Tag Archives: film simulation

Fujifilm

[Tips] Eksplorasi Kamera Fujifilm dengan Custom Setting

Daya tarik utama kamera Fujifilm adalah sensor X-Trans dan film simulation-nya. Kombinasinya sanggup menghasilkan foto yang sangat unik dengan nada warna yang ‘kuat’.

Bicara soal warna, itu relatif karena selera orang berbeda-beda alias cocok-cocokkan dan saya termasuk yang sangat menikmati suguhan warna Fujifilm. Namun kesukaan saya terhadap film simulation tidak terjadi secara instan, sebelumnya saya mengulas Fujifilm X-T30, X-A7, dan X-Pro3.

Saya belajar banyak hal saat review X-Pro3 dan akhirnya memutuskan meminang X100F di awal tahun 2020. Kenapa memilih X100F? Saya pikir kamera ini paling mendekati pengalaman seri X-Pro, saya butuh yang ringkas, dan tidak memikirkan gonta-ganti lensa. Saya dapat X100F second yang masih bergaransi, harganya sangat anjlok dari harga barunya.

Membuat Custom Setting

2e2e705b4dd306cdcca90f3b945fe279_PSX_20200129_182755

Awal tahun 2020 saya makin rajin street hunting bersama Fujifilm X100F dan mencoba berbagai mode film simulation-nya. Hasil foto format JPEG-nya luar biasa, tapi saya selalu menyimpan dalam JPEG dan Raw untuk jaga-jaga bila perlu diedit lebih serius.

Film simulation ini baru awal kesenangan, karena pada kamera Fujifilm kita bisa berbuat lebih jauh dengan membuat pengaturan khusus atau custom setting. Caranya klik tombol menu, pada image quality setting pilih opsi edit/save custom setting.

Pada Fujifilm X100F tersedia 7 slot custom setting yang bisa disesuaikan sesuai preferensi. Pengaturan ini akan berpengaruh pada foto JPEG saja, mulai dari dynamic range, film simulation, grain effect, white balance, highlight tone, shadow tone, color, sharpness, dan noise reduction. Resepnya sudah banyak bertebaran di internet dan favorit saya untuk street photography pengaturannya sebagai berikut:

  • Classic Chrome
  • Dynamic range DR200
  • Grain effect strong
  • White Balance R:2 B:-5
  • Highlight tone -2
  • Shadow tone +2
  • Color -2
  • Sharpness +1
  • Noise reduction -4

Classic Chrome merupakan salah satu film simulation paling populer dan banyak digunakan untuk street photography atau dokumentary guna memperoleh shadow yang lebih kontras dan warna vintage yang nostalgia. Untuk mempertahankan detail pada area shadow dan highlight saya menggunakan dynamic range DR200 yang mana ISO dasar yang dibutuhkan ialah 400. Hasil fotonya sebagai berikut.

Resep lain yang sedang saya coba ialah Acros + R dari Fujixweekly, selama pandemi dan memotret di sekitar lingkungan rumah. Dalam percobaan pengaturannya sudah saya sesuaikan lagi, khusus yang satu ini saya selalu menggunakan jendela bidik dan manual fokus.

Mengambil komposisi lewat layar dan autofocus membuat pemotretan terasa sangat cepat. Penggunaan jendela bidik dan manual fokus adalah cara saya agar bisa menikmati proses pengambilan karya foto, saya pikir kenapa harus selalu tergesa-gesa. Contohnya sebagai berikut:

  • Acros + R
  • Dynamic Range: DR200
  • Highlight: +4
  • Shadow: +3
  • B&W Toning: 0
  • Noise Reduction: -4
  • Sharpening: -4
  • Clarity: +5
  • Grain Effect: Strong, Large
  • Color Chrome Effect: Off
  • Color Chrome Effect Blue: Off
  • White Balance: 2750K, -5 Red & +9 Blue
  • ISO: Auto, hingga ISO 6400

Project berikutnya, saya sedang mencoba resep berikut. Dari Fujixweekly juga untuk mendatangkan film Kodak Ektar 100. Untuk mendapatkan foto dengan warna yang cerah, kontras tinggi, dan grain yang halus.

  • Astia
  • Dynamic Range: DR-Auto
  • Highlight: +1
  • Shadow: +3
  • Color: +4
  • Noise Reduction: -3
  • Sharpening: +1
  • Grain Effect: Off
  • White Balance: Auto, +3 Red & -2 Blue
  • ISO: Auto up to ISO 6400
  • Exposure Compensation: 0 to +1/3

Masih banyak lagi resep custom setting yang ingin saya coba, biasanya saya akan fokus mencoba satu per satu sampai mendapatkan cukup banyak stok sambil otak-atik lagi pengaturannya. Tujuan resep ini ialah untuk mendapatkan foto JPEG yang mengesankan, hanya butuh sedikit sentuhan editing kecil tapi sebaiknya tetap menyimpan format Raw juga.

