kisah CS:GO di Indonesia mungkin bisa dibilang sebagai kisah paling nahas dari perkembangan esports yang tidak didukung oleh sang publisher. Walaupun sempat berjaya pada CS 1.6 karena free-to-play, tetapi CS:GO yang terlambat mengubahnya jadi game gratis kehilangan momentumnya untuk para pemain di Indonesia.

 

Penutup

Setelah melihat cerita berbagai game esports di Indonesia yang bergulir tanpa dukungan langsung sang publisher, memang komunitas yang gigih bisa dibilang jadi salah satu alasan kenapa suatu game masih bisa bertahan di Indonesia ataupun negara lainnya.

Hal tersebut bisa kita lihat di hampir semua cerita. Cuma memang, tidak semua kegigihan komunitas tersalurkan ke dalam bentuk turnamen mandiri.

Pada Dota 2, bentuk dukungan komunitas terhadap esports Dota 2 bisa terlihat dari bagaimana mereka lebih memilih menonton pertandingan di channel berbahasa Indonesia ketimbang channel internasional. Dalam kasus R6 misalnya, bentuk kegigihan mereka terlihat dengan usaha Bobby menjaga R6 IDN untuk tetap aktif.

Lalu pada sisi lain, investasi pihak ketiga dan dukungan badan pemerintahan ternyata jadi faktor yang diluar dugaan melihat dari perkembangan esports PES dan hadirnya liga IFeL di Indonesia.

Menutup pembahasan ini, jadi mampukah esports berkembang tanpa dukungan langsung dari sang publisher di ranah lokal?

Jawabannya bisa jadi selalu iya.

Tapi kalau ditanya lagi sampai mana perkembangannya? jawabannya akan selalu terbatas dengan jumlah massa-nya, kegigihan, serta modal yang mau dikeluarkan untuk terus menjaga agar komunitas suatu game tetap aktif terutama dari sisi esports.

Kenapa Tidak Semua Game Kompetitif Sukses Berkembang Jadi Esports?

Kenapa League of Legends lebih besar sebagai esports di tingkat internasional ketimbang Dota 2? Kenapa CS:GO bisa menjadi fenomena esports yang besar di Eropa dan Amerika, namun nafasnya kini sekarat di Indonesia ataupun Asia Tenggara? Pertanyaan-pertanyaan tersebut mungkin sempat terbesit di kepala Anda. Apalagi bila Anda adalah pemain atau mungkin penggemar esports dari game-game tersebut.

Lalu apa jawaban dari pertanyaan-pertanyaan di atas? Kenapa satu game bisa populer esports, sedangkan game lainnya seperti kalah pamor? Dalam artikel ini saya akan mencoba membahas dan mencari tahu faktor-faktor apa yang bisa membuat sebuah game sukses sebagai esports. Berikut pembahasannya.

 

Berkaca Dari Industri Olahraga

Apabila Anda sempat membaca artikel saya yang lainnya, Anda mungkin sadar kalau saya beberapa kali membandingkan atau menggunakan industri olahraga sebagai referensi dalam menjelaskan fenomena di esports. Salah satu alasannya adalah karena saya merasa esports memiliki sekian banyak kesamaan dengan industri olahraga pada beberapa aspek.

Pembahasan di dalam artikel saya kali ini juga terinspirasi dari pembahasan terkait industri olahraga yang dilakukan di salah satu video milik channel YouTube bernama Atheltic Interest. Video yang menjadi inspirasi saya adalah video yang berjudul “Kenapa olahraga bola basket lebih menjual ketimbang baseball.”

Video Athletic Interest dibuat dengan menggunakan bahasa Inggris berdasarkan dari tulisan milik Steffan Heuer yang ditulis dalam bahasa Jerman. Tulisan milik Steffan Heuer sendiri terbit di sebuah majalah bisnis olahraga bernama Brandeins. Dalam pembahasannya, Steffan mengatakan bahwa ada empat faktor yang secara umum membuat bola basket jadi lebih populer secara internasional ketimbang baseball.

Pertama, permainan baseball tergolong lebih rumit ketimbang bola basket. Kedua, durasi pertandingan baseball terlalu panjang. Ketiga, musim liga juga terlalu panjang. Keempat, negara asal pemain bintang baseball kurang beragam.

Saya akan membahas maksud dari poin-poin yang disebut oleh Steffan secara singkat. Lebih lengkapnya Anda bisa tonton video tersebut atau mungkin menggunakan Google Translate untuk membaca tulisan bahasa Jerman milik Steffan Heuer.

Soal faktor pertama, Steffan Heuer membandingkan tingkat kerumitan kedua olahraga tersebut dengan menggunakan ketebalan rulebook dari kedua olahraga tersebut. Liga utama baseball yaitu MLB memiliki total 188 halaman rulebook sementara liga utama bola basket NBA hanya 68 halaman saja. Banyaknya peraturan membuat olahraga baseball tergolong jadi lebih rumit, walau permainan tersebut sebenarnya terlihat sesederhana satu orang melempar bola dan satu orang memukulnya.

Selanjutnya pada faktor kedua, durasi permainan juga jadi faktor lain kenapa bola basket bisa lebih populer ketimbang Baseball. Durasi bersih dari pertandingan bola basket adalah 48 menit (4 quarter selama 12 menit). Ditambah dengan timeout ataupun gimmick half-time show, maka durasi paling lama dari tayangan pertandingan bola basket menjadi sekitar dua jam. Sementara itu, dua jam adalah durasi paling singkat dari pertandingan Baseball. Bahkan sempat ada pertandingan baseball berjalan selama 8 setengah jam dan berlangsung selama dua hari di tahun 1981.

Lalu soal faktor ketiga. Steffan menjelaskan bahwa ada 162 pertandingan dalam musim liga yang berjalan selama 6 bulan (sekitar 27 pertandingan dalam sebulan). Ditambah lagi, babak final Baseball juga dipertandingkan secara best-of 7. Dengan durasi pertandingannya, pertandingan best-of 7 bisa jadi diselenggarakan dalam satu bulan penuh atau mungkin lebih.

Lalu faktor terakhir adalah karena bintang-bintang olahraga baseball yang kebanyakan berasal dan hanya dikenal di Amerika Serikat saja. Bagaimana dengan bola basket? Kalau Anda mengikuti liga NBA, Anda mungkin tahu bahwa beberapa pemain bintang bola basket datang dari luar Amerika Serikat. Contohnya seperti Dirk Nowitzki yang berasal dari Jerman atau Yao Ming yang berasal dari Tiongkok.

Selain dari empat faktor inti tersebut, ada juga faktor faktor lain yang dijelaskan singkat di video tersebut. Faktor lain termasuk seperti invesasi NBA di Tiongkok dengan cara membangun lapangan-lapangan basket dan bahkan membangun kantor di sana. Investasi tersebut pun cukup berhasil membuat bola basket dikenal di negeri tirai bambu.

Sumber Gambar - Video Athletic Interests
Beberapa bentuk investasi NBA yang dilakuan di Tiongkok. Sumber Gambar – Video Athletic Interests

Faktor lain yang terakhir juga datang dari sisi perlengkapan yang dibutuhkan. Untuk bermain bola baseball, Anda butuh perlengkapan yang macam-macam dan mahal harganya. Lapangannya juga harus luas. Sementara bola basket? Tanpa perlengkapan pun sebenarnya bisa saja, asalkan Anda pakai sepatu, baju dan celana yang leluasa digunakan saat bergerak secara aktif, lapangan kecil dengan dilengkapi tiang basket, dan sebuah bola.

Empat faktor dan beberapa faktor tambahan tersebut adalah beberapa hal yang membuat bola basket jadi lebih menjual ketimbang dari baseball. Berdasarkan dari penjelasan milik Steffan Heuer di atas, saya menangkap bahwa olahraga bola basket jadi lebih menjual karena permainannya yang lebih sederhana, durasinya singkat dan penuh aksi, pertandingan liganya cocok membuat penonton jadi lebih tertarik, dan karena bola basket dianggap sebagai olahraga internasional.

Empat poin tersebut sebenarnya bisa dikelompokkan lagi menjadi dua. Ada faktor internal dan faktor eksternal. Apa maksudnya faktor internal adalah faktor daya tarik dari permainannya itu sendiri. Kalau faktor eksternal? Ialah dorongan dari pihak tertentu untuk membuat sebuah permainan jadi dikenal dan diterima lebih banyak orang.

Berdasarkan penjelasan Steffan, maka faktor pertama dan kedua bisa digolongkan sebagai faktor internal karena menjelaskan apa yang jadi daya tarik dari olahraga permainan bola basket. Faktor ketiga dan keempat bisa digolongkan sebagai faktor eksternal, karena dua faktor tersebut adalah penjelasan soal apa yang dilakukan NBA agar pertandingan bola basket jadi bisa dinikmati orang-orang dan membuatnya jadi lebih dikenal secara internasional.

Sekarang, mari coba kita lihat apakah faktor-faktor tersebut juga berlaku dari sisi esports.

 

Bagaimana Beberapa Game Bisa Populer Menjadi Esports

Menurut saya, empat faktor tersebut sebenarnya masih bisa ditranslasikan ke dalam esports. Faktor pertama dan kedua adalah daya tarik game-nya itu sendiri yang bisa diartikan sebagai aspek gameplay. Faktor ketiga dan keempat adalah bagaimana usaha developer/publisher mempromosikan game-nya dan merancang ekosistem esports game terkait agar jadi dapat dinikmati para penggemarnya dan membuatnya jadi lebih dikenal secara internasional.

