Tag Archives: FinTech Indonesia

Tren Fintech 2022

AFTECH Paparkan Lanskap Pasar, Tantangan, dan Tren Investasi Fintech

Asosiasi Fintech Indonesia (AFTECH) kembali merilis Laporan Survei Anggota Tahunan 2021 yang memaparkan lanskap layanan fintech di Indonesia, pencapaian pertumbuhan, hingga tren investasi di masa depan.

Sebagai informasi, saat ini AFTECH menaungi pelaku fintech yang terbagi dalam enam model bisnis atau klaster antara lain sistem pembayaran, pinjaman online, neobank, securities crowdfunding, wealth management, dan Inovasi Keuangan Digital atau IKD (terdiri dari 16 sub kluster). Per akhir 2021, jumlah anggota AFTECH tercatat sebesar 352, naik dari periode sama di 2020 dan 2019 masing-masing 302 dan 219 anggota.

Berikut sejumlah pencapaian dan temuan penting dari laporan tahunan AFTECH sebagaimana dirangkum DailySocial.id berikut ini.

Pembayaran digital dan pinjaman online

Survei menunjukkan pembayaran digital dan pinjaman online menjadi dua model bisnis fintech yang sudah memasuki fase matang di Indonesia, turut didorong oleh faktor konsolidasi antar-pelaku pemimpin pasar dan melandainya pertumbuhan.

Ketua Umum AFTECH Pandu Sjahrir mengungkap kategori neobank, IKD, wealth management, dan securities crowdfunding masih dalam fase pertumbuhan, yang dikarenakan oleh sejumlah faktor, seperti regulasi baru bank, terutama terkait bank digital, hingga belum optimalnya penggarapan pasar dari sisi penawaran produk dan layanan. Kendati begitu, ia menilai layanan fintech tersebut mulai menggalang daya tarik di pasar.

Secara keseluruhan, adopsi layanan fintech di Indonesia meningkat signifikan di sepanjang 2021. Peningkatan ini tercermin dari sejumlah pencapaian antara lain:

  • Nilai transaksi uang elektronik naik sebesar 58,5 persen (YoY) menjadi Rp35 triliun.
  • Adopsi Quick Response Code Indonesia Standard (QRIS) melampau target 12 juta merchant sebelum akhir 2021.
  • Penyaluran pinjaman melalui platform fintech pendanaan bersama ke lebih dari 13,47 juta rekening peminjam mencapai Rp13,6 triliun per Desember 2021
  • Adopsi fintech untuk berinvestasi di pasar modal dan aset digital ikut meningkat.

Dari kategori pembayaran digital, 28 persen responden telah mengantongi nilai transaksi tahunan sebesar Rp5 miliar-Rp500 miliar, sedangkan 28 persen lainnya mengumpulkan total transaksi tahunan sebesar Rp500 miliar-5 triliun. Mengacu statistik Bank Indonesia per Desember 2021, total transaksi pembayaran digital mencapai Rp35,1 triliun atau naik 60 persen dibanding periode sama tahun lalu. Transaksi ini didominasi oleh pelaku fintech bukan bank.

Dari kategori pinjaman online, data OJK mencatat pertumbuhan sebesar 70 persen menjadi Rp13,6 triliun pada Desember 2021. Fokus penyaluran pinjaman masih terpusat di pulau Jawa di mana hampir 70 persen dari total transaksi berasal dari wilayah tersebut, diikuti luar negeri (28%) dan luar Jawa (1,9%). Kota di luar pulau Jawa masing-masing menyumbang tak sampai 1 persen dari total transaksi, kecuali Sumatera Utara (1,8%) dan Bengkulu (1%).

Saat ini, jumlah lender dan borrower di platform fintech masing-masing sebesar 809.494 dan 73,2 juta per Desember 2021. Sementara, per Desember 2020, jumlah lender dan jumlah borrower masing-masing sekitar 716.913 dan 43,6 juta.

Tantangan pelaku fintech

Data OJK mencatat indeks literasi keuangan di Indonesia naik 8,3 persen dari 29,7 persen di 2016 menjadi 38 persen di 2019. Dengan pertumbuhan indeks ini, fintech menyadari pentingnya perluasan layanan fintech hingga ke pedesaan. Adapun, 69 persen pelaku fintech sudah melayani area tersebut.

Namun, pelaku fintech di Indonesia masih menemui tantangan besar untuk melakukan ekspansi bisnis ke luar Jakarta, di mana 23 persen dan 19 persen responden mengaku sulit ekspansi ke luar Jawa dan pedesaan karena faktor literasi keuangan (55%), infrastruktur (44%), dan budaya (20%).

