Tag Archives: Financial Literacy

Aturan Fintech Lending

Membahas Aturan Main Fintech Lending

Beberapa waktu terakhir, industri fintech lending di Indonesia kembali menjadi sorotan. Gara-garanya kasus gagal bayar yang viral di media sosial, menyeret nama salah satu platform terdaftar di OJK yakni AdaKami (PT Pembiayaan Digital Indonesia). Baik AdaKami, OJK, maupun AFPI sebagai asosiasi yang menaungi bisnis fintech lending di Indonesia sudah memberikan keterangan, yang intinya masing-masing tengah mendalami kasus ini.

Di tengah popularitasnya, industri fintech lending memang dihadapkan pada sejumlah isu menahun. Mulai dari eksistensi platform ilegal [yang terus-menerus diberantas, namun juga tetap berdatangan], pelanggaran SOP proses bisnis yang tertera dalam aturan [penagihan dengan intimidasi dll], hingga yang paling miris yakni soal literasi finansial rendah para konsumennya.

Menurut rilis terbaru OJK, per 9 Maret 2023 ada 102 pemain fintech lending berizin. Secara akumulasi, per Juli 2023 para pemain telah menyalurkan Rp657.854,73 miliar pinjaman melalui lebih dari 435 juta transaksi pendanaan, baik yang bersifat konsumtif maupun produktif. Adapun saat ini ada lebih dari 117 juta rekening pinjaman terdaftar.

Latar belakang munculnya fintech lending karena adanya funding gap di tengah masyarakat. Menurut data IMF, secara total ada kebutuhan kredit senilai Rp1.600 triliun setiap tahunnya. Sementara lembaga keuangan konvensional (bank/multifinance) baru bisa melayani sekitar Rp600 triliun saja.

Isu yang ramai di media sosial

Dari yang ramai diperbincangkan di media sosial, ada tiga kasus utama yang disoroti: dugaan korban bunuh diri akibat gagal bayar, teror penagihan, dan tingginya bunga/biaya pinjaman. Kendati AdaKami mengelak pihaknya melakukan hal tersebut, namun netizen yang menyebarkan informasi ini turut menyertakan bukti-bukti berupa tangkapan layar aplikasi dan beberapa rekaman proses penagihan yang kurang beradab.

Terkait kasus bunuh diri, sebenarnya ini bukan baru kali ini terjadi. Beberapa kasus bunuh diri yang dilatarbelakangi gagal bayar pinjaman online sudah mulai diberitakan sejak beberapa tahun lalu. Misalnya pada Februari 2019, ada sopir taksi berinisial Z (35 tahun) ditemukan tewas di kamar indekos. Dari sepucuk surat yang ditemukan polisi, korban meminta ke OJK atau pihak berwajib untuk memberantas pinjol yang menurutnya seperti ‘jebakan setan’.

Kasus serupa juga terjadi di tahun-tahun berikutnya. Lebih dari 10 kasus bunuh diri yang sama diberitakan media selama 3 tahun terakhir.

Motif bunuh diri karena para korban merasa tertekan dan dipermalukan atas proses penagihan yang dilakukan secara intimidatif — tidak hanya pada dirinya, tapi ke orang-orang di sekitarnya. Mengingat banyak aplikasi [khususnya yang ilegal] turut meminta akses  ke kontak ponsel pelaku.

Padahal OJK maupun AFPI sudah memiliki aturan yang sangat rinci terkait skema penagihan ini, baik saat dilakukan secara in-house ataupun lewat pihak ketiga. Tidak dimungkiri karena keterbatasan area operasional, banyak pemain fintech lending menyewa jasa pihak ketiga untuk proses collection, untuk melakukan penagihan via ponsel maupun mediasi secara langsung kepada para nasabahnya.

Skema penagihan yang ditentukan

Dalam Peraturan OJK No. 10 tahun 2022, tertera bawhwa penyelenggara pinjol hanya boleh menagih dalam waktu 90 hari dan selebihnya hangus. Mekanismenya lalu didetailkan dalam ketentuan AFPI (Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia).

Terkait tata cara penagihan yang diatur AFPI poinnya sebagai berikut:

  1. Perusahaan wajib memiliki dan menyampaikan prosedur penagihan apabila terjadi gagal bayar.
  2. Langkah-langkah yang dianjurkan: pemberian peringatan, penjadwalan restrukturisasi, korespondensi jarak jauh via telepon/email/lainnya, kunjungan/komunikasi dengan tim penagihan, dan penghapusan pinjaman.
  3. Karyawan internal penagihan dari perusahaan fintech lending diwajibkan mendapatkan sertifikasi Agen Penagihan dari AFPI/OJK.
  4. Perusahaan fintech wajib menginformasikan kepada penerima pinjaman secara detail mengenai risiko jika tidak melakukan pelunasan.
  5. Dilarang melakukan penagihan dengan intimidasi, kekerasan fisik dan mental ataupun cara-cara yang menyinggung SARA atau merendahkan harkat, martabat serta harga diri penerima pinjaman — entah itu di secara langsung maupun lewat dunia maya baik terhadap diri peminjam, harta benda, kerabat, rekan dan keluarganya.