Berdasarkan dari apa yang saya tangkap dalam penjelasan Steffan, faktor internal tetaplah menjadi faktor penting alasan kenapa olahraga permainan bisa populer. Karena mungkin saja perkembangan industri olahraga sebenarnya mirip seperti esports kini.

Mirip bagaimana? Berawal dari penciptaan permainannya terlebih dahulu, lalu permainan tersebut mulai dimainkan, dan menarik minat banyak orang. Setelah ada banyak orang tertarik, kompetisi mulai digelar, sampai akhirnya kompetisi tersebut dikomersialisasi sampai akhirnya menjadi sebuah bisnis seperti sekarang. Mungkin dahulu orang-orang yang menonton liga bola basket hanyalah orang-orang yang main basket saja. Tapi karena permainannya tergolong sederhana dan mudah dimengerti, dilengkapi dengan promosi gencar yang dilakukan NBA, lama kelamaan pun orang  yang tidak main basket turut tertarik menonton pertandingan olahraga bola basket.

esports event

Esports sendiri awalnya juga tidak digagas oleh developer atau publisher. Esports pada awalnya digagas oleh komunitas pemainnya yang akhirnya kini didorong menjadi lebih besar oleh sang pihak pertama yaitu developer. Hal tersebut sempat saya bahas dalam artikel pembahasan seputar sejarah esports. Anda bisa membacanya pada tautan yang satu ini. Karenanya, bisa dibilang apabila sebuah game ingin sukses sebagai esports, game-nya itu sendiri harus memang sudah menarik pada awalnya.

Mari kita coba melihat perjalanan League of Legends menjadi game esports global sebagai bentuk studi kasus proses sebuah game bisa sukses menjadi esports global. Dalam prosesnya menjadi seperti sekarang, League of Legends sebenarnya sudah populer sejak dari tahun-tahun awal perilisannya. Data milik statista.com mengatakan ada 15 juta pengguna aktif bulanan League of Legends pada dua tahun pasca game tersebut rilis tahun 2009.

Bagaimana League of Legends bisa muncul jadi lebih populer ketimbang custom game aslinya yaitu Defense of the Ancients (custom map untuk Warcraft III: The Frozen Throne)? Mungkin bisa dibilang karena League of Legends telah memenuhi dua faktor dari penjelasan milik Steffan Hauer di atas, yaitu permainan yang lebih sederhana dan durasi pertandingan yang cenderung lebih singkat.

Apabila dibandingkan dengan DotA, League of Legends tergolong lebih sederhana. Sederhana bagaimana? Pembagian role di League of Legends tergolong lebih jelas. Item di dalam League of Legends juga jarang bisa diaktifkan yang membuat pemain tidak perlu mengingat banyak kombinasi karakter dengan item. Selain itu, League of Legends juga membuat sistem fog of war jadi lebih sederhana dengan menghilangkan mekanik high ground dan low ground, mekanik siang dan malam, serta mengganti pohon-pohon menjadi semak untuk sembunyi. Karena lebih sederhana, League of Legends pun lebih bisa diterima oleh lebih banyak orang ketimbang Dota 2.

Lalu faktor kedua, durasi permainan dan kadar aksinya. League of Legends juga bisa dikatakan menjadi pionir yang berhasil membuat MOBA jadi punya durasi dan akhir permainan yang lebih pasti. Pada zamannya, satu permainan Defense of the Ancient berdurasi paling minimal sekitar 45 menit. Durasi tersebut masih bisa melar lagi apabila pertandingannya sengit. Sementara durasi paling minimal dari satu permainan League of Legends berdurasi sekitar 30 menit.

Soal kadar aksi pertandingan LoL dengan Dota 2 mungkin masih bisa diperdebatkan. Namun satu hal yang pasti adalah sistem ekonomi snowballing yang diterapkan di dalam game League of Legends membuat arah pertarungan menjadi lebih jelas, siapa yang unggul dan siapa yang kalah. Dalam sistem snowballing, tim yang kalah di awal-awal permainan akan punya kesempatan yang lebih kecil untuk membalikkan keadaan.

Sementara Dota menerapkan mekanisme rubber band di dalam permainannya. Sistem tersebut memang membuat tarik ulur permainan jadi lebih menarik, tetapi juga membuat arah pertarungan, dan sulit menebak kapan pertandingannya berakhir. Dalam sistem rubber banding keunggulan sebuah tim bisa dibalik begitu saja sehingga permainan jadi imbang lagi. Karenanya pertandingan Defence of the Ancients dan Dota 2 pada awal masanya punya durasi yang cenderung panjang bahkan kadang tidak jelas kapan akan berakhir.

Sebagai bukti dari opini di atas, saya pun mencoba googling “longest match in League of Legends” dan “longest match in Dota 2”. Hasilnya pun seperti yang saya perkirakan. Pertandingan League of Legends profesional terlama adalah pertandingan antara SKT vs Jin Air di LCK Spring 2018 yang berdurasi 1 jam 34 menit. Dota 2? Pertandingan terlamanya adalah antara Cloud9 vs ScaryFaceZ pada kualifikasi Starladder Season 12 (2015) yang berdurasi 3 jam 20 menit. Anda tidak salah baca, TIGA… Jam. Keduanya mungkin sama-sama menyajikan aksi tanpa henti. Tapi saya sih jadi mabok dan ingin pulang kalau harus menonton Dota 2 selama 3 jam.

Pada faktor ketiga, Steffan Heuer menyoroti soal perbedaan durasi musim kompetisi. Saya mengartikan poin tersebut sebagai format kompetisi yang tepat bagi olahraga permainan. Sejauh ini, apa yang dilakukan Riot Games terhadapi liga esports League of Legends memang tergolong luar biasa kalau dibandingkan dengan game-game lainnya.

Esports League of Legends dikelola dengan sangat serius oleh Riot Games yang membuatnya kini sudah hampir mirip-mirip dengan liga olahraga. Maksud saya mirip-mirip adalah jadwal pertandingan yang rutin, pasti, dan dengan jumlah pertandingan yang pas (tidak terlalu padat tapi tidak terlalu lengang juga). Karenanya tidak heran apabila League of Legends berhasil melanjutkan kesuksesannya, dari game yang banyak dimainkan orang-orang menjadi pertandingan esports banyak ditonton orang-orang dan berhasil mencatatkan 139 juta lebih total watch hours pada tahun 2020 lalu.

Faktor terakhir adalah soal keanekaragaman pemain bintang di dalam suatu liga olahraga. Pada poin tersebut, saya mengartikannya maksud pembahaasan Stefan Heuer sebagai bentuk investasi pihak terkait kepada skena-skena lokal. Dalam konteks bola basket vs bola baseball, video tersebut menjelaskan bagaimana investasi MLB sebagai pihak pertama di industri olahraga baseball Amerika Serikat terlalu fokus di negara itu saja. Sementara di sisi lain, NBA terus menerus mengembangkan pasarnya, salah satu contohnya yang disebut dalam video adalah dengan melakukan investasi ke Tiongkok .

Karenanya, bola basket jadi tergolong lebih populer (dan lebih menjual) secara internasional ketimbang baseball. Lebih banyak negara yang memainkan bola basket bisa diartikan semakin beragam pemain-pemain bintangnya dan semakin banyak penontonnya. Semakin beragam dan semakin populernya permainan tersebut, maka bola basket pun akan memiliki nilai jual yang lebih berharga. Sementara baseball? Heuer menjelaskan bahwa kebanyakan bintang bola baseball hanya berasal dan dikenal di Amerika Serikat saja.

Sumber: Riot Official Release
Bukan cuma di Eropa dan Amerika saja, League of Legends juga punya liga profesional untuk kawasan Asia Pasifik. Sumber: Riot Official Release

League of Legends mungkin menerapkan strategi yang serupa seperti yang dilakukan NBA, walaupun saya sebenarnya tidak tahu betul apakah Riot Games benar terinspirasi oleh NBA atau tidak. Hal tersebut terlihat dari bentuk investasi Riot Games terhadap esports League of Legends di berbagai belahan dunia, bahkan sampai spesifik ke beberapa negara.

Liga esports League of Legends terbesar dunia saat ini ada di empat kawasan, ada LEC di Eropa, LCS di Amerika Serikat, LCK di Korea Selatan, dan LPL di Tiongkok. Riot Games juga berinvestasi terhadap kawasan kecil yang punya potensi seperti PCS di SEA, Taiwan dan sekitarnya, OPL di kawasan Oceania (Australia dan Sekitarnya), LCL di kawasan CIS (Rusia, Ukraina, dan sekitarnya), NLC di Eropa Utara (Britania Raya, negara-negara nordik, dan sekitarnya), dan LLA di Amerika Latin. Selain kawasan kecil, Riot Games bahkan berinvestasi juga untuk negara-negara yang potensial seperti LJL di Jepang, VCS di Vietnam, TCL di Turki, dan CBLoL di Brazil.