Terlepas dari kendala di atas, 45 persen pelaku fintech mengaku optimistis dapat melanjutkan ekspansinya lebih banyak ke area luar Jabodetabek sehingga dapat mencapai target inklusi keuangan nasional.

“Terkait infrastruktur, meski teknologi memengaruhi ekspansi layanan fintech di daerah, sebanyak 53 responden memiliki responden positif terhadap pertumbuhan dan perbaikan infrastruktur di masa depan,” tutur Pandu.

Pangsa pasar dan ekspansi

Berdasarkan hasil survei, area Jabodetabek masih menjadi pasar utama fintech, di mana 99 persen dan 75 persen responden masing-masing menjawab Jakarta dan Bodetabek sebagai target utama penggunanya, diikuti oleh Bandung (45%) dan Surabaya (36%).

Sebanyak 69 persen responden mengaku telah melayani daerah pedesaan di Indonesia. Ini mengindikasikan bahwa sebagian besar fintech tak hanya fokus pada wilayah perkotaan saja.

Selain itu, pelaku fintech juga masih mendorong penetrasi pengguna di segmen UMKM, terutama bagi pengusaha perempuan. Sebanyak 42 persen responden mencatat nilai transaksi pengguna UMKM sebesar lebih dari Rp80 miliar. Adapun 12 persen di antaranya memperoleh kurang dari Rp500 juta dari UMKM.

Dari 33 persen responden, 25-50 persen pengguna UMKM dijalankan oleh perempuan, memperkuat anggapan bahwa perempuan memberikan kontribusi yang cukup signifikan terhadap industri fintech.

“Maka itu, literasi keuangan dan digital bagi perempuan menjadi semakin penting agar pelaku UMKM dapat memaksimalkan produk dan layanan yang tersedia di industri jasa keuangan untuk mengembangkan usahanya,” papar laporan ini.

Dari sisi pengembangan usaha, responden mengungkap sejumlah poin penting dalam menentukan strategi bisnis untuk mendongkrak pendapatan di masa depan. Di antaranya adalah pelaku fintech ingin fokus pada produk berpenghasilan tinggi (59%), masuk ke pasar baru termasuk luar negeri dan daerah pedesaan (34%), menjajaki lini bisnis baru (52%), dan tidak ada rencana untuk memperluas atau fokus ke produk tertentu (7%).

Selain itu, sebanyak 75 persen pelaku fintech di Indonesia berencana memperluas jangkauan pasarnya ke pedesaan. Temuan ini menunjukkan sinyal positif industri fintech untuk meningkatkan pemerataan layanan keuangan di seluruh Indonesia.

Investasi fintech

Investasi di sektor fintech Indonesia mencatatkan pertumbuhan 13 kali lipat sejak 2017 yang hanya $64 juta menjadi $904 juta di Q3 2021. Jumlah tersebut dua hingga tiga kali lebih tinggi dari investasi yang diperoleh pelaku fintech di negara tetangga.

Apabila dibandingkan dengan total investasi ke sektor lain, baik dari investor domestik maupun asing, investasi fintech di Indonesia dari kuartal I sampai III 2021 lebih tinggi 58 persen di sektor mesin dan elektronik, dan 157 persen lebih tinggi dari sektor tekstil.

Peningkatan iklim investasi ke sektor fintech tak lepas dari meningkatnya jumlah populasi muda yang akrab dengan layanan digital, penetrasi seluler, dan kelas menengah di kawasan Asia Tenggara. Pertumbuhan fintech semakin terakselerasi karena pandemi Covid-19.

Dari sudut pandang kebutuhan investasi, saat ini satu dari tiga klaster pembayaran digital, pinjaman online, dan IKD masih membutuhkan lebih dari Rp150 miliar dalam 1-2 tahun ke depan. Di sisi lain, 17 persen responden dari pemain pembayaran digital meyakini hanya membutuhkan investasi kurang dari Rp500 juta dalam 1-2 tahun ke depan.

“Ini menunjukkan bahwa klaster pembayaran digital telah memasuki tahap lebih matang dibandingkan dengan kategori fintech di klaster lain,” ungkap Pandu.

Fintech Business in the First Half of 2020

Financial technology (fintech) is a well-developed business landscape in Indonesia. The growth lies on both sides, from businessmen and consumers. It is recognized by the increasing categories of fintech services in Indonesia with an increasing user base. Annually, DSResearch is to release “Fintech Report”, an integrated report discussing the trends and dynamics of the related industry.