Menjelajahi Sumatra Barat Bersama Kamera Mirrorless Flagship Fujifilm X-H1

Berbekal pengalaman lebih dari 80 tahun di ranah fotografi, kemampuan kamera Fujifilm dalam menangkap warna adalah salah satu aspek yang membuatnya begitu dicintai para fotografer. Namun dengan bertambah canggihnya platform sharing video dan sosial media, belakangan Fujifilm juga melihat munculnya kebutuhan baru para konsumen: membuat video berkualitas tinggi.

Sejauh ini, kemampuan kamera Fujifilm dalam menciptakan video baru bisa dibilang ‘mencukupi’. Masih belum puas dengan pencapaian ini, perusahaan spesialis produk imaging asal Jepang itu mulai menyeriusi ranah pengambilan video. Setelah melepas X-A5 untuk konsumen generasi sosial media, kali ini Fujifilm memperkenankan para fotografer kelas kakap dan sejumlah media mencicipi langsung X-H1 sembari menjelajahi keindahan Sumatra Barat.

Pendaratan XH-1 di Indonesia yang dilakukan cukup gesit setelah pengenalannya di bulan Februari kemarin ialah indikasi bahwa Fuji tak mau membuat konsumen setianya di nusantara menunggu terlalu lama. Fujiflm XH-1 adalah kamera mirrorless digital paling high-end di kelas X. Produk ini mengombinasikan tubuh tangguh, mutu gambar superior, dengan kemudahan pengoperasian. Ia juga merupakan kamera X pertama yang dibekali sistem in-body image stabilization (IBIS) 5-poros 5,5-stop dan simulasi film Eterna.

 

Desain dan daya tahan tubuh

Sebagai orang yang jarang sekali menggunakan kamera mirrorless Fujifilm, sejumlah keunggulan X-H1 segera saya rasakan begitu menggenggamnya di tangan. Pengaturan ISO, mode jepretan (single, continuous shoot plus opsi tiga tingkat kecepatan, dan video), shutter speed (ada mode auto juga), dan metering bisa dilakukan langsung dengan memutar kenop atau switch fisik yang ada di body – tanpa harus menggunakan kombinasi dua tombol atau masuk ke menu terlebih dulu.

XH1 3

XH1 6

Tubuh berdimensi 139,8×97,3×85,5mm Fujifilm X-H1 juga lebih ringan dari yang saya bayangkan, memiliki berat 673-gram, sudah termasuk baterai dan kartu memori. Tentu saja, bobot totalnya bergantung dari jenis lensa yang Anda gunakan.

XH1 2

XH1 4

Faktor andalan lain dari X-H1 adalah ia didesain agar tangguh serta tahan terhadap cuaca, sehingga selalu siap menemani para fotografer berburu momen-momen berharga yang begitu cepat berlalu. Dan dalam pemakaiannya, X-H1 terbukti perkasa menangani kondisi alam berbeda. Saya merasakan sendiri ketahanannya terhadap kondisi cuaca seperti gerimis hingga percikan air terjun, juga sanggup diajak ‘bermain lumpur’ ketika kami mencoba memotret momen pacu jawi.

XH1 5

XH1 12

Menilik ketahanannya lebih jauh, X-H1 diracik agar tahan debu, percikan air, serta dapat beroperasi hingga suhu -10° Celcius. Dan dibandingkan X-T2, struktur magnesium X-H1 lebih tebal 25 persen, dirancang agar bisa meredam benturan secara lebih efektif. Selanjutnya, Fujifilm melapisi permukaan kamera dengan coating granular yang resistan terhadap baretan. Selain itu, sejumlah lensa Fujinon (contohnya XF Zoom 18-135mm yang saya gunakan selama perjalanan di Sumatra Barat) turut mempunyai karakteristik weather-resistant serupa.

XH1 13

XH1 14

 

Pengalaman penggunaan

Sejujurnya, X-H1 merupakan kamera Fujifilm high-end pertama yang saya jajal, dan saya sangat menghargai kesabaran tim Fujifilm dalam mengajarkan segala fungsi dan fiturnya – dari mulai sesederhana mengubah posisi layar sentuhnya hingga setup continuous shot buat mengabadikan adegan-adegan berkecepatan tinggi dengan karakteristik gerakan objek berbeda. Misalnya memotret joki dan sapi saat berpacu di atas sawah, balapan bebek, hingga atraksi silat macan Minangkabau.

XH1 21

XH1 18

XH1 20
Tiga foto di atas diambil dengan X-H1, menggunakan lensa 18-135mm tanpa filter tambahan.

Seperti yang saya ungkap sebelumnya, pengaturan kamera dapat dilakukan secara super-simpel, dipermudah lagi dengan pemanfaatan layar sentuh buat mengutak-atik fungsi serta mengubah zona fokus. Di sesi hands-on selama empat hari kemarin, kendala terbesar dalam menghasilkan foto-foto menawan berada di diri saya sendiri: jam terbang saya sangatlah rendah, dan saya belum paham sepenuhnya seluk beluk kapabilitas kamera ini.