Semua yang saya sebut barusan bahkan mungkin belum semuanya. Tetapi dari sana kita bisa melihat bagaimana Riot Games benar-benar serius mengembangkan League of Legends menjadi esports tingkat global. Dari bentuk investasi tersebut, jadi tidak heran kalau esports League of Legends bisa berkembang menjadi besar seperti sekarang.

 

Kenapa Beberapa Game Kurang Sukses Menjadi Esports

Setelah melakukan studi kasus dari League of Legends yang sukses besar dari game menjadi esports kelas dunia, sekarang mari kita juga melihat kenapa beberapa game tergolong kurang berhasil sebagai esports. Game yang saya jadikan contoh di sini adalah Pro Evolution Soccer dan Fighting Games.

Kenapa dua game tersebut saya pilih sebagai contoh? Alasannya adalah karena saya merasa kedua game tersebut sebenarnya sudah berhasil memenuhi dua faktor internal yang kita bahas di atas, namun entah kenapa posisinya sebagai esports justru tertutupi oleh game-game MOBA ataupun FPS.

Fighting game tergolong sederhana, walaupun mekanisme game tersebut tergolong sulit sekali apabila diselami lebih dalam. Tapi, bukankah kebanyakan game esports juga begitu? Mudah pada percobaan awal, namun akan semakin rumit apabila diselami lebih dalam. Tetapi fighting game bisa dibilang mudah kalau kita hanya sekadar main saja. Fighting game juga berdurasi pendek saat dipertandingkan dan punya aksi pertandingan yang seru.

Bagaimana dengan PES? Pada dasarnya PES adalah sepak bola yang dimainkan secara virtual. Gameplay PES adalah permainan sepak bola itu sendiri. Kalau ada 517 juta orang di dunia yang menonton pertandingan sepak bola, masa iya game sepak bola tidak bisa sukses sebagai esports?

Bram Arman (kiri). Sumber: Advance Guard
Bram Arman (kiri). Sumber: Advance Guard

Untuk itu saya pun berbincang dengan Valentinus Sanusi selaku founder Liga1PES dan Bram Arman yang kerap kali dianggap sebagai “sepuh” di komunitas game fighting (FGC) di Indonesia. Dari diskusi yang kami lakukan, saya menyimpulkan bahwa memang salah satu alasan kenapa dua game tersbut kurang sukses sebagai esports dunia adalah karena kurangnya investasi dari developer selaku pihak pertama. Faktor eksternal lainnya juga termasuk karena dua game tersebut dikembangkan oleh perusahaan Jepang, negara yang tergolong kurang tanggap mengadopsi model bisnis game free to play ataupun bisnis ekosistem esports. Selain itu ada juga beberapa faktor internal game-nya itu sendiri terutama dari segi akses.

Dalam hal game fighting, Bram Arman menceritakan bagaimana game fighting yang sangat bersifat community base jadi salah satu alasan FGC kalah besar dibanding game esports lain secara umum. “Sejauh yang saya tahu, esports mainstream berkembang pesat berkat penetrasi langsung dari 1st party (developer/publisher). Karenanya investasi esports yang dilakukan jadi tergolong langsung. Kalau FGC berbeda, justru 1st party muncul belakangan. Investasi 1st party juga hanya di negara maju saja. Karenanya di Indonesia sendiri, perkembangan FGC tergolong organik dengan bantuan yang minim dari 1st party.”

Memang kalau kita melihat perkembangan FGC, Evolution Championship Series yang sebenarnya berawal sebagai turnamen komunitas justru adalah lini terdepan dalam perkembangan esports game fighting ketimbang turnamen-turnamen yang dimulai oleh pihak pertama. Evolution Championship Series yang bahkan jauh lebih dulu ada di tahun 1995 ketimbang Capcom Pro Tour yang digagas pengembang Street Fighter mulai tahun 2013.

Lalu bagaimana dengan Pro Evolution Soccer? Kenapa game sepak bola tidak bisa menjual sebagai esports ketimbang dari olahraga sepak bola itu sendiri? Valen pun menjawab. “Kalau menurut saya salah satu alasannya adalah karena masyarakat esports itu sebenarnya berbeda dengan masyarakat sepak bola secara umum. Jadi dari apa yang saya amati, masyarakat sepak bola mayoritas itu belum tentu beririsan dengan pecinta esports. Jadi bisa dibilang pecinta sepak bola itu bukan tergolong esports enthusiasts.”

Valentinus Sanusi. Dokumentasi: Valentinus
Valentinus Sanusi. Dokumentasi: Valentinus

Lebih lanjut terkait maksud dari esports enthusiasts, Valen lalu menjelaskan. “Maksudnya esports enthusiasts di sini adalah bukan tipe orang yang akan mencari pertandingan esports ketika membuka media sosial ataupun YouTube. Karenanya masih perlu usaha yang cukup keras untuk menularkan antusiasme esports game sepak bola ke kalangan umum. Supaya penonton bola jadi menonton esports sepak bola.”

Mendengar penjelasan dari Valen, saya jadi teringat dengan konsep Social Media Bubble yang mengurung para penggunanya di dalam kelompok tertentu yang disukai. Jadi apabila kita bicara presensi secara digital, tidak heran kalau penggemar sepak bola bisa saja tidak kenal esports sepak bola atau bahkan mungkin tidak tahu menahu soal game sepak bola itu sendiri.

Selain itu saya juga menanyakan pendapat mereka terkait faktor internal atau daya tarik game-nya itu sendiri. Paragraf ketiga dari sub bagian ini adalah pendapat saya sendiri, tapi bagaimana dengan pendapat dari Bram dan Valen?

Dalam hal PES, saya juga sempat melihat video lain yang membahas alasan kenapa esports game sepak bola lainnya (yaitu FIFA) kurang sukses sebagai esports. Video tersebut mengatakan salah satu alasannya adalah karena gameplay FIFA terlalu melibatkan faktor luck di dalamnya. Maksudnya melibatkan faktor luck adalah karena dalam FIFA, orang yang memainkan game-nya hanya mengendalikan satu orang saja sementara 10 sisanya dikendalikan AI. Karenanya video tersebut menganggap outcome yang dihasilkan di dalam pertandingan game sepak bola terlalu banyak melibatkan keberuntungan. Bagaimana dengan PES?

Valen mengatakan. “Saya sangat tidak setuju terhadap pendapat tersebut. FIFA tahun ini baru merilis fitur kompetisi baru yaitu FUT co-op. Lalu sementara itu dari sisi PES sendiri kurang lebih malah lebih sudah sekitar 3 tahun lebih dulu menyajikan pertandingan co-op untuk esports. Bahkan saat ini ada juga pertandingan eFootball Pro dengan format 3 vs 3. Kedua, mungkin aspek luck mungkin memang ada, tapi proporsinya tentu sangat kecil dan hal tersebut adalah aspek-aspek eksternal yang menurut saya justru adalah bumbu dari sepak bola; secara virtual ataupun di dunia nyata sekalipun.”

Lalu bagaimana dengan fighting game? Bram juga mengatakan pendapatnya yang menjelaskan soal masalah akses para gamers terhadap game bergenre fighting secara umum. “Kalau menurut saya, salah satu alasan fighting game ketinggalan dibanding dengan game lain sebagai esports, salah satunya mungkin karena model bisnisnya yang konvensional. Kebanyakan game fighting mengharuskan pemainnya membayar sejumlah uang untuk memainkan game tersebut. Harganya pun bisa dikatakan bukan harga yang cukup terjangkau secara umum. Namun game fighting memang sempat menggratiskan permainannya, namun hanya sebagai free trial saja.” Bram menyoroti masalah akses kepada game fighting yang secara otomatis mempengaruhi jumlah pemain dari game fighting itu sendiri.

“Ditambah lagi learning curve game fighting juga saya rasa cenderung lebih sulit ketimbang game lain. Walau awalnya terasa mudah untuk pemula, tapi tingkat kesulitannya meningkat tajam apabila bermain secara high level play. Contoh paling sederhananya misalnya saja melakukan combo.” Tambah Bram.

Memang fighting game tergolong lebih sulit kalau dibandingkan dengan game-game lain. Sulit seperti apa? Bagaimana input tombol mempengaruhi output gerakan mungkin jadi salah satu contohnya. Game seperti MOBA atau shooter punya input yang sederhana, klik pada mouse dan tombol keyboard QWER untuk skill MOBA atau WASD untuk pergerakan game shooter. Fighting game tidak.

Dalam Tekken saja contohnya, menekan tombol kotak saja punya output berbeda dibandingkan dengan menekan tombol kotak ditambah tombol maju. Belum lagi jenis gerakan juga berbeda antara satu karakter dengan karakter yang lain. Belum lagi karakter yang satu mungkin punya input kotak + tombol maju, tapi karakter lain tidak. Karenanya Anda butuh memori yang kuat, kemampuan penentuan keputusan yang cermat, dan jari jemari yang tangkas apabila ingin sedikit lebih baik di dalam permainan fighting game. Lebih lengkapnya sempat saya bahas juga pada kesempatan sebelumnya soal keunikan fighting game yang membuatnya memiliki daya tarik tersendiri.

Lebih lanjut, pembahasan kami lalu beralih ke soal faktor eksternal. Dua game tersebut memeiliki satu kesamaan, dikembangkan oleh developer asal Jepang. Saya pun jadi bertanya, apakah hal tersebut menjadi faktor juga? Baik Bram dan Valen pun ternyata setuju bahwa salah satu alasan kenapa fighting game dan PES jadi kurang sukses sebagai esports karena faktor developer Jepang.