Earlier this year, in the latest published report, presented some interesting data. One of which is related to the distribution of funds by p2p lending startups. Last year, the value was up to IDR 60.4 trillion, increased by almost 3 times from the previous year. Borrower accounts registered with the OJK also increased to 14.3 million, 3 times exceeding from a total number in 2018 at 4.3 million accounts.

In conclusion, there is always an increase in business from year to year, with the most popular sub-businesses related to loans and digital wallets. Unlike this year, Covid-19 has “disrupted” various business arrangements, including fintech, therefore, many business agendas must be readjusted. However, has this pandemic really caused significant disruption to fintech in Indonesia?

This article intends to present analysis and comparison data, referring to business activities that have taken place during the first half of 2020.

Startup funding

Amid business objectives to accelerate growth, funding is an important business aspect that the founder continues to strive for. In the first half of 2020 (H1 2020), there were 8 funding involving fintech startups operating in Indonesia. Regarding transactions, the number decreased compared to H1 2019, last year there were 12 transactions. However, in terms of nominal (published), the value is much greater in H1 2020.

There are no publications of fintech funding throughout the first quarter of this year, all the news starting to be announced in April 2020. Here’s the full list:

Stage Month Startup Value
Debt Funding April KoinWorks $20 million
May KoinWorks $10 million
Pre-Series A May Pintek Undisclosed
Series A April Qoala $13.5 million
June Wallex Technologies Undisclosed
Series B March Digiasia Bios Undisclosed
Series C April Investree $23.5 million
April Modalku Undisclosed

If last year most of the funding was in the early stages, this year more funding was disbursed for further funding. Some analysts have predicted that the crisis caused by this pandemic will make investors more selective in disbursing their funds. Most chose to increase the spin in established businesses and get good traction, also in this Covid-19 period.

In addition, Cashlez made a successful IPO on the Indonesia Stock Exchange earlier this year. The company released 250 million new shares at Rp350 per share. This amount of capital includes approximately 17.5 percent of the paid-up and issued capital. Successfully booked Rp 87.5 billion from the event.

P2P lending amid pandemic

The Indonesian Joint Funding Fintech Association (AFPI) in early June 2020 published its research. It is disclosed that during the pandemic period, loans that were successfully facilitated and approved by lenders reached IDR 237 billion from 674 thousand accounts/transactions. The survey was held on 9-14 May 2020 with 143 p2p lending organizers as respondents.

In terms of consumer, the return rate is quite stable. A total of 90 platforms claim that TKB90 is stable, 34 platforms claim that TKB90 has increased, and 6 platforms claim that TKB90 has increased. TKB90 is a credit quality level on a platform. The higher and closer to level 100, the better. Based on OJK’s data as of March 2020, the TKB90 for the p2p lending industry was recorded at the level of 95.78%.

As of April 2020, the accumulated lending in the p2p lending industry was IDR 106.06 trillion, increased by 186.54% YoY. Java Island dominates the total loans of up to Rp 90.88 trillion, the remaining Rp 15.18 trillion comes from outside Java. The number of registered lenders was 647,993 and borrowers reached 24.77 million.

Product consolidation and innovation

Several new product initiatives are being rolled out by local fintech players. Last June, KoinWorks announced that they are serious about working on the investment business, they are collaborating with MMI to release a mutual fund feature through its application. Regarding investment, Indodax and Tanamduit have also expanded their business to accommodate these demands, by presenting a digital gold sell-and-buy feature.

Another collaboration formed between Dana and YesDok, for a telemedicine feature on the Dana app – previously Gojek-Halodoc and Grab-Ping An had released similar services. In the meantime, LinkAja launched a sharia feature to work on new market segments. Several business platforms outside the fintech industry also expand their business lines in the financial sector. As an effort of helping SME partners in their ecosystem, Moka and eFishery have launched the capital-loan feature this year.

This year, the banking sector also increased its penetration to present technology products. Expecting good fortune in the digital wallet ecosystem, Bank OCBC NISP has started to seriously work on ONe Wallet. Jenius also strengthened the features in the application, last May they introduced Moneytory to help users with personal financial planning. Meanwhile, Bank Mandiri also released a special application to accommodate MSME loans this year.

Remittance should be a highlight

Layanan remitansi mulai banyak diminati di tengah kebutuhan solusi transfer dana antar negara yang lebih efisien / Freepik - pch.vector
Remittance service is gaining popularity amid the demand for an efficient cross-country money transfer / Freepik – pch.vector

In the first half of 2020, two remittance-related innovations were introduced. First, Zendmoney attempts to bridge migrant workers, then the OY! Indonesia, which released a new feature entitled remittances. The demand for cheap and efficient cross-country transactions has succeeded in making players in this sub-sector capture the consumers’attention.