Pun jika penagihan dipasrahkan kepada pihak ketiga, AFPI juga sudah memiliki ketentuan khusus, sebagai berikut:

  1. Pihak ketiga harus terdaftar di AFPI dan memiliki sertifikat untuk melakukan penagihan pinjaman online.
  2. Seluruh karyawan penagihan dari perusahaan jasa pelaksanaan penagihan diwajibkan memperoleh sertifikasi Agen Penagihan.
  3. Perusahaan fintech pendanaan menggunakan pihak ketiga untuk tagihan yang telah melewati batas keterlambatan yaitu lebih dari 90 hari dihitung dari tanggal jatuh tempo pinjaman.
  4. Selain menggunakan pihak ketiga untuk menagih pinjaman lebih dari 90 hari, perusahaan fintech lending juga bisa melakukan beberapa hal ini, yaitu:
    • Menunjuk kuasa hukum dan mengajukan upaya hukum yang tersedia atas nama pendana kepada penerima pinjaman tentunya harus sesuai dengan UU yang berlaku.
    • Untuk pemberian pinjaman kepada peminjam dengan skema kerja sama (misalnya kerja sama supply chain atau distributor financing), penagihan bisa dilakukan oleh business partner
  5. Perusahaan fintech lending dilarang menggunakan pihak ketiga perusahaan jasa penagihan yang masuk ke dalam daftar hitam OJK/AFPI.

Ketentuan terkait bunga

Kasus yang disoroti juga terkait biaya layanan yang sangat besar, mendekati 100% dari nilai pinjaman. Sebenarnya praktik ini ilegal, faktanya OJK mengatakan bahwa batas tingkat bunga termasuk biaya lainnya untuk fintech lending yang ditetapkan oleh AFPI yaitu sebesar maksimal 0,4 persen per hari dan lebih ditujukan untuk pinjaman jangka pendek. Angka ini turun, beleid sebelumnya mengisyaratkan bunga maksimal 0,8 persen per hari.

Sebelumnya bunga fintech lending memang bisa dibilang relatif tinggi jika dibandingkan dengan produk kredit perbankan. Menurut AFPI ada beberapa faktor, pertama karena fintech lending memiliki tingkat risiko yang cukup tinggi akan kredit macet dari nasabah. Kedua, terkait berbagai kemudahan yang ditawarkan lewat digitalisasi dari proses onboarding sampai pencairan dana. Dan ketiga, tenor pinjaman online ini relatif pendek.

Kabar dijalankan oleh entitas luar

Isu lain yang turut viral dibahas adalah keterlibatan entitas luar terhadap bisnis pinjaman online di luar, lantaran dalam perjanjian menyebutkan ada perusahaan nonlokal yang menjadi pihak pemberi dana. Secara aturan dalam POJK, untuk mendapatkan izin dari otoritas fintech lending harus berupa entitas dan kepemilikan lokal, sehingga harus berbadan hukum (PT) di Indonesia. Dan saat ini 100% entitas yang terdaftar di OJK memiliki PT terdaftar.

Terkait keterlibatan entitas luar ini, DailySocial.id mencoba menelusurinya, bertanya langsung dengan pihak yang terkait. Narasumber kami, mantan CEO dari perusahaan fintech lending berlisensi OJK bercerita. Kebanyakan penyaluran pinjaman fintech lending memang berasal dari super lender di luar negeri — untuk yang konsumtif paling banyak dari Tiongkok atau Hong Kong yang berbadan hukum di Singapura.

Namun praktik ini dinilai memang umum dilakukan dan tidak melanggar aturan. Dalam debutnya, salah satu KPI perusahaan fintech lending adalah menyalurkan dana pinjaman sebanyak-banyaknya. Untuk mencapai hal tersebut maka memerlukan talangan dana yang besar. Jika hanya mengandalkan pendana ritel, nilainya akan sangat kurang. Untuk itu para perusahaan melakukan penggalangan pinjaman (debt/loan channeling) ke super lender institusi.

Narasumber kami juga menjelaskan, biasanya skema kerjanya adalah super lender tersebut akan membuat entitas di lokal atau di Singapura, bertujuan untuk bisa memantau langsung proses bisnis dari perusahaan fintech yang dibantunya. Terkait penyaluran dana, super lender terlebih dulu mentransfer ke perusahaan fintech, lalu fintech tersebut yang meneruskan ke konsumen akhir. Jika dalam perjanjian pinjaman, biasanya super lender dilibatkan menjadi pihak kedua sebagai pemilik dana.

Sebagai informasi, di perjanjian peminjaman dana, ada tiga pihak yang dilibatkan: peminjam/konsumen, pemberi dana, dan platform/penyalur.

Di sisi lain, memang tidak sedikit perusahaan fintech lending lokal yang menjadi perpanjangan tangan (ekspansi) dari perusahaan dari luar.

Seperti dikutip dari Katadata, Peneliti Ekonomi Digital Ignatius Untung Surapati mengatakan bahwa dirinya tidak yakin bahwa fintech itu 90% lokal. Ia mencontohkan platform seperti OVO, Gopay, ShopeePay, dan lainnya yang menjadi penguasa pasar sebagian besar dananya dari para investor yang berasal dari India, Tiongkok, dan negara lainnya.