“Mungkin bisa dikatakan begitu.” Bram membuka pembahasan. “Jepang bahkan sempat punya undang-undang yang melarang hadiah uang untuk turnamen esports, kecuali dilakukan oleh 1st party. Organizer pihak ketiga hanya diperkenankan untuk memberikan hadiah merchandise saja.”

Valen lalu menambahkan. “Saya juga setuju kalau dikatakan developer Jepang tergolong terlambat di dunia esports, tentunya termasuk Konami. Menurut saya developer Jepang itu sudah terlambat bergerak, pergerakannya pun cenderung lambat. Terlalu banyak pertimbangan dari sisi perusahaan dan menurut saya juga kurang agresif soal esports. Contoh nyatanya, Pro Evolution Soccer di konsol dan mobile bahkan masih belum memiliki spectator mode sampai saat ini. Padahal fitur tersebut penting sekali untuk mendukung perkembangan ekosistem esports.”

Memang ada alasan tersendiri kenapa Jepang jadi negara yang terlambat  untuk memahami tren esports. Padahal, negara tersebut bisa dikatakan sebagai salah satu pusat perkembangan industri game. Alasan tersebut adalah karena polemik hubungan yakuza, pemerintah, dan hukum yang melarang perjudian di Jepang.

Artikel milik Imad Khan di ESPN menjabarkan asal usul pandangan negatif dari pemerintah Jepang terhadap tindakan perjudian. Dalam artikelnya Imad menceritakan bahwa salah satu awal mula dari semua hal tersebut adalah Nintendo Koppai (nama perusahaan Nintendo di zaman dulu). Perusahaan tersebut menciptakan mesin judi yang menggunakan teknologi video sekitar tahun 60an. Karenanya, pihak berwajib Jepang jadi mengartikan secara bebas dan melarang pertandingan video game karena dianggap sebagai bentuk lain perjudian. Akhirnya, esports pun jadi sulit sekali berkembang di Jepang dan bahkan kesulitannya bersifat struktural.

Sumber Gambar - JeSU Official
Sumber Gambar – JeSU Official

Turnamen yang mengenakan biaya pendaftaran kepada pesertanya dilarang pemerintah. Ditambah juga seperti apa yang dikatakan oleh Bram, turnamen gratis juga tidak boleh menyertakan uang tunai sebagai hadiah, hanya boleh menyertakan hadiah merchandise saja. Merchandise yang dihadiahkan juga dibatasi nilainya, yaitu sekitar US$1000 berdasarkan dari apa yang ditulis ESPN.

Kehadiran Japan eSports Union (JeSU) di tahun 2018 menjadi secercah harapan untuk menembus kebuntuan pengembangan esports di Jepang yang terjadi selama ini. Sebagai sarana legalisasi, JeSU membuat lisensi atlet esports untuk menentukan siapa-siapa saja yang berhak menerima hadiah uang tunai dari sebuah turnamen esports. Bahkan kehadiran JeSU dan peraturan soal lisensi pemain profesional itu saja masih sempat menjadi polemik, terutama saat Momochi (pro player Street Fighter V) mengutarakan kritiknya soal sistem yang diterapkan.

Menutup perbincangan, saya pun mencoba berandai-andai dengan kedua narasumber saya tersebut. Kalau saja pemerintah Jepang tidak melarang esports dan developer Jepang lebih gencar nan tanggap dengan tren, akankah esports fighting game dan Pro Evolution Soccer mampu menyaingi League of Legends, CS:GO, atau game esports lain yang juga populer?

“Pertanyaan ‘whati if’ yang menarik. Kalau ditarik ke masa lalu, menurut saya tentu saja sangat mungkin bagi game fighting.” Tutur Bram. “Sebagai genre game yang mudah dimengerti oleh masyarakat umum, saya cukup optimis PES atau game bergenre olahraga lainnya bisa bersaing dengan game esports yang populer.” Valen juga menyertakan pendapatnya.

 

Meramal Tren Game Esports Selanjutnya

Setelah membahas dan melihat studi kasus kenapa suatu game sukses besar sebagai esports dan kenapa game lainnya kurang sukses, pertanyaan selanjutnya mungkin adalah “game apa lagi yang akan jadi tren esports berikutnya?”

Jawaban atas pertanyaan tersebut bisa dibilang susah-susah gampang. Gampangnya bisa saja saya jawab bahwa game esports yang sukses berikutnya adalah game-game yang memiliki empat faktor di atas. Punya gameplay sederhana, durasi permainan yang singkat dengan aksi yang intens. Selain itu gamenya juga harus memiliki format kompetisi yang cocok dengan penontonnya dan dilengkapi dengan investasi sang developer terhadap skena-skena lokal.

Tetapi, menentukan game mana yang punya daya tarik sebenarnya juga cukup sulit. Kenapa? Menurut saya, karena video game tergolong sebagai industri kreatif, kita jadi tidak bisa menentukan resep sukses yang pasti. Kenapa tidak bisa? Kalau menurut opini saya, karena selera masyarakat terhadap karya intelektual itu sulit ditebak.

Tidak usah jauh-jauh, siapa yang mengira bahwa genre MOBA dan Battle Royale bisa menjadi sepopuler seperti sekarang? Bahkan kalau kita melihat ke belakang, kita bisa melihat ada beberapa genre game yang dulu menjadi idola namun sudah mulai ditinggal oleh gamers zaman sekarang. Genre RTS dari game seperti StarCraft atau MMORPG dari game seperti Ragnarok Online misalnya.

Jangankan esports, selera masyarakat di ranah olahraga saja juga tidak ada rumus pastinya. Seperti yang disebut di awal video milik Athletic Interest. Walaupun setengah populasi dunia keranjingan sepak bola, tetapi beberapa negara tetap punya olahraga favoritnya tersendiri seperti panahan di Bhutan, ski di Austria, gulat di Mongolia, atau mungkin juga seperti badminton di Indonesia. Contoh lain yang mungkin terasa lebih aneh, Anda bisa lihat video kompetisi orang kuat di bawah ini yang secara mengejutkan punya banyak penonton dan berhasil membuat para penontonnya jadi heboh.

Lalu kalau bicara soal faktor ketiga dan keempat, prediksi trennya mungkin akan jadi lebih rumit lagi. Game-game terbaru Riot Games mungkin saja akan jadi tren esports baru lainnya. Kenapa? Salah satunya adalah dari bagaimana Riot Games memandang esports sudah bukan lagi cuma sekadar sarana marketing tetapi sebagai bentuk model bisnis.

Tetapi hal tersebut saja juga tidak bisa dijadikan patokan. Walaupun Riot Games berkomitmen dengan sungguh-sungguh mengembangkan esports Wild Rift atau VALORANT, apakah mungkin dua game tersebut menggeser game sudah lebih dahulu ada? Banyak pertanyaan muncul, tapi kita baru membahas satu. Bagaimana misalnya ada developer yang mungkin antah berantah tapi punya modal besar untuk mengembangkan esports? Akankah game tersebut bisa mengalahkan pasar yang sudah ada saat ini?

Namun saya berharap pembahasan terhadap empat faktor yang disebut oleh Steffan Heuer setidaknya bisa menjadi referensi atau kerangka bagi Anda yang mungkin ingin berinvestasi di esports, entah sebagai pelaku bisnis ataupun sebagai brand yang ingin mensponsori esports.

virtua fighter esports

Sega Bakal Hidupkan Kembali Franchise Virtua Fighter, Fokus ke Esports

Sega berencana untuk menghidupkan kembali franchise fighting game Virtua Fighter. Mereka membuat pengumumkan terkait hal ini dalam acara Tokyo Game Show pada Jumat, 25 September 2020.

Terlahir pada 1993, franchise Virtua Fighter kini telah berumur 27 tahun. Game Virtua Fighter pertama kali diluncurkan untuk platform arcade Model 1 milik Sega. Ketika itu, game tersebut dikenal berkat visualnya yang ciamik pada masanya. Sejak saat itu, game Virtua Fighter telah dirilis di berbagai platform.

Virtua Fighter 5, yang dirilis pada 2006, menjadi game orisinal terakhir yang Sega luncurkan untuk franchise tersebut. Game itu kemudian mendapatkan update dan dirilis ulang dengan nama Virtua Fighter 5 Final Showdown. Saat diluncurkan pada 2010, Virtua Fighter 5 Final Showdown hanya dapat dimainkan di arcade. Dua tahun kemudian, pada 2012, game itu juga dirilis untuk PlayStation 3 dan Xbox 360. Anda juga bisa menemukan game tersebut dalam game Yakuza 6, Yakuza: Like a Dragon, atau Judgment.

Sekarang, Sega mengungkap bahwa mereka punya proyek baru yang dinamai Virtua Fighter x esports. Sayangnya, tidak banyak informasi yang ada terkait proyek itu. Masih belum diketahui apakah Sega akan merilis game Virtua Fighter yang sama sekali baru atau sekadar memperbarui game Virtua Fighter lama sehingga game itu bisa dimainkan di platform yang lebih baru, lengkap dengan fitur multiplayer untuk turnamen. Satu hal yang pasti, terlihat jelas bahwa Sega akan fokus pada sisi esports dari game Virtua Fighter.