DailySocial had a chance to talk with two remittance players, Transfez and Topremit. Transfez’ representative said, since the Covid-19 pandemic in March 2020, the number of Transfez users has increased by more than 400%. Moreover, TopRemit claims to have successfully processed more than 280 billion Rupiah with 16 thousand users registering and within the first 6 months of 2020.

Wallex Technologies is a player in local remittance technology which is getting funding this year. During the pandemic period, they claim on average a 20% increase in business every month.

In May 2020, BRI Ventures also announced to involve in Nium funding, a Singapore-based remittance startup. Visa also participates in this round. Before changing its name, Nium has secured an investment from MDI Ventures in 2014. Then, MDI Ventures was still directed by Nicko Widjaja, who now leads BRI Ventures. In the first quarter of 2020, Nium achieved a transaction value of $2 billion.

Fintech’s future development

Unfortunately, the pandemic impact is yet to end. Even in various cities, PSBB is still running to prevent virus transmission, which indeed has an impact on the economy in the local area. Basically, fintech startups work to “accommodate” the economic (monetary) process of society, as simple as: digital wallets will only be filled when the user has money/income. Therefore, the ongoing economic slowdown can also have a negative impact related to traction.

On the other hand, people are still pursuing many opportunities. There are more activities at home, many have started to try their luck with entrepreneurship – starting food, crafts, or other services. At a time when banks are increasingly selective in applying for credit, p2p lending can be an alternative solution for capital. Nevertheless, the challenge for the platforms is an increase in risk analysis – some credit scoring players are starting to emerge to accommodate these needs.

Beyond remittances and the popular fintech business model, there are still some business opportunities with potential development. There are two, we projected to be significant are the insurtech and equity crowdfunding. Supported by a quite low insurance penetration that continues to increase, and the culture of mutual cooperation that is unique to Indonesian society.


Original article is in Indonesian, translated by Kristin Siagian

Di paruh pertama 2020 (H1 2020), tercatat 8 pendanaan yang melibatkan startup fintech yang beroperasi di Indonesia.

Bisnis Fintech di Paruh Pertama 2020

Financial technology (fintech) menjadi lanskap bisnis yang berkembang baik di Indonesia hingga saat ini. Pertumbuhannya di dua sisi, dari pebisnis maupun konsumen. Hal tersebut ditunjukkan dengan makin bervariasinya layanan fintech yang ada di Indonesia, dan memiliki basis pengguna yang besar. Setiap tahun, DSResearch rutin merilis “Fintech Report”, sebuah laporan terpadu membahas tren dan dinamika industri terkait.

Dalam laporan terbaru yang diluncurkan awal tahun ini, dikemukakan beberapa data menarik. Salah satunya terkait penyaluran dana oleh startup p2p lending, tahun lalu nilainya sampai Rp60,4 triliun Rupiah, naik hampir 3x lipat dari tahun sebelumnya. Akun peminjam yang tercatat di OJK juga naik menjadi 14,3 juta, meningkat 3x lipat lebih dari tahun 2018 yang hanya 4,3 akun.

Kesimpulannya, terpantau selalu ada peningkatan bisnis dari tahun ke tahun, dengan sub-bisnis yang paling populer terkait pinjaman dan dompet digital. Sayangnya tahun ini Covid-19 telah “mengganggu” berbagai tatanan bisnis, tak terkecuali fintech, sehingga banyak agenda bisnis yang harus disesuaikan ulang. Namun apakah pandemi tersebut benar-benar memberikan gangguan yang berarti kepada fintech di Indonesia?

Artikel ini akan mencoba menyajikan data ulasan dan perbandingannya, mengacu pada aktivitas bisnis yang telah berlangsung selama paruh pertama tahun 2020.

Pendanaan startup

Di tengah kebutuhan bisnis untuk mengakselerasi growth, pendanaan menjadi aspek bisnis penting yang terus diupayakan oleh founder. Di paruh pertama 2020 (H1 2020), tercatat 8 pendanaan yang melibatkan startup fintech yang beroperasi di Indonesia. Terkait transaksi, jumlahnya turun dibanding H1 2019, tahun lalu ada 12 transaksi. Namun terkait nominal (yang dipublikasikan), nilainya jauh lebih besar H1 2020.