Sumber kami juga tidak mengelak tentang kondisi ini. Karena memang banyak fintech lending lokal yang bisnis (utamanya) turut dioperasikan dari luar negeri.

Kami pun mencoba melakukan penelusuran, salah satunya dengan mengidentifikasi perusahaan operator di balik aplikasi fintech lending yang beredar di Indonesia. Caranya dengan mengidentifikasi perusahaan yang mengiklankan aplikasi tertentu melalui AdSense. Ditemukan tidak sedikit entitas luar — kendati banyak juga yang dioperasikan PT dari Indonesia — yang berupaya memasarkan layanan tersebut.

Literasi finansial masyarakat

Berdasarkan hasil Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) 2022, indeks literasi keuangan masyarakat Indonesia sebesar 49,68 persen dan inklusi keuangan sebesar 85,10 persen. Nilai ini meningkat dibanding hasil SNLIK 2019 yaitu indeks literasi keuangan 38,03 persen dan inklusi keuangan 76,19 persen.

Proposisi tersebut artinya menunjukkan akses ke layanan keuangan saat ini lebih mudah, dibanding kompetensi terkait produk keuangan itu sendiri.

Literasi keuangan adalah pengetahuan seseorang terhadap produk-produk finansial. Sementara inklusi keuangan merujuk pada kondisi kepemilikan akun bank atau lembaga keuangan lainnya oleh kalangan penduduk usia produktif.

Sebagai gambaran, dari statistik OJK, paling banyak pemilik akun pinjaman online ada di rentang usia 19-34 tahun dengan pembagian yang berimbang antara laki-laki dan perempuan. Sementara penyalurannya 81% masih di area Jawa. Atas dasar ini, aturan baru POJK mulai mendorong para pemain untuk memberikan porsi lebih kepada peminjam di luar Jawa. Ini menjadi misi yang mulia, kendati PR untuk edukasi pengguna juga relatif akan lebih menantang.

Regulasi finetch lending memang sudah selayaknya dibuat sangat ketat dan disiplin. Termasuk upaya pemberantasan pemain ilegal dan sanksi terhadap pelanggaran. Toh sedari dulu sektor keuangan memang high-regulated. Namun yang tak kalah penting adalah upaya edukasi ke masyarakat terkait produk keuangan dan risiko secara mendalam. Karena pada akhirnya, kasus viral tersebut tidak akan terjadi jika dari awal masyarakat terkait sudah memahami betul ketentuan produk pinjaman yang dilanggan tersebut.

Dalam POJK, sebenarnya juga sudah diatur kewajiban pemain industri melakukan edukasi kepada masyarakat. Di beleid lama tertera di pasal 33 POJK 77/2016, berbunyi penyelenggara mendukung pelaksanaan kegiatan dalam rangka meningkatkan literasi dan inklusi keuangan.

Bentuk dukungan tersebut dituangkan dalam bentuk sosialisasi dan edukasi. Bagi penyelenggara yang sudah terdaftar wajib 12 kali sosialisasi di 12 kota dan provinsi berbeda dengan proporsi 6 di Pulau Jawa dan 6 di luar Pulau Jawa. Sedangkan Penyelenggara berizin rutin 3 kali dalam satu tahun dengan proporsi 1 kali di Pulau Jawa dan 2 kali di luar Pulau Jawa.

Pada intinya, seluruh stakeholder yang terlibat dalam industri fintech lending harus saling mendukung. Pemerintah mengawasi ekosistem industri; industri memberi memberikan layanan dan edukasi yang baik ke masyarakat; masyarakat juga harus cermat dalam menjadi nasabah dan berperan aktif membantu regulator untuk mengawasi.

Pentingnya Literasi Finansial sebelum Investasi

Genjot Inklusi Belakangkan Literasi: Janjikan Untung, Malah Jadi Buntung

Saya ingat betul, awal tahun 2020 lalu memutuskan untuk membeli buku “The Intelligent Investor” karya Benjamin Graham. Buku tersebut saya beli setelah mengikuti beberapa sesi diskusi seputar investasi dan rekomendasi dari teman-teman yang saya percaya. Di balik itu, sebenarnya niatan saya mengkhatamkan buku itu tak lain untuk meyakinkan diri bahwa investasi di pasar modal dan/atau reksa dana bisa menjadi pilihan yang tepat untuk mengamankan aset dari inflasi.

Jujur, saya baru benar-benar mulai fokus berinvestasi di pasar modal dan reksa dana awal 2022 — dengan artian secara konsisten setiap bulan selalu menyisihkan sebagian dari pendapatan untuk dimasukkan ke sana. Butuh waktu lebih dari 2 tahun untuk meyakinkan diri, riset, belajar, dan eksperimen terkait instrumen investasi ini.  Sebelumnya, saya cukup konvensional dalam berinvestasi.

Dengan proses yang panjang tersebut, ternyata membuat saya tergolong “ketinggalan zaman”, karena banyak teman di sekeliling sudah memulai investasi saham dan reksa dana sejak beberapa tahun belakangan. Persisnya saat wealthtech app ala Ajaib, Bibit, Pluang, dan sejenisnya beranjak populer.