Sebelum ini, Sega juga pernah fokus pada fitur competitive multiplayer dan esports dalam salah satu game mereka, yaitu Puyo Puyo Champions, yang dikenal dengan nama Puyo Puyo eSports di Jepang. Game tersebut merupakan game puzzle yang bisa dimainkan di Nintendo Switch, Xbox One, PlayStation 4, dan Windows.

Esports memang tengah berkembang pesat. Jadi, tak heran jika Sega juga tertarik untuk menghidupkan kembali franchsie Virtua Fighter dan fokus pada esports. Walaupun game-game esports yang populer merupakan game MOBA atau FPS, seperti Dota 2, Counter-Strike: Global Offensive, atau PUBG, fighting game juga punya fans dan komunitas tersendiri. Buktinya, EVO sukses menjadi turnamen besar.

Sumber: Polygon, PCMag

Bandai Namco akan Menghelat Tekken 7 dan SoulCalibur VI Online Challenge

Merebaknya pandemi sejak permulaan tahun 2020 sudah memberhentikan banyak gelaran turnamen di tahun ini, termasuk juga turnamen bagi komunitas fighting game. Turnamen sekelas Evo di tahun ini juga urung digelar karena satu dan lain hal yang mengikutinya.

Sebagai pelepas dahaga di tengah keringnya skena kompetitif fighting game, Bandai Namco dalam waktu dekat akan menghelat turnamen online. Di waktu bersamaan Bandai Namco memberikan keterangan dari laman resminya bahwa di tahun ini tidak hanya satu, melainkan akan ada dua turnamen game fighting yang diselenggarakan secara online. Tekken 7 dan SoulCalibur VI adalah dua judul game yang terpilih untuk menggelar turnamen dengan format regional dan dilakukan secara online.

Keseruan dan seluruh atmosfer turnamen offline tentu saja tidak dapat dinikmati pun digantikan selama pandemi masih terus berlangsung. Setidaknya dengan adanya turnamen Online Challenge dari Bandai Namco bisa mengobati kerinduan untuk saling berduel disaksikan ratusan pasang mata hanya saja dengan setting yang berbeda. Dalam rangka beradpatasi dengan situasis pandemi, Bandai Namco menjadikan kestabilan fitur Online Matches sebagai prioritas pengembangan melalui update terbaru kedua game di atas.

Teruntuk game SoulCalibur VI, Online Challenge akan dipertandingkan di tiga region berbeda, yaitu: 3 Oktober 2020 di region Jepang, 31 Oktober 2020 untuk region Amerika Serikat bagian timur, dan terakhir di tanggal 28 November 2020 bagi region Eropa bagian barat.

Di sisi lain Tekken 7 akan mencakup region yang lebih luas daripada SoulCalibur VI. Sepanjang bulan September hingga November tahun ini kita akan disuguhkan 3 region berbeda setiap bulannya. Tekken 7 Online Challenge akan dimulai di region Eropa bagian barat, Korea, dan Amerika Serikat bagian timur di bulan September. Selanjutnya turnamen akan berlanjut di region Eropa bagian utara, region Australia, dan region Amerika Serikat bagian tengah.

Sebelum kembali ke region Jepang di bulan Desember, perlu dicatat juga bahwa Filipina tercatat dalam peta gelaran Online Challenge yang dihelat oleh Bandai Namco. Sedangkan Pakistan yang sempat mengundang rasa penasaran dari komunitas gamers Tekken, belum menjadi tempat yang terpilih.

Masih dalam kesempatan yang sama bandai namco juga menyampaikan bahwa Bud Light dan Astro Gaming akan mendukung jalannya turnamen online yang dihelat oleh Bandai Namco. Astro Gaming akan memberikan dukungan dalam bentuk peripheral yang akan digunakan oleh shoutcaster yang nantinya memandu jalannya pertandingan di gelaran turnamen Online Challenge,

EVO 2020 Umumkan Lineup Game yang Dipertandingkan

Lama ditunggu-tunggu, penyelenggara Evolution Championship Series (biasa disebut EVO) akhirnya umumkan jajaran game yang akan dipertandingkan di dalamnya. Sebagai salah satu festival fighting game terbesar, tak heran jika EVO mempertandingkan banyak game di dalamnya. Tahun ini pada EVO 2020, ada 9 game yang akan dipertandingkan.

Ada beberapa kejutan yang dari pengumuman lineup EVO 2020 ini. Salah satunya adalah kehadiran kembali Marvel vs Capcom ke dalam jajaran. Menariknya alih-alih mempertandingkan Marvel vs Capcom: Infinite (2017), EVO 2020 malah menggunakan Marvel vs Capcom 2 (2000).

Memang, game tersebut punya sejarahnya sendiri di dalam festival fighting game yang sudah terselenggara selama kurang lebih 20 tahun belakangan ini. Salah satunya seperti sejarah pemain legendaris, Justin Wong, yang sudah memenangkan 7 gelar EVO pada cabang Marvel vs Capcom 2. Terlebih, komunitas juga menganggap Marvel vs Capcom: Infinite terlalu banyak kekurangan, seperti kurangnya lineup karakter yang disajkan, ketidakhadiran karakter X-Men, sampai art style yang terlihat biasa saja. Dengan ini, maka berikut lineup EVO 2020:

  • Super Smash Bros. Ultimate
  • Tekken 7
  • Street Fighter V
  • Dragon Ball FighterZ
  • Granblue Fantasy: Versus
  • Samurai Shodown
  • SoulCalibur VI
  • Under Night In-Birth Exe:Late[cl-r]
  • Marvel vs. Capcom 2 (invitational)

Marvel vs Capcom 2 akan hadir dengan format invitational, sebagai cara memperingati 20 tahun kehadiran game tersebut menemani FGC internasional. Dalam turnamen bertajuk 20urnament of Champions, delapan pemain, termasuk empat juara EVO MvC 2 terdahulu akan bertanding memperebutkan gelar best-of-the-best.

Selain dari itu, fakta menarik lainnya soal lineup EVO 2020 ini adalah ketidakhadiran Mortal Kombat, BlazBlue, dan kemunculan Granblue Fantasy. Terkait Mortal Kombat ini adalah untuk pertama kalinya Mortal Kombat atau Injustice tidak hadir sebagai lineup utama di EVO sejak 2011 lalu.

Soal BlazBlue dan Granblue Fantasy juga jadi hal menarik. Ini mengingat tahun lalu dan pada EVO Japan 2020, BlazBlue: Cross Tag Battle muncul di panggung utama EVO. Alasan ketidakhadiran BlazBlue di sini mungkin karena sang pengembang, Arc System Works, sedang ingin memperkenalkan Granblue Fantasy: Versus yang akan rilis 6 Februari 2020 mendatang.

EVO 2020 akan digelar di Mandalay Bay, Las Vegas, Amerika Serikat, mulai dari 31 Juli sampai 2 Agustus 2020 mendatang. Akankah kita melihat kejutan menarik lainnya dalam salah satu turnamen tertinggi di skena kompetitif fighting game ini?

Sumber header: EVO Official

[OPINI] 4 Alasan Kenapa Anda Perlu Main Fighting Game

Fighting game merupakan salah satu genre game tertua yang masih lestari sampai kini, bahkan belakangan sedang hangat-hangatnya berkembang. Saking hangatnya perkembangan fighting game, jumlah judul yang dimainkan dan dipertandingkan sebagai esports bahkan jadi terbilang terlalu banyak; membuat para developer jadi berebut pasar yang sama.

Namun demikian, di luar dari geliat perkembangan fighting game yang sedang hebat-hebatnya, genre ini masih punya masalah yang sama, yaitu soal persepsi orang-orang terhadap entry barrier fighting game. Pemain cenderung enggan mencoba fighting game, karena merasa genre ini punya mekanik permainan yang lebih sulit dibanding genre game lainnya.

Mungkin kebanyakan gamers terlanjur segan gara-gara melihat command list satu petarung yang bisa mencapai ratusan macam kombinasi tombol? Atau mungkin segan karena melihat kombo atau respon ajaib pro player yang bermain? Atau mungkin karena dalam fighting game, kita tidak bisa menyalahkan siapapun ketika kalah kecuali diri kita sendiri… Ups.

Walakin, genre yang satu ini tetap punya nilai tersendiri, baik nilai hiburan secara tontonan atau permainan, bahkan dalam beberapa aspek punya nilai kehidupan yang bisa dipelajari. Maka dari itu ada beberapa alasan mengapa, siapapun Anda, baik seorang gamers atau mungkin pacarnya gamers harus mencoba bermain fighting game.

Karena fighting game bersifat 1-on-1

Dalam game kompetitif berbasis tim seperti MOBA atau First-Person Shooter, skill individu tidak selalu bisa membawa kepada kemenangan. Mengapa? Alasannya jelas, dua game tersebut memang dirancang sebagai game berbasis tim. Jadi 5 pemain biasa saja dengan kerja sama yang kompak bisa jadi punya kemungkinan menang yang lebih besar daripada seorang Faker atau Sumail dibantu 4 pemain kelas teri yang tidak mengerti caranya main ataupun kerja sama.