Tidak ada publikasi pendanaan fintech sepanjang kuartal pertama tahun ini, semua pendanaan baru diumumkan mulai April 2020. Berikut daftar selengkapnya:

Tahapan Bulan Startup Nilai
Debt Funding April KoinWorks $20 juta
Mei KoinWorks $10 juta
Pre-Series A Mei Pintek Tidak dipublikasi
Series A April Qoala $13.5 juta
Juni Wallex Technologies Tidak dipublikasi
Series B Maret Digiasia Bios Tidak dipublikasi
Series C April Investree $23.5 juta
April Modalku Tidak dipublikasi

Jika tahun lalu kebanyakan adalah pendanaan di tahap awal, tahun ini pendanaan lebih banyak dikucurkan untuk pendanaan lanjutan. Beberapa analis sudah memprediksi, krisis akibat pandemi ini membuat investor menjadi lebih selektif dalam mengucurkan dananya. Sebagian besar memilih meningkatkan putaran di bisnis yang sudah mapan dan mendapatkan traksi baik, juga pada periode Covid-19 ini.

Selain itu, awal tahun ini Cashlez berhasil melakukan IPO di Bursa Efek Indonesia. Perusahaan melepas 250 juta saham baru dengan harga Rp350 per lembar. Jumlah modal ini meliputi sekitar 17,5 persen dari modal disetor dan ditempatkan. Berhasil membukukan Rp87,5 miliar dari hajatan tersebut.

P2P lending selama pandemi

Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) pada awal Juni 2020 lalu mengumumkan hasil risetnya. Dipaparkan, selama periode pandemi pinjaman yang berhasil difasilitasi dan disetujui lender mencapai Rp237 miliar dari 674 ribu akun/transaksi. Survei tersebut diselenggarakan pada 9-14 Mei 2020 dan diikuti oleh 143 platform penyelenggara p2p lending sebagai responden.

Dari sisi konsumen, tingkat pengembaliannya cukup stabil. Sebanyak 90 platform menyatakan TKB90 stabil, 34 platform penurunan TKB90, dan 6 platform mengaku TKB90 naik. TKB90 adalah level kualitas kredit dalam suatu platform. Semakin tinggi dan mendekati level 100, maka semakin baik. Berdasarkan data OJK per Maret 2020, TKB90 industri p2p lending tercatat di level 95,78%.

Per April 2020, akumulasi penyaluran pinjaman di industri p2p lending sebanyak Rp106,06 triliun, naik 186,54% secara yoy. Pulau Jawa mendominasi total pinjaman hingga Rp90,88 triliun, sisanya sebanyak Rp15,18 triliun datang dari luar Pulau Jawa. Jumlah lender yang tercatat ada 647.993 dan borrower mencapai 24,77 juta.

Konsolidasi dan inovasi produk

Beberapa inisiatif produk baru terus digulirkan oleh pemain fintech lokal. Juni lalu KoinWorks umumkan mulai serius menggarap bisnis investasi, mereka menggandeng MMI untuk rilis fitur reksa dana melalui aplikasinya. Soal investasi, Indodax dan Tanamduit juga melebarkan sayapnya untuk mengakomodasi kebutuhan tersebut, dengan menghadirkan fitur jual-beli emas secara digital.

Kolaborasi lain juga dijalin antara Dana dengan YesDok, menambahkan fitur telemedicine di aplikasi Dana — sebelumnya Gojek-Halodoc dan Grab-Ping An juga telah rilis layanan serupa. Di periode yang sama, LinkAja resmikan fitur syariah untuk menggarap segmen pasar baru. Beberapa platform bisnis di luar fintech juga terus upayakan perluasan lini bisnis di bidang finansial. Berdalih untuk membantu mitra UKM di dalam ekosistemnya, Moka dan eFishery tahun ini resmikan fitur permodalan.

Di sektor perbankan, tahun ini juga meningkatkan eksistensinya untuk menghadirkan produk teknologi. Mengharapkan peruntungan di ekosistem dompet digital, Bank OCBC NISP mulai serius garap ONe Wallet. Jenius pun perkuat fitur di aplikasinya, Mei lalu mereka hadirkan Moneytory untuk membantu pengguna melakukan perencanaan keuangan pribadi. Sementara Bank Mandiri tahun ini juga merilis aplikasi khusus untuk mengakomodasi kredit UMKM.

Remitansi layak menjadi perhatian

Layanan remitansi mulai banyak diminati di tengah kebutuhan solusi transfer dana antar negara yang lebih efisien / Freepik - pch.vector
Layanan remitansi mulai banyak diminati di tengah kebutuhan solusi transfer dana antar negara yang lebih efisien / Freepik – pch.vector

Paruh pertama 2020, ada dua inovasi terkait remitansi dihadirkan. Pertama kehadiran Zendmoney yang ingin membantu menjembatani pekerja migran, kemudian yang kedua aplikasi OY! Indonesia yang merilis fitur baru bertajuk remitansi. Kebutuhan transaksi antarnegara (cross-border) yang murah dan efisien secara proses berhasil membuat para pemain di sub-sektor ini mencuri perhatian konsumen.