Namun, dengan proses pendalaman yang cukup lama ini, setidaknya saya sudah tidak kaget ketika mendapati salah satu portofolio saham saya mendapati return minus lebih dari 30%. Karena saat membeli saham perusahaan tersebut, saya merasa sudah tahu bagaimana strategi dan arah perusahaan tersebut akan berkembang – toh saya tidak biasa membuka aplikasi investasi setiap hari, bahkan cenderung saat hendak top-up saja, setidaknya untuk masa sekarang.

Menyepelekan pemahaman

Sayangnya tidak semua orang memulai investasi dengan kesiapan – atau setidaknya pemahaman dasar mengenai instrumen yang hendak dimasuki. Alih-alih menempatkan kegiatan tersebut sebagai bagian dari kebutuhan terencana, tidak sedikit yang hanya bermodal motivasi biar tidak ketinggalan jaman, istilah kekiniannya FOMO (Fear Of Missing Out). Lihat saja di forum-forum diskusi investasi, nilai saham naik-turun satu digital sudah banyak yang teriak-teriak merugi atau melaba.

Memang sebagian tujuannya trader, alias mencari keuntungan dari transaksi jual-beli, namun tetap saja tanpa pemahaman yang benar ujung-ujungnya akan merugi sendiri. Tidak usah jauh-jauh, kita saksikan pemberitaan media mainstream yang akhir-akhir ini heboh soal kasus aplikasi binary option yang ternyata terindikasi judi. Bermodal keinginan untuk kaya secara instan, akses mudah ke platform, dan grup diskusi yang dimentori influencer, orang dengan mudah mempertaruhkan aset mereka untuk sesuatu yang kurang dipahami risikonya.

Mudah termakan jargon

Faktanya, menurut Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan 2019 oleh OJK, indeks literasi keuangan sebesar 38,03%; sementara indeks inklusi keuangan sebesar 76,19%. Ini menunjukkan bahwa masyarakat Indonesia secara umum belum memahami dengan baik karakteristik dan layanan jasa keuangan yang ditawarkan. Sementara terkait akses ke layanan keuangan justru telah terbuka lebar dan sudah banyak dimanfaatkan.

Lantas, apa yang memotivasi orang-orang untuk sangat berani meletakkan aset mereka ke instrumen investasi tertentu – termasuk mereka yang dirugikan karena binary option alias judi berkedok investasi? Seperti diketahui salah satu strategi pemasaran platform investasi adalah dengan menggembor-gemborkan jargon-jargon yang cukup menggugah. Misalnya dengan selalu menggoreng pernyataan kurang lebih: “investasi yang risikonya tinggi akan berbanding dengan hasil pengembalian yang tinggi, pun demikian sebaliknya.” Tidak ada salahnya, tapi kadang kurang pas pemahaman yang ditangkap.

Selain itu masih banyak jargon-jargon persuasif lain yang secara langsung memang membuat para pembacanya terdorong untuk turut andil dalam hype investasi ini. Belum lagi dibumbui dengan promo dan diskon yang banyak disuguhkan untuk pengguna awal. Dengan proses on-boarding ke platform yang memang relatif mudah, tak ayal kemudian banyak yang bergabung dengan bermodal coba-coba. Belum lagi program afiliasi berhadiah fantastis yang turut pengguna untuk mengajak orang-orang di sekitarnya bergabung. Sekali lagi, ini tidak ada salahnya, namun pemahaman mengenai risiko sering dihiraukan.

Kewajiban melakukan edukasi

Terkait kasus binary option yang baru-baru ini terjadi, salah satu strategi yang dilakukan untuk menggaet ‘korban’ adalah dengan memermak seorang ikon menjadi sosok yang sukses berjuluk “crazy rich”. Flexing tersebut ternyata berhasil menyita perhatian publik dan bikin orang bertanya-tanya bagaimana agar bisa menjadi berlimpah harta seperti mereka. Diikutilah cara-cara mereka dalam mengumpulkan pundi-pundi kekayaan, walau pada akhirnya tidak akan pernah menang seperti mereka.

Teknik tersebut berhasil. Nyatanya sebuah grup Telegram yang dikelola salah satu sosok tersebut mampu menjaring lebih dari 220 ribu anggota aktif.

Korban-korban ini sejatinya ada karena mereka telat memahami tentang apa yang sebenarnya ditawarkan – platform investasi yang ternyata tidak sesuai dengan kaidah investasi. Ini bisa terjadi karena dua hal: (1) tidak adanya transparansi dalam penyampaian informasi; (2) tidak ada sosialisasi mengenai risiko yang mungkin bisa dialami. Proses edukasi yang dilakukan tidak komprehensif, sehingga informasi yang didapat menjadi kurang berimbang.

Padahal dalam beleid yang dilahirkan untuk memayungi platform keuangan berbasis teknologi, otoritas selalu menekankan aspek edukasi sebagai salah satu hal wajib yang dilakukan penyedia layanan. Ambil contoh tertuang dalam Pasal 33 POJK 77/2016, mewajibkan penyelenggara layanan fintech untuk melakukan kegiatan peningkatan literasi dan inklusi berbentuk sosialisasi dan edukasi minimal 12 kali di 12 kota dan provinsi berbeda. Materi edukasi pun ditentukan, mulai dari pengelolaan keuangan, pemahaman industri, sampai dengan produk dan jasa beserta risikonya.