Maka dari itu jika Anda kesulitan mencari teman mabar yang rutin di dalam game berbasis tim seperti MOBA atau FPS, fighting game bisa jadi pilihan untuk dimainkan. Ini juga jadi salah satu alasan kenapa saya mulai, sedikit demi sedikit, mendalami fighting game lewat Tekken 7. Daripada kelimpungan dengan segala toxic yang ada dalam solo matchmaking game MOBA, fighting game menawarkan sebuah pengalaman pengembangan diri secara lebih personal. Ini membuat setiap kemajuan yang Anda alami terasa lebih manis, daripada sekadar push rank yang hanya mengejar statistik tanpa merasakan perkembangan kemampuan diri.

Sumber: Bandai Namco Official Media
Sumber: Bandai Namco Official Media

Ini yang membuat fighting game punya nilai jual lebih, dibanding permainan kompetitif lain yang berbasis tim. Dalam pertandingan satu lawan satu, hanya ada pikiran dan jempol Anda sendiri untuk menggerakkan karakter yang Anda mainkan. Tanggung jawab menang atau kalah benar-benar bergantung kepada pada Anda sendiri.

Memang, kekalahan jadi terasa lebih pahit dalam fighting game, karena Anda harus menerima kenyataan pahit bahwa kemampuan bermain Anda belum seberapa dibanding musuh yang dilawan. Tapi mengecap kemenangan akan terasa jauh lebih manis, apalagi jika Anda bisa menang dari keadaan yang sulit atau menang setelah berkali-kali kalah melawan rekan latih tanding Anda.

Memberi perasaan proses perkembangan diri yang menyenangkan

Banyak orang beranggapan bahwa fighting game itu sulit. Jujur, saya juga setuju dengan anggapan tersebut. Memang kenyataannya fighting game itu sulit, terlepas dari judul game yang Anda mainkan. Sebagai gambaran seberapa sulit fighting game, lagi-lagi saya meminjam genre MOBA sebagai perbandingan.

Dalam MOBA setiap karakter biasanya dibatasi hanya punya 4 “jurus” saja. Anda cukup tekan satu tombol (Dota 2 atau LoL biasanya menggunakan tombol Q,W,E,R) untuk setiap jurus. Dalam fighting game, walau serangan dasar hanya terdiri dari 4 sampai 6 tombol saja, namun mengeluarkan jurus mengharuskan Anda menekan kombinasi tombol. Jurus paling dasar, Hadouken milik karakter Ryu dari Street Fighter misalnya, mengharuskan Anda menekan tombol arah bawah, serong bawah maju, dan maju, ditambah tombol pukul. Itu baru satu gerakan dari satu karakter. Bayangkan jika Anda ingin bisa lebih dari satu karakter, yang berarti harus hapal banyak gerakan dan cara main dari masing-masing karakter.

Jumlah jurus atau gerakan-per-karakter pada game seperti Street Fighter mungkin lebih sedikit, hanya ada pada angka puluhan saja. Sementara gerakan-per-karakter pada fighting game tiga dimensi seperti Tekken 7 kadang bisa mencapai seratus lebih, walau tidak semuanya terpakai.

Tetapi ini juga yang menurut saya membuat fighting game jadi menyenangkan dan menjadi alasan kenapa Anda harus mencobanya. Dengan ragam kombinasi gerakan yang bisa dipelajari, Anda bisa merasakan sendiri proses perkembangan personal. Saya jadi teringat pengalaman saya pribadi mempelajari Bryan, karakter Tekken 7 pertama yang saya pelajari.

Berawal dari hanya button mashing, perlahan-lahan saya mulai mempelajari satu-per-satu gerakan. Selanjutnya saya mulai sedikit demi sedikit belajar melakukan satu rangkaian gerakan Combo paling dasar. Saya ingat menghabiskan seharian penuh berkutat di Infinite Azure hanya untuk mengulang satu jenis gerakan Combo saja. Dengan jari jemari yang masih kaku, saya berusaha keras menekan tombol demi tombol, sambil memperhatikan efek visual yang terjadi di layar. Beberapa kali Combo-nya terjatuh, tapi ketika berhasil, saya begitu kegirangan, karena perasaaan sense-of-accomplishment yang saya rasakan setelah berjam-jam dan berhari-hari berlatih.

Proses belajar ini yang menurut saya membuat fighting game jadi menyenangkan untuk dimainkan. Pada beberapa aspek saya bahkan merasa proses mempelajari gerakan Combo dalam fighting game seperti mempelajari alat musik. Seperti bermain gitar, berawal dari mempelajari kunci dasar, yang dilanjut mempelajari kombinasi kunci-demi-kunci untuk memainkan satu lagu penuh.

Walau belajar Combo mungkin tidak disarankan bagi pemula Tekken 7 (atau fighting game lainnya), tapi tetap saja hal tersebut menyenangkan untuk dipelajari. Apalagi prosesnya yang bisa membuat Anda yang awalnya hanya pemain biasa-biasa jadi merasa sangat jago.

Itu hanya baru sebatas melakukan Combo saja. Nyatanya masih ada banyak hal lagi yang bisa Anda pelajari di dalam fighting game. Mulai dari yang paling mendasar seperti cara menangkis atau membalas serangan, sampai kepada hal yang paling geeky seperti frame data. Belum lagi seiring proses belajarnya, Anda akan mendapat hadiah berupa momen-momen kemenangan atau naik ranking di pertandingan online. Di antara momen, bisa jadi terselip di antaranya adalah momen ketika Anda bisa mengalahkan orang yang mainnya berkali lipat lebih jago dari Anda, yang akan memberi perasaan seperti memenangkan kompetisi tingkat dunia.

Lebih lanjutnya, Anda juga bisa baca tulisan pengalaman Patrick Miller atau paththeflip, salah satu sosok yang cukup dikenal di dunia FGC sebagai seorang pemain dan pembuat konten.

Mengajarkan nilai hidup, mengasah ragam soft-skill

Ini mungkin terdengar seperti romantisasi atas fighting game, namun inilah pengalaman yang saya rasakan sendiri dari perjalanan saya mencoba bermain fighting game selama beberapa tahun belakangan. Selain menekan tombol demi tombol dengan irama untuk mengeluarkan serangan Combo, saya juga belajar beberapa hal dengan bermain fighting game. Beberapa hal tersebut termasuk beberapa soft-skill dan sedikit nilai hidup yang bisa Anda gunakan untuk kehidupan sehari-hari. Saya merasa bahwa lewat genre ini, Anda dapat belajar mengelola serta mengenal emosi, belajar soal arti kekalahan, dan juga nilai-nilai ketekunan.

Nilai ketekunan sedikit banyak sudah saya jelaskan pada poin sebelumnya, yang mana genre ini menuntut Anda untuk tekun dalam banyak hal. Mulai dari tekun mempelajari gerakan demi gerakan, Combo, ataupun mengantisipasi gerakan lawan. Namun selain itu hal menarik yang akan Anda pelajari dari bermain fighting game adalah soal kemampuan mengelola dan mengenal emosi.

Mengelola emosi adalah sesuatu yang penting dalam bermain fighting game, apalagi jika sudah turun sampai ke tingkat kompetitif. Secara ilmiah, hal ini disebut juga dengan istilah Mental Block; keadaan ketika pikiran Anda menahan kemampuan Anda yang sesungguhnya. Walau Anda sudah berlatih, berhari-hari, berminggu-minggu atau mungkin bertahun-tahun, namun Anda masih merasa belum cukup atau bahkan masih merasa takut kalah ketika menghadapi kompetisi. Ini juga jadi hal yang dilatih jika Anda bermain Fighting Game

Perasaan seperti ini sebenarnya bukan monopoli genre fighting game saja, bermain game lain juga bisa memberi Anda perasaan ini. Tetapi menurut saya, satu yang istimewa dari fighting game adalah, perasaan ini bahkan bisa Anda rasakan ketika bermain secara online melawan musuh berat yang Anda bahkan tidak tahu wujudnya seperti apa. Rasa ragu bisa muncul kapan saja, perasaan lebih lemah dari musuh yang dihadapi juga kerap muncul. Satu-satunya yang bisa membawa Anda menang adalah dengan mengatasi dan mengenal emosi-emosi negatif tersebut dan menggunakannya sebagai kekuatan untuk memenangkan permainan.

Aspek terakhir yang juga terlatih dengan bermain fighting game menurut saya adalah belajar bertanggung jawab atas pahitnya kekalahan. Penolakan, kekalahan, kegagalan, bisa dibilang sebagai beberapa emosi negatif yang sulit untuk diterima oleh kita manusia. Pada game yang sifatnya beregu seperti MOBA atau FPS, Anda bisa dengan mudah kabur dari emosi-emosi tersebut. Kalah main rank di MLBB sebagai carry? Ini pasti salah support yang tidak melindungi saya. Main PUBG lalu mendapat Too Soon? Ini pasti salah kawan saya yang terlalu lama looting.

Namun jangan harap Anda bisa kabur dari perasaan tersebut di dalam fighting game. Kalah berarti kalah, dan Anda dipaksa menelan pil pahit tersebut. Anda tidak bisa mendadak beralasan Heihachi tidak pakai sandal membuat gerakan Anda jadi lebih lambat, atau jaket Jin Kazama membuat jangkauan serangannya jadi lebih pendek; walau masih bisa alasan Joystick Anda tidak enak ditekan. Dalam fighting game, Anda dipaksa menerima kegagalan atas diri Anda sendiri. Kalah artinya Anda harus lebih cermat. Kalah artinya Anda harus belajar lagi, belajar mengoptimasi gerakan yang Anda gunakan atau mempelajari gerakan yang digunakan musuh.