DailySocial sempat berbincang dengan dua pemain remitansi, Transfez dan Topremit. Pihak Transfez mengatakan, sejak pandemi Covid-19 di bulan Maret 2020, jumlah pengguna Transfez telah meningkat lebih dari 400%. Pun demikian buat TopRemit, mereka mengklaim berhasil memproses lebih dari 280 miliar Rupiah dengan 16 ribu pengguna yang mendaftar dan dalam 6 bulan pertama 2020.

Wallex Technologies menjadi pemain di teknologi remitansi lokal yang tahun ini mendapatkan pendanaan. Selama periode pandemi, mereka mengklaim rata-rata dapatkan peningkatan bisnis sekitar 20% setiap bulan.

BRI Ventures pada Mei 2020 lalu juga mengumumkan turut terlibat dalam pendanaan Nium, startup Remitansi asal Singapura. Visa turut berpartisipasi pada putaran ini. Sebelum berganti nama, Nium pernah mendapat suntikan dana dari MDI Ventures di 2014. Saat itu MDI Ventures masih dipimpin oleh Nicko Widjaja yang kini telah memimpin BRI Ventures. Pada kuartal pertama 2020, Nium telah mengantongi nilai transaksi sebesar $2 miliar.

Perkembangan fintech selanjutnya

Sayangnya dampak pandemi belum berakhir sampai saat ini. Bahkan di berbagai kota masih dilakukan PSBB untuk mencegah penularan virus, yang tentu berdampak pada perekonomian di wilayah setempat. Pada dasarnya startup fintech bekerja “menampung” proses ekonomi (moneter) dari masyarakat, sesederhana: dompet digital baru akan terisi kalau penggunanya memiliki uang/penghasilan. Sehingga perlambatan ekonomi yang terus menjadi-jadi ini bisa juga memberikan dampak buruk terkait dengan traksi.

Di sisi lain, banyak peluang yang diburu oleh masyarakat. Lebih banyak aktivitas di rumah, banyak yang mulai mencoba peruntungan dengan berwirausaha – membuka jasa pesan makanan, kerajinan atau jasa lainnya. Di saat perbankan makin selektif terhadap pengajuan kredit, p2p lending bisa menjadi solusi alternatif untuk permodalan. Maka tantangannya untuk para platform adalah peningkatan analisis risiko – beberapa pemain credit scoring mulai bermunculan untuk akomodasi keperluan tersebut.

Di luar remitansi dan model bisnis fintech populer, masih ada beberapa peluang bisnis yang berpotensi dikembangkan. Dua di antaranya yang menurut kami akan menjadi sesuatu yang signifikan adalah insurtech dan equity crowdfunding. Didukung penetrasi asuransi yang masih minim dan terus meningkat; dan kultur gotong-royong yang khas di masyarakat Indonesia.

Masa Depan Perbankan Digital di Indonesia

Inovasi dalam dunia teknologi yang terus tumbuh dengan pesat terbukti telah banyak membawa perubahan di masyarakat. Keuangan adalah salah satu sektor yang merasakan dampak inovasi tersebut dan kini istilah fintech (financial technology) pelan-pelan mulai terdengar lebih luas.  Lalu bagaimana nasib lembaga keuangan yang lebih dahulu hadir seperti bank di tengah-tengah terpaan inovasi ini?

Berbarengan dengan peluncuran Pinjam Indonesia beberapa hari silam, digelar juga sebuah forum yang diinisiasi Pinjam dengan Veryfund bernama Indonesia Fintech Forum. Topik yang dibawakan adalah “The Future of Digital Banking in Indonesia”. Ini menarik, mengingat fintech mulai merangkak ke atas secara perlahan di Indonesia saat ini.

Lanskap perbankan Indonesia saat ini

Indonesia Fintech Forum

Inovasi. Itu adalah elemen terpenting yang dibutuhkan oleh dunia perbankan saat ini di Indonesia, bahkan dunia. Akui saja, produk-produk keuangan yang lahir dari perut perbankan saat ini tidak lah begitu “menarik”.  Ini tak lepas dari kondisi perbankan itu sendiri yang berada dalam posisi sebagai sebuah korporasi.

“Saya percaya sebelum berbicara tentang inovasi Anda harus tahu lansekap dari tempat Anda akan mamainkan inovasi tersebut. [..] Bagaimana kondisi pasarnya saat ini dan bagaimana kondisi pasarnya di masa yang akan datang,” tekan Chief Strategy Offices Maybank Indonesia Charles Budiman di @america.