Tidak hanya platform investasi

Niatan ingin menjadi nasabah agar terbantu namun malah menjadi korban – ini sebenarnya tidak hanya berpotensi terjadi pada konteks platform investasi bodong saja. Bahkan bisa mencakup layanan lain yang sudah masuk koridor legal juga. Misalnya layanan payday loan dan paylater yang menjanjikan pinjaman instan; tanpa pemahaman yang benar tentang tata kelola keuangan, alih-alih membantu platform tersebut bisa saja menjadi bumerang yang justru membuat keuangan seseorang menjadi berantakan.

Inklusi keuangan telah terdongkrak naik secara signifikan, membuktikan bahwa digitalisasi berhasil mendapatkan penerimaan baik di tengah masyarakat. Sayangnya literasi keuangan indeksnya masih jauh di bawahnya. Analoginya seperti ini, inklusi ini seperti kemampuan menyetir mobil, sementara literasi adalah pemahaman tentang rambu-rambu. Saat banyak orang menyetir mobil namun tidak paham rambu-rambu, maka akan terjadi kekacauan di jalanan. Sayangnya jalanan yang kacau tidak hanya merugikan pengemudi tersebut, namun bisa berdampak pada pengemudi-pengemudi lain, apalagi yang masih baru.

Kondisi seperti ini tidak bisa dibiarkan berlarut-larut. Kemudahan akses ke layanan finansial harus benar-benar diimbangi dengan pemahaman yang baik bagi para penggunanya. Banyak upaya yang baiknya digencarkan dalam kaitannya edukasi terus-menerus, termasuk salah satunya dengan menjadikan literasi keuangan menjadi materi wajib di bangku sekolah. Regulator juga dapat terus mendorong para pemilik platform untuk berperan lebih aktif menggencarkan berbagai kegiatan sosialisasi – terutama menyasar kalangan early adopter yang jumlahnya masih sangat banyak.

Regulasi Fintech di Indonesia

Perkembangan Beleid yang Memayungi Ekosistem Fintech Indonesia

Survei Nasional Literasi Keuangan ketiga yang dilakukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pada tahun 2019 menunjukkan indeks literasi keuangan mencapai 38,03% dan indeks inklusi keuangan 76,19%. Lantas jika dibandingkan dalam tiga tahun terakhir, ada peningkatan 8,33% untuk literasi atau pemahaman masyarakat tentang layanan keuangan; serta peningkatan 8,39% terkait akses masyarakat terhadap produk dan layanan jasa keuangan.

Anggota Dewan Komisioner OJK Bidang Edukasi dan Perlindungan Konsumen Tirta Segara mengakui, peningkatan tersebut adalah hasil kerja keras bersama antar berbagai pihak, meliputi pemerintah, otoritas, industri, dan komponen lainnya. Tak terkecuali inovasi, khususnya di bidang teknologi, berbagai aplikasi keuangan yang telah meluncur beberapa tahun terakhir nyata-nyata memberikan dampak yang sangat terasa bagi masyarakat untuk melakukan berbagai transaksi: menyimpan, mengirim, hingga menginvestasikan uang mereka.

Terkait digitalisasi layanan keuangan, peran otoritas jelas dominan. Industri ini memang diregulasi secara ketat. Sesuai yang diamanatkan UU No. 21 Tahun 2011, pemerintah membentuk OJK dengan tujuan mengatur dan mengawasi berbagai kegiatan di sektor jasa keuangan. Sejauh ini berbagai jenis layanan teknologi finansial (fintech) terus diakomodasi dalam ruang lingkup aturan OJK.

Dimulai dari fintech lending

Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) No. 77 Tahun 2016 menjadi salah satu ujung tombak perkembangan fintech di Indonesia. Beleid tersebut mengatur layanan pinjam-meminjam uang berbasis teknologi informasi. Sejak diterbitkan, hingga kini tercatat 158 pemain p2p lending yang terdaftar di otoritas, 33 pemain lainnya sudah mendapatkan status berizin. Banyaknya pemain yang terjun di sektor ini tidak terlepas dari besarnya minat masyarakat dalam mendapatkan alternatif kredit dari lembaga nonbank.

Seperti diketahui, akses layanan finansial dari perbankan belum bisa sepenuhnya dinikmati oleh semua elemen masyarakat. Misalnya terkait kredit, di lingkungan perbankan variabel skoring yang digunakan meliputi aspek-aspek yang mengakomodasi kalangan tertentu saja, misalnya terkait pekerjaan, pendapatan bersih, status pendidikan, dll. Sementara pinjaman mikro yang datang dari fintech variabelnya lebih sederhana, misalnya menggunakan catatan tagihan listrik, histori belanja di e-commerce dll.