Lebih menyenangkan saat bermain dengan teman

Walau fighting game pada dasarnya adalah permainan individu, namun bukan berarti tidak ada interaksi antar manusia di dalam permainan ini. Pada titik tertentu, Anda mungkin akan jemu hanya berlatih sendirian atau main online melawan musuh yang Anda tidak tahu bentuknya apa. Maka dari itu berkomunitas tetap menjadi salah satu bagian penting dari Fighting.

Selain menambah teman, bertemu dengan komunitas juga akan membantu meningkatkan kemampuan Anda secara lebih cepat lebih . Pastinya akan ada lawan-lawan yang lebih berat ketika Anda mencoba hadir ke acara kumpul dan saling tarung seperti Hybrid Dojo. Tetapi di sana Anda dapat belajar lebih banyak seputar fighting game yang Anda mainkan. Anda mungkin bisa menemukan celah dari gerakan Anda yang selama ini tak pernah bisa ditebak oleh musuh. Anda mungkin jadi menemukan cara bermain baru dari karakter Anda, karena didesak oleh cara main musuh yang tidak biasa.

Sumber: Dokumentasi Hybrid - Akbar Priono
Komunitas Hybrid Dojo. Sumber: Dokumentasi Hybrid – Akbar Priono

Belum lagi jika Anda sudah menemukan rival yang tepat untuk dilawan, yang mungkin akan membuat Anda semakin terpacu untuk belajar fighting game yang dimainkan secara lebih dalam. Komunitas Fighting Game di Indonesia juga terbilang punya sejarah yang panjang. Bramanto Arman, Co-Founder Advanced Guard, jadi salah satu yang terus berusaha mengembangkan komunitasnya di Indonesia. Jika Anda mulai penasaran dengan fighting game, dan ingin tahu tentang perjuangan komunitasnya, Anda mungkin bisa mulai dari cerita Bram soal perkembangan esports fighting game di Indonesia.

Hal tersebut juga, menurut saya, jadi nilai lebih dari bermain fighting game. Bahkan terkadang saya merasa bahwa jalinan pertemanan komunitas fighting game terasa lebih kuat dibanding dengan jenis game lainnya. Memang, bukan berarti pada jenis game lain, Anda tidak bisa merasakan jalinan persahabatan yang erat. Beberapa game lain malah bisa menciptakan jalinan percintaan. Namun demikian, pertemanan di dalam komunitas fighting game sebenarnya terbilang unik, karena tercipta dari momen baku hantam dan rivalitas digital.

Beginner’s Guide – 3 Hal yang Perlu Dilakukan Pemain Tekken 7 Pemula

Bermain game fighting itu mungkin bisa dibilang susah-susah gampang. Awalnya Anda mungkin bisa jumawa bilang game fighting itu gampang, setelah berhasil menang menggunakan teknik “asal tekan tombol”. Tapi “asal tekan tombol” atau button mashing itu cuma baru setitik kecil bagian dari game fighting saja.

Kenapa? Karena game fighting sebenarnya punya ragam mekanik yang perlu dipelajari. Ditambah, kalau Anda ingin belajar lebih dalam, Anda juga harus mempelajari dan menghafal berbagai tombol serta kombinasi tombol yang harus ditekan. 

Kalau Anda baru-baru ini tertarik dengan Tekken 7 karena banyak kompetisi bermunculan di berbagai tempat, kami punya beberapa tips pemula yang cocok untuk Anda. Bekerja sama dengan komunitas game fighting Indonesia, berikut panduan singkat bermain Tekken 7 dari Hybrid.

Pelajari Dasar-Dasar Serangan dan Pertahanan

Sumber: Tekken Official Media
Sumber: Tekken Official Media

Button mashing adalah salah satu tindakan yang kerap dilakukan oleh mereka yang baru main game fighting. Maksud tindakan button mashing sendiri adalah tindakan asal tekan berbagai tombol yang ada di joystick secara cepat, dengan harapan bisa mengeluarkan suatu jurus atau gerakan tertentu untuk memenangkan pertarungan.

Tetapi, belajar game fighting lewat tindakan button mashing sebenarnya adalah kegiatan yang kurang tepat. Kenapa? Anda sebagai pemain jadi tidak belajar apapun. Mungkin Anda bisa jadi terkejut ketika karakter Anda mendadak mengeluarkan suatu gerakan atau jurus tertentu, tanpa tahu menekan tombol apa sebelumnya. Jadi tekan tombol dengan lebih pelan-pelan, agar Anda paham, tombol atau kombinasi tombol apa bisa mengeluarkan gerakan apa.

Kalau sudah paham dengan gerakan-gerakan dasar karakter yang Anda mainkan, hal dasar lain yang perlu dipelajari adalah dasar-dasar menyerang atau bertahan. Seperti baku hantam di dunia nyata, Anda tidak boleh terlalu bernafsu untuk terus-terusan menyerang di dalam baku hantam digital ini. Kalau Anda terus melakukan serangan membabi-buta, bisa-bisa Anda malah dikerjai oleh musuh yang tahu celah di antara serangan Anda.

Bicara soal serangan dan pertahanan, ilmu paling dasar adalah tentang jenis-jenis serangan dan cara menangkisnya. Dalam Tekken 7 ada tiga jenis serangan dengan karakteristiknya masing-masing. Pertama ada serangan HIGH. Seperti namanya, serangan ini fokus pada bagian atas tubuh karakter. Serangan tipe cenderung sangat cepat dan memberi keuntungan kepada yang menyerang. Serangan ini bisa ditangkis dengan menekan tombol mundur.

Kalau Anda sudah semakin jeli, serangan ini juga bisa dihindari dengan cara menunduk atau tepatnya dengan menekan tombol bawah. Contoh paling umum dari serangan high adalah kombinasi pukulan jab kiri dan kanan, yang bisa dikeluarkan dengan menekan tombol KOTAK dan SEGITIGA.

1
Dalam Training Mode, ada satu mode yang bisa membuat Anda mengetahui jenis serangan apa yang diberikan suatu karakter. Sumber: wccoftech

Selanjutnya ada serangan MIDDLE. Serangan yang fokus pada bagian tengah ini cukup unik, karena bisa ditangkis dengan cara berdiri sambil tekan mundur, atau menunduk sambil tekan down back. Serangan tipe ini biasanya memberi reward tertentu, salah satunya yaitu bisa dilanjut menjadi satu kombo panjang. Reward yang besar tentu datang dengan resiko yang juga besar.

Alhasil serangan middle cenderung punya kelemahannya tersendiri. Beberapa serangan middle akan luput ketika ditangkis, membuatnya bisa dibalas dengan serangan cepat ketika berhasil ditangkis. Contoh serangan middle adalah tendangan lutut milik Bryan Fury. Serangan ini bernama Knee Strike, yang mematikan karena bisa dilanjut dengan serangan kombinasi. Serangan tersebut bisa dikeluarkan dengan menekan tombol arah depan + X.

Terakhir ada serangan LOW. Serangan ini fokus menyerang tubuh bagian bawah karakter musuh. Anda harus menekan bawah belakang atau down back agar dapat menahan serangan yang satu ini. Serangan ini cenderung cukup cepat dan kerap kali luput dari pengawasan musuh.

Karena karakteristiknya yang cepat, damage serangan bawah cenderung kecil. Tetapi ada juga beberapa serangan bawah yang mematikan, membuat musuh tergelincir dan bisa dilanjut dengan serangan kombinasi (Contoh: tendangan sapu bawah milik Bryan Fury yang bernama Snake Edge).

Tapi lagi-lagi, untuk menyeimbangkan permainan, serangan bawah yang bisa dilanjut kombinasi biasanya akan luput ketika ditangkis. Lebih lanjut, kalau Anda sudah semakin jeli, serangan low juga bisa Anda parry dengan menekan tombol bawah depan atau down forward. Low parry ini sangat mematikan! Karena lawan yang terkena akan tergelincir, yang lalu bisa dilanjut dengan serangan kombinasi balasan.

Saatnya Memilih Karakter!

1
Sumber: Youtube Chaos Production

Kalau Anda sudah paham soal dasar-dasar menyerang dan bertahan di Tekken 7, selanjutnya yang harus Anda lakukan adalah memilih karakter. Bisa jadi sebelumnya ketika belajar soal dasar-dasar serangan dan pertahanan, Anda baru coba-coba karakter saja, dan merasa belum cocok dengan karakter yang Anda mainkan.

Pada titik ini, agar Anda jadi semakin mahir bermain, Anda harus pilih satu karakter untuk Anda dalami seluk-beluk berbagai jenis gerakan milik karakter tersebut. Ketika memilih karakter, salah satu hal yang juga perlu Anda pertimbangkan adalah soal kenyamanan.

Kenapa kenyamanan jadi salah satu faktor? Salah satu alasannya adalah agar Anda bisa lebih bersemangat untuk terus belajar bermain di Tekken 7. Soal kenyamanan ini bisa datang dari beragam aspek. Mungkin Anda tidak terlalu peduli dengan gerakan karakternya, tapi Anda suka dengan karakter perempuan yang cantik dan anggun? Silahkan coba gunakan karakter-karakter perempuan tersebut. Sebenarnya, beberapa karakter perempuan di Tekken 7 juga punya pilihan gerakan yang cukup bagus kok!