Secara garis besar, menurut Charles, lansekap perbankan di Indonesia dapat dikelompokkan menjadi tiga hal utama. Dari posisi Indonesia di Asia Tenggara, tantangannya dalam bentuk emerging environment, dan juga bagaimana bank di Indonesia dapat bertumbuh di masa depan, terutama dalam menyambut Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA).

Indonesia Fintech Forum

Charles mengatakan, “Saat ini kondisi Net Interset Margin [NIM] bank-bank Indonesia tergolong tinggi bila dibandingkan dengan bank lain di kawasan Asia Tenggara. [..] Tapi tanpa perubahan dari sisi produktivitas, bank di Indonesia akan kehilangan [sisi] kompetitifnya dengan nilai NIM yang semakin berkurang namun [nilai] Cost to Income Ratio meningkat. [..] Ini akan jadi kabar buruk bagi kami [pelaku industri perbankan Indonesia].”

Berkolaborasi bersama dengan inovasi dunia digital di bidang keuangan

Indonesia Fintech Forum

Indonesia sebagai negara berkembang memang memiliki banyak tantangan untuk dipecahkan dalam berbagai sektor, termasuk dalam industri keuangan. Indonesia saat ini juga masih tercatat sebagai negara dengan tingkat literasi keuangan yang cukup rendah, baru 32 persen.

Tahun ini memang bukan menjadi tahun fintech mendapat sorotan seperti industri e-commerce yang sudah mulai matang atau aplikasi karya anak bangsa. Pun demikian, sebenarnya sudah ada beberapa startup digital mulai muncul ke permukaan dalam ekosistem digital Indonesia. Bahkan kemunculan berbagai startup fintech ini bisa membuat perbankan takut kehilangan market share mereka.

Pun demikan, perubahan tak pernah bisa dilakukan sendirian. Perlu peran berbagai pihak pemegang kepentingan untuk berkolaborasi bersama dalam menumbuhkan ekosistemnya. Apalagi di industri keuangan yang sudah mapan dengan segala regulasi yang tak bisa sembarangan digoyahkan.

Deputi Direktur Program Elektronifikasi dan Keuangan Inklusif Bank Indonesia Ricky Satria mengatakan, “Kita butuh ‘Fintegration’. Fintech berkolaborasi bersama dengan bank untuk melewati segala tantangan dalam bisnis ini [keuangan dan perbankan].”

“Anda mungkin bisa datang sendirian [bermain di industri sebagai startup fintech]. Tapi, Anda juga butuh [pengetahuan] manajemen yang maedalam, perlindungan konsumen, dan bagaimana menjalankan manajemen [keuangan] untuk menumbuhkan bisnis,” ujar Ricky.

Asosiasi Penyelenggara Teknologi Jasa Finansial “FinTech Indonesia” Resmi Diluncurkan

Secara resmi Kamis (17/09) sejumlah perusahaan jasa teknologi finansial (fintech) dan perbankan di Indonesia, seperti Bareksa, Kejora, CekAja, Doku, Bank Mandiri, Veritrans, dan Kartuku, meluncurkan pendirian asosiasi penyelenggara jasa teknologi finansial Indonesia yang diberi nama FinTech Indonesia.

Continue reading Asosiasi Penyelenggara Teknologi Jasa Finansial “FinTech Indonesia” Resmi Diluncurkan

AturDuit Tak Ragu Investasikan Lebih di Indonesia

Dari survey yang telah dilakukan, 80% masyarakat Indonesia cenderung memilih registrasi dan pendaftaran kartu kredit secara online daripada offline. Hal ini memudahkan Aturduit untuk menawarkan fitur-fitur pilihannya seperti, Kartu Kredit Terbaik, Promo Kartu Kredit, Kredit Dengan Agunan, Kredit Tanpa Agunan, Asuransi Mobil, KPR, Kredit Mobil dan masih banyak lagi.

Di Indonesia sendiri, layanan yang paling digemari di Aturduit adalah KTA kemudian kartu kredit. Untuk nominal permohonan KTA tidak dikenakan limit oleh Aturduit, artinya pemohon bisa menentukan sendiri jumlah yang diinginkan, kemudian Aturduit akan meneruskan kepada pihak Bank. Nantinya Bank yang akan menentukan jumlah yang cocok untuk pemohon sesuai dengan kelengkapan data yang berlaku.

Aturduit, yang tadinya bernama iMoney.co.id ini secara resmi masuk ke Indonesia dua tahun silam. iMoney Group, perusahaan induk Aturduit yang berbasis di Kuala Lumpur, Malaysia, telah memiliki operasi di 4 negara: Malaysia, Singapura, Filipina dan Indonesia.