XH1 8

XH1 7

Dalam salah satu sesi hunting foto landscape di Pantai Nirwana, fotografer profesional dan anggota X Team Fujifilm Ari ‘Amphibia’ Riyanto menjelaskan bahwa selama menggunakan kamera mirrorless Fujifilm, hasil jepretan Anda ‘tidak akan pernah keliru’. Bahkan jika foto terlalu terang atau gelap, kita dapat mengubah lagi tingkat cahayanya setelah gambar diambil lewat fitur Exposure Compensation.

XH1 16

Kamera Fujifilm terkenal dengan fitur eksklusif bernama film simulation, yaitu mode reproduksi warna khas produk Fuji dalam kiprahnya berbisnis selama delapan dekade – sedikit contohnya ialah Provia (warna standar), Velvia (vivid, cocok buat landscape) dan Classic Chrome (biasanya untuk jepretan-jepretan dokumenter). Di X-H1, Fujifilm membubuhkan profil warna Eterna yang dirancang untuk mensimulasikan efek sinematik ala film dengan mengurangi kecerahan warna serta memperkaya area bayangan.

XH1 10

Elemen tersebut selaras dengan fokus baru Fujifilm di X-H1: pembuatan video. Kualitas video kameranya sudah ditingkatkan, kini sanggup merekam di bit rate 200Mbps. Kamera memperoleh tak kurang dari 20 fitur baru dan penyempurnaan; yang paling menonjol ialah kemampuan shooting 4K DCI, mode high-speed (untuk menghasilkan video slow motion dengan kecepatan 1/2, 1/4 dan 1/5), serta penggunaan microphone internal 24-bit/48kHz.

XH1 15

XH1 9

Spesifikasi lengkap dari Fujifilm X-H1 dapat Anda lihat via tautan ini.

 

Harga, ketersediaan dan kompatibilitas

Fujifilm X-H1 akan mulai dipasarkan di Indonesia dalam waktu dekat. Gerbang pre-order rencananya akan dibuka pada tanggal 24 sampai 25 Maret 2018 di Blibli.com. Produk dibanderol seharga Rp 28 juta (belum termasuk lensa), atau Rp 32,5 juta dengan aksesori grip baterai VPB-XH1.

X-H1 kabarnya siap mendukung lensa sinema profesional MKX18-55mm T2.9 dan MKX50-135mm T2.9, akan dirilis pada bulan Juni 2018.

XH1 19

XH1 17

Picktorial Teruskan Ambisinya Menjadi Software Edit Foto Andalan Konsumen Fujifilm

Adobe Lightroom mungkin adalah salah satu software edit foto yang paling populer, akan tetapi belakangan pengguna kamera mirrorless besutan Fuji yang juga mempunyai Mac mulai kepincut dengan penawaran lain yang bernama Picktorial. Kok bisa? Pastinya harus ada alasan yang cukup kuat.

Kecintaan itu berawal ketika Picktorial merilis versi ketiganya pada bulan April lalu, yang menghadirkan dukungan penuh atas foto-foto dalam format RAW yang diambil oleh pengguna kamera Fujifilm. Sesudahnya, Picktorial pun dibanjiri respon positif berkat kemampuannya me-render file RAF (format RAW yang dipakai Fuji) dengan sangat baik.

Kini, dalam upayanya untuk merangkul lebih banyak X-Photographer (sebutan untuk pengguna kamera mirrorless Fujifilm), Picktorial menyuguhkan fitur baru berupa koleksi profil warna baru. Bukan sembarang profil warna, tapi yang didasari oleh fitur Film Simulation andalan kamera Fuji.

Contoh beberapa Film Simulation yang tersedia di kamera Fujifilm / iso1200.com
Contoh beberapa Film Simulation yang tersedia di kamera Fujifilm / iso1200.com

Film Simulation, bagi yang tidak tahu, merupakan fitur dalam kamera Fuji yang memungkinkan pengguna untuk mengambil gambar dengan tampilan yang sangat mirip seperti hasil foto menggunakan film-film analog Fuji dahulu. Sayangnya fitur ini cuma terbatas untuk format JPEG saja, sehingga proses editing pasca pemotretan jadi terbatasi.

Namun semua itu berubah berkat kehadiran Picktorial X-Pack, yang menawarkan 14 profil warna Film Simulation untuk ditambatkan ke foto dalam format RAW. Dengan demikian, pengguna bisa mendapatkan efek Film Simulation yang sama seperti di kamera, tapi di saat yang sama masih bisa mengedit fotonya secara leluasa – yang tidak lain merupakan kelebihan utama format RAW dibanding JPEG.

Add-on Picktorial X-Pack saat ini sudah bisa dibeli seharga $15, sedangkan software Picktorial sendiri bisa dibeli seharga $40. Sampel foto sebelum dan sesudah ‘diolesi’ X-Pack bisa dilihat pada galeri di bawah ini.

Sumber: DPReview.