1
Sumber: Tekken Official Media

Mungkin bisa jadi juga Anda adalah penggemar gerakan beladiri tertentu? Tekken 7 juga menyediakan beberapa karakter yang gerakannya berdasarkan dari bela diri di dunia nyata; Contohnya seperti saya, yang menggunakan Hwoarang karena suka dengan gerakan-gerakan bela diri Taekwondo. Belajar suatu karakter hanya karena suka itu tidak salah, tapi memang punya kelemahannya tersendiri.

Kelemahannya adalah, bisa jadi karakter yang Anda pelajari ternyata sangat sulit dan membuat kemampuan bermain Anda jadi tidak berkembang; lagi-lagi contohnya adalah saya, yang jadi merasa stuck karena kelimpungan mempelajari gerakan milik Hwoarang. Kalau Anda mentok, Bram Arman Co-Founder komunitas Advanced Guard, punya beberapa saran karakter Tekken 7 yang lebih mudah dipelajari.

Bram menyebut bahwa salah satu karakter yang mudah dipelajari adalah Katarina. Alasan utamanya adalah, karena ragam serangan Katarina ini cocok untuk pemula. Bagaimana ragam serangan yang cocok untuk pemula? Menurut Bram adalah serangan serangan yang cepat, jangkauan yang panjang, variatif, dan punya damage yang besar.

Serangan cepat berarti Anda punya timing lebih renggang untuk bisa mendaratkan serangan ke hadapan musuh. Damage besar tentunya membuat anda bisa lebih mudah menggerus HP musuh, tanpa perlu melakukan kombinasi serangan panjang. Serangan variatif membuat serangan Anda lebih sulit dibaca oleh musuh, membuat serangan Anda punya kesempatan lebih besar untuk masuk. Selain Katarina, Bram juga menyebut karakter lain yang ramah bagi pemula. Karakter tersebut adalah Claudio dan Asuka.

Learn From the Pros

1
Jangan salah kira, perempuan cantik ini adalah jagoan Tekken loh! Sumber: Red Bull Esports

Nah! Kalau Anda sudah memahami dasar-dasar serangan dan pertahanan, sudah punya karakter gacoan untuk dimainkan, hal selanjutnya yang perlu dilakukan agar Anda bisa cepat lebih jago adalah dengan belajar dari ahlinya. Seperti kuliah, sekolah, atau kursus, perlu orang yang lebih jago untuk membantu kita mempelajari sesuatu.

Begitu juga di dalam Tekken 7, kalau Anda merasa stuck lagi, Anda bisa belajar dari cara pro player bermain. Apa saja yang dipelajari? Gerakan-gerakan yang dipilih ketika menyerang, jeda waktu yang tepat untuk melakukan counter attack, dan terakhir adalah kombinasi gerakan yang dilakukan untuk memaksimalkan serangan yang dilakukan. 

Tetapi ketika menonton pertandingan pro player, pastinya Anda harus menonton pertandingan terbaru. Kalau menonton pertandingan jaman dulu, bisa jadi ilmu yang dipelajari dari sana sudah tidak relevan untuk masa kini. Kenapa tidak relevan? Mungkin karena efek serangan dari suatu karakter sudah berubah, atau damage-nya sudah berubah, dan berbagai perubahan lainnya yang mungkin terjadi.

Selain pro player Anda juga bisa belajar main Tekken lewat beberapa content creator. Platform Youtube punya beberapa content creator yang membuat video seputar  Tekken. Salah satu yang paling terkenal adalah Legendary Mihawk, yang menyajikan ragam kombinasi serangan dari suatu karakter, mulai dari kombinasi yang paling mudah dieksekusi sampai yang tersulit.

6
Salah satu konten khas That Blasted Salami, pembahasan suatu karakter secara mendalam. Sumber: Youtube That Blasted Salami

Kalau Anda terlalu malas untuk membuka move list dan mempelajari gerakan suatu karakter satu persatu, belajar kombinasi bisa jadi salah satu pilihan. Belajar kombinasi bisa membuat Anda jadi mengetahui, tombol apa akan mengeluarkan gerakan apa, yang mungkin saja bisa digunakan secara terpisah di dalam pertarungan.

Content creator lain yang juga perlu disimak adalah That Blasted Salami. Sosok ini menyajikan pembahasan terperinci dari suatu karakter, yang dapat memudahkan Anda mempelajari suatu karakter. Creator ini juga kerap membahas perubahan suatu karakter setelah update, dan implikasinya di dalam pertarungan.

Pembahasan milik That Blasted Salami biasanya mencakup gerakan-gerakan yang perlu diketahui dari suatu karakter. Tetapi Anda harus tekun ketika menonton konten breakdown karakter milik That Blasted Salami. Sebab satu video dengan tema tersebut biasanya bisa berdurasi sampai dengan satu jam, untuk membahas satu karakter secara mendalam. Tapi dijamin, setelah Anda pelajari, Anda bisa memahami suatu karakter mulai dari luar sampai dalam.

Kurang lebih itu 3 hal paling mendasar yang harus Anda ketahui, ketika Anda ingin mulai belajar game fighting lewat Tekken 7. Bekerja sama dengan komunitas game fighting Indonesia, Anda juga bisa pantau media sosial Advance Guard, untuk lanjutan panduan menarik lain seputar game fighting.

 

Team Ninja Umumkan DEAD OR ALIVE 6 World Championship

Team Ninja, pengembang game Dead or Alive 6 (DoA 6), mengumumkan kehadiran DoA 6 World Championship tahun ini. Menghadirkan total hadiah US$90 ribu (sekitar Rp12 milyar), kompetisi ini menjanjikan akan memiliki regional qualifier dan gelaran Grand Final di Jepang.

Bagi Anda yang mungkin masih cukup awam dengan ragam game fighting, mari saya jelaskan terlebih dahulu apa itu Dead or Alive secara singkat. Game ini merupakan game fighting besutan Tecmo dan Team Ninja. Seri ini pertama kali rilis tahun 1996, dan muncul dengan ciri khas sebagai game fighting 3D bertempo cepat. Seiring perkembangan, entah kenapa Dead or Alive mengalami pergeseran, dan kini lebih terkenal sebagai game fighting dengan jejeran petarung perempuan yang super seksi.

Sumber: Team Ninja Official Sites
Sumber: Team Ninja Official Sites

Kualifikasi internasional DoA 6 World Championship pertama kali dimulai pada 20 April 2019 dalam event THE MIXUP di Lyon, Perancis. Tentunya kualifikasi tidak hanya diadakan di Perancis saja. Akan ada serangkaian turnamen lain sepanjang 2019, untuk melengkapi 16 petarung terbaik yang akan bertarung dalam pertandingan Grand Final di Jepang nanti.

Mengutip laman resmi Team Ninja baru ada 3 kompetisi untuk regional Asia. Kompetisi tersebut adalah Asia Qualifier di Taiwan yang dijadwalkan musim panas 2019 ini (Antara Juni – September), Fatal Match di Jepang yang dijadwalkan musim gugur 2019 (Antara September – Desember), dan Asia Online Qualifier yang masih bertandakan TBD.

Lebih lanjut soal kualifikasi, kabarnya juga DoA World Championship akan menggunakan sistem poin, sistem kualifikasi yang kerap digunakan dalam ragam esports game fighting. Regional Amerika Serikat, Asia, dan Eropa akan memiliki leaderboard poin masing-masing. Nantinya top 5 dari Amerika Serikat, top 3 dari Asia dan Eropa akan lolos untuk bertanding di babak Grand Final. Lima spot lain akan diberikan kepada pemenang gelaran kompetisi offline Fatal Match, dan DEAD OR ALIVE Festival.

Walaupun insiatif esports dari Team Ninja sebenarnya cukup baik, namun kenyataannya adalah, keseriusan game DOA selama ini kerap dipertanyakan oleh komunitas FGC. Membicarakan hal ini, Bram Arman, Founder dari Advance Guard, yang juga bisa dibilang sesepuh komunitas FGC, turut angkat bicara. “Bicara soal kompetisinya sendiri, sebenarnya nggak jauh beda dari game fighting world tour lainnya, yang bersifat open tournament. Lalu kalau bicara soal kesempatan Indonesia dalam kompetisi ini, sejauh yang saya tahu anak anak FGC Indonesia jarang ada yang betul-betul serius main game ini.” ujar Bram.

Sumber: Team Ninja Official Sites
Sumber: Team Ninja Official Sites

Lalu, apakah dengan insiatif esports dari Team Ninja akan meningkatkan perhatian komunitas FGC Indonesia terhadap game yang satu ini? Bram menambahkan, menurutnya hal ini tidak berpengaruh besar. “Nggak ngaruh kalau komunitas lokalnya nggak ada. Ini terbukti dengan Injustice dan Killer Instinct yang punya world tour, tapi tetap tidak ada orang Indonesia yang main dengan serius.” jawab Bram.

Apakah dengan inisiasi esports dari Team Ninja ini, kesuksesan DOA sebagai game fighting bisa meningkat? Siapa yang tahu, kalau ternyata konten game yang “menghibur”, dipadukan dengan esports, menjadi sebuah kunci kesuksesan sebuah game.