Dari 158 pemain yang ada, bentuknya memang berbeda-beda. Ada yang memberikan pinjaman ke personal seperti UangTeman dan KreditPintar, ada yang fokus memberikan pinjaman modal kepada pemilik warung seperti AwanTunai, ada yang memberikan modal usaha dengan sistem berkelompok seperti Amartha, ada yang memberikan pinjaman untuk pembelian di layanan e-commerce seperti Akulaku, dan masih banyak lagi.

Dalam POJK terkait fintech lending, berbagai hal diatur secara jelas. Termasuk tentang bentuk badan hukum usaha yang mengisyaratkan harus berupa perseroan terbatas atau koperasi. Kemudian terkait modal usaha, pertukaran data, pusat data dll. Spesifikasi teknis tersebut sangat diperlukan, agar pemain terdaftar/berizin memiliki diferensiasi yang signifikan dengan pemain-pemain ilegal. Tidak dimungkiri, platform ilegal menjadi salah satu celah dari sistem keuangan berbasis teknologi informasi.

Terkait penindakan pemain ilegal, OJK bersama 13 kementerian dan lembaga negara lainnya membentuk Satgas Waspada Investasi (SWI). Sejak tahun 2018 hingga Oktober 2020, SWI telah menghentikan sebanyak 2923 fintech lending ilegal. Sepanjang tahun ini 206 pemain ilegal dibekukan. Langkah ini penting mengingat banyak kalangan masyarakat, termasuk UKM, yang terdampak pandemi. Meminjam dana modal ke fintech menjadi opsi yang banyak dipilih. Sehingga ekosistemnya perlu dijaga dan diawasi secara ketat.

Pembaruan aturan

Aturan mengenai fintech lending rencananya segera diperbarui. Direktur Pengaturan Perizinan dan Pengawasan Fintech OJK Tris Yulianta menyebutkan, pembaruan tersebut nantinya akan mengikuti rancangan UU Perlindungan Data Pribadi yang tengah disusun oleh DPR. Jika ditelaah lebih dalam, aspek perlindungan data dan privasi memang layak dijadikan urgensi dalam POJK, pasalnya proses bisnis dan operasional layanan fintech memang erat dengan pengumpulan dan pengelolaan data.

Hal lain yang mungkin akan dituangkan dalam pembaruan beleid adalah untuk mendorong pelayanan platform lebih menyeluruh, tidak hanya terpusat di Jawa. Selain itu, beberapa komponen teknis juga akan ditambahkan, misalnya terkait penggunaan tanda tangan digital. Pihak OJK masih terus berkomunikasi dengan asosiasi dan pelaku ekosistem, dalam berbagai diskusi dan kesempatan, pematangan aturan masih terus dilakukan.

Dari perspektif publik, memang cukup layak jika otoritas memperketat aturan – setidaknya menambah syarat bagi pemain untuk mendapatkan status terdaftar atau berizin. Hal ini untuk membatasi laju pertambahan pemain baru yang saat ini jumlahnya sudah sangat banyak. Di samping itu, penguatan aspek teknis terkait keamanan sistem, proses pinjaman/pengembalian/buka, hingga integrasi layanan juga perlu  menjadi perhatian untuk menciptakan perspektif yang lebih baik terkait layanan fintech.

Terbuka dengan inovasi digital

OJK juga merilis surat edaran No. 21 Tahun 2019, spesifik mengakomodasi berbagai inovasi fintech yang terus bermunculan (di luar lending). Di dalamnya mengatur beberapa hal, tentang inovasi keuangan digital (IKD) dan regulatory sandbox. Regulatory sandbox adalah mekanisme pengujian yang dilakukan oleh OJK untuk menilai keandalan proses bisnis, model bisnis, instrumen keuangan, dan tata kelola penyelenggara. Sementara IKD adalah aktivitas pembaruan proses bisnis, model bisnis, dan instrumen keuangan yang memberikan nilai tambah baru di sektor jasa keuangan dengan melibatkan ekosistem digital.

Proses di dalamnya meliputi penetapan prototipe berdasarkan kesepakatan forum panel, dilanjutkan dengan kegiatan evaluasi dan eksperimen. Prosesnya paling lama dilakukan satu tahun, atau dapat ditambah enam bulan jika masih dirasa kurang. Sejauh ini aturan tersebut berhasil merangkul inovasi keuangan digital di berbagai klaster, meliputi: aggregator (36 pemain), blockchain (1), claim service handling (1), credit scoring (13), e-KYC (4), financial planner (7), financing agent (7), funding agent (1), insurance broker marketplace (1), insurtech (2), online distress solution (1), project financing (5), property investment management (2), regtech (1), tax & accounting (3), dan verification non-CDD (4).

Lahirnya model bisnis baru sebenarnya juga didorong oleh peningkatan layanan dari pemain legasi. Ambil contoh e-KYC, platform mereka memungkinkan pemain digital seperti fintech lending untuk secara mudah melakukan verifikasi data diri. Atau credit scoring yang menyajikan algoritma sistem pengambil keputusan untuk membantu fintech lending memastikan kelayakan kredit didasarkan pada data-data tertentu yang didapat dari perangkat pengguna. Sehingga tidak menutup kemungkinan, tiap tahun posisi IKD akan terus bertambah dengan inovasi-inovasi baru lainnya.