Ekspansi dan promosi di Indonesia

Saat ini Aturduit.com diperkuat oleh sejumlah tim yang semuanya adalah para profesional dari Indonesia, hal ini penting dilakukan agar produk dari Aturduit memiliki karakter lokal dan mangdopsi gaya hidup masyarakat Indonesia.

“Kami juga merekrut para profesional untuk membantu tim kami, sebagian besar memiliki latar pendidikan dan pekerjaan sebagai mantan pegawai bank, mantan pegawai di perusahaan keuangan, pada intinya tim kami sengaja pilih yang memang handal di bidangnya,” tambah Ching.

Selain merekrut pegawai baru serta relokasi kantor baru, Aturduit juga terus menambah jumlah Call Centernya, yang saat ini sudah berjumlah 30 orang. Call center memiliki peranan penting sebagai perwakilan secara langsung Aturduit.com dengan para pelanggan.

“Untuk promosi kami berencana untuk menginvestasikan dalam jumlah yang besar terutama tahun 2015 ini, ditahun pertama tepatnya 12 bulan terakhir kami fokus membangun startup kami, memperbaiki kesalahan dan menambahkan fitur-fitur yang bermanfaat, karena kami tidak ingin meluncurkan produk, namun produk itu sendiri belum siap untuk digunakan,” ucap Ching Wei Lee, CEO iMoney Group (Aturduit.com)

Kompetisi lokal

Hadir sebagai salah satu startup dibidang financial technology asal Malaysia, Aturduit pun harus bersaing dengan para pesaing lokal lainnya dibidang yang hampir serupa, lantas apa yang membedakan Aturduit.com dengan pelaku startup fintech lainnya? Seperti yang ditekankan oleh Ching Wei Lee, yang membuat Aturduit berbeda dengan yang lainnya, Aturduit membantu masyarakat untuk mempelajari lebih banyak tentang keuangan dan membantu pelanggan mendapatkan produk yang diinginkan dengan mudah dan cepat.

“Tantangan terberat kami adalah bagaimana Aturduit dapat beradaptasi dengan semua yang ada di Indonesia, mulai dari kemacetan, birokrasi, pendekatan dengan pihak bank dan perusahaan keuangan serta masih banyak lagi, dari situlah pada akhirnya Aturduit harus bisa berevolusi, menyesuaikan keadaan yang ada, namun demikian disaat yang sama orang-orang makin banyak membutuhkan kartu kredit, KTA dan lainnya dengan proses yang mudah, lancar dan cepat,” tutup Ching.

Asosiasi “FinTech Indonesia” Diharapkan Jadi Wadah Merumuskan Pemanfaatan Platform Digital untuk Dunia Finansial Indonesia

shutterstock_145160614

Di bulan Januari lalu kami sempat menyinggung bahwa Pendiri CekAja J.P. Ellis sedang dalam tahapan untuk menginisiasi sebuah asosiasi yang dapat berperan sebagai wadah para praktisi finansial dan para stakeholder untuk merumuskan suatu visi dan misi untuk dunia finansial di Indonesia agar dapat menjadi lebih baik. Tak menunggu waktu lama, pada hari Kamis kemarin (12/2) dalam sebuah acara diskusi “Financial Technology Startup Ecosystem in Indonesia” yang berlangsung di Comma, J.P. Ellis pun mengumumkan soft launch FinTech Indonesia yang merupakan sebuah Asosiasi Penyelenggara Teknologi Jasa Finansial.

Continue reading Asosiasi “FinTech Indonesia” Diharapkan Jadi Wadah Merumuskan Pemanfaatan Platform Digital untuk Dunia Finansial Indonesia

CekAja Targetkan Dua Juta Kunjungan Unik Per Bulan di Tahun 2015

Ilustrasi Layanan Pembanding Produk Finansial / Shutterstock

Setelah beroperasi selama sekitar sembilan bulan, layanan pembanding produk finansial CekAja menyebutkan pihak nya telah memiliki sekitar 500 ribu unique visitor per bulan dan telah memproses 25.000 konsumen ke berbagai bank, lembaga asuransi, dan lembaga multifinance. Di bulan November mereka juga telah berekspansi ke Filipina dengan mendirikan eCompareMo. Di tahun 2015 ini, CejAja menargetkan perolehan dua juta unique visitor per bulan dengan konversi trafik yang lebih tinggi.

Continue reading CekAja Targetkan Dua Juta Kunjungan Unik Per Bulan di Tahun 2015