Pemain lainnya yang mulai dipayungi OJK adalah equity crowdfunding. Didasarkan pada POJK No. 37 Tahun 2018 tentang Layanan Urun Dana Melalui Penawaran Saham Berbasis Teknologi Informasi. Hingga tahun ini baru tiga pemain yang mendapatkan izin, yakni Santara, Bizhare, dan Crowddana.

Saran dan masukan

Kendati bertumbuh, literasi finansial di Indonesia belum bisa dikatakan tinggi. Masih banyak PR yang harus diselesaikan bersama. Sebenarnya dalam POJK fintech, aspek edukasi dan perlindungan pengguna sudah disinggung pada bab ke-7. Meskipun demikian, masih perlu penekanan dan petunjuk yang jelas terkait edukasi seperti apa yang wajib disampaikan oleh penyelenggara kepada calon nasabahnya. Pembaruan aturan bisa menjadi kesempatan untuk memperkuat aspek ini.

Cukup sangsi jika kemudahan yang diberikan fintech dapat tepat sasaran – dalam artian memberikan manfaat yang sebenar-benarnya kepada nasabah. Tanpa pemahaman yang baik tentang layanan keuangan, tidak menutup kemungkinan nasabah fintech akan “terjebak” karena tidak memahami bagaimana sistem bekerja. Mungkin beberapa kali kita mendengar tentang pengguna fintech yang meminjam di banyak layanan untuk “gali-tutup lubang”. Model edukasi sudah selayaknya untuk meminimalisir hal tersebut.

Poin berikutnya terkait dengan kolaborasi antar pemain – baik fintech maupun non-fintech. Pangsa pasar yang masih besar, ditambah dengan persaingan perebutan kue bisnis yang makin ketat, membuat para pemain memikirkan strategi sinergi. Aturan perlu ditegakkan untuk mengantisipasi implikasi buruk sebagai langkah preventif, misalnya menghindari monopoli yang justru tidak menyehatkan ekosistem.

Berikutnya adalah kelonggaran untuk melakukan ekspansi layanan. Jelas pasar Indonesia masih cukup besar untuk digarap, sehingga ekspansi yang dimaksud masih di kancah domestik. Jawa dan pulau-pulau lainnya memiliki kondisi yang sangat berbeda, secara kultur maupun infrastruktur. Sementara pemerataan penting untuk dilakukan demi memperluas akses keuangan. Bukankah target utama mereka (unbankable) justru banyak di luar Jawa.

Dari data OJK, saat ini 147 penyelenggara masih terpusat di Jabodetabek dan hanya 3 pemain yang memiliki basis di luar Jawa. Hingga September 2020, akumulasi penyaluran pinjaman fintech lending, sebanyak Rp110 triliun, masih di seputar Jawa, sementara di luar Jawa hanya Rp18 triliun.

Pandemic and The Increasing Awareness of Financial Planning

Life pressures and current economic conditions have influenced people to start planning their financial decisions. Starting from using emergency funds to cutting expenses.

As a digital financial planning platform, Halofina decided it is the right time to educate the public, aiming to increase financial literacy in the country. DailySocial invited Halofina’s Founder & CEO, Adjie Wicaksana in the #SelasaStartup session the first week of August 2020.

Efforts to increase awareness

OJK recorded the percentage of Indonesian people’s financial literacy in 2019 experienced a significant increase of 38%. This number is certainly an achievement compared to the previous 3 years at only 29%. Even though it has increased, Adjie said this number is quite far behind other neighboring countries with a fairly good amount of financial literacy among the community, around 70% and above.

What is quite a challenge, is not only the large size of Indonesia’s population compared to other neighboring countries, but also a trust issues among the public, related to digital financial products.

“Therefore, the productive age is shown as an ideal target market for a digital financial planning platform. Halofina offers products and services, in this case financial planning,” Adjie said.

Even though it’s mainly focused on millennials, adjusting the phase that is ultimately faced by this productive age can increase the number of users who are most familiar with technology or better known as tech-savvy.

“We see that productive age is the largest segment that has been frequently exposed and accustomed to digital products and technological innovations. This has become the focus of Halofina,” Adjie said.

Reducing barrier entry

The main obstacle for most fintech services to offer their products lies in the barrier entry. From lack of trust to product safety and risk factors, which ultimately makes it difficult for fintech platforms in general to acquire users.

“Therefore, it is important for the platform to provide important and legitimate evidence from regulators. As our platform becomes the first listed in the Financial Services Authority’s (OJK Sandbox) Digital Financial Innovation, Digital Financial Planner category,” said Adjie.

Apart from regulatory and legality issues, the platform must also have relevant and on-demand products by the community. In this case, creating a ‘relatable’ product becomes important. In Halofina, financial planning products are what we’ve tried to offer.

“In early July we launched the consulting feature. The main feature is similar to the ones offered by the healthtech platforms, which is consulting with doctors online. However, in Halofina we provide certified financial planners for users to conduct consultations related to investment and financial planning,” said Adjie .

Pandemic and financial planning

In the time of a pandemic, there was a lot of negative news that circulating the daily routine, it was enough to influence most people’s views and decisions. Previously, most millennials don’t really care about their financial management and financial planning, today, Adjie said there has been a significant increase in the community to pay attention to their financial management.

Starting from using the right emergency fund to managing their financial flow. Adjie also mentioned that this opportunity was what Halofina tried to utilize as a relevant platform. Not only on social media accounts and platforms, Halofina tries to provide the right and required education, aiming to increase awareness of the importance of financial management and planning in everyday life.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Application Information Will Show Up Here
Adjie Wicaksana

Pandemi dan Peningkatan Kesadaran Perencanaan Keuangan

Tekanan hidup serta kondisi ekonomi saat ini ternyata mempengaruhi kebanyakan orang mengambil keputusan finansial mereka. Mulai dari menggunakan dana darurat hingga memangkas pengeluaran.

Sebagai platform perencana keuangan digital, Halofina merasa ini saat yang tepat untuk memperluas edukasi kepada masyarakat, dengan tujuan untuk meningkatkan literasi keuangan di tanah air. Dalam sesi #SelasaStartup minggu pertama Agustus 2020, DailySocial menghadirkan Founder & CEO Halofina Adjie Wicaksana.

Upaya meningkatkan awareness

OJK mencatat tahun 2019 persentase literasi keuangan masyarakat Indonesia mengalami kenaikan yang cukup signifikan sekitar 38%. Jumlah ini tentunya merupakan prestasi tersendiri jika dibandingkan 3 tahun sebelumnya yang hanya 29% saja. Meskipun mengalami kenaikan, namun menurut Adjie, jumlah ini masih kalah jauh dengan negara tetangga lainnya yang telah memiliki jumlah literasi keuangan cukup baik di kalangan masyarakat sekitar 70% ke atas.

Apa yang menjadi tantangan tentunya bukan hanya jumlah populasi Indonesia yang cukup besar dibandingkan negara tetangga lainnya, namun juga rasa kepercayaan atau trust issue yang masih rendah dikalangan masyarakat, terkait dengan produk keuangan digital.

“Dari situ akhirnya terlihat usia produktif merupakan target pasar yang ideal untuk platform perencana keuangan digital, Halofina menawarkan produk dan layanan, dalam hal ini adalah perencanaan keuangan,” kata Adjie.

Meskipun hanya fokus kepada kalangan milenial, namun menyesuaikan fase yang pada akhirnya dihadapi oleh usia produktif tersebut, dapat menambah jumlah pengguna yang kebanyakan sudah terbiasa dengan teknologi atau lebih dikenal dengan tech savvy.

“Kami melihat usia produktif merupakan segmen paling besar yang sudah sering terekspos dan terbiasa dengan produk digital dan inovasi teknologi. Hal tersebut yang kemudian menjadi fokus dari Halofina,” kata Adjie.

Mengikis barrier entry

Persoalan utama yang masih menjadi kendala kebanyakan layanan fintech untuk menawarkan produknya adalah, barrier entry dari kebanyakan masyarakat untuk mulai mencoba. Mulai dari kurang percaya hingga faktor keamanan dan risiko produk, yang pada akhirnya menyulitkan platform fintech pada umumnya untuk mengakuisisi pengguna.

“Untuk itu penting bagi platform memberikan bukti yang penting dan sah dari regulator. Sebagai platform kami yang pertama telah tercatat di Inovasi Keuangan Digital Otoritas Jasa Keuangan (OJK Sandbox) kategori Digital Financial Planner,” kata Adjie.

Selain persoalan regulator dan legalitas, platform juga harus memiliki produk yang relevan dan dibutuhkan oleh masyarakat. Dalam hal ini menciptakan produk yang ‘relatable‘ menjadi penting. Di Halofina sendiri produk perencana keuangan yang kemudian dicoba untuk ditawarkan kepada target pengguna.

“Awal bulan Juli lalu kami meluncurkan fitur consultation. Fungsinya serupa dengan yang ditawarkan oleh platform healthtech yaitu konsultasi dengan dokter secara online. Namun di Halofina kami menyediakan perencana keuangan yang telah telah tersertifikasi untuk pengguna melakukan konsultasi terkait dengan investasi dan perencanaan keuangan,” kata Adjie.

Pandemi dan perencanaan keuangan

Saat pandemi ketika banyak berita negatif yang mewarnai rutinitas sehari-hari, ternyata cukup mempengaruhi pandangan dan keputusan dari sebagian besar orang. Jika sebelumnya tidak banyak di antara kalangan milenial yang peduli dengan manajemen keuangan dan perencanaan finansial mereka, kini menurut Adjie terjadi peningkatan yang cukup besar dari kalangan masyarakat untuk memperhatikan manajemen keuangan mereka.

Mulai dari menggunakan dana darurat yang tepat hingga mengatur keuangan mereka. Menurut Adjie, peluang ini yang kemudian dicoba untuk dimanfaatkan oleh Halofina sebagai platform yang relevan. Bukan hanya di akun media sosial dan platform, Halofina mencoba untuk memberikan edukasi yang tepat dan dibutuhkan, dengan tujuan meningkatkan awareness pentingnya manajemen dan perencanaan keuangan dalam kehidupan sehari-hari.

Application Information Will Show Up Here